Pastor Eric Chang | Matius 26:1-2 |

Di pesan ini saya akan membahas tentang “Tujuan Rohani dari hidup ini”. Apakah tujuan hidup kita? Apakah tujuan dari hidup Anda? Hidup Anda sedang mengarah ke mana?

Kebanyakan orang Kristen yang saya temui, tampaknya tidak memiliki pandangan yang jelas tentang arah tujuan hidup mereka. Mereka terlihat tidak tahu sedang menuju ke mana. Jika Anda sama sekali tidak bergerak, tentunya Anda tidak usah khawatir akan hal tujuan dan arah. Maksudnya, jika saya berdiri diam saja, saya tidak perlu pusing memikirkan arah tujuan. Namun, saat Anda mulai bergerak, maka Anda perlu tahu ke mana Anda sedang bergerak. Saat Anda mulai bergerak, Anda harus tahu arah yang Anda tuju.

Banyak orang yang tampaknya menjalani hidup ini tanpa arah tujuan. Mereka meraba-raba dalam kegelapan dan berharap bahwa nantinya, lewat sedikit keajaiban atau nasib mujur, mereka bisa sampai pada tujuan hidup yang benar. Ini jelas cara menempuh perjalanan yang sangat berbahaya. Bayangkanlah jika sebuah kapal berlayar tanpa tahu akan berlayar ke mana. Setiap kapal yang akan berangkat tentu membawa kompas untuk memastikan bahwa ia memang sedang mengarah ke pelabuhan, tempat atau negara tertentu; dan ia akan dilengkapi dengan peta yang menandakan jalur perjalanannya.

Namun, jika Anda bercakap-cakap dengan orang tidak percaya, ataupun orang Kristen, hasilnya sama saja. Mereka sama-sama tidak memiliki arah tujuan.


Kurangnya tujuan hidup di kalangan orang Kristen

Jika orang non-Kristen tidak tahu tujuan hidupnya, hal ini tidaklah terlalu mengejutkan. Mereka memang tidak punya sasaran untuk dicapai. Apalagi hal yang harus dikerjakan di dalam hidup ini selain mencari uang? Satu-satunya filsafat mereka adalah mencari uang, hanya itu saja! Tujuannya adalah agar Anda dapat menikmati hidup yang cukup memuaskan sampai saat Anda mati nanti. Setelah itu Anda mati dan dikuburkan, hanya itu saja! Maksud saya, mereka memang tidak punya tujuan hidup. Apa yang bisa dilakukan oleh seorang non-Kristen? Dia tidak punya arah tujuan. Hanya satu hal saja yang diketahuinya secara pasti, yaitu suatu hari nanti hidupnya akan berakhir di liang kubur. Lebih dari itu, tidak ada arah yang jelas! Dan filsafat yang menuntun kehidupan kebanyakan orang adalah “Cari uang sebanyak mungkin!” Paling tidak batu nisan Anda akan terlihat sedikit lebih mewah ketimbang batu nisan tetangga Anda. Dan mungkin nanti peti mati Anda bisa memiliki lebih banyak hiasan perunggu ketimbang sekadar kayu saja. Saya heran tujuan hidup macam apa ini! Untuk apa hidup seperti itu?!

Jadi, ketiadaan tujuan hidup bagi seorang non-Kristen bukanlah hal yang mengejutkan. Di waktu muda, tujuan utamanya sekadar, ‘Kamu belajar!’ Tetapi, apakah tujuan Anda belajar? Apa gunanya? Pada dasarnya adalah untuk mendapatkan pekerjaan yang bagus. Dengan pekerjaan yang bagus, maka Anda akan memperoleh lebih banyak uang. Dan untuk apakah uang yang lebih banyak itu? Dengan uang yang lebih banyak, Anda bisa mendapatkan rumah yang lebih bagus. Setelah Anda memperoleh rumah yang lebih bagus, lalu apa? Yah, mudah-mudahan Anda bisa tinggal di sana dengan nyaman sampai meninggal nanti. Ini jelas bukan prospek kehidupan yang menggairahkan.

Atau mungkin, Anda masuk ke dalam jerat dunia ini. Mengejar posisi yang lebih tinggi; memperoleh sedikit penghormatan dari orang lain; meningkatkan karir. Mungkin nanti Anda dapat menjadi asisten manajer, atau bahkan menjadi seorang manajer. Dan bisa jadi Anda bahkan menjadi seorang direktur utama! Lagi pula, tidak semua orang bisa mencapai kedudukan di puncak. Satu atau dua orang merangkak naik ke puncak, melangkah di atas kepala banyak orang di dalam perjalanannya menuju ke puncak itu. Lalu apa? Setelah Anda berada di puncak, lalu apa?

Suatu kali, saya sempat bercakap-cakap dengan seorang teman saya ketika saya sedang di Hong Kong. Keluarga kami sudah saling mengenal sejak lama. Dan teman saya adalah seorang wanita yang sangat cerdas. Dia belajar di Amerika dan memperoleh gelar sarjana, lalu gelar Master dan kemudian gelar Doktor, dan selanjutnya menjadi seorang profesor di bidang Kristalogi (penelitian tentang kristal). Namun setelah itu dia tidak tahu lagi apa yang harus dikerjakan.

Dia menjadi bosan dengan keadaan ini. “Tak ada lagi hal yang bisa dikejar,” katanya pada saya. Lalu dia putuskan untuk mencoba bidang bisnis. Sebelumnya dia tidak pernah berbisnis. Dia hanya mengetahui hal ilmu pengetahuan. Dia berkata, “Mengapa tidak mencoba bidang yang baru, tantangan yang baru? Aku butuh tantangan. Aku butuh sesuatu yang bisa membuatku tertarik dengan kehidupan ini. Sekadar menjadi seorang profesor sudah tidak menarik lagi. Mengerjakan riset-riset di sini sudah tidak menantang lagi.” Maka dia masuk ke dunia bisnis. Wah! Ternyata dia sangat berbakat bisnis! Di dalam waktu singkat, dia sudah menguasai seluk beluk bisnis tersebut. Sewaktu saya bercakap-cakap dengannya di Hong Kong, dia sudah menjadi General Manager di perusahaan tersebut.

Lalu saya bertanya, “Nah, apa tujuanmu sekarang ini?”

Katanya, “Yah, aku mulai tidak tertarik dengan bisnis ini. Uang – aku tidak terlalu membutuhkannya; semua yang kuinginkan sudah kudapatkan. Dan sekarang ini setelah aku menguasai seluk beluk bisnis ini, sepertinya tidak ada tantangan lagi di sini. Semuanya menjadi perkara rutin saja. Dan jika sesuatu hal sudah menjadi rutinitas, setiap hari engkau akan menghadapi hal yang sama saja, menghadapi urusan yang sama terus. Setiap hari begitu-begitu terus!”

Jadi tahun yang pertama, keadaannya cukup menantang. Tahun yang kedua tidak begitu buruk. Pada tahun yang ketiga, dia sudah tidak tertarik lagi. Jika yang diinginkannya adalah uang, maka dia sudah memilikinya. Jadi, uang tidak bisa menjadi pemicu semangatnya lagi. Jika yang dikejarnya dalah kedudukan, dia sudah mencapai posisi puncak – jadi tidak ada daya tarik lagi.

Lalu saya berkata, “Sekarang kamu sudah menjelajahi dunia ilmu pengetahuan dan dunia bisnis, lalu apa sasaranmu selanjutnya?”

Dia berkata, “Aku tidak tahu mau kemana. Mungkin nanti aku mau mencoba bidang politik.”

Tapi dia lalu mulai menyadari bahwa jalan manapun yang dia tempuh, semua tidak ada bedanya. Jika Anda sudah berada di puncak, tampaknya tak ada lagi tempat lain yang bisa dituju. Lalu, apa itu ‘tujuan’ (atau kehampaan tujuan) di kalangan orang non-Kristen?

Teman saya ini seorang non-Kristen, dan kehidupan pribadinya sangat menyedihkan. Sukses dalam hal karir dan kekayaan tetapi gagal total dalam kehidupan pribadi – hal yang seringkali terjadi. Suaminya adalah seorang ilmuwan, yang juga seorang profesor di Amerika. Mereka telah bercerai setelah memiliki dua orang anak. Setiap kali dia membicarakan hal itu, Anda bisa melihat kedukaan di wajahnya. Sekalipun ia seorang yang memiliki kemampuan besar tetapi hubungan antar manusia bukanlah masalah kemampuan. Malahan, orang-orang yang berbakat seringkali merupakan orang-orang yang sangat susah bergaul. Mereka sangat individualistis, egois dan sangat keras kepala; dan akibatnya hubungan-hubungan pribadi mereka berantakan. Perkawinannya sudah lama ambruk. Kehidupannya terasa hampa.

Dan dia menanyakan saya tentang hal menjadi orang Kristen. “Urusan apa saja yang terlibat di dalamnya?” Dan dia sangat tertarik. Dia mulai menyadari bahwa dunia tidak sanggup lagi menawarkan sesuatu kepadanya. Hal-hal yang pernah memikat hatinya di masa kuliahnya dulu, sekarang sudah tidak menarik lagi. Semua sudah menjadi hal yang rutin sekarang – hal-hal sepele. Tak ada lagi tantangan yang bisa menarik perhatiannya. Hidupnya sudah kehabisan tantangan. Dan di atas semua itu, kehancuran keluarga telah mengganggu perasaannya. Dia menyadari bahwa mestinya ada sesuatu yang bisa dijadikan tujuan; ada sesuatu yang lebih di dalam hidup ini!

Saat Anda tidak memiliki uang, maka uang menjadi tujuan yang sangat penting, bukankah begitu? Namun ketika Anda memiliki uang, Anda lalu bertanya-tanya, “Tujuan apa ini? Tidak menarik lagi.”

Saya teringat dengan seorang teman yang lain. Masalahnya sama juga. Dia sangat tergila-gila pada kamera. “Oh! Itu Nikon! Saya sangat menyukainya.” Setelah itu, “Pentax! Sekarang saya mau mendapatkan Pentax!” demikianlah seterusnya. Ia memiliki begitu banyak kamera. Saya bertanya-tanya, “Baiklah, fotografi memang bagus. Namun mengapa begitu bernafsu hanya untuk bisa mendapatkan beberapa foto?” Dia seharusnya menyelesaikan pendidikan hukumnya, tetapi dia justru keluyuran dengan kameranya. Akan tetapi, ketika saya bertemu lagi dengannya, sungguh mengejutkan! Dia bahkan tidak mau lagi berbicara tentang kamera! “Mainan” kecil ini, perkara ini, yang pernah begitu memikat hatinya… yah, dia sudah benar-benar tidak tertarik lagi. Sudah berlalu!

Pernah sekali, uang juga sangat memikat hatinya. Namun ketika saya bertemu dengannya lagi, dia sudah menjadi seorang miliarder. Jadi saat itu dia sudah tidak terlalu berminat dengan uang juga. Dengan uang yang sebanyak itu dan tidak adanya keperluan untuk membelanjakan uang membeli kamera, (hal yang sangat mampu dia lakukan, tetapi sudah tidak diminatinya lagi!); dan dia juga tidak gemar berkendaraan, jadi dia juga tidak berminat dengan mobil-mobil mewah. Dia tidak tertarik dengan mobil-mobil. Dia tidak tertarik dengan hal-hal seperti itu! Jadi, seperti yang dikatakannya kepada saya, dia tidak tahu harus berbuat apa dengan uangnya.

“Aku tak tahu harus berbuat apa dengan uangku! Apakah kamu membutuhkan uang? Bolehkah aku membelikan sebuah gereja untukmu? Ya, ya, aku bisa membelikan gedung gereja buatmu.”

Saya menjawab, “Tidak, terima kasih.”

Dia berkata, “Bagaimana dengan seperempat juta dolar? Dengan itu kamu bisa membeli gedung gereja yang bagus.”

Saya menjawab, “Tidak, terima kasih. Simpan saja uangmu.”

Saya tidak mau dia sampai berpikir bahwa dia bisa membeli tempat di surga dengan cara membelikan gedung gereja. Jadi saya katakan, “Tidak. Saya tidak mau. Simpan saja uangmu itu.” Dia tidak tahu harus berbuat apa dengan uangnya! Sungguh aneh!

Pernahkah Anda bertemu dengan orang yang begitu jemu dengan hidupnya, mereka tidak bisa mendapatkan tujuan? Dan kawan ini seharusnya adalah seorang Kristen. Saya katakan seharusnya karena saya ragu apakah dia benar-benar mengerti tentang hal menjadi seorang Kristen.


Banyak orang Kristen yang juga tidak punya tujuan rohani dalam hidupnya

Akan tetapi sangatlah menyedihkan melihat orang-orang Kristen yang tampaknya tahu apa artinya menjadi orang Kristen dan sepertinya sudah mempersembahkan seluruh hidupnya bagi Tuhan tetapi mereka juga ternyata tidak tahu arah tujuan hidup mereka.

Saya bertanya pada mereka, “Apa yang akan kau kerjakan?”

“Tidak tahu.”

“Apakah tujuan hidupmu?”

“Tidak tahu. Terserah pada Tuhan saja”

Memang kita harus berserah kepada Tuhan dalam hal perinciannya, namun apakah Anda sama sekali tidak memiliki tujuan yang umum? Maksud saya, apa gunanya berserah kepada Tuhan jika Anda tidak tahu sama sekali arah tujuan utamanya, atau apa tujuan terpenting dalam hidup Anda? Apakah Anda sudah memiliki tujuan itu dengan jelas di dalam benak Anda?

Dan karena itu, banyak orang Kristen juga, karena tidak punya arah tujuan rohani yang jelas, akhirnya mengejar hal-hal yang sama dengan yang dikejar oleh orang-orang non-Kristen, melakukan kesalahan yang sama, tidak sadar bahwa dunia tidak akan pernah mampu memberi kepuasan pada diri mereka. Lalu mereka mengejar uang; mengejar status; mengejar keduniawian – sama saja! Tak ada bedanya dengan orang non-Kristen! Tak heran jika dunia tidak terkesan pada Injil.


Arah dalam Injil Matius

Mari kita lihat sekilas di dua ayat pertama di Matius 26:1-2.

Setelah Yesus selesai dengan segala pengajaran-Nya itu, berkatalah Ia kepada murid-murid-Nya:  “Kamu tahu, bahwa dua hari lagi akan dirayakan Paskah, maka Anak Manusia akan diserahkan untuk disalibkan.”

Setelah Yesus selesai dengan segala pengajaran-Nya itu…” – itu adalah rumusan baku dalam Matius di dalam menutup setiap bagian dari pengajaran Yesus. Terdapat semacam struktur dan urutan yang khusus di dalam Injil Matius. Bahkan di dalam menuliskan Injil, Matius tahu persis arah yang akan diambilnya dan hal apa yang akan disampaikannya. Dia tidak menulis secara acak. Matius memakai struktur yang khusus di mana ia mengelompokkan pengajaran Yesus kepada lima bagian. Dan masing-masing dari kelima itu diakhiri dengan ungkapan, ‘Setelah Yesus selesai dengan segala pengajaran-Nya itu…‘ Jadi ini adalah kali kelima Matius memakai rumusan tersebut.

Sebelumnya rumusan ini sudah muncul sebanyak empat kali – di Mat 7:28 (kemunculan yang pertama) di mana dia menutup bagian Khotbah di atas Bukit; Mat 11:1; Mat 13:53; dan kemudian di dalam Mat 19:1; dan sekarang kita sampai pada Mat 26:1 – kelima bagian itu menunjukkan rancangannya di dalam Injil, yaitu pola lima bagian pengajaran Yesus. Dan banyak cendekiawan yang memandang pola ini sebagai rancangan yang disengaja, atau dipolakan – disebut sebagai pola Matius – dan membandingkannya dengan kelima kitab Musa, yaitu, dari Kejadian sampai Ulangan. Matius ingin mengungkapkan bahwa ini adalah hukum Perjanjian Baru. Sama halnya dengan kelima kitab Musa yang menjadi hukum dalam Perjanjian Lama, demikian pulalah, kelima bagian dari pengajaran Yesus merupakan landasan dari Perjanjian Baru. Jadi, kita bisa melihat bahwa bahkan di dalam penulisan Injil, di bawah pengilhaman dari Roh Allah, Matius memiliki rencana, rancangan dan arah.


Yesus memiliki tujuan hidup yang jelas

Hal selanjutnya yang kita lihat di sini adalah bahwa Yesus berkata, “Kamu tahu, bahwa dua hari lagi akan dirayakan Paskah, maka Anak Manusia akan diserahkan untuk disalibkan.” Bagaimana mereka bisa tahu? Yah, mereka tahu karena Yesus sudah dua kali memberitahu sebelumnya bahwa dia akan disalibkan. Sekali di Mat 17:23, dan yang kedua di Mat 20:18 & 19. Jadi, ini adalah kali ketiga Yesus memberitahu mereka bahwa dia akan disalibkan. Namun kali ini Yesus berkata bahwa waktunya sudah tinggal dua hari lagi.

Saya selalu terpesona akan hal ini, Yesus memiliki tujuan dan arah yang jelas di hadapannya – Salib telah ditegakkan di depannya. Dan dia melangkah dengan pasti menuju salib itu. Segenap hidupnya memiliki arah yang jelas. Dan arah itu adalah menuju ke kayu salib, dan kepada penebusan umat manusia. Pandangannya terarah ke kayu salib. Dan segenap hidupnya digerakkan dengan pasti menuju ke arah ini. Dia memiliki tujuan yang jelas; dia tidak berputar-putar tanpa tahu harus menuju ke mana. Sejak awal Yesus sudah tahu akan menuju ke mana. Salib sudah terpampang jelas di hadapannya.

Hal yang sangat mengejutkan adalah bahwa Yesus menyatakan hal ini dengan ketenangan dan tekad yang mantap. Tidak ada ketakutan bahwa dalam beberapa hari lagi dia akan disalibkan dan mati dengan mengerikan. Dia juga tidak menyampaikan hal ini secara berlebihan. Dia tidak mendramatisirkan hal ini. Dia berbicara dalam ketenangan yang anggun – ketenangan seseorang yang tahu persis ke mana arah tujuan segenap hidupnya. Dan sekarang akhirnya, dia sudah mulai sampai kepada tujuannya. Tujuan itu akan tercapai hanya dalam hitungan hari saja. Semakin saya renungkan hal ini, semakin maknanya mencengangkan saya. Saya melihat pola ini berlangsung di sepanjang hidupnya. Dia bergerak dengan pemahaman yang jelas tentang arah tujuannya. Dia tahu persis ke mana dia akan melangkah. Dan Yesus melangkah maju di dalam suatu urut-urutan yang telah direncanakan.

Hal ini segera menjadi suatu poin yang jelas bagi saya. Bagaimana bisa kita menjadi muridnya kalau kita tidak mengarah ke tujuan yang sama dengannya? Seorang murid, sesuai dengan definisinya, adalah seseorang yang mengikuti jejak gurunya. Dia akan melangkah ke mana gurunya melangkah. Masalahnya tahukah kita ke mana kita akan melangkah? Apakah hidup kita menunjukkan kepastian? Apakah kita memiliki arah tujuan yang jelas dan teguh? Tahukah kita ke mana dan bagaimana kita harus melangkah!

Rasul Paulus juga memberikan kita pesan yang sama. Dia tahu persis akan menuju ke mana. “Berlari-lari kepada tujuan.” Anehnya saya kerap kali mendengar orang Kristen yang mengutip ayat ini. Namun ketika saya tanyakan, “Apa itu tujuannya?” seringkali saya tidak mendapatkan jawabannya. Ke arah mana Anda akan berlari-lari? Bagaimana Anda bisa melangkah kalau Anda bahkan tidak tahu arah tujuan Anda? Bagaimana Anda akan melangkah jika Anda tidak tahu di mana tujuan itu berada?

Dari awal kita sudah melihat adanya kejelasan maksud dan arah tujuan di dalam diri Yesus. Pernyataan pertama dari Yesus, tentu saja, adalah pernyataan yang dibuatnya saat berusia dua belas tahun di Lukas 2.49. Bahkan di usia semuda itu, kejelasan arah tujuannya sudah terlihat. Yesus serta keluarganya pergi ke Yerusalem dan ketika pulang ke kampung Yesus tidak ditemukan di antara rombongan; keluarganya mencari ke berbagai tempat dan tidak berhasil menemukannya. Dan akhirnya dimanakah mereka menemukannya? Mereka menemukan dia di dalam Bait Allah.

Lukas 2:49, Jawab-Nya kepada mereka: “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?”

Di sini kita mendapati bagian yang diterjemahkan sebagai ‘di dalam rumah Bapaku.’ Ini sebenarnya sudah merupakan tafsiran, walaupun memang tidak terlalu jauh dari arti harfiahnya. Di dalam bahasa Yunaninya tidak terdapat kata ‘rumah’ dan juga ada kata berbentuk jamak yang tidak ditemukan di dalam terjemahannya. Mungkin akan lebih baik jika kalimat ini diterjemahkan sebagai, “Tidakkah kamu tahu, bahwa aku harus terlibat di dalam perkara-perkara Bapaku?” Terjemahan ini tentunya terlalu harfiah. Salah satu dari berbagai perkara yang berkaitan dengan Bapa, tentu saja, adalah Bait Allah. Itu adalah rumahnya. Di dalam pengertian tersebut, terjemahan baku memang tidak salah. Namun terjemahan baku tersebut terlampau mempersempit cakupannya karena Yesus sedang berbicara tentang ‘perkara-perkara Bapa’, yang mencakupi Bait Allah itu.

Dari sini kita tahu bahwa bahkan sejak usia dua belas, Yesus sudah sibuk dengan perkara-perkara Allah. Perkara-perkara dari Allah adalah hal-hal yang menyita pikirannya bahkan pada usia semuda itu. Jadi jika Anda sekarang berusia sebelas atau dua belas tahun, Anda tidak perlu merasa terlalu muda untuk memusatkan perhatian Anda kepada perkara-perkara dari Allah, seperti yang pernah dilakukan oleh Yesus. Benaknya dipenuhi oleh perkara-perkara dari Allah.

Pernyataan terakhirnya juga memperlihatkan arah tujuan yang teguh.. Pernyataan terakhirnya yang tercatat sebelum dia meninggal ada di Yohanes 19:30. Ini adalah pernyataan yang terkenal dari Yesus:

“Sudah selesai [It is finished].”

Dapatkah Anda memahaminya? Artinya sudah genap. Hal itu sudah terlaksana. Pernyataannya yang terakhir itu menegaskan suatu penyelesaian. Tahukah kita apa artinya? Hal apa yang sudah selesai? Apa yang dimaksudkan olehnya?  It is finish – ‘It’ adalah misinya. Tugas yang dikerjakannya dengan tekun di sepanjang hidupnya, dan sekarang dia dapat berkata, di dalam napas-napas terakhirnya, “Sudah selesai. Aku telah menyelesaikannya, sudah terlaksana.” Dapatkah Anda menangkap suatu keteguhan pencapaian tujuan oleh Yesus; bagaimana dia memusatkan pandangannya kepada tugas tersebut? Dan kata-kata terakhirnya adalah, “Sudah terlaksana. Misi telah dijalankan, (atau dengan kata lain), sudah genap!”


Paulus tahu tujuan hidupnya

Kata-kata Yesus ini juga terlihat di dalam ucapan rasul Paulus ketika dia sendiri akan menghadapi hukuman mati. Di 2 Tim 4:7, Paulus berkata,

“Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir.”

Dia telah mencapai garis finish. Dia telah sampai di garis akhir, dan dia telah menyelesaikan tugasnya – “Aku telah mengakhirinya.” Dia tidak berhenti di tengah jalan. Sampai pada akhirnya, tugas yang telah dipercayakan oleh Allah kepadanya telah diselesaikannya. Tahukah Anda tugas apa yang telah dipercayakan oleh Allah kepada Anda? Jika tidak, bagaimana Anda bisa tahu apa yang harus diselesaikan? Berapa orang Kristen yang bisa mati dengan keyakinan yang sama dengan rasul Paulus. “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir.”

Paulus tahu arah tujuannya. Itu sebabnya dia bisa mencapai garis akhir. Maksud saya, jika Anda kuliah dan mengambil jurusan ini, kemudian Anda ganti jurusan lain dan mengambil berbagai macam jurusan, lalu bagaimana Anda bisa menyelesaikan studi Anda jika Anda bahkan tidak tahu apa yang mau Anda pelajari? Anda harus masuk ke dalam satu bidang kajian dan bertahan di sana, maka Anda akan bisa melanjutkan sampai ke ujian akhir. Kemudian Anda dapat berkata, “Aku telah menyelesaikannya.” Tentunya harus ada jalur atau jurusan yang harus ditempuh.

Jika Anda berputar-putar tanpa arah di sepanjang hidup Anda, dan ketika Anda sedang menghadapi ajal, bisakah Anda mengatakan, “Aku telah menyelesaikan tujuan hidupku”? Saat itu, Anda mungkin masih menggaruk-garuk kepala dan bertanya-tanya, “Yah, sebenarnya apa tujuan hidupku ini? Aku sudah menjelang garis akhir sekarang; hidupku akan berakhir, akan tetapi apa sebenarnya tujuan hidupku?” Maksudnya, menyelesaikan hidup tidak sama dengan menyelesaikan tujuan hidup! Apa itu tugas dan misi Anda?


Kehidupan Kristen: memuliakan Allah

Pemahaman tentang tujuan yang satu ini selalu terlihat di dalam ajaran Yesus. Yesus menyampaikan doa terakhirnya di Yoh 17:4. Dia mengatakan,

“Aku telah mempermuliakan Engkau di bumi dengan jalan menyelesaikan pekerjaan yang Engkau berikan kepada-Ku untuk melakukannya.”

Dengan cara bagaimana Yesus memuliakan Allah? Dengan jalan menyelesaikan pekerjaan yang Engkau berikan kepada-Ku untuk melakukannya.

Pada saat itu, Yesus telah menyelesaikan tugasnya yaitu meletakkan dasar bagi Jemaat. Dia telah memperlengkapi murid-muridnya. Dan Yesus melanjutkan doa dengan berkata, “Aku berdoa bagi mereka, tetapi bukan hanya bagi mereka saja, melainkan bagi semua yang percaya pada-Mu. Akan tetapi semua yang telah Kau percayakan padaku, tak satupun yang hilang dari tanganku; aku telah mempersiapkan mereka untuk mengerjakan tugas yang menanti mereka. Aku telah menyelesaikan pekerjaanku, aku telah memuliakan namamu.” Apakah pekerjaan Anda? Dapatkah Anda menyampaikan doa semacam itu di akhir hidup Anda? Dapatkah Anda berkata, “Aku telah memuliakan namamu di bumi; aku telah menyelesaikan tugasku – tugas yang telah Kau berikan kepadaku”?

Pemahaman tentang arah dan tujuan ini dapat kita lihat di sepanjang hidup Yesus. Dan untuk menunjukkan pada Anda bahwa hal tersebut tidak sekadar muncul di dalam satu atau dua kesempatan saja, mari kita lihat contoh di Yoh 8, di mana Yesus membuat pernyataan yang sangat spesifik. Yohanes 8:14,

Jawab Yesus kepada mereka, kata-Nya: “Biarpun Aku bersaksi tentang diri-Ku sendiri, namun kesaksian-Ku itu benar, sebab Aku tahu, dari mana Aku datang dan ke mana Aku pergi. Tetapi kamu tidak tahu, dari mana Aku datang dan ke mana Aku pergi.

 “Aku tahu dari mana aku datang dan aku tahu ke mana aku akan pergi. Kamu tidak tahu dari mana aku datang dan kamu tidak tahu ke mana aku akan pergi, tetapi aku tahu ke mana aku akan pergi.” Waah! Berapa banyak dari antara Anda yang bisa berkata, “Aku tahu ke mana aku akan pergi,” dalam pengertian yang luas saja, tidak perlu yang spesifik?

Yesus terus menyatakan hal ini di Yoh 12. Apakah tujuan hidupnya? Hal apakah yang akan dijalankannya di dalam hidupnya? Apakah misinya? Sebelum itu Yesus sudah membahas tentang hal menyerahkan nyawa di ayat 23. Yohanes 12:23,

Tetapi Yesus menjawab mereka, kata-Nya: “Telah tiba saatnya Anak Manusia dimuliakan.”

Jika Anda memahami Injil Yohanes, ‘dimuliakan’ berarti mati. Kita dimuliakan dalam kematian kita. Begitulah cara unik Yohanes menyatakan hal ini. Saat dia berbicara tentang Anak Manusia yang ditinggikan, maksudnya adalah ‘dimuliakan’. Segenap arah tujuan hidupnya adalah menuju pada saat ditinggikan di kayu salib.


Kehidupan Kristen: memberi diri seutuhnya

Lalu di ayat 24-25, Yesus berkata:

Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah. Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal.

Perhatikan hal ini baik-baik: ayat 24 ini, yang berbicara tentang biji gandum, yang menunjuk kepada Yesus (ayat 23). Dan ayat itu juga menunjuk kepada kita (ayat 25). Ayat 24 ini adalah ayat transisi. Hal yang berlaku atas Yesus juga berlaku atas kita! Dia adalah Biji Gandum, dan kalau dia tidak mati, seperti biji gandum lainnya, maka dia akan tinggal sendiri! Namun jika ia mati, maka ia akan menghasilkan banyak buah. Dan Yesus melanjutkan, “Hal yang sama berlaku padamu. Jika kamu mempertahankan nyawamu, kamu sebenarnya sedang kehilangan nyawamu. Tetapi jika kamu bersedia mati dan bersedia kehilangan nyawamu, sebenarnya kamu sedang memeliharanya sampai ke hidup yang kekal.

Camkanlah hal ini baik-baik. Yesus adalah Benih yang pertama. Satu benih! Satu benih yang terasing ketika dia datang ke dunia! Dia jatuh ke tanah dan mati. Lalu apa yang tumbuh? Yang dihasilkan adalah sekumpulan murid yang lahir baru. Sekelompok kecil saja! Satu benih yang jatuh ke tanah akan menghasilkan setangkai gandum. Setangkai gandum mungkin berisi tigapuluh, empatpuluh atau limapuluh biji gandum. Jadi, satu biji yang jatuh ke tanah itu bisa menghasilkan tiga, empat atau limapuluh biji lainnya. Demikianlah Yesus melanjutkan uraiannya dalam beberapa ayat itu, sampai dengan ayat 27. Yohanes 12:27

“Sekarang jiwa-Ku terharu dan apakah yang akan Kukatakan? ‘Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini’?

Tidak, aku tidak akan mengatakan hal itu! Aku tidak akan berkata, ‘Bapa, selamatkanlah aku dari saat ini.’ Aku tidak akan berkata, ‘Bapa, selamatkanlah aku dari penyaliban.’ Tidak, sebab untuk itulah Aku datang ke dalam saat ini. Sebab untuk itulah aku datang ke dunia – untuk sampai ke titik ini. Segenap hidupku tertuju ke arah ini, terpusat pada salib. Aku tidak suka kematian. Aku jelas tidak suka disalibkan. Pikiran akan hal itu memang menggangguku, tetapi aku tidak akan berpaling dari tujuan itu; aku tidak akan berkata, ‘Bapa, selamatkanlah aku dari saat ini.’ Aku akan berkata, ‘Jika itu merupakan kehendakmu,  Tuhan, maka Aku akan melanjutkan ke kayu salib.”


Kehidupan Kristen: berjalan dalam terang

Arah tujuan Yesus selalu terpampang jelas di hadapannya. Dan kali ini kita sudah sampai di pertengahan Injil Yohanes; kita masih jauh dari bagian akhirnya! Akan tetapi kita dapat melihat kejelasan yang konstan dari arah tujuan yang dimiliki oleh Yesus. Di sini Yesus berkata kepada para muridnya, di ayat 35 dalam pasal yang sama:

Yohanes 12:35, Kata Yesus kepada mereka: “Hanya sedikit waktu lagi terang ada di antara kamu. Selama terang itu ada padamu, percayalah kepadanya, supaya kegelapan jangan menguasai kamu; barangsiapa berjalan dalam kegelapan, ia tidak tahu ke mana ia pergi.

Perhatikan kata-kata tersebut. Orang yang berjalan dalam kegelapan tidak tahu ke mana dia akan menuju. Orang yang berjalan dalam kegelapan tidak memiliki pemahaman tentang arah tujuan. Orang yang berjalan dalam kegelapan tidak memiliki petunjuk ke mana akan pergi! Apakah Anda tahu ke mana Anda akan pergi? Apakah Anda berada di dalam terang atau gelap? Apakah Anda memahami tentang arah tujuan Anda, arah tujuan rohani Anda? Jika tidak, seperti yang dikatakan oleh Yesus, mungkin Anda sekarang ini sedang melangkah di dalam kegelapan. Anda masih tidak tahu di mana Anda berada sekarang ini; Anda masih belum dibebaskan dari belenggu dosa; Anda masih belum masuk ke dalam kebaruan hidup. Dan hal itu bisa dikatakan terjadi pada kebanyakan orang yang menyebut dirinya Kristen. Izinkan saya mengajukan pertanyaan ini: Tahukah Anda ke mana Anda sedang melangkah? Apakah Anda benar-benar tahu? Apakah Anda memiliki arah tujuan rohani?


Kehidupan Kristen: membangun menara

Mari kita lihat di Lukas 14:28. Seperti apakah pandangan Yesus tentang kehidupan Kristen itu? Bagaimana cara Yesus menggambarkannya di dalam ayat ini? Ayat 27, menyatakan hal yang sama persis dengan yang sudah kita baca di dalam Yoh 12 – “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. Jika engkau ingin menjadi muridku, pikullah salibmu, dan ikutlah aku.”

Dan Yesus melanjutkan:

Lukas 14:28, Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu?

Ayat 30 menyatakan hal yang sama:

Lukas 14:30, sambil berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya.

Di dalam membangun menara atau membangun sebuah bangunan, Anda harus melakukan beberapa hal. Anda harus menghitung anggaran biayanya. Namun untuk bisa menghitung anggaran tersebut, Anda harus tahu bangunan macam apa yang akan Anda buat: seberapa tinggi menara itu? Seberapa besar ukurannya? Apa saja peralatan yang akan dipasang di sana? Bagaimana bentuknya? Bagaimana cara membangunnya? Berapa banyak pekerja yang dibutuhkan? Bahan-bahan apa saja yang diperlukan? Ini adalah masalah perencanaan yang rumit. Anda harus memiliki rencana proyek yang jelas. Anda tidak boleh sekadar berkata, “OK, kita akan menumpukkan beberapa batu di sini, dan lihatlah, kita sudah memiliki menara.”

Dan banyak orang yang menjalani kehidupan Kristennya persis seperti ini. Mereka berputar-putar dan membayangkan bahwa dengan berjalan tanpa arah itu, pada akhirnya nanti – dengan bantuan mukjizat mungkin, tiba-tiba akan terbangun sebuah menara di akhir hayat mereka. Mungkin mereka sudah mengumpulkan beberapa batu. Akan tetapi menaranya tidak terbangun, karena hidup mereka tidak diisi dengan rencana dan pola yang jelas. Mereka tidak akan dapat berkata, “Aku telah mencapai garis akhir; aku telah menyelesaikan pekerjaanku.”


Kehidupan Kristen: Peperangan

Yesus melanjutkan dengan berkata di bagian selanjutnya yang membandingkan kehidupan Kristen dengan peperangan.

Lukas 14:31, Atau, raja manakah yang kalau mau pergi berperang melawan raja lain tidak duduk dahulu untuk mempertimbangkan, apakah dengan sepuluh ribu orang ia sanggup menghadapi lawan yang mendatanginya dengan dua puluh ribu orang?

Dengan perbandingan semacam itu, maka Anda harus merencanakan peperangan Anda secara teliti. Mungkin Anda bisa bermain-main jika kekuatan pasukan Anda besarnya tiga atau empat kali lipat kekuatan lawan. Akan tetapi jika kekuatan Anda lebih kecil dari lawan (perhatikan bahwa Yesus dengan sengaja menetapkan perbandingan seperti ini), maka Anda harus merencanakan peperangan Anda secara sangat hati-hati. Anda harus menyusun strategi dengan jelas. Anda harus tahu persis apa yang akan Anda lakukan. Anda tidak boleh kehilangan prajurit secara sia-sia karena Anda kalah jumlah.

Itulah fakta di dalam kehidupan rohani. Di dalam dunia ini, kita kalah jumlah. Kita kalah jumlah karena musuh ada di dalam dan di luar kita. Dari dalam – itulah kelemahan dari kedagingan kita, godaan-godaan yang secara konstan diajukan oleh dunia kepada kita. Dan dari luar, itulah segala tekanan dalam kehidupan ini, yang datang melalui teman, keluarga dan bahkan melalui orang-orang yang kita kasihi. Tekanan-tekanan tersebut membuat perimbangan kekuatan sangat tidak sebanding dalam kehidupan Kristen.

Jadi Anda harus punya rencana peperangan yang jelas. Kehidupan Kristen harus dijalani dengan ketepatan seperti yang dimiliki oleh jendral yang menjalankan rencana peperangannya. Tidak boleh sekenanya saja. Tidak ada jendral yang bisa menang dengan sekadar berkata, “Baiklah, musuh ada di tempat ini. Di mana kalian sekarang? Ayo kita serbu mereka. Mari. Tingkatkan keberanian. Kita gempur mereka.” Jika Anda berangkat perang dengan cara seperti itu, Anda akan disapu sebelum Anda bisa berbuat banyak. Tak seorangpun yang pergi perang dengan cara seperti ini bisa berharap akan bertahan.

Itulah hal yang menakutkan saya! Begitu banyak orang Kristen yang memasuki kehidupan Kristen asal jalan saja. Dan mereka berharap untuk memperoleh kemenangan. Yah, tak heran jika mereka dikalahkan terus setiap hari. Tak heran jika mereka jatuh bangun, dikalahkan setiap hari di dalam kehidupan Kristen mereka. Mereka tidak punya rencana perang. Mereka tidak punya disiplin dalam hidupnya. Sangat kacau! Pernahkah Anda melihat tentara yang bisa memenangkan peperangan tanpa disiplin? Namun yang saya lihat adalah orang-orang Kristen yang hidup tanpa disiplin, tak terkendali, penuh nafsu amarah dan liar. Tidak ada keteraturan. Itu sebabnya Paulus berrkata, “Aku selalu mengendalikan diriku (dalam 1 Korintus 9:27), aku mengarahkan diriku, aku mendisiplin diriku, karena sama halnya dengan seorang prajurit, engkau tidak akan bisa memenangkan pertempuran dengan mengandalkan segerombolan orang yang tak terkendali.”


Tanpa disiplin, tak ada kemenangan

Hal yang sama berlaku bagi gereja zaman sekarang ini. Setiap kali kita berbicara tentang disiplin di gereja, mereka mengeluh, “Terlalu keras!” Bagaimana mungkin seorang raja maju perang? Bagaimana mungkin gereja bisa memenangkan peperangan rohani jika kita semua tidak berhikmat dan sentimental? Setiap perwira, setiap jendral yang baik, tahu bahwa yang penting itu bukan sekadar kepentingan individu saja. Ada perang yang harus kita jalani. Jika lalai maka seluruh pasukan akan mengalami kekalahan.

Setiap jendral yang baik pasti sangat mengasihi prajuritnya. Namun ada saatnya di mana dia harus memerintahkan hukuman mati bagi salah satu anggota pasukannya. Hal itu tentu saja sangat menyedihkan hatinya. Saya pernah melihat sendiri, saat seorang jendral memerintahkan pasukannya untuk menembak, lalu ia berpaling dan menangisi prajurit yang dihukum mati itu. Anda yang pernah membaca sejarah Tiongkok akan tahu bahwa ada kalanya para jendral-jendral yang hebat itu harus menjalankan hal yang sangat tidak mengenakkan hati ini karena taruhannya adalah keselamatan segenap pasukan.

Poin yang akan kita lihat di sini adalah: Gereja, seperti yang ada sekarang ini, seringkali tidak memiliki disiplin, tidak ada keteraturan. Tak heran jika gereja tidak mampu maju berperang dan menang! Sungguh kacau. Hanya berupa sekumpulan orang yang datang untuk acara perkumpulan sosial. Kita bukan pasukan di bawah komando Tuhan. Kita hanya sekadar sgerombolan orang yang berkumpul untuk meneriakkan beberapa slogan. Kita tidak bisa merampungkan apapun dengan cara seperti ini.

Itu sebabnya, gereja dan setiap individu di dalamnya tidak memiliki pengertian tentang arah tujuan. Tentu saja, jika setiap individu di dalam gereja tidak mengerti arah tujuan, akankah gereja memiliki arah tujuan? Ke manakah arah tujuan yang mau dikejar oleh gereja? Gereja juga tidak tahu. Ia tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Rata-rata pendeta, saya sampaikan sejujurnya, tidak punya petunjuk (selain berusaha menambah jumlah jemaatnya, menyelenggarakan acara ini dan itu) tentang apakah tujuan gereja di dunia ini. Pekerjaan apakah yang harus diselesaikannya? Apakah tugasnya? Ia tidak tahu! Selama dia masih bisa menyampaikan laporan ke kantor pusatnya dan berkata, “Tahun ini jemaat saya bertambah 15%. Jumlah persembahannya meningkat 20%.” Oh, tepuk tangan! Penjual yang terampil! Uangnya bertambah sampai 20%. Mungkin dia juga perlu melaporkan bahwa gajinya ikut meningkat sebanyak 20%, seiring dengan naiknya uang persembahan.

“Pendeta yang sukses! Orang yang baik! Lain kali kami bisa menunjuk Anda sebagai penyelia untuk seluruh kalangan jemaat karena Anda sangat handal dalam menaikkan pemasukan dan membangun gedung. Bagus sekali.”

Apakah tujuan utamanya, apakah hal yang seharusnya dikerjakan oleh gereja secara rohani di dunia ini?

“Oh! Secara rohani? Saya rasa, emm…yah, kita menginjil. Kita menginjil…”

Dan apa maksudnya menginjil itu?

“Yah, menginjil berarti Anda cukup mengangkat tangan Anda dan mengaku percaya kepada Yesus, dan cukup sudah. Lalu Anda dibaptis dan masuk ke dalam jemaat, dan kami bisa melupakan Anda setelah itu.”

Bukan begitu caranya membangun gereja. Apa misinya? Apakah orang ini – orang yang dibaptis ini – tahu ke mana dia harus menuju? Tahukah dia tentang hal apa yang harus dia kerjakan? Dia tidak tahu apa-apa. Dia dibaptis, akan tetapi dia tidak tahu harus menuju ke mana setelah itu. Lalu dia mulai mengalami penurunan; karena jika Anda tidak tahu harus pergi ke mana, maka Anda akan masuk ke jalur yang salah, sebagaimana hal yang sering terjadi. Ini sudah terjadi berulang-ulang.


Kehidupan Kristen: Komitmen total

Lalu Yesus menutup bagian di Lukas 14 ini dengan kalimat berikut:

Lukas 14:33, Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku.

Tuntutan Yesus tidak kurang dari apa yang kita sebut sebagai “komitmen total”. “Tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku.” Mengapa? Bukankah kita baru saja membicarakan tentang peperangan! Apakah orang yang ingin menjadi prajurit yang baik akan berkata, “Tidak, tidak, aku akan berperang, tetapi aku tidak mau mati”? Anda berada di tempat yang salah, sobat! Prajurit harus siap mati. Jika Anda tidak rela mati, jangan turut berperang. Pergi saja ke tempat yang lain.”

Anda tidak mampu menyelesaikan menara itu karena Anda tidak masuk secara total dalam tugas penyelesaiannya, dalam pengerahan segenap sumber daya Anda dan segenap milik Anda untuk itu. Yesus memulai dengan pernyataan ini, dan dia mengakhirinya dengan pernyataan ini juga. Dia memulai dengan pernyataan di ayat 27, “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku“. Dan Dia mengakhiri dengan pernyataan, “Yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku…” Waah! Pernyataan yang sangat mencengangkan!

Banyak orang yang berkata kepada saya, [bahkan] pendeta juga berkata, “Anda tak boleh berkhotbah seperti itu! Tidak, tidak. Anda tak boleh berkhotbah seperti itu di dalam gereja. Harga dari pemuridan itu terlalu tinggi, jika Anda menetapkan harganya seperti itu, dan dengan harga yang semahal itu, tak akan ada orang yang mau membelinya. Jika Anda ingin menjual Injil, potonglah harganya – pangkaslah harganya, berikan diskon 50%. Yesus berkata bahwa engkau harus melepaskan semuanya, tetapi kita menyampaikan tawaran yang lebih baik, tidak perlu melepaskan semuanya. Bahkan mungkin separuhpun tidak perlu. Malahan, engkau tidak perlu melepaskan apapun. Anugerah! Waah! Yesus berkata, “Lepaskan semuanya.’ Tapi kita berkata, ‘Kamu boleh menerimanya secara gratis.'”


Apakah kita berkomitmen pada tujuan hidup yang sama dengan Kristus?

Tidak heran jika kita tidak punya pemahaman tentang arah tujuan! Perhatikan, saudara-saudariku terkasih, kata-kata Yesus di ayat yang kita baca tadi adalah arah tujuan kita. Jika Anda buang kalimat tersebut, maka Anda tidak memiliki arah tujuan lagi. Itulah arah tujuan Yesus. Dapatkah Anda melihatnya? Apakah arah tujuannya? Yesus sudah mengatakannya, “Pikullah salibmu dan ikutlah dku. Aku pergi ke sini, dan kamu akan mengikut aku. Arah tujuanku, dengan kata lain, juga merupakan arah tujuan-mu.”

Kita sudah melihat apa yang menjadi arah tujuan bagi Yesus. Tujuan dalam hidupnya, mulai dari awal sampai akhir, adalah menyerahkan nyawanya bagi penebusan, bagi keselamatan umat manusia. Dan kita ini buta kalau tidak bisa melihat apa yang Yesus sampaikan di sini. Dia berkata, “Itulah tujuan hidupku, dan itu juga yang harus menjadi tujuan hidupmu jika kamu ingin menjadi muridku.”

Ini adalah kekristenan yang berbeda dengan yang saya dengarkan di zaman sekarang. Kekristenan zaman sekarang adalah, “Datang dan nikmati hadiah gratis – ini adalah hadiah Natal.” Seperti di sekolah minggu. Mereka tidak perlu membawa apapun, dan para guru di sekolah minggu itu sungguh baik hati. Mereka mempersiapkan hadiah-hadiah cantik buat anak-anak. Anak-anak itu tidak perlu membawa apa-apa, dan mereka pulang membawa hadiah. Anak saya mendapatkan hadiah baju sweater yang indah dan dia memakainya dengan bangga kemarin. Dia tidak harus membawa sesuatu apapun dan dia mendapatkan hadiah itu. Sungguh baik hati. Mungkin kehidupan Kristen sama dengan itu! Beberapa orang berpikir, “Aku tinggal datang saja dan menerima hadiahnya. Para pendeta dan pengkhotbah selalu berkata, ‘Yang perlu kau lakukan adalah merentangkan tanganmu, dan engkau akan menerima hadiahmu.'” Bagus, bagus sekali! Saya tidak keberatan dengan hadiah gratis; saya juga suka dengan hadiah gratis. Nah, siapa yang tidak suka hadiah gratis?

Akan tetapi masalahnya adalah jika Anda berkhotbah seperti itu, maka Anda tidak melakukannya seperti cara Yesus melakukannya. Anda tidak akan memiliki rasa punya tujuan karena arah tujuan itu justru terletak di dalam kalimat tersebut: ‘Tujuan hidupku adalah untuk hidup dan mati bagi penebusan umat manusia.’ Hal itu harus menjadi tujuan hidup Anda juga, sobat. Itulah hal yang dikatakan oleh Tuhan: “Nah, jika engkau tidak memiliki tujuan tersebut di dalam hidupmu, maka kamu bukanlah muridku, kamu tidak bisa menjadi muridku.”

Kita sering menyanyikan lagu tentang hal menjadi serupa dengan Kristus. Kita telah berbicara tentang hal menjadi serupa dengan Kristus. Ijinkan saya bertanya: bagaimana Anda, dan saya, menjadi serupa dengan Kristus, jika kita bahkan tidak memiliki tujuan hidup yang sama dengan dia? Bagaimana saya bisa menjadi serupa dengan Yesus? Satu-satunya jalan agar saya bisa menjadi serupa dengan dia adalah dengan berpikir seperti dia; dan satu-satunya jalan saya bisa berpikir seperti dia adalah dengan mengikuti jejak langkahnya, yaitu dengan melakukan dan menghargai hal yang sama dengannya.


Tujuan kita: hidup bagi keselamatan orang lain

Saudara-saudariku, disampaikan dengan cara sederhana: Anda dan saya dipanggil untuk misi dan tugas ini, bukan sekadar untuk diselamatkan, melainkan kita sendiri menjalani hidup demi keselamatan orang lain. Ini harus dijadikan tujuan. Dan tujuan ini bukanlah suatu pilihan! Maaf, ajaran Yesus mengenai hal ini memang tidak memberi pilihan pada kita. Anda bukanlah seorang murid, atau Anda bukanlah seorang Kristen, menurut definisi Yesus, jika hal ini belum menjadi tujuan hidup Anda: Yaitu mulai titik ini, Anda menjalani hidup demi keselamatan orang lain, Anda hidup demi keselamatan umat manusia. Jika Anda melakukannya, maka berarti Anda telah memikul salib dan mengikut jejak Yesus. Mulai saat ini, Anda tidak hidup bagi diri Anda sendiri lagi. Anda hidup demi keselamatan saudara Anda, demi keselamatan orang ini dan itu. Segenap hidup ini Anda jalani bagi orang lain. Jika Anda tidak menyukai hal ini, Anda tidak menyukai cara hidup seperti ini, maka lupakan saja urusan menjadi orang Kristen. Saya berbicara kepada Anda seterang dan segamblang ucapan Yesus, karena memang itulah yang dikatakan oleh Yesus. Hal itu bukan perkataan pribadi saya. Itulah yang dikatakan oleh Yesus: “Kecuali jika kau pikul salibmu, jika kau lepaskan segalanya demi kepentingan orang lain, kamu tidak bisa menjadi muridku. Jangan menyebut dirimu Kristen.”

Di dalam Alkitab, seorang murid dan seorang Kristen itu sama saja; keduanya tidak menjelaskan hal yang berbeda. Seorang murid adalah seorang Kristen. Dan orang Kristen adalah sebutan lain dari murid; bukannya dua tingkatan sebagaimana yang sering disalah-mengerti oleh banyak orang – bahwa Anda berada di tingkatan yang lebih rendah sebagai orang Kristen dan masuk ke tingkatan yang lebih tinggi sebagai seorang murid. Yah, Anda bisa menciptakan doktrin Anda sendiri, tetapi itu tidak ada di dalam Alkitab. Alkitab memberitahu kita bahwa Kristen adalah sekadar nama lain dari murid.

Dan Anda tidak bisa menjadi seorang murid kecuali jika Anda memiliki tujuan hidup yang sama dengan Yesus. Jika Anda tidak suka tujuan hidup tersebut, lupakanlah hal menjadi seorang Kristen, karena Anda tidak tahu apa arti menjadi seorang Kristen! Anda tidak siap untuk mengarah ke tujuan yang sama. Dan sekalipun Anda menyebut diri Anda Kristen, maka yang terjadi pada Anda adalah bahwa Anda akan berjalan dalam kegelapan, tidak tahu harus melangkah ke mana, membenturkan kepala ke tembok rohani yang ini dan yang itu, dan dengan semangat yang patah Anda berkata, “Mengapa Allah tidak mendengarkan saya? Mengapa ketika saya berdoa, Dia tidak mau mendengarkan saya?” Tentu saja, Dia tidak akan mendengarkan Anda, karena Anda belum memenuhi syarat sebagai seorang murid yang telah diajarkan oleh Yesus! Satu-satunya hal yang bisa Anda minta dariNya adalah untuk mengubah segenap arah tujuan hidup Anda, untuk mengijinkan Anda menjadi seorang murid. Selanjutnya, pengalaman doa Anda akan menjadi sangat berbeda!

Perhatikan keyakinan di dalam kata-kata Yesus dalam Yohanes 11. Dia berkata, “Bapa, Aku tahu bahwa Engkau selalu mendengarkan Aku,” di saat Yesus akan membangkitkan Lazarus dari kematian. Dia tahu bahwa Bapanya selalu mendengarkannya. Punyakah Anda keyakinan itu?

Saya benar-benar yakin bahwa Allah akan mendengar, Dia akan mengabulkan. Luar biasa! Dan keyakinan ini bukan kepada diri saya. Melainkan kepada Allah, karena dengan kasih karuniaNya, saya bisa memiliki arah tujuan yang sama dengan Yesus. Keyakinan ini bukanlah sesuatu yang alami. Secara alami, saya adalah seorang yang sangat egois – mementingkan diri sendiri, sama seperti orang lain, mungkin bahkan lebih buruk daripada orang lain. Akan tetapi Allah telah mengubah arah tujuan hidup saya. Dan Dia masih bekerja mengubahnya, karena saya masih jauh dari sempurna. Seperti yang dikatakan oleh rasul Paulus, “Bukan karena aku telah mencapai kesempurnaan itu, tetapi aku terus berlari-lari mencapai tujuan. Dan tujuan itu adalah menyerahkan nyawa bagi orang lain.”

Saudaraku, Anda hanya bisa mengaku diri sebagai orang Kristen jika Anda memiliki tujuan hidup yang sama dengan Yesus; seperti yang telah dilakukan oleh rasul Paulus. Dia berkata di dalam Timotius, “Aku menanggung segalanya bagi orang-orang yang telah terpilih. Aku hidup bagi orang-orang yang terpilih. Aku mati bagi orang-orang yang terpilih.” Dan kita harus bersedia untuk dicurahkan sebagai korban persembahan bagi yang lain, mengikuti jejak langkah Yesus. Seperti yang dikatakan oleh Paulus, “Aku meniru (atau meneladani) Kristus, dan kamu tirulah aku sebagaimana aku telah meniru Kristus.” Kita semua berangkat menuju ke arah yang sama. Kita semua memikul salib kita.Kita semua akan menyerahkan nyawa kita bagi para saudara kita.

Kehidupan Kristen diawali dengan penyerahan hidup Anda. Apa yang harus Anda lakukan di waktu Anda dibaptis? Saat di baptis, Anda mati, hal inilah terjadi saat Anda dibaptis jika Anda tahu apa yang Anda lakukan. Jika pendeta Anda tidak pernah memberitahu Anda apa yang terjadi saat Anda dibaptis, kiranya Allah berbelas kasihan padanya, karena dia harus mempertanggungjawabkan banyak hal. Saat dibaptis, Anda mati. Anda mati dalam artikata Anda melepaskan cara hidup lama Anda, atau kelakuan lama Anda. Anda melakukan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh Yesus di Lukas 14:33 ini. Anda telah melepaskan cara hidup lama Anda. Anda telah melepaskan dosa-dosa Anda. Anda telah melepaskan ambisi-ambisi egois Anda. Itu sebabnya Anda dibaptis. Baptisan menegaskan bahwa Anda telah berhenti dari cara hidup yang lama. Sekarang Anda memiliki tujuan hidup yang sama dengan Yesus.


Jemaat: Sarana pilihan Allah bagi keselamatan umat manusia

Setiap orang Kristen sejati memiliki arah tujuan yang jelas ini di dalam benaknya: Pembangunan jemaat Kristus – membangun jemaat sebagai alat yang dipakai oleh Allah bagi keselamatan umat manusia. Gereja adalah alat pilihan Allah untuk menyelamatkan umat manusia. Dengan demikian jika saya ingin menjalani hidup dan mati saya bagi keselamatan umat manusia, saya harus memulai dari titik di mana Yesus memulai. Yaitu dengan gereja! Gereja adalah instrumen, alat, menara jaga, bait tempat orang-orang datang dan diselamatkan, tempat di mana mereka bisa menyembah Allah, tempat untuk bersekutu dengan Allah. Kita diperintahkan untuk membangun bait Allah. Di dalam 1 Kor 3:10 dan selanjutnya, Paulus menyebut dirinya sebagai seorang tukang bangunan. Lalu dia melanjutkan, “Setiap orang dari kalian juga akan terlibat di dalam tugas membangun ini.” Membangun apa? Membangun bait Allah. Di dalam ayat sebelumnya, yaitu ayat 9, dia berbicara tentang bangunan Allah; dan di dalam ayat 16 & 17 dst., dia berbicara tentang bait Allah. Dan bagian tentang pembangunan tersebut disisipkan di antara dua pernyataan tentang pembangunan bait.

Dan dia berkata, “Aku membangun bait Allah, dan kamu – setiap orang dari kamu – harus ikut membangun. Ada yang membangun dengan jerami, ada yang dengan kayu, dan ada yang dengan batu permata – yang jelas kamu harus ikut membangun. Kamu harus membangun bait Allah.” Cukup aneh, kebanyakan penafsir secara individualistis menekankan bahwa pembangunan tersebut adalah pembangunan diri seseorang menurut suatu pemahaman rohani. Mungkin maksudnya berarti membangun diri Anda menjadi orang yang lebih ramah, lebih rohani dalam satu atau lain hal.

Akan tetapi saya ingin menyampaikan bahwa Anda tidak akan bisa menjadi lebih rohani, Anda tidak akan bisa menjadi serupa dengan Krsitus sebelum Anda memiliki pikiran yang sama dengan Yesus, yaitu, menjalani hidup dan mati bagi orang lain. Tidak ada gunanya pergi ke biara dan menghabiskan 20 jam berdoa untuk membangun diri Anda, menjadi lebih suci, membaca Alkitab sampai kaca mata Anda menjadi semakin tebal. Tidak ada gunanya selama tujuan hidup Anda belum benar. Apa gunanya semua itu? Anda masuk sekolah agama dan mendapatkan gelar, lalu Anda mengejar lebih banyak gelar lagi, dan kaca mata Anda menjadi semakin tebal, baiklah, memang ada bagusnya. Akan tetapi tidak ada gunanya, karena kecuali jika tujuan hidup Anda sudah sama dengan tujuan hidup Yesus, semua itu tidak akan ada gunanya – semua itu sia-sia saja. Membangun diri Anda sendiri tidak akan menghasilkan apa-apa bagi Anda – sebelum kita memiliki tujuan hidup yang sama dengan Yesus.

Akan tetapi begitu banyak penafsir yang mengira bahwa ayat ini menyatakan hal itu. Mereka tidak memikirkan tentang orang lain, mereka hanya memikirkan diri mereka saja, bahwa kita ini sedang membangun diri kita sendiri. Apa tujuannya? Apakah garis akhirnya? Garis akhirnya adalah Anda menjadi lebih rohani. Namun ijinkan saya memberitahu Anda: Tidak mungkin, tidak mungkin Anda bisa membangun diri Anda sendiri menjadi lebih rohani. Anda bisa saja mengunci diri dalam biara sampai sepuluh tahun, merusakkan celana Anda dengan berlutut, berdoa dan berdoa. Apa gunanya? Tuhan berkata, “Bangunlah! Tidakkah engkau lihat orang-orang binasa di luar sana? Lihatlah kondisi gereja. Keluar dan lakuanlah sesuatu! Dan kalau kamu sudah memiliki tujuan hidup tersebut di dalam dirimu, datang dan berbicaralah tentang masalah-masalah khusus dengan-Ku dan Aku akan menjawab semua doa itu bahkan melampaui hal yang bisa kau minta atau kau pikirkan.”

Ada kekristenan semu, yang sebenarnya hanyalah keegoisan semata. Keegoisan murni – yaitu membangun diri sendiri, menambah pengetahuan tanpa ikut masuk ke dalam tujuan hidup yang sama dengan Kristus. Mari dengan setulusnya kita membiarkan Tuhan menyelidiki hati kita.

Apakah garis akhirnya? Bagi Paulus, garis akhirnya adalah memperoleh Kristus. Ya, tapi bagaimana? Melalui persekutuan di dalam penderitaan Yesus, kata Paulus dalam Flp. 3:10. Bagaimana Anda bisa masuk ke dalam persekutuan dalam penderitaannya jika Anda tidak masuk ke dalam tujuan hidup yang sama dengannya? Anda baru bisa masuk ke dalam persekutuan dalam penderitaannya jika Anda berjuang untuk menyelesaikan pekerjaan yang sama dengannya.

Itulah poin yang harus kita pahami dengan sangat jelas. Saya memohon kepada Allah agar setiap orang di sini mengerti sepenuhnya, dengan terang dan jelas, tentang apa yang harus menjadi tujuan hidup Anda jika Anda adalah seorang Kristen; tidak boleh ada lagi cara hidup demi diri Anda sendiri. Pekerjaan Anda bukanlah prioritas jika Anda seorang Kristen. Profesi Anda bukanlah prioritas jika Anda seorang Kristen. Tidak ada prioritas lain selain Allah dan kebenaran-Nya dan kerajaan-Nya. Anda menjalani hidup hanya bagi Dia. Semua yang lain berada di nomor belakang. Segenap arah dan tujuan Anda adalah bagi keselamatan umat manusia, sama seperti arah tujuan Yesus. Dan dalam rangka mencapai hal ini, Anda membangun umat Allah; Anda membangun gereja-Nya, sebagai alat yang dipilih oleh Allah bagi keselamatan umat manusia.


Penutup

Saya mau menjelaskan juga bahwa Anda tidak akan pernah tahu seperti apa sukacita – sukacita yang tak terucapkan – sampai Anda menjalani arah tujuan ini. Seseorang bisa saja berkata, “Tidakkah hal itu akan sangat memberatkan? Bahwa segenap hidup kita dikerahkan dalam urusan demi orang lain, dan mati bagi orang lain?” Ini adalah pemikiran yang sangat membebani bagi manusia duniawi, bukankah begitu? Akan tetapi, ajaibnya, ini adalah satu-satunya jalur sukacita.

Baru-baru ini saya membaca sebuah artikel menyangkut masalah psikologi dan psikiatri. Penemuan yang didapat oleh para psikolog dan psikiater itu adalah: Bahwa Anda baru bisa mencapai sukacita yang sempurna dan penuh jika Anda hidup secara altruistik, yaitu, hidup bagi kepentingan orang lain. Ajaib, bukankah demikian? Bahkan para psikolog sekarang ini mendapati bahwa seseorang yang hidup bagi dirinya sendiri tidak akan pernah bahagia. Orang yang hidup bagi kepentingan pribadinya tidak akan pernah memiliki sukacita. Itu sebabnya mengapa mereka yang melangkah bersama dengan Allah di dalam jalur yang memberi diri ini adalah orang-orang yang memiliki sukacita luar biasa.

Pernahkah Anda memberikan uang kepada pengemis? Ingatkah Anda betapa senang rasanya saat itu? Sungguh luar biasa! Wah! Anda tiba-tiba merasa senang. Sungguh indah! Karena pada saat itu, Anda berada dalam keadaan yang tidak egois. Dan di saat itu, Anda merasakan manisnya sukacita sejati. Hal ini dapat menjelaskan apa yang dimaksud oleh para psikolog itu.

Seorang psikolog terkenal, dulu mengajar di University of Montreal, Hans Selye, menyebut hal ini sebagai [‘altruistic egoism‘, keegoisan yang altruistik]. Dia menyadari bahwa tak ada jalan untuk bisa memahami sukacita di dalam hidup manusia kecuali melalui tindakan memberi diri ini. Itu sebabnya dia merumuskannya dalam istilah ‘altruistic egoism’. Apakah maksudnya? Artinya adalah bahwa Anda tidak akan bisa berbahagia jika tidak hidup bagi orang lain. Altruisme berarti hidup bagi orang lain. Dan menurutnya demi kebahagiaan Anda sendiri, hiduplah bagi orang lain, karena tidak ada jalan lain untuk memperoleh sukacita. Bahkan para psikolog menyadari bahwa jika Anda tidak hidup demi orang lain, Anda tidak akan pernah memahami arti sukacita.

Seperti yang Anda ketahui, Rockefeller adalah salah satu orang terkaya di Amerika Utara. Pada usia 40, dia sudah menjadi orang yang kaya raya. Pada saat itu, rambutnya mulai menipis; dia sakit-sakitan dan sangat sengsara. Begitu menderitanya dia sehingga dia sempat merenungkan hal bunuh diri walaupun di saat itu dia sudah menjadi seorang pimpinan dari sebuah kerajaan bisnis. Dia tidak memiliki sukacita sama sekali, mungkin mirip dengan kawan saya yang sudah mencapai puncak karirnya. Suatu hari, dia memberikan sedikit uang kepada seorang miskin. Dan dia merasakan, untuk pertama kalinya, sukacita yang luar biasa di dalam hatinya, dia menyadari bahwa sumber dari kesengsaraannya adalah keegoisannya sendiri. Sebelumnya, dia tidak akan sudi memberikan uang bahkan sedolar pun dari jutaan dolar miliknya. Namun pada suatu hari dia memberikan beberapa dolar kepada orang miskin dan dia merasa sangat senang. Sebagaimana yang Anda ketahui, dia memutuskan untuk membangun sebuah yayasan amal, (Rockefeller Foundation) yang membantu orang-orang miskin dan yang kesusahan. Terjadi perubahan dalam pandangan hidupnya. Dia menjadi orang yang mengerti apa arti sukacita itu. Saat dia mulai merelakan uangnya, untuk pertama kalinya, dia mulai mengalami sukacita.

Jadi jangan mengira bahwa ketika Yesus berkata, “Pikullah salibmu dan ikutlah aku,” berarti Yesus sedang menyuruh kita masuk ke dalam kesengsaraan. Justru sebaliknya! Untuk pertama kalinya Anda akan mengalami sukacita rohani, jika kita melibatkan diri dalam pembangunan Yerusalem Baru yaitu pusat sukacita itu. Marilah kita berdoa semoga gereja menjadi kota kemuliaan Allah, menjadi benteng keselamatan sebagaimana yang seharusnya terjadi.

 

Berikan Komentar Anda: