Pastor Boo | Kematian Kristus (8) |

Mari kita mulai dengan membaca Matius 26:27-28

27 Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: “Minumlah, kamu semua, dari cawan ini. 
28 Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa.

Yesus mengatakan bahwa darah ini adalah darah perjanjian. Jika anda baca isi Perjanjian Lama, hanya ada satu nas yang memakai istilah yang sama, nas itu terdapat di dalam Keluaran 24:5-8

5 Kemudian disuruhnyalah orang-orang muda dari bangsa Israel, maka mereka mempersembahkan korban bakaran dan menyembelih lembu-lembu jantan sebagai korban keselamatan kepada TUHAN. 
6 Sesudah itu Musa mengambil sebagian dari darah itu, lalu ditaruhnya ke dalam pasu, sebagian lagi dari darah itu disiramkannya pada mezbah itu.
7 Diambilnyalah kitab perjanjian itu, lalu dibacakannya dengan didengar oleh bangsa itu dan mereka berkata: “Segala firman TUHAN akan kami lakukan dan akan kami dengarkan.”
8 Kemudian Musa mengambil darah itu dan menyiramkannya pada bangsa itu serta berkata: “Inilah darah perjanjian yang diadakan TUHAN dengan kamu, berdasarkan segala firman ini.”

Dalam kaitannya dengan komuni, terdapat beberapa kemiripan. Akan tetapi, ada juga satu perbedaan penting, yakni bahwa meminum darah adalah hal yang terlarang di dalam Perjanjian Lama. Akan tetapi, Yesus sedang memakai bahasa simbolis. Yang dia sebut sebagai darah yang akan dia minum bersama murid-muridnya adalah anggur. Kita tidak sedang berbicara tentang darah manusia di sini. Di Keluaran 24, darah hewan korban tidak untuk diminum melainkan dipercikkan ke mezbah dan ke rakyat Israel. Ada pelajaran penting yang dapat kita ambil dari kemiripan ini.

Yang dilakukan oleh Musa pertama kali adalah memastikan bahwa rakyat akan taat kepada Tuhan. Di dalam pasal ini, dua kali rakyat memberi penegasan, mereka berkata, “Semua yang diperintahkan oleh Tuhan akan kami lakukan.” Mereka juga berkata, “Kami akan taat kepada Yahweh.” Kemudian, di ayat 8, Musa mengambil darah hewan korban dan memercikkannya ke arah rakyat. Namun, sebelum itu, di dalam ayat 6, Musa mengambil separuh dari darah itu untuk dipercikkan di mezbah. Separuh bagian dipakai untuk mezbah dan yang separuh lagi dipercikkan ke arah rakyat. Ketika dia memercikkan darah itu ke arah rakyat, Musa berkata, “Inilah darah perjanjian yang diadakan TUHAN dengan kamu, berdasarkan segala firman ini.” Bagian akhir dari kalimat itu mengacu pada komitmen mereka kepada Yahweh. Yahweh membuat perjanjian dengan mereka berdasarkan komitmen dua arah tersebut.

Hal yang unik dari peristiwa ini adalah bahwa Yahweh-lah yang mengadakan perjanjian melalui korban tersebut. Di dalam persembahan korban yang lain, yang bisa kita baca dalam kitab Imamat, rakyatlah yang berinisiatif mempersembahkan korban bakaran kepada Allah. Namun, di dalam kasus ini, kita melihat hubungan dua arah: hewan korban ini mewakili dua pihak yakni dari sisi Yahweh kepada rakyat dan dari rakyat kepada Yahweh. Hal yang penting adalah bahwa ketika Musa memercikkan darah ke mezbah, tindakan ini mewakili komitmen rakyat kepada Yahweh. Ketika darah itu dipercikkan ke arah rakyat, hal itu melambangkan komitmen Yahweh kepada rakyat. Di sini anda melihat komitmen dua arah. Dan tentu saja darah itu melambangkan hidup. Darah tidak sekedar melambangkan kematian. Imamat 17:11

Karena nyawa makhluk ada di dalam darahnya dan Aku telah memberikan darah itu kepadamu di atas mezbah untuk mengadakan pendamaian bagi nyawamu, karena darah mengadakan pendamaian dengan perantaraan nyawa.

Karena nyawa makhluk ada di dalam darahnya,” dalam hal ini, uraiannya dikaitkan dengan persembahan korban bakaran. Karena ini adalah masalah penebusan, maka tentu saja nyawa hewan korban itu menjadi tebusan bagi anda. Dalam literatur zaman Yesus, ada yang ingin mengatakan bahwa Keluaran 24 juga berbicara tentang korban penebusan, tetapi hal itu sama sekali tidak disebutkan dalam Keluaran 24. Sangatlah penting untuk melihat kedua sisi ini, Allah berkomitmen kepada kita, dan kita juga berkomitmen kepada Allah. Dia memberikan hidup-Nya kepada kita dan kita memberikan hidup kita kepada Dia. Bahwa Allah berkomitmen kepada kita bukanlah hal yang perlu diragukan; Musa tidak perlu meminta jaminan dari Allah. Akan tetapi, Musa perlu menanyakan komitmen rakyat sampai dua kali setelah dia membacakan Hukum Taurat, untuk mendapatkan komitmen atau ketaatan dari mereka. Berdasarkan penegasan dari rakyat, selanjutnya perjanjian itu diteguhkan melalui darah hewan korban.

Demikianlah, dalam artikel yang terakhir, kita membahas tentang persembahan kepada Allah, tentang komitmen dan kasih kita kepada Allah. Namun, hal yang ingin saya tekankan kepada anda sekarang ini adalah bahwa Yahweh benar-benar berkomitmen kepada kita, bahwa di dalam kasih-Nya kepada Israel di dalam Keluaran 24, Dia menyatakan kasih dan komitmen-Nya kepada Israel. Itu sebabnya di dalam berbagai tafsiran yang anda baca, perjanjian dalam pasal itu melambangkan persatuan antara Allah dengan Israel. Kita punya kesempatan besar untuk mengalami Allah seperti ini kalau kita mau belajar mengikuti langkah-langkah yang diuraikan dalam Keluaran pasal 24.

Nah, sekarang makna isi Matius 26:28 atau Markus 14:24 yang berbunyi, “Inilah darahku, darah perjanjian,” menjadi jelas. Saat para murid meminum anggur dalam cawan, itu berarti mereka ikut serta menjalani kehidupan Kristus. Saat kita membawa hidup Kristus ke dalam hidup kita, kita mengalami kasih Allah, kesetiaan dan komitmenNya. Pada saat yang sama, kita juga mengungkapkan kasih dan komitmen kita kepada Dia melalui Kristus. Jadi, perjamuam terakhir adalah saat dan tempat di mana kita dapat memiliki hubungan yang sangat akrab dengan Allah. Itu sebabnya mengapa peristiwa ini disebut komuni. Kita bisa masuk ke dalam persekutuan dengan Allah melalui Yesus! Ini hal yang sangat praktis, sangat nyata dalam kehidupan, yakni persatuan dengan Allah. Mari kita lihat Efesus 5:1-2

1 Sebab itu jadilah penurut-penurut Allah, seperti anak-anak yang kekasih
2 dan hiduplah di dalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah.

Paulus berkata, “Jadilah peniru-peniru Allah.” Kita harus menanyakan, “Seperti apa Allah itu supaya kita bisa meniru-Nya?” Nah, kasih Allah dinyatakan melalui Kristus. Hal ini diuraikan lebih jauh melalui uraian, “Dia sudah mengasihi kita dan memberikan dirinya bagi kita.” Kehidupan Yesus selalu merupakan ungkapan dari kasih Bapa. Dia menunjukkan kepada kita bagaimana Allah sangat ingin memberikan hidupNya kepada kita. Saya rasa ini adalah hal yang perlu direnungkan. Dengan cara apa Allah mengasihi kita? Mengapa Dia ingin memberikan hidup-Nya kepada kita, sampai pada titik di mana Yesus mengorbankan nyawanya bagi kita? Efesus 5:1, menyatakan tentang kehidupan Kristus yang mengungkapkan kasih Allah kepada kita. Allah mengulurkan persahabatan kapada kita melalui Kristus.

Nah, di dalam ayat yang sama, persoalan yang muncul adalah bagimana kita bisa menjadi peniru Allah? Ayat itu menyatakan, “Hiduplah di dalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah.” Begitu kita memahami hakekat dari kasih Allah, maka kita akan melakukan hal yang sama, kita juga akan mempersembahkan hidup kita untuk Allah. Kita tidak lagi bertindak untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk kepentingan bersama, mencurahkan hidup kita untuk memberi manfaat bagi orang lain. Demikianlah, dalam hal ini kita melihat lagi aspek timbal-balik dari komitmen. Itu sebabnya di 1 Yoh 4:19 disebutkan

Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.

Yahweh mewujudkan kasih-Nya kepada kita melalui Yesus. Kasih kita kepada Dia dan kepada sesama manusia dilandasi oleh kasih-Nya kepada kita. Kesetiaan dan komitmen kita kepada Allah dan jemaat-Nya, juga dilandasi oleh kesetiaan serta komitmen-Nya kepada kita.

Saya ingin bagikan pemikiaran ini kepada anda karena, selama bertahun-tahun ini, sambil kita belajar untuk melangkah bersama Allah dan melayani Dia, kita dapat mengalami kasih-Nya tanpa memandang kelemahan dan kegagalan kita. Kita dapat juga mengatakan bahwa kesetiaan-Nya kepada kita adalah kesetiaan mutlak! Tak pernah sekalipun Yahweh gagal bertindak untuk kita. Sebagai contoh, kita lihat di dalam Roma 8:35-39

35 Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang?
36 Seperti ada tertulis: “Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan.” 
37 Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita. 
38 Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang,
39 atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuan kita.

Di ayat 35, Paulus menulis, “Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus?” Dia menjelaskan makna kasih Kristus ini di dalam ayat 39: kasih Kristus adalah kasih Allah yang ada di dalam Kristus Yesus. Di sepanjang hidupnya, Yesus selalu berusaha menunjukkan kasih Allah kepada umat. Seperti itulah pengabdiannya. Dan karena kasih Bapa-lah maka dia bersdia mengorbankan nyawanya bagi kesejahteraan rohani kita. Sangat besar kasih ini!

Itulah sebabnya mengapa tak ada satupun hal di dunia ini, segala ciptaan—bahkan para malaikat, yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah. Bahkan maut juga tak mampu melakukannya! Namun, kita juga menyadari bahwa hal mengalami kasih Allah ini tidak menghindarkan kita dari segala penderitaan yang tertulis di sini. Jika kita diloloskan dari semua itu, maka Paulus tidak akan tewas dan masih menjalani hidup bersama kita sekarang ini. Mungkin hal ini kustru lebih baik sehingga kita dapat menanyakan apa tujuanNya dengan semua ini? Ada begitu banyak sudut pandang mengenai Paulus dan apa yang dia sampaikan. Sungguh bagus jika Paulus masih hidup dan menjelaskan apa maksud tulisannya. Tentu saja, dia telah mati. Dia juga sudah mengalami penderitaan. Dia sudah melalui berbagai kesukaran dan penderitaan, tetapi dia tak pernah keluar dari kasih Allah. Ini adalah pemikiran yang menyejukkan, bukankah demikian? Terutama di zaman sekarang, di mana kita harus menyaksikan kuasa dari virus corona.

Ada seseorang yang mengirimi saya tentang jenazah yang terpaksa disimpan di ruang bawah tanah rumah sakit. Sungguh menyedihkan melihat penuhnya ruang bawah tanah tersebut oleh jenazah. Tidak cukup tempat untuk menampungnya. Di setiap jengkal ruang bawah tanah itu, anda akan temukan jenazah di sana. Seperti itulah kuasa dari virus ini. Virus ini bahkan bisa melumpuhkan negara terkuat di dunia.

Walau dalam keadaan seperti ini, kita tetap mendapatkan penghiburan dari Roma pasal 8. Di dalam ayat 37, Paulus berkata, “Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita.” Dengan kata lain, kita tak akan pernah dikalahkan karena, di dalam Yahweh, akan ada hidup mendatang. Itu sebabnya mengapa Paulus dapat mengatakan bahwa sekalipun dia dianggap sebagai domba sembelihan, dia tidak akan mengeluh atau menggerutu kepada Allah seolah dia tidak memiliki harapan. Dia tahu bahwa kasih dan hadirat Yahweh menyertai dia.

Mari kita lihat ayat yang lain, Ibrani 13:5-6

5 Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman: “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.” 
6 Sebab itu dengan yakin kita dapat berkata: “Tuhan adalah Penolongku. Aku tidak akan takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?

Anda tidak perlu menginginkan apa-apa, karena di dalam ayat 5, yang terjemahan harafiah dari bahasa Yunaninya adalah sebagai berikut, “Aku tak akan pernah meninggalkan engkau, juga tak akan mengabaikanmu.” Itulah komitmen Allah kepada kita. Bukankah indah mengetahui keteguhan dari kesetiaan Allah kepada kita? Dia bukan saja setia, Dia tak pernah gagal; Dia tak pernah melakukan tindakan yang salah. Itulah keindahan dari ayat ini: Dia selalu tulus kepada kita. Persoalannya adalah: Apakah kita setia kepada Dia? Kita tahu bahwa watak manusia memang seperti itu, sehingga anda dapat mengatakan bahwa mustahil bagi kita untuk bisa setia kepada Allah, kecuali jika mata anda sudah terbuka dan mampu memahami watak Yahweh. Untuk bisa memahami Yahweh secara apa adanya, maka kita perlu melihat kepada Yesus.

Demikianlah, saat mengikuti komuni, apakah kita memiliki keyakinan bahwa Allah tak pernah gagal? Dia akan selalu menjadi Penolong kita. Ada pepatah yang mengatakan, “Allah akan menolong mereka yang berjuang menolong dirinya sendiri.” Saya tidak tahu dari mana pepatah ini berasal. Hal ini tidak tertulis dalam Alkitab! Di dalam Alkitab, Allah justru menolong mereka yang tidak mampu menolong diri mereka sendiri. Merekalah orang-orang yang berseru kepada Allah memohon pertolongan dan bergantung kepada-Nya, dan mereka adalah orang-orang yang selalu mengalami kuasa Allah. Bangsa Israel berseru kepada Allah ketika mereka diperbudak di Mesir, dan Allah menderngar seruan mereka. Dia mengutus Musa, tetapi Dia juga hadir menyertai Musa, untuk menolong umat yang Dia kasihi. Dalam konteks perjanjian, itu berarti bahwa kita harus berkomitmen kepada Dia. Namun, sekarang ini, saya ingin menekankan pada pokok tentang komitmen-Nya kepada kita.

Mari kita baca Markus 10:18,

Jawab Yesus: “Mengapa kaukatakan Aku baik? Tak seorangpun yang baik selain dari pada Allah saja.”

Yesus berkata, “Hanya Allah saja yang baik!” Yang lain tak ada yang baik, dan itu berarti mencakup Yesus! Dia berkata bahwa bahkan dia sendiri tidak baik. Hanya Bapa saja yang baik. Yesus hanya dapat dikatakan baik dalam pengertian bahwa kebaikan Bapa memenuhi hidupnya.

Persoalan yang muncul adalah: Jika kita katakan bahwa Allah itu baik, lalu apakah kita mengerti apa arti baik itu? Bagi sebagian besar dari kita, setiap kali kita memikirkan tentang kebaikan, maka yang kita bayangkan adalah keadaan jasmani kita, seperti kemakmuran, kesehatan (termasuk kesehatan mental), kesempatan untuk berkembang penuh dari segi kemampuan dan bakat, dan sebagainya. Akan tetapi, orang muda yang mengajukan pertanyaan kepada Yesus di dalam Markus pasal 10 ini adalah orang yang sudah kaya raya. Dia memiliki kedudukan tinggi di tengah masyarakat, dan dia juga orang yang sangat bermoral. Rata-rata orang akan memandang dia sebagai orang baik.

Namun, perhatikan sekali lagi ucapan yang disampaikan di perikop ini. Yesus berkata kepadanya, “Tak seorangpun yang baik kecuali Allah saja; Hanya Allah yang baik.” Apakah kita mengerti apa yang baik untuk kita menurut pandangan Allah? Hal ini sangat bergantung pada pertumbuhan rohani kita. Jika kehidupan rohani anda memiliki keakraban dengan Allah, maka anda akan tahu apa itu kebaikan yang sejati. Jadi hal yang sedang disampaikan oleh Yesus kepada orang muda yang kaya itu adalah, “Kamu sudah menikmati kesejahteraan jasmani dalam hidupmu, hal-hal yang dianggap baik oleh manusia, tetapi hal-hal tersebut tidak membuatmu menjadi orang baik. Kamu tidak tahu apa itu kebaikan. Kalau kamu ingin mengetahui apa arti kebaikan, juallah segala milikmu, berikan kepada orang miskin, lalu datang dan ikutlah aku. Begitu kamu mengikut aku, kamu akan mengalami kebaikan Allah, kebaikan Bapa.”

Kita harus memahami apa makna hidup yang sejati. Sakramen Ekaristi membantu kita untuk memahami bahwa makna hidup yang sejati adalah persatuan dengan Allah. Di dalam keakraban hubungan itu, saya mengalami kebaikan Allah.

Nah, apakah kita hanya perlu menunggu terwujudnya persatuan tersebut, adakah cara praktis di mana saya bisa mengalami kebaikan Allah? Tanpa merendahkan arti penting sakramen ekaristi, kita tentu ingat akan hal yang tertulis di dalam Kisah Para Rasul, yakni bahwa jemaat selalu berkumpul dan mengalami komuni setiap hari. Mereka mengalami hadirat Yahweh setiap hari, dan di dalam keakraban hubunga itu, mereka menjalani hari-hari mereka. Namun, jangan lupa bahwa mereka selalu menghadiri pengajaran yang disampaikan oleh para rasul. Jadi kita kembali ke Keluaran pasal 24, di mana setelah Musa membacakan Hukum Taurat, rakyat menjawab, “Kami akan melakukannya, kami akan mentaatinya.” Berdasarkan jawaban tersebut, persatuan antara Allah dan umat terwujud. Mari kita lihat Ibrani 9:19

Sebab sesudah Musa memberitahukan semua perintah hukum Taurat kepada seluruh umat, ia mengambil darah anak lembu dan darah domba jantan serta air, dan bulu merah dan hisop, lalu memerciki kitab itu sendiri dan seluruh umat,

Musa tidak sekedar memercikkan darah hewan korban ke mezbah dan ke rakyat, dia juga memercikkan darah itu ke kitab Hukum Taurat. Dengan kata lain, hidup dari Allah juga ada di dalam Kitab itu. Mari kita baca Yohanes 6:63,

Rohlah yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna. Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup.

Jika anda baca ayat ini, berapa banyak dari para murid itu yang menghargai ucapan tersebut? Kebanyakan dari mereka mengabaikannya, itu sebabnya mereka meninggalkan dia. Untuk masuk dalam keakraban dengan Allah, kita harus bergumul dengan firman-Nya. Kita melihat di dalam Roma 12:1 tentang hal menjalani kehidupan sebagai persembahan kepada Allah. Saat itu saya belum melibatkan ayat 2. Sekarang mari kita lihat isi Roma 12:2

Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.

Allah ingin mengubah akal-budi kita. Cara berpikir kita harus diubah. Alkitab menantang dan menolong kita untuk melihat segala sesuatu dari sudut pandang Allah. Di dalam setiap ikatan perjanjian, misalnya dalam pernikahan, adakah pasangan yang langsung bisa menyatu sepenuhnya tanpa mengalami konflik? Apakah setiap hari merupakan hari yang indah bagi mereka? Bagi yang sudah menikah, tentunya mereka akan paham bahwa mereka harus berjuang supaya persatuan itu terwujud dan terjaga. Dibuthkan komitmen supaya persatuan itu terwujud. Kita harus memiliki pengertian terhadap watak dan kekurangan pasangan kita, dan harus mampu saling menghargai. Itu semua adalah bagian dari sebuah hubungan. Saya rasa, di dalam hubungan kita dengan Allah, kita harus mengerjakannya dengan takut dan gentar. Bangsa Israel sudah menyanggupi, “Kami akan taat,” tetapi kemudian—sebagaimana yang ada tertulis—mereka gagal mentaatinya. Mereka melakukan dosa besar dalam kasus anak lembu emas. Ini memang bukan perkara yang mudah; banyak perilaku buruk yang harus diubah.

Kita harus berjuang membangun hubungan akrab dengan Yahweh. Dapatkah kita menghargai kebaikan-Nya? Apakah kita punya keinginan untuk memahami cara berpikir dan bertindak dari Allah? Jika kita baca kisah Abraham, dan semua tokoh dalam Perjanjian Lama, hal yang kita lihat adalah berbagai pergumulan yang mereka hadapi. Bukannya Allah ingin bertindak keras terhadap mereka. Allah ingin menyatakan diri-Nya kepada mereka, akan tetapi mereka menghadapi kesukaran untuk memahaminya. Cara berpikir Allah berbeda dengan cara berpikir kita; jalan-Nya bukanlah jalan kita. Hati dan pikiran kita harus diubah jika kita ingin membangun hubungan yang akrab dengan Dia. Selanjutnya, seperti Abraham dan juga Musa, kita akan memahami apa arti persahabatan dengan Yahweh. Persahabatan yang satu ini jauh lebih berharga daripada persahabatan antara manusia. Ini adalah hal yang perlu kita alami. Kalau kita tidak mengalaminya, tentu saja semua itu menjadi tidak berharga bagi kita.

Demikianlah, dalam hal merenungkan makna salib, kita melihat bahwa darah Yesus adalah ungkapan nyata dari kasih Yahweh yang memberikan diri-Nya bagi kita, bahwa kasih-Nya jauh lebih dalam dan besar daripada kasih manusia.

Saya harap kita semua belajar untuk mengalami kasih Allah. Salah satu jalan untuk mengalaminya adalah dengan menerapkan Firman-Nya ke dalam hidup kita. Saya sudah pernah sampaikan kesaksian tentang masalah air di Filipina, di mana Allah secara ajaib menyediakan air bagi kami sementara para tetangga di lingkungan itu tidak punya air. Bagaimana mungkin hanya rumah tempat kami tinggal yang air salurannya masih mengalir? Bagaimana saya bisa mengalami hal ini? Tak ada hal istimewa dalam diri saya yang membuat saya layak mendapat pertolongan Allah. Ada satu firman Allah yang muncul di benak saya, ayat yang berkaitan dengan kisah Samson — salah satu hakim di zaman Perjanjian Lama. Saat itu dia sedang berada di padang gurun, dan dia berkata kepada Allah, “Apakah Engkau akan membiarkanku mati kehausan?” Lalu Allah memberinya air yang langsung memancar di dekatnya, dan Samson minum dari air tersebut. Berdasarkan ayat-ayat tersebut, saya memohon kepada Yahweh, “Tuhan, Engkau menyediakan air untuk Samson. Apakah Engkau berkenan untuk memberiku air juga?” Dan sesudah itu, keran kami mengalirkan air lagi! Kami mengalami kebaikan Allah di sini. Sangatlah penting untuk merenungkan dan memasukkan Firman Allah ke dalam hati dan pikiran anda supaya Allah dapat mengingatkan anda akan isi ayat-ayat tersebut. “Mintalah pada-Ku,” ini hal yang Dia maksudkan, dan anda akan dapati bahwa Allah menjawab doa anda dengan luar biasa. Anda akan dapati betapa besar Allah itu. Seperti yang diucapkan oleh Daud, kasih kebaikan-Nya kekal selamanya. Daud tidak mengatakan bahwa penghakiman-Nya kekal selamanya! Dan itu berarti bahwa kemurahan dan kasih-Nya bagi kita tak pernah goyah.

Demikianlah, untuk hari Jumat Agung ini, saat orang merenungkan tentang salib dan Yesus yang tergantung di sana, banyak yang akan berkata, “Sungguh besar kasih Yesus.” Memang benar, kasih Yesus terlihat di sana, tetapi mari kita ingat – berdasarkan isi Roma 8:39, bahwa itu adalah kasih Yahweh yang terwujud melalui Yesus. Tak ada indikasi bahwa Yahweh selalu marah kepada setiap orang. Bapa berpartisipasi bersama Yesus di kayu salib untuk memastikan penebusan kita, untuk membebaskan kita dari kuasa dosa, dan membawa kita ke dalam keakraban dengan Dia. Dengan demikian, kita bisa mengalami Yahweh dalam hal-hal yang praktis dan sederhana. Yahweh adalah Penolong kita; Dia tak akan pernah menelantarkan kita. Lalu, apa masalahnya? Berdasarkan fakta bahwa Dia ingin memberikan diri-Nya bagi kita, tentunya hal mengalami Allah berada di dalam jangkauan kita. Kita hanya perlu mengarahkan hati dan pikiran kita kepada Dia serta menanggapi Dia dengan segenap hati, dan anda akan memahami makna sejati dari ikatan perjanjian dengan Yahweh.

 

Berikan Komentar Anda: