Pastor Eric Chang | Ibrani 5:7 |

Kita akan melanjutkan dalam Firman Allah di Ibrani 5:7:

Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia (Allah), yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena kesalehan-Nya Ia telah didengarkan.

Sebagai orang Kristen yang masih baru, ayat ini sangat membingungkan saya. Ini adalah pembahasan tentang kematian Kristus, yang –  di dalam benak saya –  tampaknya tidak menjawab banyak pertanyaan yang timbul. Saya memang memiliki banyak pertanyaan karena merasa tidak puas dengan sekian banyak penjelasan yang sering disajikan, yang bagi saya adalah jawaban yang terlalu dangkal.

Persoalan yang saya adalah ini: Kristus telah mati bagi dosa-dosa kita, dan kita tahu bahwa pada hari Jumat Agung, dia disalibkan di luar kota Yerusalem, dan setelah enam jam yang mengerikan, tergantung di kayu salib, dari sekitar jam sembilan pagi sampai jam tiga sore, lalu dia mati di kayu salib. Dia menyerahkan nyawanya, Rohnya, dan di sana dia menyelesaikan karya penebusan bagi kita.

Akan tetapi, saya mendapati bahwa peristiwa kematian Kristus tidak begitu menyentuh hati saya secara mendalam, dalam arti, walaupun saya memang sangat menghargai apa yang telah Kristus lakukan bagi saya sebagai Anak Allah, dan walaupun jika dipertimbangkan bahwa penderitaan selama enam jam adalah suatu penderitaan yang cukup berat, akan tetapi di sana juga ada dua penjahat yang bahkan menderita lebih lama lagi di kayu salib. Benar bahwa mereka menderita karena dosa-dosa mereka sendiri, sedangkan Kristus bagi dosa-dosa kita.

Akan tetapi jika dilihat beban penderitaannya, orang akan sulit mengatakan bahwa secara jasmani Kristus menderita lebih banyak dibandingkan dengan orang lain di dunia ini. Dan berdasarkan beban penderitaan itu, kedua penjahat yang ikut disalibkan di sebelah kiri dan kanannya menanggung beban yang tidak lebih ringan.

Saya memang sangat-sangat menghargai beban penderitaan jasmani ini yang dia tanggung demi saya, namun masalahnya adalah: ada begitu banyak penderitaan di dunia ini, dan tidak bisa disimpulkan bahwa Yesus menanggung beban penderitaan yang lebih berat ketimbang yang pernah ditanggung oleh banyak orang di tengah dunia yang mengerikan ini.

Bagi Anda yang pernah menjadi perawat dan melayani di rumah sakit, tak diragukan lagi, tentu pernah melihat kesengsaraan banyak orang yang berlangsung lama, dan setelah berminggu-minggu barulah meninggal. Orang yang digerogoti kanker atau pun jenis penyakit yang lainnya.

Jadi, saya yakin bahwa Yesus memang telah menderita, setidaknya enam jam terakhir tersebut adalah puncak penderitaannya. Dan sebelum itu, dia juga menjalani pengadilan, diludahi, dipasangi mahkota duri, hal-hal yang memang sangat menyakitkan.

Secara sederhana, masalahnya adalah: saya memang sangat terharu, tetapi saya tidak begitu tersentuh, dalam arti, sekalipun penderitaan Kristus memang nyata, sekalipun memang sangat menyakitkan, dan mungkin juga ditambah dengan penderitaan mental yang dia tanggung, akan tetapi penderitaan jasmani adalah sesuatu yang banyak terjadi di tengah umat manusia.

Dan dengan demikian, satu-satunya jalan bagi saya untuk bisa memahami tentang arti penderitaan ini adalah bahwa yang penting bukan seberapa berat beban penderitaannya, melainkan Siapa yang menanggung beban itu.

Lagi pula, penyaliban bukanlah hukuman yang dikenakan terhadap Kristus saja. Pada zaman sebelum Kristus, di peristiwa pemberontakan Spartacus dan para budak, ribuan budak disalibkan, dan kadang kala mereka harus tergantung di kayu salib sampai dua hari atau lebih lagi.

Itu sebabnya, sekalipun penderitaan jasmani yang ditanggung oleh Kristus memang nyata dan cukup berat, akan tetapi itu bukan penderitaan yang hanya bisa ditanggung olehnya, dan itu bukan hukuman yang khusus diterapkan kepadanya saja. Jadi, kita harus mencari segi penderitaan yang lain.

Bagaimana dengan penderitaan dari sisi rohani? Hal ini memang tidak diragukan lagi, dia tentunya bisa menanggung beban penderitaan rohani yang tidak akan sanggup ditanggung oleh sebagian besar dari kita. Hal ini pernah dibahas dalam pembahasan tentang Taman Getsemani.


Ratap tangis dan keluhan? Apakah Yesus takut mati?

Perhatikanlah kata-kata di dalam ayat ini: Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut.

Apakah itu berarti bahwa Yesus takut mati? Jika tidak, lalu mengapa ada ratap tangis dan keluhan untuk diselamatkan dari maut?

Sebagai orang Kristen yang masih baru, ketika itu, saya sangat bingung. Sebelum menjadi Kristen, saya memiliki ambisi di bidang ilmu kemiliteran. Kekuasaan militer adalah sumber kekuasaan yang nyata. Jika Anda memegang senjata, maka Anda memiliki kekuasaan. Jika Anda tidak memegang senjata, maka Anda tidak boleh berbicara. Setidaknya, kalaupun Anda bisa berbicara, tak ada orang yang mau mendengarkan. Dan setiap orang, yang punya ambisi di bidang militer, tidak akan setakut itu pada maut.

Kematian tidak membuat saya takut. Saya tidak bisa membayangkan diri saya, atau setiap tentara, yang mendapat perintah untuk menyerbu kubu musuh dan ia meratap dan menangis. Jika perintah sudah diberikan, Anda mengokang senjata, memasang bayonet dan maju. Tak ada waktu untuk meratap dan menangis. Dan jika perintahnya adalah maju menerjang, maka Anda maju menerjang ke depan. Anda mungkin tidak akan pernah sampai ke kubu senapan mesin musuh, atau bisa jadi Anda ternyata berhasil sampai. Tapi mungkin tangan atau kaki Anda sudah putus diterjang peluru musuh, atau mungkin tubuh Anda yang berkeping-keping, tetapi apakah Anda akan takut mati sehingga menangis dan meratap sebelum menyerbu?

Ia… dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut Kalimat ini membingungkan saya. Apakah Yesus takut mati? Di Taman Getsemani, apakah dia menggigil ketakutan terhadap kematian?

Kita pernah melihat para pahlawan yang menyongsong maut dengan senyuman. Bahkan ahli filsafat dari Yunani, Socrates, ketika diperintahkan untuk meminum racun, tidak ketakutan. Saat yang lain menangis, dia berkata, “Jangan meratapi aku. Aku tidak takut mati.” Lalu dia meminum racun dari cangkir tersebut. Dan dia jatuh mati dengan tenang; dia jatuh tertidur. 

Ratap tangis dan keluhan? Bagaimana Anda akan menjelaskan hal ini kepada saya, atau mungkin kepada orang lain? Ditambah lagi, jika kematian hanya akan berlangsung selama tiga hari, apakah dia akan ketakutan pada maut? Tidak akan!

Betapa banyak martir Kristen, yang demi Tuhannya, dengan sukacita menghadapi singa serta macan tutul dan mati dicabik-cabik oleh hewan-hewan buas ini. Kata dari Ignatius dari Antiokia, “Jika singa-singa itu menyerangku, aku akan memastikan bahwa mereka tidak perlu ragu-ragu untuk memakanku.” Dia tersenyum menghadapi kematian. Dia tidak takut menghadapi maut. Seorang Kristen tidak takut menghadapi maut. Mengapa? Karena kebangkitan terhampar di hadapannya, karena dia memiliki hidup yang kekal. Dan Yesus juga memiliki hidup kekal. Dan dia ketakutan? Mungkinkah Kristus tidak dapat mengimbangi atau tidak sejajar dengan hamba-hambanya sendiri?

Para perwira Jepang yang mengalami kekalahan, akan menjalani kematian yang paling menyakitkan. Dengan pisau mereka, mereka merobek perut mereka sendiri –  harakiri. Mereka tidak gentar menjalani rasa sakit dan kematian atas diri mereka sendiri, sekalipun hal itu terlihat menjijikkan bagi kita. Akan tetapi hal itu merupakan pertanda bahwa mereka tidak takut pada kematian semacam ini.

Bagaimana cara kita untuk memahami hal ini? Ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut. Bagaimana kita akan memahami hal ini? Saya memikirkannya dan tidak banyak jawaban yang memuaskan yang bisa saya dapatkan. Saya mencari-cari dalam kesia-siaan, dan dalam tahun-tahun selama masa kuliah di Sekolah Alkitab, mau pun di fakultas teologi, tak ada orang yang bisa memberikan saya jawaban yang memuaskan. Namun saya terus mencari.


Yesus menanggung lebih dari sekadar kematian jasmani bagi kita

Baru-baru ini saya mendengarkan beberapa lagu di mobil yang menggambarkan tentang hari-hari terakhir Yesus. Saat itu sudah gelap, Helen sedang menyetir, dan saya duduk di tengah kegelapan, menyimak lagu-lagu tentang hari-hari terakhir Yesus, dan saat saya merenungkannya, air mata menetes di wajah saya. Saya tidak bisa menahan air mata karena tiba-tiba saja, terbit di benak saya, hal yang selama ini tidak pernah terlintas di pikiran saya. Untuk pertama kalinya, kematian Kristus dan apa yang telah dia lakukan menyentuh hati saya sedemikian rupa. Perlu saya sampaikan bahwa, selama puluhan tahun menjadi orang Kristen, peristiwa ini tidak begitu menyentuh hati saya. Lalu hal apa yang menyentuh hati saya?

Izinkan saya memulai analisis ini dari sisi lain sebelum saya masuk ke dalam jawabannya. Selama ini, yang saya teliti dan pikirkan adalah aspek jasmaniah dari kematian Kristus. Sama seperti buku-buku tafsiran lainnya, mereka memusatkan perhatian kepada hal-hal seperti paku yang menusuk di tangan, tombak yang menancap di badan. Baiklah, paku yang menancap di tangan memang sangat menyakitkan, tapi saya kira masih bisa ditanggung oleh banyak orang. Lagi pula, seperti yang sudah saya sampaikan, ada banyak orang yang telah disalibkan sebelum Kristus. Tombak yang menusuk di badan? Dia sudah mati pada saat tombak itu ditusukkan. Mahkota duri yang dipaksakan di atas kepala memang sangat menyakitkan, akan tetapi, rasa sakit akibat benda tajam bukanlah hal yang aneh bagi banyak orang. Selama ini kita berkonsentrasi kepada sisi jasmaniah dari peristiwa ini.

Saya akan memulai pembahasan lewat lima sudut yang berbeda. Pengajaran yang mendalam dari Roh Allah menyingkapkan bahwa Yesus menanggung suatu beban yang jauh melebihi kematian jasmani bagi kita.


Kristus harus mati secara spiritual untuk menebus kematian spiritual kita

Poin yang pertama adalah: Kristus telah mati bagi dosa-dosa kita karena upah dosa adalah maut. Kita sudah akrab dengan ayat, misalnya, Roma 6:21 dan 23 ini. Upah dosa ialah maut. Tetapi, saya ingin bertanya: jika upah dosa ialah maut, lalu bagaimana cara kita untuk memahami hal ini sebagai suatu kematian?

Saat Kristus mati bagi kita, kata Paulus, misalnya, di dalam 2 Kor 5:14,

Karena kami telah mengerti, bahwa jika satu orang sudah mati untuk semua orang, maka mereka semua sudah mati.

Pikirkan baik-baik hal ini: jika satu orang sudah mati untuk semua orang, maka mereka semua sudah mati. Ini jadi persoalan, apakah kita mati dua kali? Jika kita semua sudah mati, bagaimana mungkin saya harus mati sekali lagi? Kristus telah mati sehingga kita tidak perlu mati lagi. Jika satu orang sudah mati untuk semua orang, maka mereka semua sudah mati. Apakah Anda mati dua kali? Jika Kristus telah mati bagi saya, maka saya tidak perlu mati lagi.

Bagaimana saya harus mati lagi? Karena bukankah, suatu hari nanti, setiap orang akan mati. Penulis Surat Ibrani berkata di dalam Ibrani 9:27, Dan sama seperti manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja. Satu kali saja. Apakah saya nanti mati dua kali? Kristus telah mati bagi saya, satu kali saja, supaya kita semua bisa hidup di dalam dia, lalu setelah itu saya mati lagi? Jika saya harus mati lagi, lalu untuk apa dia mati?

Ini suatu persoalan, bukankah begitu? Karena dia telah mati di kayu salib bagi saya, maka saya tidak perlu mati. Lalu, mengapa dikatakan, manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja, dan sesudah itu dihakimi? Dan Surat Ibrani ini ditujukan kepada orang-orang Kristen.

Pertanyaan yang muncul adalah: apakah upah dosa itu kematian jasmani? Jika upah dosa itu kematian jasmani, maka dengan kematian jasmani saya bisa membayar upah dosa saya. Saya sudah mati! Upah dosa ialah maut, dan saya sudah mati. Jadi saya sudah membayar upah itu, lalu apa lagi yang bisa saya lakukan?

Setelah membayar hutang dosa rohani dengan kematian jasmani saya, seharusnya saya selanjutnya bebas –  kematian telah melunasi hutang tersebut. Tidakkah pemahamannya akan seperti itu? Mengapa tidak? Pertanyaan yang belum terjawab adalah ini: apakah upah dosa itu itu kematian jasmani atau kematian rohani? Atau keduanya? Ini adalah pertanyaan yang penting. Upah dosa ialah maut, apakah itu berarti kematian jasmani?

Sekarang Anda bisa lihat, yang telah kita lakukan dalam rangka menjawab persoalan ini ternyata sangat ambivalen, sehingga membuat diri kita sendiri menjadi bingung. ‘Ambivalen’ berarti berusaha memasukkan dua macam pengertian ke dalam satu jawaban dalam pertanyaan. Allah berkata kepada Adam, “Pada hari engkau memakannya (yaitu buah dari pohon tentang yang baik dan yang jahat), pastilah engkau mati.” “Pastilah engkau mati” –  apakah kita akan mengartikan ini sebagai kematian jasmani? Apakah kita akan mengartikannya sebagai kematian rohani? Yang mana? Atau apakah kita akan mengartikannya sebagai kedua macam kematian itu? Jadi, ada dua macam kematian yang terlibat dalam dua kesempatan.

Kapankah Adam pasti mati? “Pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.” Pada hari Adam memakannya, dia tidak mati, bukankah begitu? Dia masih hidup sekitar 900 tahunan lagi, jauh melampaui usia yang bisa kita capai. Dia tidak mati, dia masih hidup 900 tahunan lagi. Apakah Firman Allah telah gagal? Atau, haruskah kita mengartikan, “Pada hari engkau memakannya, engkau akan memulai proses kematianmu sampai 900 tahun nanti.”? Saya cukup bahagia untuk mati jika kematian itu datangnya 900 tahun lagi. “Pada hari engkau memakannya, engkau akan mulai mati”? Bukan begitu firman Allah. Dia berkata, “Pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.”

Lantas, bagaimana kita akan mengatasi masalah pemahaman ini? Bisa kita lihat dengan jelas dari konteks ini bahwa yang dimaksudkan adalah kematian rohani, bukankah demikian? Karena jelas-jelas Adam tidak mati secara jasmani. Jadi, entah firman Allah itu salah, atau, Adam memang mati pada hari itu, yaitu, mati secara rohani. Benarkah ini? Apakah penalaran kita sudah benar 

Jika demikian halnya, dalam pengertian yang manakah kita ini mati? Jika kita amati Efesus 2, kita dapati bahwa pengamatan kita didukung di sini, karena tiga kali di dalam Efesus 2 Paulus berkata tentang kematian, tetapi dia tidak berbicara tentang kematian jasmani.

Dia berkata, Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu, di dalam Efe 2:1,5,13, sampai tiga kali Paulus berkata kamu dahulu mati. Akan tetapi kita tidak mati; secara jasmani kita sangat sehat. Malahan, kita giat berolah raga. Saya sendiri pernah berlatih tinju. Malahan, dahulu saya latihan berbagai macam olah raga. Lalu Paulus berkata kepada saya, “Kamu dahulu mati.” Dahulu saya sangatlah sehat secara jasmani. Sekarang ini, saya terlihat seperti orang yang sudah mendekati ajal, akan tetapi dahulu saya sangat sehat.  

Tetapi Paulus ketika saya masih di dalam pelanggaran dan dosa-dosa saya, saat itu saya mati. Mati? Saya hidup ketika itu! Saya sangat sehat dan mampu bersaing di segala bidang olah raga, bisbol, bola basket, renang. Apa maksud Anda dengan mati? Tentu saja, yang Paulus bicarakan adalah kematian rohani. Ah! Jadi, yang dimaksudkan tentang upah dosa ialah maut itu tidak mengutamakan kematian jasmani, melainkan kematian rohanilah yang utama. Jadi kita harus jelas, kematian apa yang sedang dibicarakan di sini.

Lalu, jika saya mati secara rohani, apakah itu berarti bahwa kematian jasmani Kristus akan menebus kematian rohani saya? Nah, di sanalah ambivalen kita akan menimbulkan kebingungan. Kita terus saja membayangkan bahwa kematian jasmani Yesus telah menebus kematian rohani kita. Bukankah begitu pemahaman kita selama ini? Sekarang, bagaimana sebuah kematian jasmani bisa menebus kematian rohani? Ini adalah tahapan pertama dalam rangka menguraikan kebingungan tersebut.


Yang ditakuti oleh Yesus adalah kematian rohani

Saya mulai menyadari sesuatu yang sangat mendalam, yang pada awalnya sangat mengejutkan saya ketika saya merenungkannya. Saat Yesus berbicara tentang hal diselamatkan dari maut, dia tidak sedang berbicara tentang kematian jasmani sama sekali. Dia tidak takut pada kematian jasmani.

Apakah yang dia ajarkan kepada para muridnya di Matius 10:28? Dia berkata kepada murid-muridnya,

“Dan janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka.”

Tubuh dan jiwa? Membunuh tubuh adalah persoalan kecil, jangan takut akan hal itu, tetapi takutlah kepada dia yang bisa membunuh jiwa di dalam neraka.

Ah! Itu dia, Yesus tidak takut kematian jasmani. Dia memberitahu murid-muridnya untuk tidak takut kepada kematian jasmani. Apakah selanjutnya dia sendiri menunjukkan contoh ketakutan terhadap kematian jasmani? Allah melarang hal itu!

Perhatikan, dia didengar karena dia memiliki kesalehan. Kesalehan adalah takut akan Allah. Inilah kata-kata yang tertulis di sini (dalam bahasa Inggris, pent.), godly fear (kesalehan) –  yaitu takut pada Dia yang bisa membunuh jiwa dan tubuh di dalam neraka. Manusia tidak dapat membunuh jiwa Anda. Dia bisa menembus Anda dengan pelurunya, akan tetapi hal itu tidak membunuh jiwa Anda. Peluru tidak membunuh jiwa; peluru hanya membunuh tubuh. Mereka bisa memotong tenggorokan Anda, hal itu tidak akan membunuh jiwa Anda, hanya membunuh tubuh Anda. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa terhadap jiwa Anda, mereka tidak bisa berbuat apa-apa terhadap roh Anda. Tetapi Yesus berkata bahwa ada Satu yang bisa membunuh jiwa Anda. Itulah Allah.

Jadi jelaslah, Yesus tidak takut pada kematian jasmani. Di Taman Getsemani, dia banjir keringat, dia meratap, “Biarlah cawan ini berlalu dari-Ku,” Apakah ucapan itu muncul karena dia tidak berani untuk pergi ke kayu salib, sementara para pemberontak yang lain berani berkorban untuk melawan Kekaisaran Roma, mereka tahu bahwa jika mereka kalah, maka mereka akan mati? Dan mereka mati sebagai laki-laki! Mereka tidak meratap; mereka menyongsong kematian mereka, melawan sampai titik akhir. Mereka tidak ketakutan; mereka bukan pengecut.

Apakah Anda berpikir bahwa Tuhan kita ini pengecut? Allah tidak memperkenankan hal itu! Dia yang mengajarkan murid-muridnya untuk tidak takut, tentunya dia tidak akan takut. Dan ketika Petrus mencoba mengalihkan dia dari salib, Dia berkata, “Pergilah daripada-Ku, engkau setan!” Dia telah mengarahkan pandangannya ke Yerusalem, dia telah menetapkan untuk pergi ke sana menyongsong kematian. Dia tidak akan mundur dari kematian jasmani.

Namun ada satu hal yang dia takuti: kematian rohani Sekarang Anda mengerti bahwa saya selama ini sama sekali tidak memikirkan akan kemungkinan itu dalam mempelajari tentang penyaliban. Jadi, mari kita singkirkan anggapan kita yang lama ini. Yang membuat saya terharu saat itu, saat saya duduk di mobil, dan menyimak lagu-lagu tersebut, adalah bahwa untuk pertama kalinya, saya menyadari bahwa Yesus sedang mempertaruhkan hidup kekalnya, kemuliaan kekalnya demi keselamatan saya dan keselamatan Anda. Yang dia korbankan bukanlah kematian jasmani, sebesar apapun parahnya kematian itu. Dia mempertaruhkan kesejahteraan kekalnya bagi Anda dan saya.

Ketika saya memeriksa bukti-bukti Alkitab yang lainnya, sungguh mengejutkan, semuanya bermunculan. Untuk pertama kalinya, saya mulai menyadari bahwa inilah keseluruhan ajaran dari Kitab Suci di sepanjang waktu. Dan saya tidak pernah melihatnya. Saya akan sajikan kepada Anda bukti-bukti dari Kitab Suci ini.

Apakah yang akan terjadi ketika orang Kristen mati? Jika Anda adalah seorang Kristen, maka Anda akan segera tahu jawabannya. Di dalam Filipi 1:23, Paulus berkata, “Aku pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus.” Anda tidak akan berkeliaran di alam arwah. Saat seorang Kristen mati, apakah tubuhnya akan pergi dan bersama-sama dengan Kristus? Tentu saja tidak, tubuhnya tetap di sini, rohnya yang pergi bersama-sama dengan Kristus. Dia tidak pergi ke tempat yang bernama Hades, dia tidak akan pergi ke dunia orang mati, atau alam bawah, dia akan pergi untuk bersama-sama dengan Kristus, yang adalah jauh lebih baik. Orang Kristen langsung pergi untuk bersama-sama dengan Kristus.

Apakah ketika Kristus mati, dia langsung pergi kepada Allah? Jawabannya tentu saja tidak, dia tidak langsung pergi kepada Allah. Bahkan kredo standar dari gereja berkata, dan Dia turun ke dunia orang mati. Dia turun ke neraka. Bahkan gereja –  yaitu gereja mula-mula dan gereja zaman sekarang –  menyadari bahwa dia tidak langsung pergi kepada Bapa. Itu semua tertulis di dalam kredo gereja. Pada hari yang ketiga, dia bangkit kembali, akan tetapi sebelum itu, dia turun ke dunia orang mati.

Dan apakah arti dari, ‘dia bangkit pada hari yang ketiga itu’, akan kita bahas di hari Minggu. Kita harus merombak total pemikiran kita dalam mempelajari Firman Allah yang ajaib ini. Dan hanya jika kita telah memahami hal ini, baru kita bisa merasakan keharuan yang mendalam. Ketika saya menyadari bahwa Yesus mempertaruhkan kesejahteraan kekalnya demi umat manusia, untuk pertama kalinya, air mata mengalir ketika memikirkan bahwa Yesus telah mempertaruhkan keberadaan dan eksistensinya demi saya, dan bukan sekadar menjalani kematian jasmani selama tiga hari dan akan dibangkitkan setelah itu.


Setelah Kristus dibangkitkan, dia memberitakan firman di Hades

Demikianlah, kita melihat di dalam Yohanes 20:17, Yesus berkata kepada Maria, setelah kebangkitan-Nya,

“Janganlah engkau memegang Aku, sebab Aku belum pergi kepada Bapa.”

Aku belum pergi kepada Bapa” –   dia mati dan dibangkitkan kembali, tetapi dia belum juga pergi kepada Bapa? Dia belum pergi kepada Bapa. Apakah yang dia kerjakan pada selang waktu itu?

Alkitab tidak meninggalkan kita dalam kegelapan. Di 1 Petrus 3:19 kita diberitahu apa yang dia kerjakan –  dia pergi memberitakan Injil kepada roh-roh yang di penjara. Bagaimana Anda bisa pergi memberitakan Injil kepada roh-roh yang ada di dalam penjara jika Anda tidak pergi ke penjara itu? Kalau tidak dengan cara itu, berarti dia memakai semacam alat pengeras suara, berteriak dari satu sisi surga ke seberang, yaitu neraka? Tidak begitu.

Inilah yang dikatakan oleh Petrus di dalam 1 Petrus 3: 18-20

18 Sebab juga Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah; Ia, yang telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia, tetapi yang telah dibangkitkan menurut Roh.
19 dan di dalam Roh itu juga Ia pergi memberitakan Injil kepada roh-roh yang di dalam penjara, 
20 yaitu kepada roh-roh mereka yang dahulu pada waktu Nuh tidak taat kepada Allah, ketika Allah tetap menanti dengan sabar.

Roh-roh yang ada di dalam penjara itu adalah roh-roh manusia, mereka bukanlah para malaikat. Mereka adalah orang-orang yang binasa di zaman Nuh, dan mereka disebutkan sebagai ‘roh-roh’. Saya tidak akan banyak membahas ayat-ayat ini karena tidak banyak berkaitan dengan pokok yang sedang kita bicarakan sekarang.

Hanya ada satu poin yang ingin saya ungkapkan di sini: Kristus tidak pergi kepada Bapa setelah kematiannya. Kemanakah dia pergi? Dia pergi ke neraka, atau yang disebut dengan Hades, lebih tepatnya, dunia orang mati yang terbuang. Inilah dunia orang mati yang tidak taat, dia memberitakan Injil kepada mereka yang tidak taat di zaman Nuh. Dia tidak pergi ke tempat orang benar yang telah mati tetapi ke tempat orang mati yang tidak taat. Bagaimana bisa? Camkanlah hal ini baik-baik.


Yesus telah mati, dan telah dibangkitkan –  baik secara jasmani maupun rohani

Perhatikanlah poin penting yang lain di sini, yaitu di ayat 18, baca dengan cermat apa yang dikatakan di sini: Sebab juga Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah.

Sekarang perhatikan kalimat: Ia, yang telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia, dituliskan dalam bentuk kalimat pasif (aorist). Secara kasarnya, bentuk aorist adalah bentuk lampau; bentuk lampau yang pasif –  artinya adalah bahwa dia telah dibunuh; dia tidak membunuh dirinya sendiri; dia dibunuh sebagai manusia di dalam daging oleh orang-orang berdosa.

Sekarang perhatikan kalimat: tetapi yang telah dibangkitkan menurut Roh, kata dibangkitkan juga berbentuk aorist, bentuk lampau pasif, sama persis bentuknya dengan kata dibunuh. Dia tidak membangkitkan dirinya sendiri, dia dibangkitkan oleh Allah.

Perhatikan kalimat, dibangkitkan menurut Roh –  dibangkitkan di dalam rohnya, yang sedang disebutkan di sini bukanlah Roh Kudus. Ini adalah kontras antara dibunuh sebagai manusia dan dibangkitkan menurut Roh, untuk kepentingan menginjil kepada roh-roh di dalam penjara, yaitu, jiwa-jiwa orang mati yang terbuang. Dia kemudian dibangkitkan oleh kuasa Allah secara rohani.

Sekarang perhatikan baik-baik yang ini: dibangkitkan menurut roh (made alive in the spirit), bentuk pasif yang sama dengan ini adalah kata kerja, “to be made alive (=dihidupkan, terjemahan LAI memakai kata membangkitkan)”, kata ini cukup sering dipakai di dalam Kitab Suci dalam kaitannya dengan hal kebangkitan, bisa dilihat misalnya di dalam Roma 4:17 dan Yoh 5:21 dan sebagainya.

Bagaimana dia bisa dibangkitkan di dalam Rohnya jika Dia tidak mati secara rohani? Di sanalah letak permasalahannya. Jadi dia tidak sekadar mati secara jasmani, tetapi juga secara rohani. Karena jika dia tidak mati secara rohani, lalu apa yang perlu dibangkitkan? Dia tentunya hanya perlu dibangkitkan secara jasmani, tidak perlu secara rohani. Dia tidak memerlukan kebangkitan di dalam rohnya. Di sini, kata dalam bahasa Yunaninya adalah dative with reference atau rujukan yang tidak langsung (dative of reference) kepada ‘Roh’, dan datif dengan rujukan kepada ”daging / manusia”

Saya harap poin ini mulai dapat Anda tangkap. Betapa mudahnya kita membaca Kitab Suci dan gagal menangkap poinnya. Dia dibunuh secara jasmani. Tetapi tidak disebutkan bahwa dia dibangkitkan secara jasmani (in his flesh). Tidak! Perhatikan apa yang dikatakan di sini, “Dia dibangkitkan menurut Roh.” Yesus harus mati secara jasmani dan rohani, kemudian dibangkitkan juga secara jasmani dan rohani karena upah dosa bukan sekadar kematian jasmani. Pahamkah Anda apa yang saya maksudkan dengan ambivalensi?

Upah dosa adalah kematian jasmani dan rohani, bukan hanya salah satu di antaranya Jika dia harus menebus roh kita, maka dia harus mati secara rohani. Bagaimana dia akan menebus roh kita hanya dengan kematian jasmani? Renungkanlah baik-baik. Jadi, Yesus sedang mempertaruhkan keberadaan Rohnya, keberadaan kekalnya untuk menyelamatkan kita, karena roh adalah bagian yang kekal dari manusia. Bukan sekadar kematian jasmani, di mana dia tahu bahwa dia akan dibangkitkan tiga hari setelah itu. Jika hanya kematian jasmani, banyak orang yang tidak takut.

Para prajurit komunis menyerbu sarang senapan mesin musuh sekalipun mereka tidak percaya bahwa mereka akan dibangkitkan kembali. Mereka tidak takut mati. Socrates tidak tahu apakah dia akan dibangkitkan kembali, tetapi dia tetap saja menelan racun itu tanpa takut. Bagi orang yang tahu bahwa dia akan dibangkitkan lagi dalam tiga hari, bukankah dia akan lebih berani? Apakah dia akan gemetar ketakutan menghadapi kematian untuk tiga hari? Jelas tidak! Dia takut di saat sedang mempertaruhkan keberadaannya yang kekal itu!


Paulus meniru teladan Kristus

Ada lagi ayat lainnya, Roma 9:3, yang perlu kita perhatikan. Saya bacakan kepada Anda ayat yang sangat bermakna ini, di mana Paulus berkata:

Bahkan, aku mau terkutuk dan terpisah dari Kristus demi saudara-saudaraku, kaum sebangsaku secara jasmani.

Bahkan, aku mau terkutuk dan terpisah dari Kristus. Oh! ungkapan yang sangat keras! ‘Terkutuk dari Allah’ berarti terpisah selamanya dari Allah. Berarti hilang untuk selamanya. Camkanlah hal ini baik-baik. Paulus tidak berkata, “Aku bisa saja mati secara jasmani demi keselamatan saudara sebangsaku.”

Jika Anda memahaminya dengan cara ini, maka berarti Anda masih belum memahami apa yang Paulus katakan. Dia berkata, “Jika keterpisahanku –  kutuk yang kekal terhadapku dapat menjadi keselamatan bagi bangsaku. Jika hal itu memang berguna, biarlah aku terpisah selamanya dari Allah supaya bangsaku boleh selamat.”

Pikirkanlah hal ini baik-baik. Dia siap untuk masuk ke dalam neraka. Dia bersedia mempertaruhkan keberadaan kekalnya, dia bersedia masuk ke neraka jika bangsanya bisa diselamatkan. Itulah semangat Kristus. Paulus tak akan berani mengutarakan hal yang semacam ini, jika bukan karena dia sudah melihat sendiri bahwa itulah tepatnya yang telah dilakukan oleh Kristus.

Paulus melihat itulah yang telah terjadi pada Kristus. Dia menjadi kutuk demi kita. Dia yang tidak mengenal dosa telah dijadikan kutuk bagi kita. Dia, yang adalah benar, mempertaruhkan keberadaan kekalnya, masuk ke neraka, supaya kita boleh masuk ke surga. Apakah hal ini mengejutkan Anda?

Hal itu mengejutkan saya. Membuat saya terharu, bahwa Yesus –  Pribadi di mana segenap kepenuhan Allah berdiam, dia berseda bukan saja menanggung penderitaan sesaat, tetapi dia bersedia berkata kepada Bapa, “Jika kepergian-ku ke neraka bisa menyelamatkan umat manusia, maka jadilah itu. Maka jadilah itu.” Oh Yesusku! Engkau bersedia masuk ke neraka demi aku! Hal ini sangat menyentuh hati saya. Jika engkau hanya bersedia untuk disalibkan saja, hal itu hanya sedikit menyentuh hati saya.

Hal inilah yang sangat dimengerti oleh Paulus, itulah hal yang dia lihat telah dilakukan oleh Yesus –  bahwa Yesus bersedia mempertaruhkan keberadaan kekal-Nya. Itu sebabnya, dia berkata, “Kalau saja aku boleh melakukan hal yang sama. Kalau saja aku boleh mengikuti jejak Kristusku, yang bersedia mempertaruhkan segalanya. Kalau saja aku boleh binasa, bukan sekadar binasa secara jasmani tetapi juga secara rohani, untuk menyelamatkan saudara sebangsaku.” Paulus bukanlah orang yang takut mati.

Beranikah Anda mengucapkan hal itu? Beranikah kita memikirkan hal tersebut? Kalau saya boleh binasa secara rohani, jika kebinasaan rohani saya, dengan memikul dosa-dosa bangsa saya bisa berguna, sehingga bangsa saya, bangsa Tionghoa boleh masuk ke dalam surga, maka jadilah itu.

Apakah saya akan bersukacita di surga dengan Kristus, Tuhan saya (my Lord), di saat mereka yang saya kasihi berada di neraka?” Atau, mungkin malah dari neraka, bukankah saya akan lebih berbahagia melihat mereka yang saya kasihi bersukacita di hadapan Bapa? Itulah semangat Kristus. Itulah semangat Paulus –  kalau saya boleh terpisahkan, dikutuk oleh Allah dalam kutuk yang kekal, demi keselamatan bangsa saya.

Kita sedang berbicara di tingkat kedalaman yang tidak dipersiapkan oleh kekristenan kita yang dangkal. Pikiran kita menjadi bingung. Lutut kita gemetar. Karena kita belum pernah melihat seperti itu!

Kekristenan macam apakah yang kita miliki sekarang ini? Sekumpulan orang yang hanya ingin masuk ke surga: “Aku mau masuk ke surga. Kalau kamu mau masuk ke neraka, sayang sekali! Biarkan aku masuk ke surga saja!” Memuakkan, sungguh memuakkan!

Saya tidak melihat sikap hati semacam ini di dalam Kitab Suci. Yang saya lihat di dalam Kitab Suci adalah sikap dari hamba yang menderita. Kristus berkata, “Pikullah salibmu dan ikutlah aku.” Dia telah memikul salibnya yang tidak sekadar berarti penderitaan jasmani, tetapi dia mempertaruhkan keberadaan kekalnya. Dia berkata, “Ikutlah dku dengan semangat yang sama. Jangan sekadar pergi mengejar kesejahteraanmu pribadi di surga sementara orang yang lain binasa semua. Usahakanlah supaya mereka selamat, supaya mereka boleh masuk ke surga, sekalipun hal itu tidak hanya melibatkan penderitaan jasmani buatku, aku akan pergi ke neraka. Jika itu memang harus. Jika memang memungkinkan.”  

Kekristenan macam apakah yang kita miliki sekarang? Tak heran dengan kekristenan yang semacam ini kita tidak bisa memahami kedalaman penderitaan Kristus.

Adakah Kristus harus menanggung resiko, harus menjalani kutuk yang kekal itu? Kita akan melihatnya pada hari Minggu nanti. Jika tidak ada resiko, saya beritahukan Anda, sebagai jawaban pengantarnya, lalu mengapa Yesus meratap dan mengeluh? Dia, yang tidak takut pada kematian, akankah dia meratap dan mengeluh, dan memohon, kepada dia yang dapat menyelamatkan Yesus dari maut? Apakah Allah menyelamatkan dia dari maut? Apakah begitu? Kematian jasmani? Jawabannya adalah tidak. Dia tidak diselamatkan dari kematian jasmani. Allah tidak mendengarkannya, bukankah begitu? 

Akan tetapi dikatakan di dalam Ibrani 5:7 bahwa dia didengarkan. Saat orang banyak berkata, “Turunlah dari salib itu. Tidakkah Allah-Mu sanggup menyelamatkanmu?” Dia tidak dibebaskan; secara jasmani, dia binasa di kayu salib. Akan tetapi Kitab Suci mengatakan bahwa dia didengar. Tentu saja, dia didengarkan. Dia telah didengarkan karena dia telah dibangktikan menurut Roh dan kemudian juga dibangkitkan secara jasmani. Akan tetapi poin ini, seperti yang telah saya katakan, akan saya uraikan sepenuhnya pada hari Minggu karena tidak cukup waktu untuk membahasnya sekarang.


Yesus menjadi kutuk bagi kita

Mari kita periksa satu hal, yaitu bahwa Paulus mengatakan bahwa Kristus telah menjadi kutuk, katara bagi kita –  Galatia 3:13. Sebenarnya, Galatia 3:13 merujuk kepada Ulangan 21:23. Ini adalah pernyataan yang sangat kuat. Kristus telah menjadi kutuk bagi kita. Galatia 3:13 berkata:

Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis: “Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!”

Ulangan 21:23 berkata kepada kita: sebab seorang yang digantung terkutuk oleh Allah. Apakah arti kutuk itu? Yang perlu Anda lakukan untuk memahami arti kutuk adalah mencari makanya di dalam Kitab Suci.

Perhatikanlah cara kata ini dipakai di Perjanjian Baru. Kata katara, kutuk,  yang sama dipakai di dalam 2 Petrus 2:14 tentang mereka yang mengalami kebinasaan kekal, orang-orang yang terkutuk. ‘Children of the curse (orang-orang yang terkutuk)’ adalah ungkapan dalam bahasa Semit. Dan di dalam ayat 16, bagi orang-orang yang terkutuk itu, bagi mereka telah tersedia tempat dalam kegelapan yang paling dahsyat.

Atau contoh lainnya, kata ini digunakan ketika Yesus mengutuk pohon ara di dalam Markus 11:21. Pohon ara itu dikutuk untuk tidak pernah berbuah lagi, dibinasakan sepenuhnya.

Atau contoh lainnya, Yesus menggunakan kata ‘kutuk’ ini di Matius 25:41, pada penghakiman yang terakhir. Kata terkutuk ditujukan kepada mereka yang dibuang ke dalam api yang kekal. Semua ini cukup memberi penjelasan kepada kita.

  • Di Perjanjian Lama, kata kutuk, dalam bahasa Ibraninya, haram, berarti orang-orang yang masuk ke dalam kebinasaan sepenuhnya, dihancurkan sepenuhnya tanpa harapan untuk dipulihkan kembali. Dilenyapkan! Dibinasakan!
  • Haram kata Ibrani bagi kutuk, dalam bahasa Yunaninya adalah anathema. Kata yang sama artinya dengan haram , kutuk, di dalam bahasa Yunani adalah anathema. Anathema adalah kata yang dipakai oleh rasul Paulus, misalnya, di dalam Galatia 1:8-9, 1 Kor 16:22, Roma 9:3, dengan makna yang mengacu kepada kata kutuk. Dan di ayat-ayat itu pula, kata ini berkaitan dengan, seperti biasanya, hukuman yang kekal, penghakiman kekal. Hal ini tidak perlu dipertanyakan lagi.

Di Galatia 1:8 dikatakan,

Tetapi sekalipun kami atau seorang malaikat dari sorga yang memberitakan kepada kamu suatu injil yang berbeda dengan Injil yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah dia.

Jika ada orang yang berani memberitakan Injil yang berbeda, terkutuklah dia, yaitu masuklah dia ke dalam hukuman yang kekal. 

Mengapa? Karena dengan memberitakan Injil yang berbeda, atau Injil yang diencerkan –  dan Injil yang diencerkan berarti Injil yang berbeda tentunya, menjadikannya bukan lagi Injil yang sebagaimana adanya –  Waspadalah, karena Anda, yang memberitakan Injil yang berbeda itu, sedang mengirimkan orang lain ke neraka, dengan demikian berarti Anda juga layak dimasukkan ke neraka! Prinsip keadilan adalah ‘mata untuk mata, jiwa bagi jiwa, nyawa untuk nyawa.”

Di semua bagian, Anda akan menemukan hal yang sama. “Siapa yang tidak mengasihi  Yesus,” kata Paulus, “biarlah dia anathema“, demikianlah yang terdapat di dalam 1 Kor 16:22. Siapa yang tidak mengasihi Yesus, terkutuklah dia, dia akan berada dalam masalah. Karena, bagi Kristus, yang telah mempertaruhkan kesejahteraan kekal-nya demi keselamatan Anda, tetapi Anda tidak mengasihi dia, maka Anda tidak layak masuk ke dalam surga.

Dan selanjutnya, semua ini seharusnya sudah jelas bahwa, ketika Paulus berkata di dalam Roma 9:3, “Biarlah aku terkutuk (anathema) dan terpisahkan jika mungkin,” dia tidak sedang berbicara tentang kematian jasmani, melainkan keberadaan kekalnya.


Yesus, ditinggalkan Allah untuk dijadikan dosa

Saya akan masuk pada satu poin lagi sebelum kita tutup. Ketika Yesus tergantung di kayu salib, dia mengucapkan kata-kata di dalam Mazmur 22:2,

“Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?”

Jika dia tidak ditinggalkan, maka kata-kata ini tiada artinya dan hanya menjadi sepotong retorika (pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban, pent.), tidak layak untuk dipakai dalam keadaan seperti itu. Saat itu bukanlah saatnya untuk ber-retorika, atau bermain-main dengan kata-kata: “Eli, Eli, lama sabachthani“, adalah ucapan asli-nya di dalam bahasa Ibrani. Kata-kata tersebut terukir dengan dalam di dalam hati saya: “Eli, Eli, (Allahku, Allahku) lama (mengapa) sabachthan (sudahkah Engkau meninggalkan aku)?” Yesus ditinggalkan di kayu salib ketika dia menanggung dosa-dosa kita.

Lalu saya meneliti kata ‘meninggalkan (=forsaken)’ di dalam Alkitab, dan saya menguji bukti-bukti yang ada. Tahukah Anda mengapa Allah meninggalkan seseorang? 

Seseorang selalu ditinggalkan karena dosa. Ada sangat banyak rujukannya. Saya berikan kepada Anda salah satu rujukan itu. Yesaya 49:14 –

Sion berkata: “TUHAN telah meninggalkan aku dan Tuhanku telah melupakan aku.”

Allah meninggalkan seseorang karena dosa. Dan Yesus telah menjadi kutuk. Terkutuklah, kata Paulus, orang yang digantung di kayu salib, karena dia, yang tidak mengenal dosa, telah dijadikan dosa karena kita. Dia yang tidak mengenal dosa dijadikan dosa. Dan karena dosa, Allah meninggalkan dia, bukan sekadar secara jasmani saja. Hal meninggalkan ini tak ada kaitannya dengan perasaan lahiriah.

Selanjutnya, kita dapati bahwa arti dari ditinggalkan adalah dilupakan. Allah menolak seseorang sepenuhnya. Ditinggalkan berarti ditolak. Yeremia 7:29 –

…sebab TUHAN telah menolak dan membuang bangsa yang kena murka-Nya!

Dan ditinggalkan berarti menjadi sasaran murka Allah, menjadi sasaran kemarahan Allah. Yesaya 54:7-8

“Hanya sesaat lamanya Aku meninggalkan engkau, …Dalam murka yang meluap Aku telah menyembunyikan wajah-Ku terhadap engkau sesaat lamanya.”

Yesus menanggung murka ilahi dan dengan demikian terbinasakan. Murka Allah itu membinasakan, jika Dia murka terhadap mereka yang telah meninggalkan Dia. Ezra 8:22 –

… tetapi kuasa murka-Nya menimpa semua orang yang meninggalkan Dia.

Sungguh, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? –  di satu sisi, adalah suatu pengakuan tentang ketidak-berdosaannya, dan di sisi lain tentang keadaannya yang ditinggalkan! Si pemazmur saat itu ditinggalkan, itu sebabnya dia berkata, “Mengapa Engkau meninggalkan aku?” Akan tetapi dia memohon bagi ketidak-berdosaannya, karena yang benar telah kebenaran telah diperlakukan sebagai tidak benar!. Sangat banyak hal yang terdapat di dalam ucapan tersebut, begitu mendalam, begitu kuat sehingga pikiran kita yang sempit dan kerohanian kita yang bebal tidak bisa memahami apa yang telah Yesus tanggung bagi kita!


Yesus telah mempertaruhkan keberadaan kekalnya

Saya rasa semuanya sudah cukup untuk hari ini, dan saya minta Anda merenungkan serta memikirkan, tentang apa yang telah Yesus tanggungkan bagi kita. Apakah dia sekadar mati secara jasmani di kayu salib? Apakah upah dosa adalah kematian jasmani? Dapatkah dosa ditebus dengan kematian jasmani?  

Pikirkanlah baik-baik. Karena baru pada saat Anda menyadari bahwa yang dipertaruhkan oleh Yesus bukan sekadar kematian jasmani melainkan keberadaan kekal, barulah kita bisa mengerti ayat di Ibrani 5:7 –  Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada dia, yang sanggup menyelamatkannya dari maut. Hanya Bapa yang mampu menyelamatkan dia dari kematian rohani, sebagaimana yang telah kita lihat, di dalam 1 Petrus 3:18, bahwa Bapa memang telah melakukannya.

Demikianlah, setiap kali kita akan memikirkannya lagi nanti, yaitu tentang apa yang telah Yesus tanggung bagi kita, janganlah hanya memikirkan tentang darah yang mengalir, dan kesakitan jasmani yang dia tanggung. Itu hanya sebagian kecil saja. Dia mempertaruhkan keberadaan kekalnya. Jika Anda bisa memahami hal itu, jika Anda bisa menangkap maknanya, maka Anda akan mampu berkata, “Mungkinkah Engkau, Yesus, Tuhanku, bersedia mati demi aku?”

 

Berikan Komentar Anda: