Pastor Eric Chang | Manusia Baru 2(b) |

Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi muridku.

“Melepaskan” Berarti Mengucapkan Selamat Tinggal

Mari kita meneliti kata “melepaskan diri”  dari Lukas 14:33. Kata ini berasal dari kata Yunani apotassō  yang berarti “mengucapkan selamat tinggal, meninggalkan” dan juga berarti “menyangkal, melepaskan”. Kata Yunani ini dipakai di Kisah Para Rasul 18:21 ketika Paulus  mengucapkan selamat tinggal kepada jemaat Efesus sebelum belayar ke Kaesarea, dalam perjalanannya ke Yerusalem. Setiap pemakaian kata ini dalam Perjanjian Baru secara konsisten menunjukkan arti meninggalkan atau mengucapkan selamat tinggal (Mar 6:46; Luk 9:1; Kis 18:18; 2Kor 2:13). Pernyataan Yesus ini dapat secara harfiah diterjemahkan sebagai,

“tiap–tiap orang di antara kamu, yang tidak mengucapkan selamat tinggal kepada segala miliknya, tidak dapat menjadi muridku.”

“Selamat tinggal” digunakan dalam konteks keberangkatan. Anda tidak akan mengucapkan selamat tinggal kalau tidak berangkat. Ketika Anda mengenakan mantel dan membuka pintu, Anda mengucapkan selamat tinggal. Lagi pula, konteksnya menunjukkan bahwa tindakan ini tidak dilakukan secara ceroboh atau mengikuti dorongan perasaan, tetapi sesudah melalui pertimbangan cermat, seperti menghitung biaya membangun menara (Luk 14:28-30); atau pertimbangan saksama dalam memutuskan untuk maju berperang atau tidak dengan lawan yang jauh lebih besar jumlahnya, karena apa yang sudah diputuskan tidak dapat dibatalkan (Luk 14:31-32). Ini ialah selamat tinggal yang menentukan dan yang terakhir. Ini adalah selamat tinggal untuk selamanya.

Cara terbaik untuk memahami hal ini adalah dengan melihat kisah keluarnya bangsa Israel dari Mesir. Banyak orang pada zaman kini yang tidak tahu mengapa kita membutuhkan Perjanjian Lama. Paulus  berkata bahwa semua itu ditulis untuk menjadi peringatan bagi kita (1Kor 10:11). Perjanjian Lama memberitahu kita apa yang akan terjadi kepada mereka yang hidup tidak sesuai dengan ajaran Tuhan.

“Keluaran” [atau, Exodus] berarti “keberangkatan”. Harinya tiba bagi Allah untuk berkata pada orang Israel, “Kalian akan mengikuti-Ku keluar dari Mesir. Kalian akan mengucapkan selamat tinggal selamanya kepada Mesir, dan meninggalkan segalanya di belakang.” Jelas Anda tidak dapat membawa serta rumah dalam perjalanan. Demikian pula halnya Anda tak dapat melintasi padang gurun sambil membawa meja makan warisan nenek Anda. Ketika orang Israel meninggalkan Mesir, mereka harus mengucapkan selamat tinggal pada lahan sayur mayur mereka. Mereka mengucapkan selamat tinggal kepada apapun yang pernah menjadi hal yang berharga buat mereka, termasuk karung bawang merah dan bawang putih. Di padang gurun, mereka sering memimpikan bawang putih yang biasa mereka nikmati di Mesir (Bil 11:5). Mereka harus meninggalkan semua itu di belakang, dan mengucapkan selamat tinggal.

Yesus berbicara dalam bahasa yang sama: Ucapkan selamat tinggal pada segala yang kau miliki, dan berangkat. Mengucapkan selamat tinggal adalah tindakan aktif. Jika Anda tidak berangkat, Anda tidak perlu mengucapkan selamat tinggal. Namun, apabila Anda berangkat, Anda mengucapkan selamat tinggal. Baru-baru ini seorang saudara mengucapkan selamat tinggal kepada rekan-rekan sekantornya. Jika ia tetap bekerja di perusahaan tersebut, ia tidak perlu mengucapkan selamat tinggal. Selamat tinggal menunjukkan gerakan—suatu pergerakan menjauhi sesuatu.

Yesus menyatakan bahwa kecuali Anda mengucapkan selamat tinggal pada segala milik Anda, seperti yang dilakukan bangsa Israel di Mesir, Anda tidak dapat menjadi muridnya. Tentu saja, bangsa Israel membawa beberapa barang bersama mereka, seperti pakaian dan beberapa peralatan penting lainnya seperti tenda, wadah air, peralatan dapur, dan lain–lainnya untuk kegunaan di padang gurun.

Apabila Yesus menyuruh kita untuk meninggalkan segala milik kita, Ia tidak bermaksud supaya kita tidur di jalan menjadi gelandangan. Kita dapat jatuh dalam kesalahan seperti ini jika kita berpikir secara eksklusif dalam bentuk harta-benda material.

Orang Israel mengucapkan selamat tinggal kepada cara hidup yang lama di Mesir. Yang itu harus ditinggalkan. Mereka meninggalkan perbudakan di bawah Firaun, yang melambangkan hidup lama yang diperhambakan oleh dosa. Mereka meninggalkan segalanya di belakang, mereka berangkat.

Selamat Tinggal Menandai Kematian

Perjanjian Baru menggunakan kata “keluaran/exodus” (dalam bahasa Yunani, exodos) dalam dua pengertian. Kata itu digunakan untuk menggambarkan kepergian orang Israel dari Mesir, dan juga untuk menggambarkan kematian. Hubungan antara keduanya mudah dipahami karena kita sering memandang kematian sebagai kepergian.

Exodos digunakan di Ibrani 11:22 untuk menyebut keberangkatan orang Israel dari Mesir, dan juga digunakan di Lukas 9:31 untuk kematian Yesus. Di 2Petrus 1:15 kata ini digunakan untuk menggambarkan kematian orang Kristen secara umum, dan secara khususnya kematian Petrus.

yang menampakkan diri dalam kemuliaan dan berbicara tentang kematian (exodus) Yesus yang akan segera digenapi di Yerusalem. (Luk 9:31)

 

Dan, aku akan berusaha dengan segenap upayaku untuk membuatmu tetap mengingat semuanya ini setelah kepergianku (exodus).

Signifikansinya bagi kita adalah: Keluarnya bangsa Israel dari Mesir melambangkan kematian kita bagi dunia. Paulus menyejajarkan ini dengan baptisan kita di dalam Kristus ketika ia mengatakan bahwa seluruh bangsa Israel dibaptis oleh Musa di Laut Merah ketika mereka keluar dari Mesir (1Kor 10:2). Hanya sesudah mereka meninggalkan Mesir, Allah menetapkan perjanjian dengan mereka. Demikian juga, kita memasuki Perjanjian Baru hanya sesudah kita keluar dari kehidupan yang lama.

Musa adalah wakil Allah untuk penetapan-penetapan dari perjanjian itu, sama seperti Yesus adalah wakil dari Perjanjian Baru. Walaupun Hukum Taurat diberikan oleh Allah di Sinai, tetapi baik dalam Perjanjian Lama maupun Baru, hukum ini seringkali disebut “Hukum Musa”, karena Musa adalah perwakilan utama, penyebar dan jurubicaranya. Itu sebabnya, ketika dibaptis ke dalam Musa, umat Israel dibaptis ke dalam Perjanjian Lama.

1Korintus 10:2 menunjukkan hubungan langsung antara keluaran (exodus) dan baptisan. Oleh karena exodus juga menandakan kematian, dengan demikian kita menemukan kaitan antara kematian dan baptisan (Rm 6:3-4).

Di 1Korintus 10:3-4 Paulus  mengembangkan paralel ini ketika ia mengatakan bahwa orang Israel memakan makanan rohani yang sama (manna, bdk. Yoh 6:51) dan meminum minuman rohani yang sama, karena mereka minum dari sebuah batu karang rohani, yaitu Kristus. Keterkaitannya dengan perjamuan kudus sangat nyata.

Perhatikan juga urutannya: baptisan dulu, baru perjamuan kudus. Paulus melanjutkan untuk berkata bahwa hal-hal itu dituliskan sebagai peringatan bagi kita (ay.11).

Bangsa Israel memasuki Perjanjian Lama setelah mereka meninggalkan Mesir; dan memulai sebuah hidup baru bersama Allah. Dengan cara yang sama, kita meninggalkan kehidupan yang lama di belakang, dibaptis ke dalam Kristus, dan memasuki hidup yang baru di dalam Dia.

Sudahkah Kita Meninggalkan Segala Sesuatu di Belakang?

Sekarang pertanyaan yang perlu diperhatikan adalah: Apakah kita sudah benar–benar mengucapkan selamat tinggal kepada dunia sama seperti yang dilakukan bangsa Israel ketika mereka meninggalkan Mesir? Sudahkah kita benar–benar mengucapkan selamat tinggal pada kehidupan lama sama seperti yang mereka lakukan? Jangankan Perjanjian Baru, sebagian besar orang Kristen, sedih untuk dikatakan, bahkan tidak mencapai level Perjanjian Lama. Umat Israel secara harfiah benar–benar meninggalkan kehidupan lama mereka di belakang di Mesir satu kali dan untuk selama-lamanya, dan menyeberang Laut Merah. Apakah kita melakukan setidaknya sebanyak itu ketika kita menjadi Kristen? Apa sebenarnya yang sudah ditinggalkan? Dalam kebanyakan kasus, tidak ada apa-apa sama sekali. Orang Israel, sedikitnya, telah meninggalkan sebagian besar dari hal–hal yang mereka anggap berharga dan disenangi; tetapi kebanyakan orang Kristen besar kemungkinan belum mengucapkan selamat tinggal kepada satu apapun.

Tidak heran kalau sebagian besar orang Kristen tidak dapat dibandingkan, dalam hal kekuatan dan tenaga rohani, dengan beberapa orang dari Perjanjian Lama, apalagi menepati standar Perjanjian Baru. Dikatakan oleh Perjanjian Baru bahwa setiap orang Kristen sejati adalah lebih besar daripada hamba Allah terakhir dari era Perjanjian Lama, Yohanes Pembaptis (Mat 11:11) —tetapi bukankah itu sekadar mimpi bagi kita? Ini terjadi karena orang Kristen umumnya tidak melepaskan suatu apapun, apa lagi ego yang lama.

Dan terima kasih kepada para pemimpin gereja, penginjil dan guru–guru yang tak pernah lelah menyatakan bahwa keselamatan adalah anugerah gratis, jadi tidak perlu menderita kehilangan apapun, dengan itu kita dapat mengabaikan ajaran Yesus. Apa gunanya ajaran Yesus? Siapa yang membutuhkannya? Kepada siapa Yesus berkata? Tentunya bukan kepada kita! Namun orang-orang yang sama, yang tidak mau mendengarkan perintah Yesus, berani memanggilnya “Tuhan”! Kepada orang–orang seperti ini, Yesus dengan keras bertanya, “Mengapa kamu berseru kepadaku: Tuhan, Tuhan, padahal kamu tidak melakukan apa yang aku katakan?” (Luk 6:46)

Banyak orang Kristen yang mendengarkan penginjil-penginjil yang mengajarkan anugerah murahan. Mereka adalah penginjil-penginjil yang juga mengatakan kepada kita bahwa pemuridan adalah Kekristenan tingkat tinggi yang hanya cocok untuk kalangan “elit” dalam lingkungan Kristen, dan tidak perlu bagi orang Kristen “biasa-biasa” seperti kita. Menurut Alkitab, itu ajaran yang menyesatkan. Dalam Perjanjian Baru, setiap orang Kristen adalah murid. “Murid” adalah nama lain bagi orang Kristen. Murid–murid pertama kali disebut sebagai “Kristen” di Antiokia (Kis11.26). Murid-murid bukanlah kelompok khusus dalam lingkungan Kristen. Pemuntiran Firman Tuhan seperti itu harus ditolak.

Setiap orang Israel, bukan hanya Musa, hamba Allah ‘elit’ itu, harus meninggalkan Mesir di belakang. Mereka harus bangun dan pergi dari sana. Rumah lempung mereka mungkin tak berarti bagi kita, tetapi sangat bernilai bagi mereka, karena mereka lahir dan dibesarkan di sana, itu adalah rumah mereka. Mereka menghargai meja, kursi dan peralatan rumah tangga lainnya. Mereka mengucapkan selamat tinggal kepada hal–hal yang tak dapat mereka bawa pergi. Banyak yang mungkin menangis ketika melihat rumah-rumah mereka buat kali terakhir. “Kebunku memang kecil, tetapi itu sangat berharga bagiku!” Lalu mereka berangkat.

Orang Israel meninggalkan segalanya kecuali pakaian dan peralatan pribadi yang mereka perlukan dalam perjalanan. Yang lain ditinggalkan di belakang. Sekarang, tolong katakan kepada saya, apa yang sudah Anda tinggalkan? Ada? Bagi kebanyakan orang Kristen, jawaban yang jujur seringkali adalah tidak ada —sama sekali tidak ada—dan untuk sebagian lagi, sangat sedikit. Meskipun begitu, kita masih bertanya-tanya mengapa kita tidak mengalami hidup yang berkelimpahan dalam Kristus. Dalam banyak kasus, malah tidak ada hidup, titik, apalagi hidup yang berkelimpahan.

Kehadiran Allah di tengah Umat-Nya di Padang Gurun

Sebetulnya, padang gurun adalah tempat yang indah jika Allah besertamu. Banyak orang berpikir bahwa perjalanan bangsa Israel di padang gurun adalah pengalaman yang mengerikan. Saya rasa tidak demikian. Padang gurun mungkin merupakan tempat yang berbahaya, tetapi jika Allah besertamu, itu akan menjadi tempat yang indah.

Apakah menyeberangi laut Merah suatu pengalaman yang buruk bagi orang Israel? Tidak, malah itu merupakan pengalaman ajaib dari pembebasan Allah! Anda kehabisan air? Ia menyebabkan air memancar dari batu. Anda  kehabisan makanan? Manna datang setiap pagi! Ada tiang api di malam hari dan tiang awan di siang hari (Kel 13:21)—suatu jaminan tetap dan nyata dari kehadiran Allah secara pribadi.

Pernahkan Anda memikirkan kenapa tiang awan di siang hari menjadi tiang api di malam hari? Mengapa tidak tiang api saja siang dan malam, karena api juga jelas kelihatan di siang hari? Dan mengapa api di malam hari, mengingat malam hari orang tidur, dan tidak memerlukan cahaya terang?

Namun, pertimbangkan ini: jika tiang awan tidak dibayangkan sebagai tiang yang kurus tegak, tetapi berbentuk seperti jamur (seperti yang dihasilkan ledakan nuklir) maka tiang awan ini akan melindungi orang Israel dari terik matahari di siang hari! Di malam hari tiang api menyediakan kehangatan di tengah dinginnya udara malam padang gurun. Sekadar khayalan? Mungkin tidak. Perhatikan, sebagai contoh, Mazmur 121:5-6,

“Yahwehlah Penjagamu, Yahwehlah naunganmu, di sebelah tangan kananmu. Matahari tidak menyakiti engkau pada waktu siang, atau bulan pada waktu malam.”

Perhatikan juga janji luar biasa di Yesaya 4:5-6 yang berdasarkan peristiwa di padang gurun:

Maka Yahweh akan menjadikan di atas seluruh wilayah gunung Sion dan di atas setiap pertemuan yang diadakan di situ segumpal awan pada waktu siang dan segumpal asap serta sinar api yang menyala–nyala pada waktu malam, sebab di atas semuanya itu akan ada kemuliaan Tuhan sebagai tudung dan sebagai pondok tempat bernaung pada waktu siang terhadap panas terik dan sebagai perlindungan dan persembunyian terhadap angin ribut dan hujan.

Gema dari pengalaman di padang gurun  juga terdengar dalam nubuatan lain dari Yesaya:

“Mereka tidak menjadi lapar atau haus: angin hangat dan terik matahari tidak akan menimpa mereka, sebab penyayang mereka akan memimpin mereka dan akan menuntun mereka ke dekat sumber–sumber air.” (Yes.49.10; Ia memimpin dan menuntun bangsa Israel di padang gurun dengan tiang awan dan api, Ul.1.33)

Janji ini juga dikutip di kitab Wahyu:

“Mereka tidak akan menderita lapar dan dahaga lagi, dan matahari atau panas terik tidak akan menimpa mereka lagi. Sebab anak domba yang di tengah–tengah tahta itu, akan menggembalakan mereka dan akan menuntun mereka ke mata air kehidupan. Dan Allah akan menghapus segala air mata dari mata mereka (Why 7:16-17)

Betapa indahnya berjalan bersama Allah di padang gurun. Tanpa Allah, tentu saja, padang gurun adalah tempat yang berbahaya, dan suram. Akan tetapi, jika Allah beserta kita, padang gurun akan menjadi taman Eden rohani di mana Ia berjalan dan berbicara dengan Adam dan Hawa (bdk. Kej 3:8)

Apa yang Salah di Padang Gurun?

Lalu apa yang salah di padang gurun? Bangsa Israel memang sudah meninggalkan rumah-rumah dan harta benda mereka di Mesir, tetapi mereka masih membawa bersama sifat dan sikap lama mereka, keegoisan dan kebiasaan mereka yang suka bersungut-sungut. Ini merusak apa yang seharusnya menjadi suatu perjalanan yang indah bersama Allah di padang gurun. Perjalanan mereka seharusnya singkat saja. Suatu rombongan besar yang berjalan lambat dapat dengan mudah menyelesaikan perjalanan itu dalam waktu kurang dari setahun, sekalipun mereka melewati jalur yang memutari Semenanjung Sinai. Akan tetapi, mereka membawa serta watak buruk mereka yang lama ke dalam padang gurun, mengubahnya menjadi neraka hidup.

Apakah kita juga membawa watak lama kita ke dalam kehidupan Kristen? Jika kita menyatakan bahwa kita sudah meninggalkan Mesir, bagaimana kondisi kehidupan Kristen kita sekarang? Apakah berupa padang gurun atau hidup yang berkelimpahan? Di padang gurun dunia ini, apakah kita mengalami kehadiran Allah sehingga kita merasa bahwa kita berada di taman Eden? Apakah kita mengalami  kehadiran-Nya, tiang awan dan tiang api?

Lihat cara Allah memelihara umat-Nya! Ketika musuh Israel menyerang, Allah melindungi umat-Nya dan memberi mereka kemenangan. Ketika mereka haus, Allah memberi mereka minum. Mereka hanya perlu menanti sebentar ketika Ia menguji iman mereka untuk menguatkannya.

Bagaimana dengan kita? Apakah kita selalu gagal pada setiap ujian yang diberikan Allah bagi kita? Apakah kita selalu tersandung karena setiap batu dan jatuh ke dalam setiap lubang di padang gurun? Apakah kita kemudian bersungut-sungut, seperti bangsa Israel, “Mengapa Allah membawaku ke padang gurun ini?” Jawabannya sederhana: Allah sedang memimpin mereka ke tanah perjanjian. Namun, entah bagaimana mereka lupa mengapa mereka harus melewati padang gurun.

Banyak Kristen sekarang ini mengeluh dengan cara yang sama saat mereka menghadapi kesulitan: “Mengapa Allah membawa saya ke sini?” Orang Kristen macam apa yang kita bicarakan ini? Pertanyaan yang bagus, karena orang-orang Kristen seperti ini sudah lupa ke mana tujuan perjalanan mereka, dan mengapa mereka berada di padang gurun. Mereka kehilangan arah tujuan dan visi bahwa Allah dapat mengubah padang gurun menjadi taman Eden (Yes 35:1-2).

Sudahkan Anda benar–benar mati? Hanya Anda yang dapat menjawab pertanyaan ini. Jika Anda sudah benar–benar mati, Anda akan mengetahuinya. Apakah Anda sudah meninggalkan Mesir? Sudahkah Anda, oleh anugerah Allah, meninggalkan dunia yang dikendalikan oleh dosa dan Satan, Firaun dunia ini?

Tolong jangan berkata bahwa Anda tidak tahu apakah Anda sudah meninggalkan dunia atau belum, karena kewarasan Anda akan dipertanyakan, setidaknya di tahap rohani. Jika ada orang Israel ketika itu yang berkata, “Saya tidak tahu apakah saya masih di Mesir atau sudah meninggalkannya”, maka kita tahu ada yang kurang beres dengan otaknya. Karena jika ia telah menyeberangi Laut Merah, tentu saja ia tahu jawaban kepada pertanyaan itu. Kita juga pasti tahu apakah kita sudah meninggalkan “Mesir” atau belum. Apakah mungkin untuk tidak mengetahuinya?

Saya berpesan kepada mereka yang ingin dibaptis: Jika Anda tidak tahu apakah di dalam hati Anda ada keinginan untuk meninggalkan Mesir atau tidak, saya memohon pada Anda agar jangan melalui baptisan Laut Merah itu karena kalau Anda menyeberangnya, Anda akan mendapati bahwa Mesir menanti Anda di seberang sana! Seolah–olah perbatasan Mesir sudah diperpanjang, karena Anda akan membawanya menyeberang bersama Anda di dalam hati.

Itulah situasi yang dihadapi oleh banyak orang Kristen  sekarang. Sementara mereka menyeberangi Laut Merah, Mesir menyusul juga ke tanah di seberangnya. Mesir (dunia) tampaknya terus berkembang, dan banyak orang Kristen terjebak di dalamnya selama-lamanya, karena di dalam hati mereka, mereka tidak pernah meninggalkannya. Diterima dalam cara ini, baptisan menjadi suatu tindakan menipu diri sendiri.

Mengucapkan Selamat Tinggal kepada Dunia

Paulus  berbicara tentang kematian, kepergian (exodus), atau keberangkatan dalam pengertian rohani. Demikian pula, apabila kita berbicara tentang kematian, kita berbicara secara rohani. Akan tetapi, itu tidak membuat kematian tersebut menjadi kurang nyata. Dalam menggunakan kata “mati”, kita tidak bermaksud kematian jasmani. Pada baptisan, kita tidak mati secara jasmani. Kita tidak ditinggalkan untuk mati tenggelam!

Dalam pengertian apa kita telah mati? Apa yang ditandai oleh “kematian”? Kematian berkaitan dengan kepergian di mana kita mengucapkan selamat tinggal kepada Mesir (dunia) dan kemudian berjalan melewati Laut Merah (baptisan). Kehidupan lama ditinggalkan di belakang, dilupakan. Paulus berkata,

“Aku sekali–kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia.” (Gal 6:14)

Mati berarti selesai dengan dunia

Apakah Anda menggunakan gambaran kepergian atau kematian, semuanya menuju pada hal yang sama. Pikirkan apa yang terjadi apabila kita mati. Apa yang akan terjadi dengan pekerjaan, rekening bank kita?  Apa yang akan kematian lakukan pada perkawinan dan hubungan keluarga kita? Mati berarti mengucapkan selamat tinggal kepada itu semua. Saat mati kita mengucapkan selamat tinggal kepada segalanya.

Oleh karena itu, sebelum dibaptis, pikirkan ini baik–baik: “Saya akan mati bagi dunia. Saya tidak lagi hidup sebagai anggota sistem dunia yang terasing dari Allah, dan yang tidak mengakui kedaulatannya. Saya sedang mengucapkan selamat tinggal kepada segala sesuatu: pekerjaan, karir dan masa depan saya di dunia ini. Selamat tinggal semuanya.” Di dalam hidup baru di dalam Kristus kita tentunya masih mempunyai pekerjaan atau menggunakan keahlian kita, tetapi sekarang semuanya ditentukan oleh Kristus sebagai Tuan.

Anggota-anggota keluarga dan teman-teman mungkin menolak kita kalau kita dibaptis, jadi itu berarti selamat tinggal kepada mereka juga. Tentu saja, ini tidak berarti bahwa Anda atau mereka entah bagaimana lenyap akibat dari baptisan! Namun, sesuatu telah hilang: cara hidup yang lama yang dijalani di bawah kendali daging. Itu sudah diakhiri.

Akibatnya adalah kita tidak lagi memandang siapa pun atau apa pun dari perspektif hidup lama yang dikendalikan daging, dan yang berpusatkan pada manusia. Hal ini secara tak terhindarkan akan merombak pola hubungan kita dengan setiap orang dan dengan segala sesuatu. Sebagaimana yang dinyatakan oleh rasul Paulus,

“Sebab itu kami tidak lagi menilai seorang jugapun menurut ukuran manusia. Dan jika kami pernah menilai Kristus menurut ukuran manusia, sekarang kami tidak lagi menilai-Nya demikian.” (2Kor 5:16).

Renungkan Galatia 6:14 sekali lagi, “salib Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia.” Apakah kata–kata itu bergema dalam hati Anda? Ada banyak sekali pengunjung gereja yang berkompromi dengan dunia, mereka ingin sekaligus melayani Allah dan Mamon, tetapi berakhir dengan tangan kosong. Apakah kita benar–benar sudah memahami apa yang dimaksudkan Yesus ketika ia berkata bahwa kita tidak dapat menjadi murid-muridnya kalau kita tidak meninggalkan segala milik kita?

Ada cerita tentang seorang jutawan, anggota keluarga Borden di Boston, yang menjadi Kristen. Suatu hari ia melihat sebuah mobil mewah, lalu ia berkata, “Andai saja saya mampu membeli mobil seperti itu!” Sebagai seorang yang amat kaya, ia mampu memborong  beberapa lusin mobil seperti itu. Namun, ia tahu bahwa ia tidak lagi memilik apa-apa. Ada banyak uang dalam rekeningnya di bank, tetapi tidak lagi dipandang sebagai miliknya—itu semua sekarang milik Tuhan. Itu sebabnya ia tahu ia tidak boleh membeli mobil untuk dirinya tanpa persetujuan dari Tuhan, dan Tuhan tidak mungkin menyetujui pembelian mobil mewah seperti itu. Sekarang ia memikul tanggung jawab penting sebagai pengurus uang Tuhan, yang harus digunakan sesuai dengan pimpinan Tuhan, untuk pekabaran Injil dan penyelamatan umat manusia.

Mengucapkan Selamat Tinggal: Suatu Proses

“Melepaskan diri” (atau “mengucapkan selamat tinggal”), dalam teks Yunani di Lukas 14:33 ditulis dalam present tense, menunjukkan suatu proses yang berkesinambungan. Yesus tidak bermaksud menyuruh kita melepaskan segalanya sekaligus. Ini merupakan suatu proses yang berkelanjutan dalam mengelola dan menyalurkan segalanya sebagai pengurus yang baik. Sebagai pengurus yang baik, kita mengucapkan selamat tinggal kepada segala yang kita miliki, dan menanggalkannya secara teratur di bawah bimbingan Tuhan, karena diri dan harta kita adalah milik-Nya. Ketika orang Israel meninggalkan Mesir, mereka juga membuat persiapan cermat.

Adakah arti lain untuk pemakaian present tense di sini? Alasan lainnya adalah: Jika saya menyerahkan segalanya dalam sekali tindakan, dan kemudian suatu hari saya mewarisi satu juta dollar (entah dari manapun asalnya), barangkali saya akan berkata bahwa saya sudah menyerahkan segalanya, jadi Firman Tuhan tidak berlaku atas kekayaan baru ini, dan dengan demikian dibebaskan dari “pajak surgawi”. Akan tetapi, Yesus menggunakan bentuk present tense, yang berarti komitmen untuk meninggalkan segalanya terus berlaku selamanya.

Menurut pikiran kita yang duniawi dan mementingkan diri sendiri, kita memandang Tuhan seperti pemungut cukai dari surga yang gemar merampas setiap rupiah uang kita. Namun, apa yang memprihatinkan-Nya sebenarnya sederhana: Apa yang kita boyong dari Mesir akan menghancurkan kita di padang gurun, menghalangi kita dari mencapai tanah perjanjian.

Ketika berusia dua belas tahun, saya dikirim untuk sekolah ke Swiss, di mana ayah saya bekerja untuk PBB di Jenewa. Kelas kami kadang–kadang mengadakan perjalanan panjang dengan berjalan kaki. Murid–murid biasanya membawa bermacam–macam barang (kamera, lampu senter, dll). Namun, guru kami akan melarang kami dari membawa barang–barang seperti itu, karena apa yang terasa seperti satu pound di awal perjalanan akan menjadi terasa seperti sepuluh pound beberapa jam kemudian. Mereka yang tidak mau mendengarkan selalunya menyesal kemudian. Pernahkah Anda membawa kamera besar dalam perjalanan berjam-jam? Kamera itu pada awalnya terasa ringan, tetapi satu jam kemudian talinya mulai memotong pundak Anda; dua jam kemudian, beratnya terasa seperti lima pound. Beberapa jam kemudian, Anda berharap Anda tidak pernah memiliki kamera.

Itulah alasannya mengapa Yesus menyuruh kita untuk meninggalkan segalanya. Setiap orang Israel yang mengangkut kursi kesukaannya ke dalam padang gurun akan segera mendapatinya sebagai beban. Hari pertama mungkin masih dapat ditoleransi. Satu minggu kemudian, kursi itu akan menjadi kayu bakar. Ibrani 12:1 menyuruh kita untuk melepaskan semua beban sehingga kita dapat berlari dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita. Tinggalkan semuanya di belakang—terutamanya keserakahan dan ketamakan yang tidak pernah mengenal kata cukup—karena hal–hal itu membawa Anda ke dalam malapetaka.

Jadi, Apakah Kematian itu Progresif atau Seketika?

Mari kita kembali pada pertanyaan penting itu: apakah mati itu progresif atau seketika? Apakah kita menghabiskan seluruh kehidupan Kristen kita untuk mati? Apakah kita mati bagi satu dosa, lalu dosa lain lagi, berulang–ulang sehingga kehidupan Kristen lebih banyak matinya daripada  hidup? Atau apakah mati itu sekali untuk selamanya?

Sebagaimana yang telah kita lihat sebelumnya, Kitab Suci menggambarkan manusia terdiri dari daging dan roh. Pembedaan ini penting untuk memahami pertanyaan tentang kematian. Ketika Paulus  berkata, “aku telah disalibkan dengan Kristus, dan dunia telah disalibkan bagiku” (Gal 2:20; 6:14), apa yang sebenarnya mati? Apakah tubuh jasmani Paulus disalibkan di kayu salib? Tentu tidak. Lalu apa yang mati bersama Kristus? Jelasnya, yang mati adalah rohnya. Paulus  mati bersama Kristus di tingkat rohani sementara tubuh jasmaninya masih hidup.

Apakah kematian semacam ini berlangsung seketika? Ya, dengan asumsi bahwa kita benar–benar telah mengucapkan selamat tinggal kepada dunia pada baptisan. Penyaliban bagi dunia (Gal 6:14) bukanlah suatu proses yang terus-menerus, tetapi suatu peristiwa yang telah selesai. Penggunaan perfect tense dalam bahasa Yunani untuk kata “disalibkan” di Galatia 6:14 menandakan suatu tindakan yang telah selesai pada suatu masa lampau, tetapi dengan hasil atau pengaruh yang berkesinambungan.

Tubuh jasmani tetap bersama kita; masih belum mati. Seperti yang dikatakan Paulus di Roma 7:25, hukum dosa masih tinggal di dalam daging—tubuh kita. Markas dosa, yaitu daging masih ada bersama kita sampai tubuh jasmani ini benar–benar mati. Secara rohani, saya telah mati sekali untuk selamanya, setelah memberikan komitmen yang total kepada Tuhan oleh anugerah-Nya yang bekerja melalui iman. Ini saya lakukan sebagai respons terhadap pekerjaan Roh Kudus dalam hidup saya. Namun, daging masih ada bersama saya, dan dosa masih bercokol di dalam daging.

Itu sebabnya mengapa Paulus mengatakan di Roma 8:13,

“tetapi jika oleh Roh kamu mematikan perbuatan–perbuatan tubuhmu, kamu akan hidup.”

Kata “mematikan” berasal dari bahasa Yunani (thanatoō), yang menggunakan present (continuous) tense. Ini merupakan sesuatu yang harus dilakukan secara terus menerus. Jika saya, oleh kuasa Roh yang ada di dalam saya, mematikan perbuatan–perbuatan daging saya, saya akan hidup. Namun jika saya tidak mematikannya, saya yang akan mati. Sejajar dengan itu, Kolose 3:5 berkata,

“Karena itu matikanlah (kata kerja imperatif dalam bahasa Yunani) dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala.”

Jadi, di tingkat rohani, mati adalah seketika dan menentukan. Namun, di tingkat jasmani, tubuh ini masih ada, dan selalu siap untuk meresponi godaan dan dosa, dan terus menerus perlu “dimatikan”; dan ini ialah suatu proses yang berlangsung secara terus menerus.

Apakah mati itu, seketika atau progresif? Di tingkat rohani mati terjadi seketika, tetapi di tingkat jasmani, di tingkat daging, ia berlangsung secara progresif.

Kemenangan atas Dosa

Jika kita belum mati secara rohani, kita tak dapat  memenangkan peperangan melawan dosa, karena dosa yang bercokol dalam daging ini, membuat kita mengalami kekalahan terus menerus. Akan tetapi, jika manusia lama sudah mati bersama Kristus, jika roh kita diserahkan sepenuhnya kepada Kristus, jika kita sudah mengucapkan selamat tinggal kepada dunia, Roh Kudus akan menguatkan kita untuk hidup dalam kemenangan yang berkelanjutan tanpa hambatan.

Walaupun dosa masih ada di dalam daging, ia akan terus dimatikan oleh kuasa Roh Kudus secara progresif, dan kita akan mengalami kemenangan terus menerus. Dengan cara ini kita mengalami hidup yang berkelimpahan dari Tuhan. Lalu kita akan mengalami kebenaran yang disampaikan di 2Korintus 2:14,

“Tetapi syukur bagi Allah, yang dalam Kristus selalu membawa kami di jalan kemenangan-Nya.”

Ini juga menjelaskan kepada kita apa artinya menjadi kudus. Penting untuk memahami apa artinya karena Tuhan memanggil kita untuk menjadi kudus (Ef 1:4; 1Ptr 1:15; 1Tes 4:3; dll.), dan banyak orang masih memandang kekudusan sebagai hal yang misterius. Dalam Perjanjian Baru, kekudusan berarti kemenangan atas dosa dalam hidup kita, bukan eradikasi dosa.

“Orang kudus” dalam Perjanjian Baru adalah orang yang sudah dibebaskan dari kesalahan dan kuasa dosa oleh kuasa penebusan Allah dalam Kristus. Kegagalan dalam memahami hal ini telah membawa beberapa pengajar Kekudusan dalam kesalahan, yang mengeklaim bahwa dosa sudah dieradikasi dari orang percaya. Saya ulangi pokok yang penting ini: dalam kehidupan Kristen, kekudusan bukanlah eradikasi dosa. Selama berada dalam tubuh ini, kita masih memiliki dosa dalam diri kita, tetapi kita dapat meraih kemenangan atasnya melalui kuasa Allah dalam Kristus.

Allah berjanji pada kita, di Roma 8 dan bagian lain dari Kitab suci, bahwa kita tidak perlu lagi dikendalikan oleh kuasa dosa. Jika demikian, kita dapat sentiasa hidup dalam kemenangan, sesudah mati kepada kehidupan yang lama, kita sekarang berjalan dalam kehidupan yang baru melalui Roh Kudus yang diam di dalam kita.

Kemenangan menyatakan secara tak langsung adanya peperangan. Jika tak ada peperangan, bagaimana mungkin ada kemenangan? Dalam memerangi dosa dan daginglah kita merasakan kenyataan dari kemenangan. Kemenangan membutuhkan kekuatan. Kekuatan ini tidak akan menjadi milik kita kecuali kita memenuhi ajaran Yesus dan mengucapkan selamat tinggal kepada segala milik kita. Hal ini tidak hanya mengacu kepada harta benda tetapi, jauh lebih dari itu, pada seluruh sikap dan watak kita yang lama.

Beberapa dari pengajaran di sini mungkin terdengar sulit untuk dipahami oleh orang belum percaya. Kepada mereka saya ingin mengatakan ini: Tolong mengerti bahwa Tuhan tidak pernah membuat janji palsu. Jika Anda menjadi orang Kristen, Anda akan mengalami kuasa dan sukacita kehidupan Kristen sebagaimana yang dijanjikan-Nya, tetapi hanya jika Anda memenuhi apa yang diperintahkan Yesus kepada Anda: Lepaskan kehidupan lama Anda dan ikutlah dia dengan segenap hatimu. Maka Anda akan memasuki kepenuhan hidup baru bersama Kristus.

 

Berikan Komentar Anda: