Pastor Eric Chang | Yohanes 15:9- 15 |

Di pesan yang lalu, kita membahas tentang tujuan hidup, tujuan rohani yang Yesus ingin kita kejar. Kita telah melihat bahwa tujuan hidup kita adalah arah tujuan yang ditempuh oleh Yesus sendiri dan kita diminta untuk menempuh arah yang sama. Dan kita telah melihat bahwa arah tujuan tersebut memerlukan kita untuk mengorbankan nyawa kita dan memberikan hidup kita bagi keselamatan umat manusia.


“Saling mengasihi seperti Aku telah mengasihi kamu”

Di pesan kedua di dalam Seri Tujuan Hidup ini, saya akan membahas bagian kedua dari pokok ini. Hal yang perlu kita cermati adalah: kita menyadari arah tujuan umum dari panggilan Yesus kepada kita. Setiap murid dipanggil untuk berjalan di jalur yang sama dengan yang telah dilalui oleh Yesus.

Kita dipanggil untuk menjalani hidup dengan tujuan yang sama, yaitu keselamatan umat manusia. Seperti yang dikatakan oleh rasul Paulus di 2 Korintus 5:15,

“Dan Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka.”

Apakah arti dari untuk dia (for him) itu? Artinya adalah untuk tujuan yang sama dengan tujuan dari kedatangan- nya yaitu keselamatan umat manusia.

Namun, hal ini mencakup bidang yang sangat luas yang perlu kita persempit ke dalam hal- hal yang khusus. Jika tidak, maka kita akan tertahan dalam cita- cita indah yang terdengar sangat hebat akan tetapi kita tidak tahu bagaimana mencapainya. Kita harus uraikan bagaimana tujuan ini bisa diterapkan, bagaimana cita- cita ini bisa diterapkan ke dalam kehidupan sehari- hari. Jika tidak, maka Anda hanya bisa memandang dari jauh cita- cita yang luar biasa ini tanpa mengetahui mau berbuat apa dengan cita- cita ini.

Hal ini dapat diumpamakan kita menyuruh seseorang untuk pergi ke suatu tempat dengan sekadar memberi petunjuk yang umum seperti ini, “Kota ini terletak agak ke barat dari sini.” Petunjuk arahnya secara umum sudah benar dan bagus. Akan tetapi, apa yang harus diperbuat oleh orang ini untuk bisa sampai ke kota itu? Apakah dia langsung masuk ke mobilnya, menyetel kompasnya, dan langsung meluncur ke arah barat? Arah umumnya sudah jelas tetapi titik khusus masih belum jelas. Kita memerlukan petunjuk yang lebih spesifik lagi. Jalur manakah yang membawa kita, dengan tepat, ke arah tujuan tersebut? Inilah pokok yang perlu kita teliti hari ini.

Di pesan yang lalu, di Matius 26:1- 2, Yesus berkata bahwa dalam dua hari lagi, Anak Manusia akan disalibkan. Bagi Yesus, hal ini bukanlah ide muluk yang jauh dari kenyataan. Semua itu akan segera menjadi kenyataan dalam waktu dua hari nanti. Dia akan mencapai tujuan- nya yaitu penebusan umat manusia. Namun bagi kita, apakah makna dari ‘dua hari’?

Kita tidak tahu bagaimana dan kapan tujuan ini akan dicapai di dalam kehidupan kita. Oleh karenanya, kita harus mempersempit bidang pandangan kita untuk melihat dengan jelas bagaimana kita akan mencapainya.

Untuk itu, kita harus mengikuti jejak langkah Yesus karena kita berbagi cita- cita yang sama dengannya. Mari kita periksa beberapa hal yang terdapat di Yohanes 15:9- 15,

“Seperti Bapa telah mengasihi aku, demikianlah juga aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasihku itu. Jikalau kamu menuruti perintahku, kamu akan tinggal di dalam kasihku, seperti aku menuruti perintah Bapaku dan tinggal di dalam kasih-Nya. Semuanya itu kukatakan kepadamu, supaya sukacitaku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh. Inilah perintahku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat- sahabatnya. Kamu adalah sahabat- ku, jikalau kamu berbuat apa yang kuperintahkan kepadamu. Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah kudengar dari Bapaku.”

Yesus berkata kepada setiap orang Kristen, “Jenis kasih yang kutuntut darimu adalah kasih yang sama persis dengan yang telah kuberikan kepadamu.”

Kita diperintahkan untuk saling mengasihi, akan tetapi apakah standar bagi kasih ini? Apakah ukuran bagi kasih ini? Yesus tidak membiarkan kita berada dalam keragu- raguan. Kita harus saling mengasihi ‘seperti’ atau “dengan cara yang sama seperti aku telah mengasihi kamu.”  

Di 1 Yohanes 3:16 dikatakan bahwa Yesus telah menyerahkan nyawanya untuk kita, jadi kita juga wajib menyerahkan nyawa kita bagi saudara- saudara kita. Itu adalah suatu perintah. Perhatikan kalimat, “Inilah perintah- ku.” Jadi ini bukanlah suatu pilihan. Kita tidak punya pilihanya. Tak ada pilihan lain bagi kita. Pilihannya adalah apakah kita akan hidup sebagai seorang murid dan dengan demikian hidup sesuai dengan perintahnya, yakni saling mengasihi. Dan bukan hanya sekadar saling mengasihi, tetapi mengasihi seperti diri kita sendiri!

Kita cenderung ingin berhenti di titik “saling mengasihi” tetapi Yesus berkata, “Perintahku bukan sekadar agar kalian saling mengasihi. Tidak, jenis kasih yang kutuntut darimu sama dengan jenis kasih yang kuberikan kepadamu, yaitu kasih yang semacam ini, ‘Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat- sahabatnya.’ Itulah jenis kasih yang kuinginkan”. Sekali lagi, ini merupakan suatu ideal dan kita ingin menerjemahkan ideal ini ke dalam kehidupan praktis.

Izinkan saya mencoba untuk membantu Anda menangkap gambaran tentang gereja yang ingin Yesus bangun. Saya harap Anda bisa menangkap visi tentang gereja macam apa yang seharusnya muncul jika kita benar- benar taat pada perintah ini. Gereja macam apakah itu?


Cara untuk memperoleh Sukacita

Saya telah sering gagal di dalam hal yang satu ini dan saya dengan setulusnya mengakui hal itu. Di dalam keegoisan saya, seringkali saya tidak mau memberikan kasih yang total semacam ini. Dan mungkin kita semua lebih banyak gagalnya selama ini, dan akibatnya sukacita kita sangat kurang. Perhatikan betapa erat hubungan antara sukacita dengan perintah ini. Di ayat 11, “Semuanya itu kukatakan kepadamu, supaya sukacitaku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh.” Sudahkah Anda perhatikan bahwa setiap kali Anda mulai menjalani hidup yang memberi diri sepenuhnya ini, Anda akan mengalami sukacita yang tidak pernah Anda ketahui sebelumnya. Namun ketika Anda mulai berpusat pada diri sendiri, sukacita itu menghilang. Ini Anda tahu dari pengalaman. Di saat Anda mulai memberi diri dan tidak takut untuk dilukai, maka akan muncul sukacita yang menyegarkan, suatu kedalaman sukacita yang sebelumnya tidak Anda alami.

Cobalah gambarkan sebuah gereja di mana setiap jemaatnya benar- benar memenuhi perintah saling mengasihi di tingkatan yang ini. Setiap jemaat menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan untuk juga saling memberi diri sepenuhnya antara satu dengan yang lain, sehingga komitmen total itu tidak sekadar tertuju kepada Allah. Komitmen total yang dituntut dari Yesus atas kita, juga harus ditujukan antara yang satu dengan yang lainnya.

Kita cukup siap untuk memberi diri sepenuhnya kepada Allah, karena kita percaya kepada Dia. Kita tahu bahwa Allah layak dipercaya. Dia itu bijak, baik, ramah, penuh kasih, murah hati, kadang kala keras, namun selalu ada kemurahan di tengah kekerasan- Nya. Akan tetapi kita tidak bisa mempercayai manusia, sekalipun itu adalah saudara seiman kita. Dan karenanya, perintah untuk memberi diri sepenuhnya kepada saudara kita agaknya melampaui batas kerelaan kita karena kita tidak mempercayai mereka. Kita tidak mempercayai hikmat mereka. Bahkan kadang kala kita juga tidak mempercayai ketulusan mereka. Kita saling tidak mempercayai motivasi masing- masing. Mungkin jika saya membuka diri saya, maka saya akan segera terluka. Jika saya berbagi sesuatu dengan orang lain, mungkin mereka akan menyebarkannya kepada orang- orang lain. Mereka akan menjadikan ini sebagai suatu pokok doa dan secara tidak langsung akan membeberkan persoalan atau kelemahan orang yang didoakan. Kita ketakutan.

Demikianlah, perintah untuk saling memberi diri sepenuhnya kepada saudara seiman terdengar sangat menakutkan bagi kita.

Di dalam firman Allah hubungan antara seorang Kristen dengan orang Kristen lainnya itu sangatlah akrab, sededemikian dekatnya sehingga sangat mirip dengan komitmen antara suami dan istri. Ini adalah komitmen total yang sempurna. Bedanya, di antara saudara seiman, komitmennya murni di tingkat rohani. Akan tetapi komitmen itu tetaplah total. Bersifat total antara yang satu dengan yang lainnya. Namun jenis hubungan seperti itulah yang justru kita takuti.


Syarat untuk Bapa menjawab Doa kita

Akan tetapi, jika Anda pernah mengalaminya, Anda akan tahu bahwa hal ini sangat penting bagi kehidupan rohani kita. Kasih terhadap sesama manusia sangatlah penting bagi kehidupan kita. Ia adalah hal yang vital bagi kuasa rohani yang kita perlukan untuk berfungsi. Mari kita teliti lebih jauh lagi ayat- ayat di dalam Yohanes 15 ini untuk menggambarkan apa yang ingin saya uraikan. Yesus menyatakan bahwa hal ini menentukan apakah Anda punya kuasa, misalnya, di dalam doa Anda. Dia menyatakan bahwa suatu doa akan terjawab atau tidak terjawab sangat bergantung pada ketaatan pada perintah untuk saling mengasihi ini.

Sungguh mengherankan melihat orang- orang berdoa kepada Allah dan mengharap untuk mendapatkan hal ini dan itu. Semestinya Anda tahu, Allah tidak akan menjawab doa Anda sebelum Anda memenuhi dahulu persyaratan dari- Nya. Selanjutnya, di ayat 16, disebutkan hal berikut,

“Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam namaku, diberikan-Nya kepadamu.”

Di sini terdapat kalimat, “Apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama- ku, diberikan-Nya kepadamu,“. Ini merupakan suatu janji untuk memberi kepada Anda apapun yang Anda minta, akan tetapi tetap di dalam konteksnya. Anda tidak bisa menarik ayat ini keluar dari konteksnya. Konteks dari rangkaian ayat ini adalah tentang komitmen total antara satu dengan yang lainnya. Dan orang yang tidak berkomitmen total kepada Allah, tentunya juga juga tidak akan berkomitmen terhadap sesama manusia. Maka orang seperti ini sebaiknya tidak usah mengutip janji ini. Janji ini belum berlaku buatnya.

Setiap orang, tak peduli siapapun Anda, entah Anda ini seorang hamba Allah yang besar atau bukan, justru tidak dipersoalkan. Masalahnya adalah: apakah Anda seseorang yang berkomitmen total kepada Allah dan kepada saudara seiman? Allah memberi kita tantangan: kamu hidup sebagaimana yang Aku perintahkan kepadamu dan kamu boleh minta apa yang kamu kehendaki. Aku akan menjawabnya. Nah, ini adalah tantangan yang adil. Jika Allah bukanlah Allah, maka Dia tidak akan mampu menjawab doa Anda. Dia tidak akan berani memberi tantangan semacam ini.


George Mueller: tokoh yang semua doanya terkabul

Dan bukan hanya Yesus saja yang menantang Anda, saya juga ikut menyampaikan tantangan kepada Anda. Cobalah dan Anda akan menemukan seperti halnya George Mueller, di mana tidak sekali pun Allah yang hidup gagal menjawab doanya. Di dalam biografinya, terdapat 50.000 kejadian doa yang terkabulkan. Orang dari Jerman memang terkenal sebagai orang yang sangat teliti. Mueller mencatat setiap doa dan setiap jawaban kepada doannya secara rinci. Perlu seorang Jerman untuk melakukan hal itu, namun sungguh luar biasa. Pada akhir hayatnya, dia bisa berkata bahwa dia memiliki 50.000 pokok doa yang dikabulkan. Malahan, menjelang ajalnya, seseorang bertanya kepadanya, “Adakah doamu yang tidak dikabulkan?” Dia menjawab, “Yah, ada dua orang yang aku doakan dan doa tersebut masih belum dikabulkan.” Lalu dia menyebutkan siapa kedua orang tersebut. Kemudian, setelah kematiannya, orang- orang ini mencari tahu tentang keadaan kedua orang tersebut, dan mereka mendapati bahwa doa Mueller atas kedua orang itu  telah dikabulkan, hanya saja dia kurang panjang umur untuk mengetahui bahwa doanya sudah dikabulkan. 50.000 doa dan 50,000 jawaban doa! Mengapa bisa begitu? Karena George Mueller adalah orang yang berkomitmen total kepada Allah dan juga berkomitmen total kepada umat Allah. Dia bisa meminta apapun yang dia kehendaki dan mendapatkannya.

Yesus memiliki keyakinan yang sama, di Yohanes 11, dia berkata kepada Bapa, “Aku tahu bahwa Engkau selalu mendengarkan- ku.” Waah! Itu adalah hubungan yang luar biasa indahnya dalam melangkah bersama Allah. Inilah jenis hubungan yang menjadi panggilan dari Allah kepada kita. Tetapi syaratnya adalah kita harus taat pada perintah saling mengasihi seperti Tuhan mengasihi kita.

Saya berani bersaksi bagi Anda, walaupun saya tidak berani mengklaim bahwa saya telah memenuhi syarat untuk memberi diri sepenuhnya kepada sesama manusia. Mungkin hanya dalam tingkatan tertentu, akan tetapi tidak sepenuhnya. Akan tetapi, Allah, di dalam kemurahan- Nya, telah menjawab doa saya berulang kali dan bahkan dalam wujud yang jauh melampaui apa yang layak saya terima atau bahkan melampaui apa yang bisa saya harapkan atau bayangkan. Dia tetap menjawab, di dalam kemurahan- Nya sekalipun saya jauh dari sempurna. Sesunguhnya, Allah kita adalah Allah yang ajaib! Allah yang hidup!


Landasan penting kehidupan rohani kita

Komitmen antara sesama bukan hanya penting dalam hal terkabulnya doa- doa kita tetapi juga penting bagi landasan kehidupan rohani kita. Dan beginilah cara Tuhan mengajari saya akan hal ini. Dia mengajari saya pokok ini melalui kematian ibu saya. Izinkan saya menyampaikan kesaksian kepada Anda akan hal ini.

Ketika ibu saya meninggal, saat itu saya baru saja pulang dari khotbah keliling di Ontario. Dan ketika saya kembali, saya benar- benar kelelahan. Esok paginya, saya merasa seperti orang yang baru saja melakukan pertandingan tinju, seperti baru terkena pukulan di dagu. Pikiran saya kosong dan saya sangat letih. Kemudian Helen, istri saya masuk sambil membawa suatu berita, dan saya menatap ke arahnya sambil membatin, “Oh, pasti ada yang tidak beres,” karena saya lihat dia tampaknya tidak mampu berbicara apa- apa. Lalu saya bertanya, “Ada apa?” Dia hanya menyerahkan telegram itu kepada saya tanpa berbicara.

Pesan itu mengabarkan bahwa ibu saya meninggal dunia. Saya tidak tahan membacanya. Berita itu serasa tidak benar karena terakhir kali bertemu ibu saya tampak sangat segar dan bahagia. Saya baru saja menerima surat darinya beberapa hari yang lalu. Berita ini merupakan kejutan yang sangat memukul dan sangat menghentak hati saya. Telegram itu juga berisi panggilan, “Harap datang secepatnya.” Dan saya memeriksa jadwal saya, dan membatin, “Bagaimana saya bisa melewati semua ini?” Saya hanya punya waktu seminggu untuk pergi ke Swiss dan segera kembali lagi karena saya sudah dijadwalkan untuk khotbah keliling ke tiga propinsi lain di Kanada.

Ketika saya tiba ke apartemen ibu dan saya memasuki apartemennya, tempat itu terasa seperti sedang ditinggal untuk sebentar saja oleh ibu saya. Terlihat sangat rapi. Tidak ada yang berantakan, tidak ada yang bergeser dari tempatnya, semuanya tertata rapi, bersih sempurna. Seolah- olah ibu saya bisa saja kembali melalui pintu apartemen itu setiap saat. Dan, selama beberapa malam, saya hanya berlutut di hadapan Tuhan dan berkata, “Tuhan, aku tidak mengerti hal ini. Apa arti semua ini?” Dan saya merasa terang sedang berlalu dari hidup saya. Saya merasa seperti ada lubang yang besar di dalam hati saya. Dan lubang ini terbuka terus sampai beberapa tahun. Rasanya tak ada hal yang bisa mengisi dan menutupi lubang tersebut.

Saya tidak bisa memahaminya. Sebenarnya, saya tidak punya landasan alamiah untuk menyayangi ibu saya. Di masa kecil saya, saya sangat jarang berhubungan dengan ibu saya. Saya lebih dekat dengan ayah ketimbang dengan ibu saya. Dia masa- masa perang, ayah saya berada di Chungking, ibu kota Tiongkok di masa perang, untuk berperang melawan Jepang, dan saat itu saya masih sangat kecil. Ibu saya bekerja dan saya diasuh oleh amah, inang pengasuh, dan inang saya itulah yang membesarkan saya. Dan Anda tentu tahu jika Anda dibesarkan oleh inang pengasuh, maka Anda tidak akan merasakan keakraban dengan ibu Anda lagi karena inang pengasuh Anda itulah yang selama ini berperan sebagi ibu Anda.

Saya bersyukur kepada Tuhan karena saya mendapatkan seorang inang pengasuh yang sangat baik, dia lebih tua dari ibu saya dan sangat besar pengabdiannya kepada saya. Dia sangat mengasihi saya, seperti mengasihi anaknya sendiri. Ketika saya masuk ke sekolah yang berasrama, dia menangis sedih. Ibu saya tidak menangis. Jika saya pulang dari sekolah, dialah orang yang menyambut saya dengan penuh sukacita dan kegembiraan. Hanya ada dua pihak yang akan menyambut saya di depan pintu, yaitu inang pengasuh dan anjing saya. Anjing saya akan berlompatan ke sana kemari dan inang pengasuh saya dipenuhi oleh sukacita dan akan memasak makanan yang lezat untuk saya nikmati. Dan setiap kali dia harus mengantarkan saya kembali ke sekolah, hatinya terasa sangat berat. Dia berusaha untuk berjalan selambat mungkin di saat kami turun dari trem dan berjalan menuju ke sekolah, berat hatinya untuk mengucapkan selamat tinggal. Dan air matanya menetes saat melihat saya melangkah melalui pintu gerbang sekolah. Demikianlah, saya dibesarkan oleh inang pengasuh yang sangat mengasihi saya. Dia sangat baik terhadap saya. Dia sering mendongeng bagi saya disaat saya susah tidur. Dia duduk di ranjang saya sampai akhirnya saya tertidur. Dia curahkan berbagai kebaikan kepada saya. Dan, saya ingat, kadang kala dia menangani kenakalan saya dengan kesabaran serta kebaikan yang luar biasa. Di saat dia semestinya sudah jengkel dan kesal akan kelakuan saya, dia justru rela menanggungnya dengan segenap kesabaran dan kebaikan. Dan akhirnya, ketika kami harus meninggalkan Tiongkok untuk sementara waktu, dia berdiri dan menangis keras saat mengucapkan selamat tinggal. Saya tidak pernah melihat ibu saya menunjukkan kasih sayang yang semacam itu kepada saya.

Saya memberitahukan hal ini kepada Anda agar Anda mengerti bahwa tidak ada dasar yang alamiah bagi saya untuk mengasihi ibu saya, sehingga tentunya tidak perlu ada rasa hampa yang sangat besar jika dinilai dari sisi alamiah ini. Bahkan ketika pada masa- masa selanjutnya, ketika saya pergi belajar ke Eropa, dia hanya menunjukkan sedikit perhatian saja kepada saya, ini terutama juga karena dia kecewa melihat saya masuk ke Sekolah Alkitab. Dia berpikir bahwa saya hanya menyia- nyiakan hidup dan bakat saya dengan mempelajari Alkitab, lalu menjadi penginjil, dan bukannya menjadi orang besar sebagaimana yang dia harapkan. Dan sering kali, saat saya berkunjung ke tempatnya, dia menunjukkan sikap dingin, yang menegaskan kepada saya bahwa dia tidak pernah berminat pada Injil dan bahwa seharusnya saya tidak menghabiskan banyak waktu di tempatnya di sepanjang liburan musim panas. Jadi Anda bisa melihat bagaimana sebenarnya hubungan kami dahulu. Dia sama sekali tidak mau mendengar apapun tentang Injil. Dia tidak tertarik kepada Injil. Dia ingin menikmati hidupnya yang berpusat pada diri sendiri itu.

Lalu mengapa saya bisa merasakan kehampaan yang luar biasa ketika dia meninggal? Yah, keadaan ibu saya seperti ini memang berlansung sampai bertahun- tahun, akan tetapi akhirnya terjadi perubahan secara perlahan di dalam dirinya. Secara pelan- pelan, pesan Injil mulai masuk ke dalam dirinya, bukan melalui khotbah saya karena dia sama sekali tidak mau mendengar khotbah. Dia adalah orang yang ‘tidak beragama’ dan ‘anti gereja’.

Akan tetapi dia mulai bisa melihat ada sesuatu yang terjadi di dalam hidup saya dan melihat kuasa dari karya Allah. Dia tidak pernah membantu keuangan saya selama saya kuliah, dan juga dia memang tidak punya cukup uang untuk melakukan itu. Akan tetapi dia mulai melihat apa yang Tuhan kerjakan di dalam kehidupan saya secara terus menerus. Dia heran mengapa saya mengasihi dia di saat dia justru tidak menunjukkan tanda- tanda mengasihi saya. Saya tidak berani katakan bahwa dia tidak mengasihi saya, namun setidaknya dia tidak menunjukkan hal tersebut. Mungkin ini adalah salah satu bahaya dari pernikahan pada usia terlalu muda. Orang yang menikah pada usia dini banyak yang memandang anak sebagai beban. Dia menikah pada usia sangat muda dan saya lahir dalam usianya yang sangat muda. Dan dalam kebanyakan hal, ibu muda cenderung memandang anaknya sebagai gangguan dan beban. Anak- anak itu seolah- olah menghambat gerak Anda. Jadi saya bertumbuh dalam penolakan sepenuhnya, kecuali kasih sayang dari amah saya. Jika tidak ada kasih sayang dari amah saya, saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada diri saya.

Tetapi saya mengasihi dia dengan ‘kasih yang teguh” (stubborn love, kasih yang gigih/teguh). Saya mengasihi dia dengan kasih Kristus sekalipun saya tidak memiliki dasar lahiriah untuk mengasihi dia, sekalipun saya tidak punya rasa suka secara alamiah kepadanya, saya mengasihi dia dengan gigih dan penuh tekad. Secara perlahan- lahan kasih Kristus menjangkau hatinya yang sekeras batu. Kasih ini mulai menunjukkan sesuatu hasil. Saya tidak berkhotbah apa- apa. Dan selama bertahun- tahun, saya hanya sekadar menunjukkan kasih ini kepadanya dalam berbagai kesempatan dan semua itu mulai membuka matanya. Namun pada akhirnya, saya sungguh bersukacita karena kesempatannya tiba untuk saya berlutut berdampingan bersama dia, dan dengan air mata di wajahnya, dia menerima Yesus masuk ke dalam hidupnya. Itu adalah saat yang paling indah di dalam hidup saya, melihat ibu saya berlutut bersama saya, memberikan hidupnya kepada Tuhan. Dan saya selalu ingat pada kata- kata yang disampaikannya kepada saya, “Aku memberi kehidupan jasmani kepadamu, tapi kamu memberiku kehidupan yang rohani.” Saya merasa sangat bahagia dipakai sebagai saluran hidup dari Tuhan.


Komitmen pada Allah mendatangkan Tranformasi

Namun yang lebih indah lagi adalah adanya suatu perubahan besar di dalam hidupnya, suatu transformasi yang luar biasa di dalam hidupnya sehingga saya mulai mengerti bagaimana seseorang jadi berkomitmen total kepada Allah dan di dalam proses itu, juga berkomitmen total kepada sesama. Selanjutnya, sikapnya kepada Tuhan dan kepada saya berubah sepenuhnya.  Dia menjadi seseorang yang kehangatannya tidak pernah saya kenal sebelumnya. Sebelumnya, dia bukanlah orang yang berkepribadian hangat. Kemudian, dia mulai menunjukkan kehangatan, kebaikan, keramahan, kerendahan hati, semua kualitas kepribadian Kristus yang sebelumnya tidak saya temukan pada dirinya. Dia menjadi orang yang sepenuhnya baru, mengalami transformasi di depan mata saya!

Dan jika sebelumnya saya pulang ke rumah dengan memperoleh perlakuan yang penuh ketidaksabaran, tetapi sekarang ia penuh pengabdian dan kasih. Hanya satu keinginannya jika saya sedang pulang ke rumah, agar saya bisa beristirahat dan menikmati liburan saya. Dia akan melakukan segala sesuatu yang bisa dia perbuat untuk itu. Sungguh ajaib! Betapa Tuhan telah mengubah diri seseorang secara luar biasa! Dan rumah itu menjadi tempat yang sangat menyenangkan, dan entah mengapa, saya tidak pernah bisa tidur selelap jika saya sedang berada di rumah ibu saya. Di sana, saya bisa langsung terlelap seperti balok kayu. Sungguh menyegarkan dan sangat menyenangkan. Kami juga bisa berjalan- jalan dan bercakap- cakap dengan gembira. Kami menjadi akrab satu dengan yang lain. Kami bisa saling memahami, dan itu sangat luar biasa! Sebelumnya, kami bahkan tidak bisa saling memahami makna ucapan masing- masing, namun sekarang kami sudah menjadi sangat akrab. Kami saling memberi diri sepenuhnya. Itulah hasil dari penyerahan diri kami bersama- sama kepada Kristus.

Ketika ayah saya meninggal, cukup aneh, saya tidak begitu merasa kehilangan. Sudah tentu saya menangis, akan tetapi saya bisa mengatasinya dalam waktu yang singkat saja. Saya tidak begitu merasa kehilangan. Saya tidak merasa ada kehampaan luar biasa yang muncul di dalam hati saya, padahal saya lebih akrab dengan ayah saya dalam waktu yang cukup lama. Saya lebih dekat dengan ayah saya ketimbang ibu saya dahulu, akan tetapi saya tidak begitu merasa kehilangan. Sungguh aneh, bukankah begitu? Namun ketika ibu saya, pribadi yang secara alamiah tidak akrab dengan saya sebelumnya, meninggal dunia, lubang kehampaan yang muncul seperti tak tertutupi. Ada rasa kehilangan yang selalu hadir di sana.

Saya berusaha untuk memahami hal ini, akan tetapi saya tidak bisa mengerti, karena selalu terasa tidak masuk di akal. Saya tidak memiliki landasan natural untuk merasa kehilangan. Dan, secara berangsur- angsur, saya mulai mengerti bahwa alasan saya merasakan kehilangan ini adalah karena saya telah kehilangan seseorang yang menjalani hidup sepenuhnya berdasarkan prinsip- prinsip alkitabiah, yang berkomitmen sepenuhnya kepada saya setelah menyerahkan dirinya kepada Tuhan.


Komitmen yang tidak didasari pada hal yang lahiriah

Komitmen dalam hubungan kami tidaklah didasarkan pada hal yang lahiriah, karena secara lahiriah tidak ada yang berubah pada diri kami. Yang berubah adalah yang rohani. Hubungan kami dibangun di atas landasan baru dan rohaniah sehingga ketika dia meninggal dunia, saya mulai merasakan betapa berharganya bagi kita jika ada orang yang mengasihi kita tidak sekadar di tingkat jasmani saja, melainkan mengasihi kita di tingkat komitmen rohani yang sangat indah dan tak terbandingkan.  

Saya teringat ketika saya menyatakan komtimen saya kepadanya, saat dia memprotes –  sebelum dia menjadi Kristen, tentang apa yang akan terjadi jika saya menjadi seorang penginjil, dan bahwa saya akan memiliki penghasilan yang tidak ada artinya, dan apa yang akan terjadi padanya di masa tuanya nanti? Saya katakan kepadanya, “Ibu, saya akui bahwa memang benar jika saya mengambil jalur menjadi penginjil, mungkin saya tidak akan pernah punya cukup uang. Namun saya berjanji kepadamu. Saya tegaskan satu komitmen kepadamu. Selama saya punya sesuatu untuk dimakan, maka engkau juga akan punya sesuatu untuk dimakan. Selama saya punya tempat untuk tinggal, maka engkau juga punya tempat untuk tinggal. Inilah janji tanpa syarat dari saya kepadamu, ibu.” Saya tunjukkan kepadanya dan saya berkomitmen sepenuhnya kepada dia. Dan sekarang, dia menunjukkan komitmen yang sepenuhnya kepada saya.


Visi tentang gereja

Cobalah renungkan tentang sebuah gereja di mana setiap jemaatnya berkomitmen total antara satu dengan yang lain, dapatkah Anda menangkap visi tentang gereja yang semacam itu?

Kematian seorang yang berada dalam Tuhan meninggalkan lubang kekosongan yang tak dapat terisi. Memang sungguh mengherankan. Sedemikian indahnya masyarakat umat Allah di mana setiap orang bukan saja tidak kehilangan kualitasnya, namun kualitasnya itu bahkan menjadi tak tergantikan. Sungguh ajaib! Anda tidak sekadar menjadi salah satu orang di tengah kerumunan. Sumbangsih Anda bagi kehidupan saudara yang lainnya tak tergantikan. Rasa kehilangan itu sedemikian besarnya sekalipun masih ada sekitar 50- an orang lagi yang sama mengasihi Anda. Dan dari pengalaman inilah Tuhan mengajarkan saya tentang arti penting memenuhi pengajaran- nya bagi gereja. Bahwa jika kita hidup seperti ini, kekuatan yang muncul dari keyakinan bahwa Anda dikasihi dengan kasih yang total adalah sesuatu hal yang sulit Anda pahami sampai saat Anda kehilangan hal tersebut.

Dan saya mulai menyadari bahwa saya harus membuat komitmen itu bukan hanya terhadap ibu saya saja melainkan kepada setiap orang yang merupakan saudara dan saudari di dalam Kristus. Sebagaimana yang dikatakan oleh Yesus di Matius 12:50,

“Sebab siapapun yang melakukan kehendak Bapaku di sorga, dialah saudaraku laki-laki, dialah saudaraku perempuan, dialah ibuku.”


Penuhilah komitmen untuk mengasihi seperti Kristus mengasihi

Adalah suatu hal yang terlalu kabur untuk berkomitmen terhadap setiap orang di dunia ini. Saya tidak dapat memberi diri saya kepada setiap orang. Saya bahkan tidak tahu siapa saja orang- orang di dunia ini. Akan tetapi, saya harus memberi diri saya kepada saudara seiman saya. Saya tidak bisa secara penuh berkomitmen terhadap saudara yang tidak saya kenal. Namun saya harus memberi diri saya kepada setiap saudara yang saya kenal yang melakukan kehendak Bapa. Kita diminta untuk mengasihi sesama, siapakah sesama itu? Definisi sesama adalah orang yang melakukan kehendak Bapa. Ini berarti kita komit sepenuhnya kepada sesama yang juga berkomitmen sepenuhnya

Demikianlah, hari ini, saya membuat komitmen saya kepada Anda karena saya tidak mau mengejar cita- cita yang tidak jelas, yang hanya bisa kita ucapkan tanpa sanggup kita laksanakan. Saya ingin sampaikan kepada semua saudara seiman di sini yang berjuang mengerjakan kehendak Bapa bahwa saya berkomitmen kepada Anda. Komitmen yang pernah saya ucapkan kepada ibu saya, bahwa selama saya memiliki sesuatu untuk dimakan, maka Anda akan memiliki sesuatu untuk dimakan. Selama saya memiliki tempat untuk tinggal, maka Anda juga akan memiliki tempat tinggal. Komitmen saya kepada Anda tidak bersyarat, total sebagaimana yang dituntut oleh Tuhan dari saya, jadi saya harus memenuhi perintah- nya.

Marilah bersama- sama sebagai satu jemaat memiliki keutuhan komitmen antara satu dengan yang lain ini. Inilah kepenuhan komitmen yang dicapai oleh Yesus melalui kematian- nya. Untuk itulah Yesus telah mati, agar kita menjadi seperti dia, bahwa kita akan melangkah di jalur yang sudah dilewatinya, bahwa Allah lewat Yesus akan membangkitkan satu masyarakat yang sama dengan diri- Nya. Sebiji gandum jatuh ke tanah dan mati, lalu menghasilkan butir- butir gandum yang serupa dengan dirinya. Dia tidak menghasilkan sesuatu yang lain. Kalau kita tidak menjadi serupa dengan Yesus, lalu untuk apakah gandum itu jatuh ke atas tanah? Kita harus berpikir dan bertindak seperti Yesus, saling memberi diri sama seperti dia, supaya dunia melihat gereja dan dapat berkata, “Ah benar, di sini saya melihat kasih Allah lewat jemaat. Di sini saya melihat komitmen yang tidak bisa saya temukan di tempat lain.”  Dengan cara inilah kita tahu bahwa kita adalah murid- murid Kristus.

Itulah sebabnya mengapa saya harus membuat komitmen saya. Dan tidak peduli di manakah Anda berada, Anda boleh yakin akan komitmen saya ini. Saya akan berpihak kepada Anda dan menolong Anda sampai pada batas kemampuan saya selama Anda tetap melakukan kehendak Allah. Sebagaimana yang telah saya katakan, komitmen ini wajib saya buat. Saya tidak akan menarik komitmen ini. Dan mungkin Anda nanti akan mendapat kesempatan untuk menguji komitmen ini, untuk membuktikan apakah komitmen ini tahan uji atau tidak. Saya yakin, dengan kasih karunia Bapa, saya tidak akan gagal. Kemampuan saya sendiri mungkin terbatas, akan tetapi kemampuan Bapa tidak terbatas. Kemampuan Bapa tidak terbatas. Dan ingatlah kalimat berikut ini, jika Anda berkomitmen total kepada Tuhan sama seperti saya, maka Anda akan bisa menyaksikan firman berikut, “apa yang kamu minta kepada Bapa dalam namaku, diberikan-Nya kepadamu.” Tak ada hal yang terlalu besar untuk ditangani, tak ada kesulitan yang terlalu sukar untuk dihadapi oleh Bapa di surga.

Apakah ciri- ciri dari komitmen bersama ini?


(1) Saling menghormati secara mendalam

Ayat 10 berbunyi,

“Jikalau kamu menuruti perintahku, kamu akan tinggal di dalam kasihku, seperti aku menuruti perintah Bapaku dan tinggal di dalam kasih-Nya.”

Di satu sisi, Yesus memberi kita perintah, namun di sisi lain, dia melayani kita. Di ayat- ayat yang lain, misalnya di di Markus 10:45, Yesus berkata, “Karena Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani.” Hal yang dapat kita pelajari adalah adanya unsur saling menghormati secara mendalam. Di Yohanes 13, Yesus membasuh kaki para murid- nya untuk menekankan poin yang satu ini.

Sebagian dari antara kita diberi kepercayaan untuk memegang tanggung jawab kepemimpinan. Ada yang memimpin dan ada yang dipimpin. Namun perlu ditekankan bahwa di tengah jemaat Kristus, kepemimpinan bukanlah status. Kepemimpinan adalah fungsi. Hal ini perlu Anda pahami. Bagi masyarakat dunia, kepemimpinan adalah status; seorang pemimpin memperoleh status sebagai kepala. Akan tetapi di tengah gereja, seorang pemimpin sekadar menjalankan tugas. Artinya, di tengah gereja Kristus, seorang pemimpin tidak lebih tinggi daripada Anda. Da sekadar memiliki tugas yang berbeda dari Anda. Anda dan dia sejajar. Dia sekadar menjalankan tugasnya, mungkin itu adalah tugas administrasi, atau juga tugas mengajar. Pemimpin bukanlah status yang superior. Oleh karena itu, makna yang bisa ditarik adalah bahwa seorang pemimpin menghormati yang dipimpin, dan mereka yang dipimpin menghormati yang memimpin. Ada semacam pemberian diri dan unsur saling menghormati. Ini adalah hal yang sangat penting untuk dipahami di dalam kerangka komitmen bersama.

Saya harap Anda tidak memandang para pemimpin sebagai orang yang memiliki status yang lebih tinggi. jika Anda beranggapan seperti itu, maka Anda sedang berpikir secara duniawi. Sebagai sebuah gereja kita harus merdeka dari pandangan semacam itu. Saya adalah sesama hamba dan tugas saya adalah melayani. Inti dari tindakan memimpin adalah melayani.

Dan setiap orang yang tidak menghormati mereka yang dipimpin tidak punya hak untuk memimpin di gereja Kristus. Oleh sebab itu, saya harap Anda paham akan hal ini, bahwa saya sangat menghormati setiap orang dari Anda sebagai saudara seiman, sebagai sesama hamba Kristus. Saya harap tidak ada orang yang berpikir bahwa saya memiliki status lebih tinggi dari setip orang di antara Anda. Kita tidak inginkan suatu perbedaan ‘kelas’ di tengah gereja: yakni pandangan tentang kelas ‘atas’ dan kelas ‘bawah’. Ini adalah konsep duniawi. Di tengah gereja, kita sama sekali tidak menginginkan masuknya konsep semacam ini.


(2) Sukacita sejati

Hal kedua yang ingin saya sampaikan dalam komitmen bersama ini adalah jika komitmen ini muncul dalam diri kita, maka akan ada sukacita sejati. “Sukacitaku di dalam kamu akan penuh.” Sukacita berarti kenikmatan. Seorang Kristen tidak perlu malu untuk merasakan kenikmatan atau kesenangan, khususnya menikmati kesenangan berada di tengah saudara seiman.

Jika, pada saat Anda sedang bersama saudara seiman, Anda tidak bisa merasakan kesenangan bersama mereka, itu berarti adalah masalah di dalam komitmen Anda kepada mereka. Komitmen Anda sedang bermasalah. Seringkali, bentuk hubungan kita adalah bentuk hubungan ‘pintu yang dirantai’. Kita memasang rantai di pintu kita. Saat orang menekan bel pintu, kita membuka pintu itu dengan rantai yang terpasang. Kita mengintip keluar dan bertanya, “Ada perlu apa?” Dan kita melakukan percakapan dengan dibatasi oleh rantai tersebut. Mengapa? Karena kita takut disakiti. Oleh sebab itu, rantainya tetap terpasang. Dan begitu banyak dari hubungan kita bentuknya adalah hubungan lewat ‘pintu yang dirantai’! Kita mengintip lewat lubang di pintu. Kita periksa dulu apakah orang tersebut tampak berbahaya. Dan jika orang tersebut tidak terlalu berbahaya, maka Anda akan membuka pintu dengan rantai tetap terpasang. Dengan begini, urusannya akan lebih aman. Sekalipun kita telah membuka pintu, kita tetap saja berada dalam keadaan siaga, dalam posisi siap untuk menyerang. Oleh karena itu, kita tidak bisa tenang dalam berhubungan dengan orang lain.

Kita takut jika orang akan mengkritik kita. Anda takut ia akan menegur atau mengucapkan kata- kata yang menyakiti hati Anda. Jika Anda berikan diri Anda kepada orang lain, berarti Anda mempercayai orang itu, Anda tidak takut pada apa yang akan dikatakan oleh orang tersebut.

Malahan, saya sendiri berharap agar Anda mau menyampaikan kepada saya apa saja kesalahan saya. Anda tidak perlu menyampaikannya lewat kata- kata yang manis. Maksud saya, sampaikanlah sejujurnya, karena setiap kesalahan saya bisa saja berakibat sangat fatal bagi saya. Berbaik hatilah dengan cara menyampaikan kepada saya apa saja kesalahan saya, karena kesalahan saya bisa berakibat fatal bagi kehidupan rohani saya. Jadi, mengapa saya harus bersikap defensif? Jika ada sesuatu yang buruk dalam hidup saya, beritahu saya. Jika ada sesuatu yang buruk di dalam hidup saya, buat apa saya mempertahankan? Apa yang perlu ditakutkan? Saya tidak perlu memasang rantai pintu. Anda boleh masuk dan saya tidak punya apa- apa yang perlu saya sembunyikan. Silakan periksa.

Jadi mari kita belajar bersikap santai satu dengan yang lain. Mari kita belajar memahami bahwa kita bersaudara. Jika kita dikritik atas suatu kesalahan yang mungkin tidak kita lakukan, juga tidak apa- apa. Saya tidak memiliki kesalahan tersebut, Tuhan tahu bahwa saya tidak bersalah. Lagi pula, Tuhan adalah Hakimnya. Hal ini tidak menjadi persoalan bagi saya. Mengapa harus merasa sensitif terhadap kesalahan? Kita sangat takut dikritik secara tidak adil. “Aku tidak melakukan kesalahan itu, tetapi mereka mengatakan aku bersalah.” Lalu apa persoalannya? Apakah kita harus membela diri di hadapan manusia? Tidak akan ada bedanya.


(3) Persahabatan sejati

Dan hal ketiga adalah persahabatan, “Kamu adalah sahabat- sahabatku. Aku tidak memanggilmu hamba,” demikian kata Yesus, “hamba tidak tahu apa yang dikerjakan oleh tuannya.” Jika Tuhan tidak menyembunyikan apa- apa dari kita, buat apa kita menyembunyikan sesuatu dari orang lain? Persahabatan berarti kepercayaan. Anda berkata, “Apa yang ingin kau ketahui? Kamu ingin mengetahui sesuatu? Silakan tanya saya. Jika kamu meragukan sesuatu di dalam hidup saya, tanyakan saja kepada saya. Saya tidak menyembunyikan apa- apa.” Jika Anda tidak tinggal dalam kegelapan, jika Anda tidak hidup di dalam dosa, apa yang harus disembunyikan?

Persahabatan adalah bentuk hubungan yang paling erat di antara dua orang. Jika persahabatan meninggalkan rumah tangga, maka pernikahan itu sudah mati. Apa artinya pernikahan tanpa persahabatan? Apa yang tersisa dalam pernikahan itu? Persahabatan itulah yang membuat suatu pernikahan menjadi layak disebut pernikahan. Mengapa Anda menikahi seseorang jika Anda tidak memandang dia sebagai sahabat yang terbaik? Namun jika persahabatan itu lenyap, tidak ada lagi yang tersisa dalam pernikahan tersebut. Hanya sekadar merupakan suatu bentuk hubungan resmi. Siapa yang mau sekadar memiliki hubungan yang resmi dengan orang yang tidak bersahabat dengan Anda? Persahabatan adalah bentuk terdalam dari hubungan antar manusia. Dan hal itulah yang harus kita raih di dalam hubungan antara kita. Di mana kita dapat saling menikmati hubungan kita dan saling mempercayai. Dan persahabatan itu dibangun atas dasar saling percaya. “Semua yang disampaikan oleh Bapa telah kusampaikan kepadamu. Segala sesuatu yang ingin kau ketahui, Aku akan memberitahukannya kepadamu. Aku tidak menyembunyikan apa- apa darimu.” Itulah dasar dari persahabatan. Dan itulah hal yang harus kita bangun.

Persahabatan seharusnya muncul di dalam setiap hubungan antar manusia, misalnya antara orang tua dengan anak- anaknya. Apa yang tersisa dari hubungan antara orang tua dengan anak- anak mereka jika mereka tidak bersahabat? Tidak ada lagi hal yang tersisa dalam hubungan tersebut. Dari situ, muncullah apa yang disebut sebagai ‘generation gap (jurang antar generasi)’. Selanjutnya, muncul berbagai permasalahan di antara mereka. Namun, jika Anda adalah sahabat, maka perbedaan usia tidak menjadi masalah bagi Anda, tak akan pernah ada ‘generation gap‘ karena persahabatan itu menyatukan orang tua dan anak- anak.

Marilah kita menjadi gereja yang memiliki keterbukaan dan saling percaya. Mari kita bangun kehidupan kita dengan tujuan rohani yang mengarah secara khusus pada komitmen total bersama antara yang satu dengan yang lainnya sehingga kemuliaan Tuhan terpancar dari tengah- tengah kita. Dengan demikian kuasa- Nya akan dinyatakan. Saat kita berdoa, maka doa kita akan dikabulkan, dan kita akan melihat hal- hal yang mulia.

 

Berikan Komentar Anda: