Pastor Eric Chang |
Orang-orang Kristen sekarang tidak sadar bahwa waktu yang tersisa sudah sangat singkat. Pada umumnya orang-orang Kristen kurang memahami betapa singkatnya waktu yang tersisa. Hal ini sangat berbeda dengan orang Kristen di zaman Perjanjian Baru. Di era gereja awal, orang-orang Kristen sangat menyadari bahwa waktunya singkat sekali. Namun setelah 2000 tahun sejarah gereja, konsep kedatangan kembali Yesus mulai memudar, sehingga tidak ada lagi suasana darurat.
Situasi di gereja awal sangatlah berbeda. Nubuatan menunjukkan sang Mesias akan datang, jadi orang-orang tahu mereka harus menunggu. Orang-orang Yahudi masih menantikan Mesias karena mereka tidak menerima Yesus sebagai Mesias. Nabi-nabi di Perjanjian Lama menubuatkan kedatangan seorang Juruselamat yang disebut Mesias, karena itu orang-orang Yahudi menunggu. Namun ketika Yesus datang, mereka menolaknya. Mengapa mereka menolaknya? Karena mereka menantikan Juruselamat yang datang dalam kemuliaan dan kuasa – mereka menantikan seorang raja! Saat Yesus ke Yerusalem sebagai raja, dia menunggang keledai dan orang banyak keluar untuk menyambut dia. Kita senang menyambut raja: orang yang mempesona; orang besar; orang yang membangkitkan rasa hormat kita. Namun setelah kedatangannya yang gemilang ke Yerusalem, Yesus mengesampingkan semua itu dan pergi ke kayu salib. Saat itu orang-orang mulai berbalik dan berkata, “Salibkan dia!” Begitulah mentalitas manusia. Jika Anda datang dalam kemuliaan, masyarakat akan menerima Anda. Jika Anda datang dalam kerendahan hati, mereka tidak menyukai Anda. Demikian pula halnya dengan gereja. Orang yang atraktif dan penuh karisma, dengan mudah diterima. Namun orang yang rendah hati diremehkan.
Itulah yang terjadi pada orang Yahudi. Di awal kedatangan Yesus, mereka bersedia menerimanya. Dia membuat karya-karya yang luar biasa. Dia berkhotbah dengan mantap. Dia adalah raja yang mereka dambakan. Seandainya saja dia melanjutkan karya di dalam kuasa Allah untuk mengusir orang Roma dan membangun Israel sebagai kerajaan besar, dia mungkin akan diterima oleh segenap bangsa. Akan tetapi Mesias datang untuk menebus dosa manusia dan untuk melakukan hal itu, dia harus mengorbankan nyawanya. Demi umat manusia, Anak Manusia harus pergi ke kayu salib. Justru karena salib, orang banyak menolak dia, hal yang terus berlanjut sekarang ini. Namun setelah Yesus mati dan bangkit kembali, sangatlah jelas bahwa dia akan kembali lagi. Dan saat Yesus kembali lagi nanti, dia akan datang sebagai Raja. Itulah hal yang tertulis di kitab Wahyu: bukan sekadar Raja, melainkan Raja segala raja dan Tuan segala tuan (lord of all lords). Saat Yesus datang nanti, dia akan memerintah. Yesus akan menjadi Hakim. Namun kita menanti, dan terus menanti, lalu kita bertanya-tanya, “Kapankah Yesus akan datang?” Gereja sudah menanti selama lebih dari 2,000 tahun dan kita masih juga belum melihat kedatangan Yesus yang kedua kali. Akibatnya, perlahan-lahan, kita kehilangan semangat dalam menantikan kedatangannya. .
Apakah kita menginginkan Yesus agar kembali?
Apa kalimat penutup Perjanjian Baru? Di kitab Wahyu, kalimat penutupnya adalah:
“Ia yang memberi kesaksian tentang semuanya ini, berfirman: “Ya, aku datang segera!” (Why.20:22).
Dan tanggapannya adalah, “Datanglah, Tuan Yesus!” (Why.20:20). Saya suka dengan terjemahan bahasa Mandarin. Terjemahannya menyebutkan: “Zhu Yesu, qing lai ba.” Terdengar lebih indah daripada terjemahan Inggris, yang sekadar berkata, “Come, Lord Jesus”, seolah-olah, “Yah, jika engkau memang akan datang, aku tak bisa menolaknya, datang sajalah.” Akan tetapi terjemahan bahasa Mandarinnya “qing lai ba”, mengundang dia untuk datang dan saya pikir ini mengungkapkan dengan baik semangat dari kalimat itu.
Di bagian akhir dari 1 Korintus 16:22, ada sebuah ungkapan: “Maranatha”. ‘Maranatha’ bukan bahasa Yunani. ‘Maranatha’ itu bahasa Aram, yaitu bahasa yang termasuk satu rumpun dengan bahasa Ibrani. ‘Maranatha’ berarti: “Datanglah, Oh Tuan.” Mengapa di dalam Perjanjian Baru yang ditulis bahasa Yunani, ada kata ‘Maranatha’ yang tidak diterjemahkan ke bahasa Yunani tetapi menggunakan istilah asli Aram? Alasannya adalah karena istilah ‘Maranatha’ ini telah menjadi suatu slogan di lingkungan orang Kristen. Orang-orang Kristen saling menyapa, memulai atau menutup kebaktian dengan “Maranatha,” yang berarti: “Datanglah, oh Tu[h]an.” Mereka merindukan kedatangan Yesus. Persis sebelum itu, Anda akan melihat kata-kata: “Siapa yang tidak mengasihi Tuan, terkutuklah ia.” Ini cukup mengejutkan! Suatu kejutan! Namun setelah mengucapkan itu, selanjutnya dikatakan “Maranatha”. Apa hubungan antara keduanya? Sangatlah penting bagi kita untuk memahami hubungannya. Apakah Anda ingin agar Yesus segera datang kembali? Apakah Anda siap untuk bertemu dia? Jujur sajalah. Kita tidak merasa siap untuk bertemu dengan dia, bukankah demikian?
Sebagai contoh, jika Anda ingin menikah dalam waktu dekat, Anda tidak akan berharap agar Yesus datang dan merusak rencana Anda. Jika Anda akan menikah, katakanlah di bulan Oktober atau semacam itu, dan kemudian Yesus datang di bulan September, apa yang akan terjadi dengan pernikahan Anda? Semuanya berantakan! Benar? Anda memesan mobil baru, dan sebelum Anda sempat menyetir mobil itu, Yesus datang.
Jadi, ketakutan kita untuk bertemu dengan Yesus sebagian mungkin disebabkan oleh berbagai hal dan sebagian disebabkan karena kita memiliki berbagai rencana yang indah di dunia ini. Bayangkanlah semua uang yang Anda tabung untuk masa pensiun Anda. Anda merencanakan liburan keliling dunia. Anda bekerja sangat keras untuk menabung uang di rekening bank Anda. Saat Yesus datang uang di rekening bank Anda tidak ada nilainya lagi. Anda bekerja dan menabung selama bertahun-tahun dan Anda bahkan tidak dapat menikmati dana pensiun Anda. Jadi, siapa yang menghendaki Yesus segera datang kembali?
Jika kita mengasihi Yesus, kita akan menginginkan dia untuk datang
Namun di gereja mula-mula, mereka selalu memanggil Yesus untuk kembali. Lalu apakah hubungan antara kedua bagian di 1 Korintus 16:22? “Siapa yang tidak mengasihi Tuan, terkutuklah ia.” Itu adalah salah satu pernyataan paling keras yang pernah dibuat oleh Paulus. Secara harfiah menyatakan kutuk terhadap setiap orang yang menyebut dirinya Kristen tetapi tidak menghendaki Yesus datang. “Siapa yang tidak mengasihi” – apa kaitannya? Jika Anda mengasihi Yesus, maka Anda menginginkan dia datang. Jika Anda tidak mengasihi dia, tentu saja, Anda tidak ingin dia datang. Ketidak-siapan kita untuk dia datang dengan jelas menunjukkan bahwa kebanyakan dari antara kita mungkin tidak mengasihi Yesus. Tidak dikatakan, “Nah, sayang sekali, engkau tidak mengasihi Yesus.” Yang dikatakannya adalah, “Jika kamu tidak mengasihi dia, terkutuklah engkau.” Wow! Sangat menakutkan! Saya belum pernah mendengar Paulus memakai pernyataan yang sangat keras yang disampaikan dengan menggunakan kutukan. Namun saya pikir pernyataan ini tidak dimaksudkan sebagai suatu kutukan. Faktanya adalah jika Anda tidak mengasihi Yesus, Anda akan dikutuk. Persoalan yang disampaikan adalah yang mengasihi dia akan diselamatkan; yang tidak mengasihi dia tidak akan diselamatkan.
Perhatikan dampak dari ayat ini di dalam hidup Anda. Dapatkah Anda dengan jujur mengatakan bahwa Anda mengasihi Yesus? Cara untuk mengujinya adalah: jika Anda mengasihi dia, dapatkah Anda berkata, “Datanglah Yesus.” Jika saya bertanya pada setiap orang di sini, “Apakah kamu mengasihi Yesus?” Saya pikir kebanyakan dari Anda akan berkata, “Ya, ya, aku mengasihi Yesus!” Lalu saya bertanya: “Apakah Anda ingin agar dia datang?” Anda mungkin berkata, “Ooo, bagaimana kalau ditunda dulu?” Demikianlah, kita tak sanggup mengucapkan “Maranatha.” Kita jarang sekali berseru, “Datanglah Yesus.” Mungkin alasan yang paling dasar adalah kita tidak cukup iman untuk bertemu dengan dia. Dengan kehidupan yang saya jalani sekarang ini, bukankah dia akan sangat kecewa terhadap saya? Kita berkata, “Ya, aku sudah dibaptis. Aku orang Kristen. Kurasa aku mengasihi Yesus.” Apakah Anda yakin? Mungkin Anda tidak yakin. Ujiannya adalah ini: Apakah Anda ingin agar dia datang?
Tanda-tanda kedatangannya tertulis di dalam Alkitab
Tentu saja, Yesus pasti akan datang tak peduli apakah kita menghendaki kedatangannya atau tidak. Dia tetap akan datang. Dia pasti datang, dan ini adalah bagian yang ingin saya bagikan kepada Anda. Dia pasti datang! Hal ini tidak dapat diragukan lagi. Sama seperti kedatangannya yang pertama kali, Yesus akan datang untuk yang kedua kali. Yang menjadi pertanyaan adalah: Kapan? Bukankah begitu? Kapankah Yesus akan datang? Ini adalah bagian yang membuat kita sedikit gugup karena tampaknya kita tidak punya pegangan yang memadai. Jika Anda tahu kapan dia akan datang, Anda bisa membuat persiapan. Baiklah, katakan saja Anda sekarang ini bukanlah seorang Kristen yang baik dan seminggu sebelum kedatangannya, Anda bersungguh-sungguh memoles semuanya dan Anda benar-benar memacu semangat untuk satu minggu itu. Maksud saya, semangat bisa kita pelihara untuk satu minggu; mungkin kalau setahun tidak bisa, tetapi kalau seminggu, kita masih bisa mengaturnya. Jadi seminggu sebelum Yesus datang, kita bisa memompa prestasi kita. Kita menyanyikan banyak lagu rohani. Kita berdoa sebanyak mungkin. Akan tetapi, kita tidak tahu kapan dia akan datang. Jadi apa yang harus dilakukan? Di situlah kesulitannya. Kemudian Alkitab memperingatkan kita dengan berkata: “Pada hari di mana engkau tidak siap, saat engkau tidak mengharapkan kedatangannya, di hari itulah dia akan datang.” Oh, sayang sekali. Ini membuat kita tidak punya cara untuk mempersiapkan diri. Tidak sempat untuk bersiap-siap. Inilah ide umumnya. Yesus ingin menjumpai kita dalam keadaan sehari-hari kita. Tanpa persiapan! Tak ada kepura-puraan! Tidak ada jalan pintas. Tiba-tiba saja, dia datang! Nah, beberapa di antara Anda sudah mulai terlihat khawatir. Ada yang bertanya, “Jika Anda sudah tahu kapan dia datang dan kemudian Anda berusaha mempersiapkan diri, di dalam hati Anda perlulah kiranya ditanyakan, ‘Apakah saya mempersiapkan diri karena memang menginginkan hal itu, atau karena terpaksa?” Ini berarti, kedatangan Yesus akan menemukan kita dalam keadaan apa adanya. Siapa kita yang sejati. Inilah bagian yang menakutkan.
Sebagian besar isi Perjanjian Baru menyinggung tentang kedatangan Yesus kembali. Jika Anda menandai bagian-bagian yang berkaitan dengan kedatangannya yang kedua kali, Anda akan terkejut melihat betapa banyak isi Perjanjian Baru yang memuat hal kedatangannnya. Kita semua akan berdiri di hadapannya untuk dihakimi. Di kedatangannya yang kedua kali, Yesus datang bukan sebagai Juruselamat, dia datang sebagai Hakim dan Raja. Di kedatangannya yang pertama, dia datang sebagai Juruselamat. Itu sebabnya dikatakan, “Sekarang adalah saat keselamatan.” Bukannya ‘besok.’ Ketika Yesus datang nanti, saat keselamatan sudah berakhir. Tamat sudah.
Namun apakah benar kita hanya tahu dia akan datang, dan tidak ada tanda-tanda kedatangannya sama sekali? Yesus berkata, “Tidak, tanda-tandanya itu ada.” Sebagai contoh, Yesus berkata ketika kamu melihat bahwa langit berwarna merah di kala senja (Matius 16:2-3) – maka Anda akan berkata, “Oh, mungkin besok cuacanya akan begini dan cuacanya akan begitu.” Ada cara untuk menduga. Dia juga berkata, “Kamu mengamati pohon ara dan sekarang ini ia tidak mengeluarkan buahnya; tetapi ketika datang musimnya, ia akan mengeluarkan buahnya.” Saat Anda melihat pohon tertentu mulai berbunga, Anda tahu bahwa buahnya akan muncul. Namun tidak demikian halnya dengan pohon ara, sangat menarik melihat Yesus menggunakan contoh pohon ara karena pohon ara tidak berbunga. Itu sebabnya di dalam bahasa Mandarin ia disebut, “buah tanpa bunga”. Jadi kembali, buah itu muncul, akan tetapi Anda hanya bisa menebaknya berdasarkan musim; Anda tidak bisa menebak saatnya secara tepat.
Pohon ara adalah lambang bagi Israel. Israel telah mati selama 2000 tahun. Riwayatnya berakhir. Ia tidak lagi tampil sebagai suatu negara, suatu bangsa. Kita hidup di generasi yang menjadi saksi mata atas kebangkitan: kebangkitan suatu bangsa. Hal itu diramalkan sejak 2,000 tahun yang lalu oleh Yesus, dan bahkan oleh nabi-nabi sebelum itu. Sudah dinubuatkan dan memang terjadi. Di tahun 1948, di tengah perlawanan berbagai negara, negara-negara utama di dunia, Israel terdiri. Ia tampil sebagai sebuah bangsa. Ini adalah hal yang ajaib. Jadi, jika kita mengamati tanda-tandanya, kita bisa melihat hal-hal yang sedang terjadi. Yesus berkata bahwa ada juga tanda-tanda yang lain: perang, kelaparan. Namun perang dan kelaparan selalu terjadi di setiap zaman. Persoalannya bukan apakah ada perang atau kelaparan, melainkan intensitas dari perang itu. Gempa bumi menjadi lebih sering terjadi, lebih menghancurkan. Jadi, semua itu merupakan tanda untuk kita amati.
Israel menjadi satu negara di tahun 1948. Wilayahnya meliputi apa yang saat itu disebut sebagai Palestina. Saya sempat tinggal di sana untuk beberapa waktu untuk belajar bahasa Ibrani. Saat itu saya sedang kuliah teologi. Saat di sana, saya menyadari bahwa Israel sudah bangkit sebagai negara sejak tahun 1948, akan tetapi masih belum mendapatkan Yerusalem. Yerusalem masih berada di tangan bangsa Arab di Yordania. Yerusalem dijaga oleh Legiun Arab, pasukan terkuat tentara Arab. Saya tinggal di daerah Kristen di atas bukit yang menghadap ke Yerusalem, kota Yerusalem. Saya dapat melihat ke arah kota tua Yerusalem, ke tembok kotanya. Saya tinggal melongok dari jendela dan saya bisa melihat seluruh bagian Yerusalem kuno. Dan hal yang tidak menyenangkan adalah, tepat di hadapan jendela saya dari arah seberang lembah, ada sebuah senapan mesin besar, yang tampaknya terarah langsung menuju kamar saya. Saya tinggal di Balai St. Andrew, sebuah gedung gereja milik Skotlandia, dan saya dapat melihat beberapa lubang bekas tembakan yang terjadi selama beberapa kali pertempuran. Saya dapat melihat tentara yang berjaga di tembok kota di seberang dan saya berharap agar tangannya tidak menjadi gatal ketika ia melihat saya berdiri di beranda dan kemudian menarik pelatuk senapannya. Tepat di hadapan saya adalah lembah Hinnom. Kata Yunani ‘gehenna’ berasal dari nama lembah Hinnom ini, yang juga menjadi asal dari kata “neraka” dalam Perjanjian Baru. Terjemahan untuk kata ‘gehenna’ adalah neraka. Jadi lembah itu disebut juga Lembah Neraka. Ada beberapa penjelasan tentang asal mula kata tersebut. Salah satunya adalah karena orang biasanya membakar sampah di sana. Api selalu menyala di sana, lalu ia menjadi gambaran tentang neraka. Di masa saya di sana, tak ada lagi orang yang membakar sampah di sana. Malahan, tempat itu sudah menjadi tempat kosong. Jika Anda turun ke sana, Anda akan ditembak. Ia menjadi semacam daerah pembatas dan tidak ada orang yang berani keluyuran di sana.
Saat itu Israel sudah menguasai seluruh wilayah Palestina kecuali Yerusalem yang masih berada di tangan Arab. Orang Yahudi biasa berkata bahwa Israel tanpa Yerusalem ibarat tubuh tanpa kepala. Kepalanya belum ada. Sangat penting untuk mendapatkan Yerusalem. Akan tetapi Yerusalem terletak di wilayah yang dikuasai oleh pasukan Arab. Lalu, apa yang terjadi? Satu kesempatan bagus datang ketika mereka diserang oleh Mesir. Dan kemudian, terjadilah Perang Enam Hari. Dalam enam hari mereka merebut Yerusalem. Itu memang salah satu sasaran mereka. Seluruh negara Arab di sekelilingnya menyerang Israel, dan merupakan suatu keajaiban, karena mereka memenangkan perang itu dalam enam hari! Jumlah pasukan mereka kalah jauh dibandingkan dengan semua lawannya, akan tetapi hal yang perlu diperhatikan adalah hal itu justru kesempatan untuk merebut Yerusalem.
Ketika saya tinggal di sana, saya sudah melihat persiapan mereka untuk merebut Yerusalem. Sangat diam-diam, mereka bergerak untuk mengambil alih Yerusalem. Mereka memiliki unit khusus. Rencana mereka adalah untuk mengambil Yerusalem dengan kerusakan minimal karena yang mereka hadapi adalah pasukan Arab yang sangat terlatih yang bisa menghancurkan seluruh kota. Apa yang bisa mereka lakukan jika kota yang mereka rebut sudah menjadi puing-puing? Mereka tidak menghendaki hal itu. Jadi, Israel menjalankan rencananya dengan sangat hati-hati dan merebutnya dengan mendadak. Semuanya terjadi sangat cepat, seluruh operasi itu mengejutkan legion Arab yang bertahan di sana. Orang-orang Arab berada di balik tembok kota, jadi mereka mengira bahwa mereka cukup aman. Israel dengan tangkas dan cepat maju dan merebut Yerusalem. Buat pertama kali di dalam sejarah Yahudi, pertama kali di dalam 2,000 tahun, Yerusalem kembali ke tangan orang-orang Yahudi. Sejak zaman Roma sampai waktu itu, orang Yahudi tidak pernah menguasai Yerusalem. Namun sekarang, sekali lagi, Yerusalem berada di tangan mereka. Dengan kata lain, sejak hari itu, Israel telah sepenuhnya dipulihkan. Sebelumnya mereka tidak memiliki kepala. Namun sekarang, mereka punya. Bagi orang Yahudi, Yerusalem lebih penting dari semua wilayah yang lain. Yerusalem memiliki makna sejarah yang tinggi. Selama mereka belum menguasai Yerusalem, mereka tidak merasa punya sesuatu yang berharga. Sekarang mereka punya Yerusalem. Saat mereka mengibarkan bendera di atas menara Daud di Yerusalem, saat itulah Israel dipulihkan akhirnya. Ini sebuah nubuatan yang sudah digenapi.
Di dalam Alkitab, terdapat prinsip fleksibilitas. Dikatakan di dalam surat Petrus bahwa Tuhan tidak menghendaki seorang pun binasa melainkan Dia ingin agar semua orang diselamatkan (2Ptr.3:9). Akan tetapi Dia tidak akan menunggu tanpa batas waktu. Jika Anda tidak mau memberi tanggapan, itu adalah urusan Anda. Tetapi Dia tidak mau menunda kedatangan Yesus tanpa batas waktu. Namun ada lagi prinsip lain di Matius pasal 24 yang mengatakan bahwa waktunya bisa dipersingkat. Artinya masa aniaya besar atau penderitaan akan dipersingkat. Apa itu aniaya besar? Para pakar Perjanjian Baru telah meneliti hal ini dan berusaha untuk mengartikannya. Apakah ini merupakan masa penyiksaan besar-besaran? Sebenarnya situasi apa yang akan dipersingkat itu? Bagaimanapun hal yang ingin saya bagikan adalah waktunya sudah sempit dan kita melihat tanda-tanda yang bisa kita cocokkan dengan Alkitab. Kita hidup di masa yang sangat penting, masa yang luar biasa.
Beberapa minggu yang lalu saya sedang berada di toko buku dan saya menemukan buku yang ditulis oleh orang Yahudi. Orang Yahudi ini berkata bahwa menurut perhitungannya Hari Penghakiman sudah dekat. Ia berkata kepada orang-orang Yahudi, “Kalian harus bertobat karena Hari Penghakiman sudah dekat.” Ia berkata bahwa Mesias akan kembali. Mereka menantikan kembalinya Mesias. Sekalipun mereka tidak menerima Yesus, mereka mengakui bahwa Mesias akan datang. Katanya kepada orang-orang Yahudi, “Kalian harus bertobat. Waktunya sudah sangat, sangat singkat.” Saya terkejut membaca buku ini saya membaca ulang untuk memastikan bahwa buku ini memang ditulis oleh orang Yahudi. Dia mengutip Perjanjian Lama dan berkata, “Kalian lihatlah, semua yang telah diderita oleh orang-orang Yahudi, termasuk holocaust, sudah tertulis di dalam Perjanjian Lama, yang menyebutkan: ‘Kalian sudah diperingatkan, tetapi kalian tidak mau mendengarkan Allah. Allah sudah memberitahu kalian.” Di dalam kitab Ulangan dan bagian-bagian yang lainnya di Perjanjian Lama, sudah ada peringatan bahwa jika kalian tidak mau mendengarkan dan menaati suara-Nya, maka setiap kutuk di dalam kitab ini akan tertimpa atasmu.” Dia berkata, “Tidakkah kalian membacakah Kitab Suci kalian?” Kitab Suci yang dimaksudnya adalah Perjanjian Lama. Ia berkata: “Tidak kau bacakah Kitab Sucimu? Mengapa kalian tidak mau mendengar? Kalian bertanya mengapa Allah menimpakan holocaust? Nah, jika kalian baca Kitab Suci, kalian akan tahu mengapa. Penghakiman Allah, penghakiman terakhir sedang mendekat – dan ini lebih buruk daripada semua holocaust jika kalian tidak mau mendengarkan Dia.
Bagaimana kita menjalani waktu yang tersisa ini?
Jadi, bagaimana kita harusnya menjalani hidup kita? Jika Anda menyadari bahwa kita hanya punya sisa waktu yang singkat, akankah Anda melanjutkan cara hidup Anda sekarang ini? Yesus memberikan perumpamaan yang secara tepat menggambarkan hal ini. Ia berkata, “Ada lima orang gadis yang bijaksana dan lima orang gadis yang bodoh. Kedua kelompok membuat persiapan masing-masing. Akan tetapi kelompok yang satu membuat persiapan penuh; yang lainnya membuat persiapan yang tidak memadai. Lima orang yang persiapannya tidak memadai, apa yang terjadi? Mereka ditinggalkan. Mereka ditolak. Padahal kedua kelompok sama-sama membuat persiapan. Inilah bagian yang mencemaskan saya. Yaitu ketika kita telah membuat persiapan, kita berpikir, “Nah, ini sudah cukup. Aku sudah bersiap-siap. Aku sudah siap dengan minyak. Lampuku sudah menyala.” Namun pada akhirnya, lima orang ditolak dan hanya lima orang yang diperbolehkan masuk. Jika kita memakai persentase itu, berarti akan ada separuh orang Kristen yang diselamatkan dan separuh lagi tidak diselamatkan. Ditolak berarti tertinggal dalam kegelapan yang paling gelap. Itulah yang dikatakan oleh perumpamaan ini. Jika kita pakai persentase tersebut, jelaslah ini merupakan suatu peringatan serius. Saya harap Anda di sini tidak termasuk bagian dari mereka yang tertinggal di luar karena hanya separuh yang diselamatkan.
Saya membagikan hal ini karena keprihatinan saya tetapi apa yang akan Anda lakukan dengan kesaksian ini adalah urusan Anda. Saya sudah menyelesaikan kewajiban saya. Saya sudah memberitahu Anda apa yang disampaikan oleh Firman Allah, sesuai dengan bukti-bukti yang ada. Sebagai seorang hamba Tuhan, saya sudah menyelesaikan kewajiban saya. Seorang utusan sekadar menyampaikan pesan. Apa yang Anda lakukan dengan pesan tersebut, menjadi urusan Anda sendiri dan masalah Anda, dan tidak ada kaitannya lagi dengan sang utusan. Saya sangat prihatin dengan cara hidup orang-orang Kristen: kesembronoan, kecenderungan untuk mementingkan hal-hal yang bersifat sementara yang akan segera berlalu, dan pemborosan tenaga dan waktu untuk hal-hal yang tidak berarti. Seperti yang dikatakan oleh Yesus di Yohanes pasal 6, “Mengapa kalian bekerja keras untuk sesuatu yang bukan roti,” yaitu, yang tidak punya nilai kekal? Anda bekerja untuk sesuatu yang fana. Adakah sesuatu yang Anda kerjakan sekarang ini yang memiliki nilai kekal? Pikirkanlah apa yang sudah Anda kerjakan hari ini. Apa saja dari kegiatan Anda hari ini yang bernilai kekal? Jika Anda bersaksi kepada orang lain, itu ada nilai kekalnya. Jika Anda mengasihi orang lain, merawat seseorang, itu ada nilai kekalnya. Namun apa nilai kekal dari hal-hal lain dalam kegiatan Anda? Pikirkanlah hal itu.
Izinkan saya untuk menarik kesimpulan. Bagaimana kita akan menjalani sisa waktu yang kita miliki agar kita bisa yakin, dan bukan sekadar berharap, bahwa kita boleh masuk dan pelita kita tetap menyala sampai Yesus datang? Bagaimana kita memastikan kita tidak seperti kelima orang gadis yang bodoh itu yang di saat-saat terakhir kehilangan terang. Pokok yang penting adalah dua hal yang saling berkaitan ini, “Siapa yang tidak mengasihi Yesus…” Itu adalah kunci pokok. Segala sesuatunya bergantung pada kasih.
Allah memakai sebuah film untuk menyalakan kasih kepada Yesus
Kasih bisa hal yang sangat mudah, tetapi bisa luar biasa susahnya. Itulah paradoksnya. “Jika seseorang mengasihi” – seluruh perkara terpusat pada urusan mengasihi Yesus, yang juga berarti saling mengasihi antara satu dengan yang lainnya. Tidak ada istilah mengasihi Yesus tanpa mengasihi sesama manusia. Tidak ada itu. Jika saya berkata, “Aku mengasihi Allah,” akan tetapi masih ada orang yang tidak saya kasihi, berarti saya munafik karena saya tidak akan bisa memisahkan manusia dari kasih Allah. Subjek tentang kasih ini sangat sulit dan saya tidak tahu pasti bagaimana menguraikannya karena hal ini berkaitan dengan kehidupan langsung, tidak ada kaitannya dengan sekadar kata-kata. Kasih itu bisa seperti, seseorang yang menyalakan korek api dan kemudian menyalakan pelita atau menyalakan lilin. Ini adalah suatu tindakan. Hal ini bukan sekadar omongan. Anda bisa saja berbicara tentang ‘kasih’ sampai lidah Anda kering, tetapi Anda belum tentu melakukannya.
Saya akan membagikan pengalaman saya. Tuhan menyalakan api melalui Roh Kudus-Nya; menyalakan saya dengan api kasih dan saya bangkit dalam kobaran api tersebut. Itu adalah pengalaman yang unik dan saya masih menyimpan pengalaman tersebut di memori saya. Kadang-kadang saya bertanya-tanya, apakah kasih saya sudah menurun? Saya sangat cemas akan hal itu. Saya masih ingat bagaimana api itu mulai membakar di dalam hati saya. Tuhan memakai sebuah film untuk berbicara kepada saya dan film itu berjudul “The Little Woman (Perempuan Kecil).” “The Little Woman” yang dimaksudkan itu adalah Gladys Aylward. Gladys Aylward adalah seorang perempuan Inggris dan saya sempat mendengar ceramahnya ketika masih kuliah di London. Saat itu dia sudah tua dan saya masih mahasiswa. Kami mengundangnya dan ia dengan sangat murah hati datang dan ia juga memberi kesaksian. Wanita Inggris ini membaca Alkitab berbahasa Tionghoa. Dia hanya memakai Alkitab berbahasa Tionghoa dan dia berbicara dalam bahasa Mandarin. Dia bukanlah orang yang berpendidikan tinggi, tetapi satu-satunya Alkitab yang dia baca adalah Alkitab berbahasa Mandarin. Ini membuat kami semua merasa malu. Di tangan kami semuanya memegang Alkitab berbahasa Inggris dan di hadapan kami ada seorang perempuan Inggris yang berceramah kepada kami dengan memakai Alkitab berbahasa Mandarin, jadi kami merasa sedikit bersalah.
Film itu berkisah tentang dirinya. Saya tidak ingat apakah saya menonton film ini sebelum atau setelah bertemu dengannya. Perempuan sederhana ini meninggalkan kehidupannya yang nyaman di Inggris dan berangkat ke Tiongkok tanpa dukungan dari satu pun lembaga penginjilan karena dia bukan orang penting. Dia tidak punya latar belakang pendidikan; tidak pernah ikut pelatihan, tidak punya apa-apa! Siapa yang mau menerima orang yang bukan siapa-siapa ini? Tidak ada lembaga penginjilan yang mau mendukungnya. Dia berangkat sendiri ke Tiongkok hanya berbekal keyakinan pada Tuhan. Dia tak bisa berbahasa Mandarin; dia tidak punya satu pun kenalan di Tiongkok. Dia harus belajar bahasa Mandarin di sana. Dia dipanggil “Little Woman (Perempuan Kecil)” karena tubuhnya memang sangat kecil dan terlihat sangat rapuh. Akan tetapi kasihnya menyulut api di Tiongkok. Siapakah yang dia layani? Dia melayani anak-anak yatim piatu atau anak-anak yang kehilangan orang tuanya. Tiongkok mengalami banyak, sangat banyak peperangan. Akibat dari semua peperangan itu adalah banyaknya anak-anak yang menjadi yatim piatu. Begitu banyak anak yatim piatu! Saya rasa mereka yang berasal dari Tiongkok daratan pasti tahu situasi ini. Saya sendiri ingat pada masa-masa pengungsian itu: tentang anak-anak di Tiongkok yang menangis karena tak dapat menemukan orang tuanya, kelaparan di jalanan, keluyuran dengan pakaian rombeng, hanya tersisa kulit dan tulang. Ada banyak sekali anak-anak seperti ini di seluruh Tiongkok. Demikianlah, bukannya menikmati kehidupan yang nyaman di Inggris dia mengumpulkan anak-anak itu dari jalanan dan mengasuh mereka dengan sumber daya yang sangat terbatas, karena dia tidak didukung oleh satu pun lembaga penginjilan. Yang mendukungnya hanyalah beberapa temannya di Inggris, yang kasihan padanya atau mencoba untuk mendorong semangatnya, mereka mengirimkan sedikit uang dan ia memakai semuanya untuk merawat anak-anak terlantar itu.
Lalu datanglah tentara Jepang. Gladys harus melarikan diri bersama rombongan anak-anak ini. Mereka tidak bisa bergerak cepat dan rombongan tentara Jepang terus mendekat. Dia berusaha keras untuk mempercepat pergerakan anak-anak itu ke wilayah yang dikuasai oleh Tiongkok untuk meluputkan mereka dari tentara Jepang dan kekejaman yang luar biasa itu. Dia mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan anak-anak itu. Mengapa ia mau datang ke Tiongkok dan mempertaruhkan nyawanya di zaman peperangan? Hal itulah yang diperlihatkan oleh film ini.
Ada seorang pemuda Tiongkok yang tersentuh oleh kasihnya dan ikut membantu pelayanannya. Dia melihat betapa besarnya kasih Gladys bagi anak-anak itu dan ia merasa bahwa Gladys perlu dibantu. Pemuda yang mengasihi Tuhan ini membantu Gladys Aylward. Saat tentara Jepang bergerak semakin dekat dan sebuah detasemen tentara Jepang mulai mengepung. Bagian yang menyentuh hati saya adalah tentang pemuda itu. Anak muda ini punya masa depan yang baik. Ia menatap ke belakang dan melihat tentara Jepang yang semakin dekat. Ia berpikir, “Apa yang harus kulakukan?” Lalu ia berkata, “Baiklah, aku akan melakukan ini.” Ia mengalihkan perhatian mereka dan ia mulai berlari ke arah yang berlawanan untuk memberi kesempatan kepada anak-anak dan Gladys Aylward melarikan diri dari pengejaran tentara Jepang. Ia tahu bahwa ia sedang menghadapi resiko kematian yang pasti, tetapi itulah satu-satunya cara untuk Gladys Aylward dan anak-anak punya waktu untuk meloloskan diri. Dia mulailah dan tentara Jepang menembaknya. Dia berlari zigzag tetapi dia tidak mungkin dapat lepas dari pengejaran satu pasukan. Pada akhirnya, mereka berhasil menangkapnya dan membunuhnya. Namun karena pengorbanannya, anak-anak selamat.
Saya masih ingat bagaimana kisah ini membuat saya sangat tersentuh. Saya rasa itulah korek api yang Tuhan pakai untuk menyalakan api di dalam hati saya. Saya berpikir, “Dapatkah saya melakukan hal yang sama?” Saya membatin, “Tidak. Tidak bisa. Saya terlalu egois. Saya tidak dapat melakukannya.” Demikianlah, orang muda ini jauh mengungguli saya. Mengapa saya tidak punya kasih seperti dia? Saya begitu terikat dengan kehidupan yang saya jalani, masa depan saya, pendidikan saya, dan hal ini dan itu yang berkisar pada diri saya sendiri. Anak muda ini sadar bahwa kalau ia tetap dalam rombongan, ia akan dibunuh, seperti yang lainnya. Karena tidak mungkin mereka dapat lolos dari pengejaran tentara Jepang. Jadi, seandainya ia harus mati, pikirnya, “Mengapa bukan aku saja yang mati supaya mereka bisa selamat?”
Sungguh ajaib cara Tuhan memakai peristiwa itu, yang tergambar lewat adegan film, untuk menyalakan api di hati saya. Saya ingat betapa kasih Allah tercurah ke hati saya akibat tindakan dari orang ini dan juga contoh darinya. Ia memikul salib. Seperti Yesus, ia menanggung penyaliban itu. Hati saya menyala! Untuk waktu yang cukup lama, saya melangkah di dalam kasih, membiarkan kasih yang sama menggerakkan saya. Saya berkata, “Tuhan, berikanlah saya kasih yang seperti itu. Saya tidak memilikinya. Saya orang yang egois. Taruhlah kasih itu di hati saya.” Tuhan mendengar permohonan saya dan saya diberi kasih itu. Sangatlah indah berjalan di dalam kasih itu.
Biarlah api kasih Allah menyala di dalam kita
Di 1 Yohanes 4:8 dan 4:16 dikatakan, “Allah adalah kasih, dan orang yang berdiam di dalam Allah berarti berdiam di dalam kasih.” Pada waktu itu, saya merasakan betapa kuat hadirat Allah. Allah begitu dekat dengan saya karena saya hidup di dalam kasih-Nya, kasih yang menyala di dalam hati. Sungguh luar biasa bagaimana pengorbanan anak muda yang saya bahkan tidak tahu namnya telah menyentuh hati saya dan mulai menyala api di dalam diri saya. Tanpa sepengetahuan saya, api yang ternyala itu turut dirasakan oleh orang lain.
Satu-satunya hidup yang bisa mempengaruhi kehidupan orang lain adalah hidup yang mengandung api kasih Allah. Pengaruh kita tidak bergantung pada seberapa fasih Anda berkhotbah. Orang muda itu tidak pernah berkhotbah. Ia tidak pernah mendapat kesempatan untuk berkhotbah. Kehidupanlah yang mengerjakan segalanya. Api adalah terang. Itulah yang penting. Lima orang gadis itu pada awalnya memiliki terang. Mereka pernah memiliki kasih kepada Yesus, jika tidak maka mereka tidak akan menantikan dia. Akan tetapi mereka tidak dapat pertahankannya sampai akhir. Saat Yesus datang, api itu sudah padam. Namun kelima gadis yang lain, mereka menjaga api itu tetap menyala sampai pada akhirnya. Masih menyala sampai pada saat Yesus datang.
Jadi yang mau saya sampaikan adalah sisa waktu kita sangat singkat. Namun jika Anda hidup di dalam api kasih-Nya dan membiarkan Dia menyalakan hati Anda di setiap waktu, Anda tidak perlu khawatir. Tidak perlu peduli apakah itu tiga tahun, empat tahun, dua tahun atau sepuluh tahun? Jika Anda sudah hidup di dalam hadirat-Nya. Anda tidak takut lagi akan akhir zaman, karena Anda tidak lagi hidup demi diri sendiri. Api Allah telah memanaskan Anda. Saat Anda hidup di dalam kasih-Nya, sekalipun Anda sepertinya tidak mengerjakan sesuatu yang hebat, banyak hal yang akan terjadi.
Ada seorang teman lama yang memberitahu saya, “Aku sekarang melayani Tuhan.” Hal yang mengagetkan saya. Dia telah menjadi seorang imam Katholik dan dia berkata bahwa ia melayani Tuhan karena saya. Saya terkejut dan berkata, “Saya tidak tahu itu. Kapan kejadiannya?” Saya tidak ingat pernah mengajaknya untuk pelayanan. Ia berkata, “Tidak, kamu tidak mengajakku untuk ikut pelayanan, tetapi ketika aku melihat kehidupanmu, api Allah yang menyala dalam hatimu, aku tahu bahwa hal itulah yang kuinginkan.” Pada saat itu, ia baru saja menyelesaikan kuliah di teknik mesin. Ia punya masa depan di bidang itu. Namun, ia malah masuk pendidikan calon imam. Ia menjadi imam karena dia berasal dari keluarga Katholik. Dia tidak berbeda dengan kita, masih bergabung dalam kelompok PA kami setelah menjadi seorang imam.
Dulu kami pernah tinggal di wisma pelajar yang sama, Wisma Pelajar Internasional di London, dan kami sering berkumpul bersama pada saat makan dan sebagainya. Kalau orang lain yang berangkat untuk menjadi imam, saya bisa percaya itu, tetapi tentunya bukan Wilfred. Mengapa? Karena dia orang yang sangat terikat pada keduniawian. Ia sangat gemar berkencan dengan para gadis. Bagaimana mungkin orang seperti ini bisa menjadi imam? Berarti untuk seumur hidupnya, dia tidak akan pernah menikah. Bagi saya itu adalah hal yang mustahil. Percaya atau tidak, Wilfred kemudian menjadi imam dan masih menjadi imam sampai sekarang ini, seorang imam yang mengasihi Tuhan. Dia berkata saya orang yang bertanggungjawab atas keputusannya untuk menjadi imam. Sesuatu hal yang tidak pernah terbayangkan oleh saya. Ketika ia memberitahu saya tentang hal itu, mulut saya ternganga lebar karena terkejut.
Saya hanya ingin memperlihatkan kepada Anda bahwa hal itu bisa terjadi tanpa perlu adanya khotbah. Jangan berkata pada diri Anda, “Aku tidak punya cukup pengetahuan tentang Alkitab. Aku tidak cukup pandai. Aku tidak fasih berbicara.” Itu tidak menjadi masalah. Satu-satunya hal yang Anda butuhkan adalah api kasih Allah. Mengapa disebut ‘api’? karena kasih memang membakar. Orang yang sedang dibakar cinta, dalam pengertian manusiawi, memahami bahwa perasaan itu memberi kehangatan. Membuat hati Anda terasa hangat, benar? Namun, tentu saja, kasih manusia bisa mengalami penurunan, kemerosotan. Sementara kasih Allah, karena kemurniannya, justru mengalami peningkatan dalam hal kekuatannya. Itu sebabnya tidak kira siapa Anda, satu-satunya hal yang Anda butuhkan adalah kasih. Biarlah kasih Allah menyalakan api di dalam diri Anda, dan hal-hal yang luar biasa akan terjadi melalui Anda.
Paulus menekankan Kasih, bukannya Karunia Rohani
Banyak orang yang berbicara tentang hal dipenuhi oleh Roh Kudus. Saya memiliki banyak teman dari kalangan karismatik dan mereka gemar berbicara tentang hal dipenuhi oleh Roh Kudus dan tentang karunia-karunia Roh. Kemarin, saya berbicara dengan seorang saudara yang bercerita kepada saya tentang bagaimana pengalamannya berbahasa roh dan sebagainya. Saya menyimaknya sejenak. Tentu saja, dia sangat bergairah dengan pengalamannya berbahasa lidah dan seterusnya. Karunia roh bukanlah hal yang asing bagi saya. Saat saya menyimak pembicaraannya timbul suatu kekhawatiran di hati saya. Kekhawatiran karena dia mengira bahwa dia seorang yang rohani hanya karena dia mendapatkan beberapa karunia rohani, seperti bahasa lidah dan penyembuhan. Bahasa lidah pada kenyataannya merupakan karunia yang paling kecil, menurut Paulus.
Tuhan pernah memakai saya untuk menyembuhkan orang, tetapi saya tidak memandang hal itu sebagai karunia penyembuhan. Saya pernah berdoa atas orang-orang yang terkena tumor besar di dalam satu kasus dan sebuah tumor kecil di bibir dalam kasus yang lain. Keduanya akan menjalani pembedahan. Keduanya sudah difoto rontgen dan dipastikan terkena tumor. Dalam kasus perempuan yang lebih tua, tumor besar itu terletak di bagian uterusnya. Dalam kasus perempuan yang lebih muda, ia terkena tumor yang lebih kecil, namun sangat menyakitkan, menekan urat syaraf di dalam bibirnya. Satu-satunya alasan mengapa saya berdoa bukanlah karena saya merasa memiliki karunia penyembuhan melainkan karena rasa kasihan akibat melihat penderitaan rasa sakit mereka yang sedang menunggu saat untuk dioperasi. Rencana operasi masih beberapa hari lagi dan rasa sakit mereka sudah tak tertahankan lagi. Hati saya digerakkan oleh belas kasihan. Saya berdoa bagi mereka dan di dalam kedua kasus tersebut tumornya lenyap begitu saja. Hilang. Saat jadwal operasi tiba beberapa hari kemudian, mereka bertanya, “Apa yang terjadi dengan tumornya?” Tumor sebesar itu bisa lenyap dalam tiga, empat hari bukanlah hal yang mungkin terjadi. Mereka memeriksa lagi foto sinar-X yang sebelumnya dan berkata, “Yah, mestinya ada tumor di tempat ini.” Kemudian mereka bandingkan dengan foto sinar-X yang baru untuk memastikan lokasi yang tepat bagi operasi yang akan dilakukan hal yang lazim mereka lakukan dan memang tidak ada tumor di sana.
Akan tetapi kita tidak boleh berpikir bahwa kita rohani hanya karena Allah memakai kita untuk menyembuhkan orang lain. Itulah kesalahan yang menimpa banyak saudara karismatik kita. Saat kita punya karunia tertentu, kita memandang bahwa kita itu lebih rohani dibanding orang lain. Itu sebabnya banyak sekali gereja karismatik yang menghadapi bahaya kemerosotan akibat terlalu menekankan pada perkara karunia rohani. Baris pertama di 1 Korintus 13:1 berkata, “Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat…” Tetapi apa? Anda dapat berbahasa malaikat? Anda dapat berbicara dalam bahasa manusia, bahasa asing? Anda berbicara dalam bahasa manusia atau malaikat, atau sejenis bahasa di surga yang tidak dipahami oleh siapapun. Namun Paulus berkata, “Sekalipun aku bisa berbicara dalam bahasa-bahasa itu, tetapi aku tidak memiliki kasih, aku akan seperti gong. “Bong! Bong! Sangat berisik. Mereka yang di aliran karismatik tidak begitu suka dengan kalimat itu, bahwa: “Bahasa lidahku akan seperti gong yang berisik?” Jika saya tidak memiliki kasih, saya tidak ada artinya. Hampa! Saya tidak peduli karunia apapun yang Anda miliki. Jika saya memiliki iman yang bisa memindahkan gunung dan saya berkata kepada gunung ini, “Berpindahlah!” dan ia berpindah, tetapi saya tidak memiliki kasih, saya tidak ada artinya.
Poin yang perlu kita pahami adalah: satu-satunya hal yang penting bagi Allah adalah kasih. Jika Anda memilikinya, maka Anda memiliki semuanya. Jika Anda tidak memilikinya, Anda tidak punya apa-apa. Itulah poinnya. Saat Anda membaca kesaksian saya, jangan berpikir bahwa saya adalah orang yang rohani. Saya hanya ingin menyampaikan apa yang Tuhan telah lakukan, bukan apa yang saya kerjakan. Kebanyakan biografi bercerita tentang apa yang sudah dilakukan oleh orang itu. Saya hanya ingin memberitahukan apa yang telah Allah kerjakan, bukan apa yang saya kerjakan karena apa yang saya lakukan itu tidak ada artinya. Yang paling penting adalah kasih.
Hal ini juga berkaitan dengan kehidupan gereja. Di sini Anda memiliki satu kelompok kecil. Seberapa besar atau seberapa kecil bukanlah hal penting. Satu-satunya yang penting di dalam gereja adalah kasih. Keluarkanlah kasih dari gereja dan apa yang tersisa? Dapatkah Anda memberitahu saya apa yang tersisa ketika Anda menarik kasih keluar dari gereja? Hanya semacam perkumpulan sosial. Itulah yang tersisa: perkumpulan sosial. Dan jika Anda menginginkan perkumpulan sosial, masuk saja ke organisasi Alcoholic Anonymous atau YMCA atau yang lainnya karena di tempat-tempat itu, kasih tidak dipersoalkan; kasih bukan hal yang pokok. Akan tetapi gereja tanpa kasih sama sekali tidak berarti. Tidak ada artinya! Tidak peduli apakah Anda memiliki 2000 orang jemaat di sana. Apa gunanya memiliki jemaat 2000 orang dan mereka tidak memiliki kasih?
Sangat susah mempertahankan kasih di dalam Gereja
Kasih di gereja tidaklah bergantung pada apakah saudara yang di sebelah Anda mengasihi Anda. Kasih tidak pasif – kasih tidak menanti orang lain mengasihi saya terlebih dahulu. Yang penting adalah apa kontribusi Anda bagi kehidupan jemaat? Jawabnya adalah kasih yang Anda berikan pada orang lain. Jika setiap orang melakukannya, apa yang akan terjadi? Anda mendapatkan kasih yang berlimpah. Ini suatu hal yang indah. Oleh karena itu kesehatan gereja ini sangat bergantung pada Anda. Tidak bergantung pada pemimpin. Apa yang bisa dilakukan oleh pemimpin sangat terbatas. Kebanyakannya bergantung pada Anda. Anda bisa menjadikan gereja ini rumah kasih, seperti keluarga, rumah sendiri. Namun jika setiap orang hanya mau mengambil dari gereja, dalam hal kasih dan dukungan, dan tidak mau memberikan apapun, maka tentu saja, gereja mengalami defisit. Apakah akan terjadi kelimpahan atau kekurangan kasih, semua itu bergantung pada para jemaat.
Kemerosotan gereja terjadi karena kurangnya kasih. Sangat sangat susah mempertahankan kasih di dalam gereja. Di awal pembentukan gereja, jemaat menjadikan kasih prioritas mereka. Setiap orang di kala itu membagikan kasihnya. Bukan uang! Uang bukan hal yang penting. Yang penting adalah hati Anda. Pada masa itu, orang yang datang ke gereja akan berkata, “Ada sesuatu yang berbeda pada gereja ini.” Mereka mencoba memahami apa itu. Ada api dan kehangatan. Saya masih ingat tentang saudara Harold yang mengendarai mobil selama enam jam dari kotanya hanya untuk ikut ibadah. Harold adalah seorang saudara berkebangsaan asing yang telah kehilangan satu kakinya karena kanker ketika ia masih muda. Namun dengan keadaannya itu, dia akan menempuh 12 jam perjalanan setiap minggu untuk beribadah bersama. Di musim panas atau musim dingin, saudara ini tetap melakukan perjalanan tersebut. Kami bertanya, “Tidakah Anda lelah? Mengapa Anda melakukan hal ini?” Ia berkata, “Hal ini tidak sia-sia! Tidak sia-sia karena saya mendapatkan keluarga. Saya mendapat kasih.” Sangatlah penting untuk mengetahui apa yang mendorongnya untuk datang. Perjalanan yang ditempuh sangatlah lama! Bayangkanlah tentang hal mengendarai mobil sekitar dua belas jam (pulang pergi) tanpa menghitung waktu istirahat.
Adakah sesuatu di dalam gereja ini yang akan menarik orang-orang datang ke gereja? Apakah satu jam atau enam jam perjalanan, jika ada kasih, orang akan datang. Hal ini tidak harus karena adanya khotbah yang indah, tetapi karena adanya sesuatu di sini, yang tidak bisa mereka dapatkan di tempat lain. Hal ini tidak terjadi lagi di gereja itu, sejujurnya saya katakan kepada Anda. Saya tidak lagi melayani di gereja itu selama lima belas sampai enam belas tahun. Saya sudah meninggalkan kota itu dan kasih adalah hal yang sangat susah dipelihara. Masih ada kasih yang tersisa tetapi tidak lagi seperti dulu. Dengan membagikan hal ini dengan Anda, saya berharap, demi kebaikan rohani Anda, juga demi kebaikan gereja, Anda akan mengizinkan api dari atas untuk datang dan menyalakan api kasih di dalam hati Anda.
Kasih terjadi saat ada kesatuan antara kehendak kita dengan kehendak Allah
Bagaimana kita memahami hal dipenuhi oleh Roh? Anda dipenuhi oleh Roh bukan karena Anda berbahasa lidah, bukan karena Anda menyembuhkan orang sakit. Jangan biarkan orang lain menipu Anda dengan penjelasan semacam ini. Saya menyampaikan hal ini dengan wewenang Alkitab. Bukan karena Anda memiliki iman yang bisa memindahkan gunung melainkan karena Anda memiliki kasih. Rasul Paulus menegaskan hal ini supaya kita tidak membuat kesalahan. Di Roma 5:5, Paulus berkata bahwa Allah telah mencurahkan kasih-Nya kepada kita semua. Kata dalam bahasa Yunaninya adalah kata-kata yang persis sama dengan yang dipakai di Kisah pasal 2 tentang pencurahan Roh Kudus yang memenuhi setiap orang di loteng saat itu. Dipenuhi oleh Roh berarti dipenuhi oleh kasih Allah. Dan kasih itu sudah dicurahkan. Dengan kata lain, terserah pada kita apakah akan menerimanya. Jika Anda tidak memilikinya, hal itu bukanlah karena Allah tidak memberikannya. Hal itu karena Anda belum membuka hati untuk menerimanya. Hal ini sangat sederhana sebetulnya, Anda hanya perlu untuk membuka hati Anda dan membiarkan kasih-Nya tercurah masuk.
Bagian yang sulit adalah hati kita sangat keras menolak kasih-Nya. Mengapa? Hal ini sangat berkaitan dengan masalah kehendak. Untuk dapat menerima kasih itu, kita perlu menangani kehendak kita. Hati menolak untuk menerima kasih ini. Kita tidak mau membiarkan kasih itu masuk ke dalam hidup kita karena takut bahwa kasih itu akan menjungkir-balikkan kehidupan kita. Sifat kasih dari Allah tidak memaksa. Kasih tidak pernah memakai paksaan. Ia sangatlah indah, lembut dan baik, seperti yang disebutkan di 1 Korintus pasal 13. Allah tidak pernah memaksa orang. Anda tidak mau menerima Dia, walaupun Dia berkuasa, Dia tidak akan melumatkan Anda seperti semut. Ia menghormati kehendak Anda. Namun Anda harus menanggung akibat dari keputusan Anda. Jadi, hal yang perlu kita lakukan hanyalah berkata kepada Tuhan, “Aku ingin agar kehendak-Mu menjadi kehendakku juga.” Dengan kata lain, tak ada hal lain yang ingin Anda lakukan kecuali melakukan kehendak-Nya. Dan kehendak-Nya itu, karena sudah merupakan hakekat-Nya, adalah kasih. Jadi, hasilnya adalah ketika Anda hanya ingin melakukan kehendak-Nya saja, maka kehendak-Nya akan menjadi kehendak Anda juga. Selanjutnya akan terjadi kesatuan kehendak. Anda menjadi satu dengan-Nya. Itulah kesatuan yang sejati. Satu-satunya kesatuan yang sejati adalah ketika dua kehendak menjadi satu. Hal yang harusnya dialami pada pasangan yang sudah bernikah. Ikatan pernikahan bukan saja menyatukan Anda secara hukum atau jasmani, tetapi suatu kesatuan kehendak di dalam hati.
Kesatuan yang sejati antara dua orang adalah saat ada kesatuan kehendak. Seperti dua orang sahabat karib, seperti Daud dan Yonatan di dalam Perjanjian Lama; terdapat kesatuan kehendak. Kehendakmu adalah kehendakku; kehendakku adalah kehendakmu. Kesatuan kehendak inilah yang membentuk kesatuan yang sejati. Begitu banyak orang yang terlanjur menikah yang seharusnya tidak melakukannya karena tidak adanya kesatuan kehendak. Kesatuan kehendak bukanlah hal yang sederhana. Butuh waktu untuk membangunnya dan butuh tenaga untuk memeliharanya. Butuh komitmen untuk menopangnya. Itu sebabnya, sangat sedikit terlihat kesatuan kehendak. Namun di masa awal gereja, saat Roh Kudus tercurah di Pentakosta, apa yang terjadi? Kasih Allah tercurah atas setiap orang dan dikatakan bahwa mereka bersatu hati dan satu pikiran. Seluruh jemaat; satu hati dan satu pikiran! Ada kesatuan yang sejati karena kehendak setiap orang tunduk kepada kehendak Allah.
Tidak perlu memikirkan tentang seluruh jemaat. Mulailah dari diri Anda. Bagi saya, setiap hari, saya hanya punya satu tujuan. Dari pagi hari sampai malam hari, hanya ada satu hal yang saya lakukan: “Tuhan, sepanjang hari ini, biarlah hanya kehendak-Mu yang terjadi di dalam hidupku, bukannya kehendakku.” Itulah doa harian saya. Saya tidak berani untuk meminta hal yang muluk-muluk. Itu sudah hal yang paling unggul yang dapat kita raih. Saya tidak memulai hari dengan doa yang fasih kepada Tuhan. Setiap kali saya bangun, saya berlutut dan berdoa: “Tuhan, kehendakku sepenuhnya diserahkan pada kehendak-Mu. Hanya kehendak-Mu yang terjadi.” Terjadi kesatuan kehendak, karena sekarang saya menyingkirkan kehendak saya sendiri dan yang ada adalah kehendak-Nya. Terjadi kesatuan yang sempurna dalam hal kehendak di sepanjang hari. Dari situ, Tuhan memberi saya damai sejahtera dan kekuatan-Nya. Bukan berarti bahwa hari itu akan dilalui dengan mudah, melainkan berarti bahwa apapun yang Dia inginkan, biarlah itu yang terjadi.
Jadi kasih bukan sekadar kata-kata, “Aku mengasihi-Mu, Tuhan. Aku mengasihi-Mu, Tuhan.” Kemudian ketika kita mendapatkan sakit penyakit lalu kita berkata, “Tuhan, apa yang Kau lakukan padaku?” Namun jika saya berkata, “Tuhan, biarlah kehendak-Mu yang terjadi,” sekalipun itu berarti bahwa saya terjatuh ditimpa tangga. Saya akan berkata, “Bagus! Baiklah! Terima kasih, Tuhan. Biarlah kehendak-Mu yang terjadi.” Itu sebabnya saya berkata bahwa Tuhan harus menguji saya. Tuhan mungkin berkata, “Apakah kamu tadi berkata, ‘Kehendak-Ku saja yang terjadi’?’ Apakah kamu serius dengan itu?” Saya berkata, “Ya.” Dia berkata, “Baiklah jika demikian kamu akan mengalami sakit sampai sepuluh hari. Apakah kamu akan tetap berkata, ‘Kehendak-Mu yang terjadi?’” Saya berkata, “Ya, Tuhan, kehendak-Mu yang terjadi. Di dalam kesakitan, kehendak-Mu tetap terjadi.” Apakah kita ini merupakan orang Kristen gampangan? Apakah kasih kita kepada-Nya hanya berlaku di saat keadaan baik semua? Gereja penuh dengan orang-orang semacam itu. Mereka mengejar janji-janji. Jika Anda pergi ke toko buku Kristen, Anda akan menjumpai buku tentang janji-janji. Lucunya buku itu memberikan janji-janji tanpa memberitahu Anda apa persyaratan dari janji-janji itu. Dapatkah Anda menerima janji tanpa syarat? Tidak ada hal seperti itu. Jadi, sebelum Anda berkata, “Oh, karena cara berdoanya adalah ‘Kehendak-Mu yang terjadi,’ aku akan berdoa seperti itu.” Sabar dulu! Jangan buru-buru!
Tujuan saya bukan untuk menakut-nakuti Anda tetapi saya harus mengatakan hal yang sebenarnya. Jika Anda seorang Kristen yang baru, Dia akan memperlakukan Anda dengan sangat pemurah. Anda berdoa, Dia menjawab. Hal ini sering terjadi bagi orang yang baru percaya. Ketika saya masih baru menjadi Kristen, saya berkata, “Tuhan, berikanlah saya ini,” dan saya akan mendapatkannya segera. Seperti seorang ayah yang memperlakukan anak kecil. Anda tentu tidak mau menyusahkan anak kecil. Kadang-kadang Anda harus berkata, “Baiklah, sudah cukup.” Namun sejalan dengan pertumbuhan kehidupan Kristen saya, saya meminta, dan kemudian saya harus menunggu lebih lama. Saya berkata, “Tuhan, sebelum ini Engkau memberiku dengan sangat cepat. Sekarang saya sudah menunggu beberapa hari.” Dia berkata, “Beberapa hari? Itu masih belum apa-apa. Kamu masih harus menunggu beberapa minggu lagi.” “Beberapa minggu lagi? Mengapa Engkau memperlakukan aku seperti ini?” Dia berkata: “Karena engkau sudah bertumbuh sekarang. Saat engkau bertumbuh, engkau tidak akan memperoleh perlakuan yang sama lagi.”
Mengerjakan kehendak Allah akan semakin berat
Apakah Anda menghendaki kasih Allah? Memang hal yang sangat baik, tetapi saya ingin memberitahu Anda sisi yang lainnya. Saya tidak akan menipu Anda. Jangan berkata, “Anda tidak memberitahu saya bahwa ada harga yang perlu dibayar.” Anda berkata, “Kehendak-Mu yang jadi”? Kapan Yesus berdoa seperti itu? Yesus berdoa “…tetapi bukanlah kehendakku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi” di Lukas 22:42. Doa yang dipanjatkan di taman Getsemani. Bukan pada saat di taman Eden yang dipenuhi berbagai macam buah yang lezat. Yesus berdoa agar kehendak Allah jadi di taman Getsemani. Itu sebabnya mengapa saya katakan bahwa bagian yang berat adalah membuka hati Anda untuk berkata, “Tuhan, biarlah kasih-Mu tercurah” dan “Jadilah kehendak-Mu”.
Jadi, ingatlah kasih harus dipertahankan sampai pada akhirnya. Selagi kita dipenuhi kasih, kita tidak mencemaskan kedatangan Yesus yang kedua. Kita harus mendapatkan kepenuhan kasih dari atas. Kasih Allah akan dicurahkan ke dalam hati kita saat kita membuat keputusan untuk membuka hati kita untuk menerimanya. Saat kita dengan segala resiko yang ada berkata kepada Tuhan, “Bukan lagi kehendakku yang jadi, tetapi kehendak-Mu,” saat itulah kepenuhan kasih itu terjadi.