Pastor Eric Chang | Yohanes 15 |

Di Matius 23:34-35, Yesus berkata kepada orang-orang Israel:

“Sebab itu, lihatlah, aku mengutus kepadamu nabi-nabi, orang-orang bijaksana dan ahli-ahli Taurat: separuh di antara mereka akan kamu bunuh dan kamu salibkan, yang lain akan kamu sesah di rumah-rumah ibadatmu dan kamu aniaya dari kota ke kota”

Berbeda dengan keadaan yang ada sekarang, gereja seharusnya memiliki nabi-nabi. Hal ini dinyatakan bukan hanya di 1 Korintus 12, tetapi juga di Efesus 4:11. Paulus berkata bahwa Allah telah memberikan rasul-rasul, nabi-nabi, pemberita-pemberita Injil, gembala-gembala dan pengajar-pengajar untuk memperlengkapi – kata ‘memperlengkapi’ ini berarti melatih, mempersiapkan orang-orang kudus-Nya bagi pelayanan pekerjaan Allah. Orang-orang dari berbagai golongan tersebut sangatlah penting bagi pembangunan dan pelayanan umat Allah. Tanpa adanya orang-orang tersebut, bagaimana mungkin gereja bisa dibangun?

 
DI MANAKAH PARA RASUL DAN NABI?

Di zaman sekarang, gereja-gereja lebih mirip tempat penampungan bayi-bayi rohani. Orang-orang Kristen menjadi bayi-bayi rohani yang tidak pernah bertumbuh dewasa. Mereka benar-benar tidak pernah bertumbuh. Hal ini dinyatakan oleh penulis surat Ibrani dengan nada yang nyaris putus asa, “seharusnya sudah saatnya bagi kalian untuk menjadi pengajar, tetapi kalian bahkan tidak mampu menopang diri kalian sendiri, apalagi mengajari orang lain. Kalian masih membutuhkan susu, kalian masih bayi.” Paulus, dengan rasa frustrasi yang sama, berkata kepada jemaat di Korintus, “Aku tidak bisa berbicara dengan kamu sebagai orang dewasa, aku harus memperlakukan kamu sebagai bayi-bayi. Bayi-bayi yang tidak pernah bertumbuh.” Gereja-gereja telah menjadi tempat penampungan bayi-bayi rohani. Sangatlah sukar menemukan jemaat yang dewasa secara rohani, yang menunjukkan kepenuhan pertumbuhan dan kedewasaan, keindahan dan kuasa Kristus.

Ke mana perginya para nabi? Ke mana lenyapnya para rasul di zaman sekarang? Kedua golongan ini hanya muncul sampai dengan abad pertama saja. Jika jemaat abad pertama membutuhkan rasul dan nabi, tentunya kita jauh lebih membutuhkan mereka sekarang. Akan tetapi di tengah keadaan kebutuhan rohani kita yang sangat mendesak ini, kita justru tidak memiliki orang-orang dari kedua golongan tersebut. Oleh karenanya, kita perlu menanyakan bukan sekadar ke mana lenyapnya para nabi ini, tetapi sekaligus bagaimana agar kita bisa menjadi nabi. Inilah tema yang akan kita bahas pada hari ini. Bagaimana supaya Anda dan saya bisa menjadi nabi? Bagaimana seorang nabi bisa muncul? Dari mana datangnya mereka? Mengapa kita tidak memiliki lebih banyak lagi nabi?

 
TIDAK ADA KEKURANGAN NABI PALSU

Kita tidak kekurangan nabi palsu; nabi-nabi palsu tidak langka di tengah generasi ini. Namun ke mana hilangnya para nabi sejati? Joseph Smith dari aliran Mormon menyebut dirinya nabi dan kedua-belas orang dari pengurus gereja Mormon menyebut diri mereka rasul. Demikianlah, mereka punya nabi dan rasul, tetapi Gereja tidak punya satupun. Tampaknya tidak ada kekurangan nabi palsu. Namun ke mana perginya nabi-nabi sejati? Keadaannya mirip dengan zaman menjelang bangsa Israel masuk ke pengasingan, sebelum Israel sebagai suatu bangsa dihancurkan, sebelum terjadinya penghancuran Yerusalem dan bait Allah. Jumlah nabi yang palsu sangatlah banyak, tetapi nabi yang sejati sangat jarang ditemukan.

falseprophetBanyak orang yang tidak akrab dengan isi Perjanjian Lama tentunya akan mengira bahwa di dalam Perjanjian Lama, yang disebut nabi itu hanyalah Yesaya, Yeremia, Zakharia dan yang semacamnya, yakni manusia-manusia Allah yang hebat. Hanya mereka yang disebut nabi di Perjanjian Lama. Tidak demikian. Nabi-nabi tersebut hanya merupakan minoritas yang sangat kecil dari jumlah nabi yang ada pada zaman mereka yang jumlahnya mencapai ratusan. Kita cukup membuka kitab Yeremia atau Yehezkiel untuk melihat bagaimana mereka terus menerus mengecam kalangan besar nabi-nabi palsu ini. Nabi Yehezkiel berkata bahwa mereka menyampaikan pesan yang muncul dari benak mereka sendiri dan bukan yang berasal dari Allah. Mereka memberitakan pesan-pesan yang membuat masyarakat senang. Mereka memberitakan hal-hal yang sesuai dengan selera masyarakat. Mereka memberitakan dongeng-dongeng hiburan. Mereka hanya memberitakan hal-hal yang ingin didengarkan oleh masyarakat saja. Dengan cara demikian, mereka mengeruk penghasilan besar karena jemaat mereka bertambah-tambah.


NABI SEJATI MENGALAMI PENGANIAYAAN

Sedangkan nabi-nabi sejati tidak pernah populer. Baca saja Perjanjian Lama. Mereka tidak populer, mereka tidak disukai masyarakat. Mereka dipandang negatif. Mereka selalu mengecam. Dengan meneliti konkordansi, Anda akan melihat betapa sering rangkaian kata, “Mereka bernubuat menentang…” ini atau itu di dalam Perjanjian Lama. Para nabi bernubuat menentang dosa, menentang penyelewengan, menentang ketidaksetiaan pada Tuhan, menentang pelanggaran hukum Allah, menentang nabi palsu, menentang para pemimpin dan penguasa yang tidak hidup sebagaimana mestinya umat Allah padahal mengaku sebagai umat Allah; “Munafik! Kamu semua!” Tak ada orang yang suka mendengar ucapan semacam ini. Oleh karenanya, para nabi sejati bukan saja tidak disukai, mereka malah dianiaya secara berat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Yesus di Matius, “Oh Yerusalem! Yerusalem! Nabi manakah yang tidak mati di dalam tembok kotamu? Nabi mana yang tidak dianiaya saat menyampaikan pesan kepada kota yang ‘suci’ ini?”

 
KITA DIBERITAHU NABI TIDAK DIBUTUHKAN LAGI!

Kita sekarang berada dalam keadaan yang sama. Di manakah nabi-nabi Allah? Keadaan diperparah karena para teolog justru berkomplot untuk memberitahu kita bahwa kita tidak membutuhkan para nabi lagi. Sungguh luar biasa! Bukan saja kita tidak punya nabi, kita juga diberitahu bahwa kita tidak membutuhkan mereka lagi. Lalu apa gunanya ayat seperti 1 Korintus 14:1 yang berkata,

“Usahakanlah untuk memperoleh karunia nubuat.”

Padahal para cendekiawan memberitahu kita, “Tidak perlu mengejar karunia nubuat karena sudah bukan zaman nubuat lagi, nubuat sudah tidak berlaku lagi. Anda tidak membutuhkan nabi-nabi lagi. Yang Anda perlukan adalah para pakar Alkitab seperti kami ini, ahli-ahli teolog seperti kami.”

Saya tidak sedang mengecam mereka. Saya juga belajar teologi. Namun saya tidak suka dengan keadaan yang saya lihat di gereja-gereja sekarang karena mereka telah menyimpangkan Firman Allah. Mereka memberitahu kita bahwa kita tidak memerlukan nabi-nabi lagi di tengah jemaat sehingga kita boleh menghapus Efesus 4:11, kita boleh menghapus semua ayat di dalam Alkitab yang berbicara tentang nabi-nabi. Kita boleh menghapuskan kitab Wahyu juga yang berbicara tentang nabi-nabi besar dari Allah yang akan datang pada akhir zaman. Kita juga boleh menghapuskan ayat-ayat seperti yang di Matius 23:34, saat Yesus berkata, “Lihat, Aku mengutus kepadamu nabi-nabi.” Siapa yang akan Yesus utus? Nabi-nabi. Namun kita mendapat kesan bahwa yang kita butuhkan sekarang hanyalah orang-orang bijaksana dan ahli-ahli taurat, yakni dua kelompok yang lainnya.

Sangatlah sulit memberitakan Injil sekarang ini. Saya nyaris merasa frustrasi. Sebenarnya saya tidak ingin lagi berkata, “Ini tidak benar, yang itu salah.” Sama seperti Yeremia yang berkata, “Aku tidak mau memberitakan firman lagi. Namun Engkau, ya Allah, memaksaku untuk memberitakannya. Aku tidak mau memberitakan kepada umat pemberontak yang sama sekali tidak mau mendengarkanku.” Namun Allah berkata kepada Yeremia, “Aku akan memberimu dahi seperti perunggu, seperti besi. Engkau akan berkhotbah kepada mereka. Sekalipun mereka tidak mau mendengarkanmu, kamu tetap akan memberitakan kepada mereka.” Sungguh pelayanan yang luar biasa! Saya sangat berduka akan keadaan Yeremia. Apakah menurut Anda Yeremia senang menyampaikan pemberitaan dalam keadaan seperti ini? Apakah Anda pikir dia menikmatinya? Saya merasakan adanya rasa frustrasi ketika harus terus menyampaikan pemberitaan tersebut.


TIDAK SETIAP PENDETA YANG MEMBERITAKAN INJIL ADALAH NABI

Saya sempat pergi ke toko buku dan melihat-lihat buku-buku yang ditulis oleh orang-orang Pantekosta. Apa yang saya dapati di sana? Tadinya, saya kira kaum Pantekosta adalah kaum karismatik, kaum yang lebih memperhatikan perkara-perkara karunia rohani. Namun apa yang saya temui di sana? Sungguh mengejutkan, saya dapati bahwa bahkan kaum Pantekosta sudah sangat dalam terpengaruh oleh para ‘cendekiawan’ zaman sekarang, sehingga mereka bahkan mengutip karya dari A.A. Strong – seorang teolog Baptis. Begitu jauh mereka terpengaruh oleh para teolog tersebut, sehingga bahkan kaum Pantekosta juga berkata, “Yah, kita tidak memerlukan nabi lagi, kecuali dalam pengertian bahwa mereka itu adalah pengkhotbah.” Sungguh luar biasa. Dengan demikian pemahaman nabi dijadikan sama dengan pengkhotbah. Jadi, terima kasih, saya sekarang adalah nabi. Karena saya adalah seorang pengkhotbah, jadi saya secara otomatis menjadi seorang nabi. Karena setiap pengkhotbah disebut nabi. Celaka sekali! Bahkan para sobat kita di lingkungan Pantekosta tidak tahu bagaimana harus bersikap, mereka ikut tersapu oleh pandangan masa kini.

Saya ingin menjawab pandangan bahwa kita boleh mengencerkan makna kata ‘nabi’ yang tertulis di dalam Kitab Suci. Nabi sekarang berbeda dengan nabi di Perjanjian Lama menurut orang-orang tersebut, nabi zaman sekarang adalah nabi dalam arti mereka adalah pengkhotbah. Jika demikian, gereja kita tentunya penuh dengan nabi karena setiap pendeta bisa dipandang sebagai pengkhotbah. Dengan demikian, tidak terjadi kekurangan nabi. Saya ingin menanggapi pandangan ini.

 
KITA BERANI MENGUBAH MAKNA KATA “NABI”

Pertama-tama, siapa yang memberi kita kewenangan untuk mengubah makna kata ‘nabi’? Tentu saja berkhotbah merupakan salah satu aspek dari bernubuat, tetapi bukan aspek satu-satunya dan juga bukan yang utama. Bahkan ada orang yang melangkah lebih jauh dengan memasukkan ekspositor dan ekseget ke dalam kategori nabi. Di mana adanya para ekspositor? Sulit mencari seorang ekspositor firman. Seorang saudara dari South Carolina berkata kepada saya bahwa dia telah mengunjungi banyak gereja, tetapi tidak menemukan satupun pengkhotbah yang layak disebut sebagai ekspositor atau ekseget. Seorang ekspositor atau ekseget adalah orang yang menguraikan isi Alkitab, yang tidak sekadar menyampaikan dongengan menghibur, yang tampil ke mimbar bukan sekadar untuk menyampaikan tema yang kebetulan populer, melainkan dengan setia menguraikan isi firman Allah. Setia menguraikan firman tanpa memikirkan apakah itu menyenangkan atau tidak. Di mana orang yang layak disebut ekspositor? Jujur saja, jika mereka ingin mengartikan pengkhotbah atau nabi sebagai ekspositor, orang yang layak disebut ekspositor itu sendiri sangat susah ditemukan. Sangat sukar dijumpai. Namun jika mereka masih ingin mengencerkan makna nabi dengan menyamakannya dengan pengkhotbah, berarti kita sudah mengacaukan firman Allah. Mereka harus mempertanggungjawabkan hal ini di hadapan Tuhan.

 
TIDAK ADA BUKTI BAHWA NUBUATAN SUDAH USANG

Poin saya yang kedua adalah, tidak ada bukti sama sekali dari Kitab Suci yang menunjukkan bahwa nubuatan sudah usang. Di mana di dalam Alkitab yang memberitahu kita dengan tegas dan gamblang bahwa nubuatan sudah tidakpreacher ada lagi. Satu ayat saja cukup. Kita akan menutup pembahasan ini dan saya akan mengakui bahwa saya salah, tidak ada lagi nabi di zaman Perjanjian Baru, yakni zaman nabi-nabi sudah berakhir dan sekarang kita hanya memiliki pengkhotbah. Namun, sayangnya, tidak ada ayat semacam itu di dalam Kitab Suci. Akan tetapi, kita diberitahu oleh para ‘cendekiawan’ tersebut bahwa nubuatan itu sejajar dengan khotbah dan nubuatan itu sendiri pada dasarnya sudah berakhir. Mungkin pemberitaan firman juga sudah berakhir? Apakah mereka ingin mengacaukan makna kata ‘nubuat’ dengan memakai dua macam pengertian? Yang satu bermakna pemberitaan firman atau khotbah. Khotbah masih berlanjut. Sedangkan nubuatan berhenti. Kalau nabi dan pengkhotbah adalah sama, dan jika nubuatan berhenti, tentunya pemberitaan firman juga tidak ada lagi. Apa sebenarnya pemahaman mereka?


AHLI TAURAT BERBEDA DARI NABI

Poin yang ketiga adalah jika seorang nabi itu sama dengan seorang pengkhotbah atau pengajar firman Allah, lalu apa bedanya nabi dengan seorang ahli Taurat di Matius 23:34? “Lihatlah, Aku mengutus kepadamu nabi-nabi, orang-orang bijaksana dan ahli-ahli Taurat.” Para ahli Taurat adalah para pengajar firman Allah, lalu mengapa Yesus memakai dua kata yang berbeda? Jika nabi dan ahli Taurat pada dasarnya adalah sama saja, lalu apakah maksud ucapan, “Aku mengutus kepadamu nabi-nabi (yang adalah para pengkhotbah), orang-orang bijaksana dan para pengkhotbah”? Apa maksud pernyataannya itu? Apa yang sedang disampaikan oleh Yesus? Apakah dia sedang menyampaikan sesuatu yang signifikan? Kalau mengikuti pendapat para pakar Alkitab tersebut, maka Yesus tidak sedang menyampaikan sesuatu hal yang berarti.

Jika Yesus ingin berkata, “Aku akan mengutus kepadamu para pengkhotbah,” ada kata yang bermakna ‘pengkhotbah’ di dalam bahasa Yunani dan juga bahasa Ibrani. Dia tidak perlu memakai kata ‘nabi’ jika bukan nabi yang dimaksudkan. Jika yang dimaksudkan adalah pengkhotbah, maka Yesus bisa memakai kata ‘pengkhotbah’. Dia tidak perlu memakai kata ‘nabi’. Jika yang dimaksudkan oleh Paulus adalah pengkhotbah ketika dia berkata bahwa Allah telah memperlengkapi rasul-rasul dan nabi-nabi, lalu mengapa dia tidak memakai kata ‘pengkhotbah’? Mengapa dia tidak memakai ungkapan ‘orang yang memberitakan firman Allah’? Ada kata dalam bahasa Yunani dan Ibrani yang bermakna seperti itu. Mengapa memakai kata ‘nabi’?

paperairplaneHal keempat adalah, seorang ahli Taurat adalah cendekiawan Alkitab. Dia adalah seorang pengajar dan pakar di bidang firman Allah. Dengan demikian, dia adalah pemberita firman Allah berdasarkan pendidikannya. Ide pokok berkenaan dengan ahli Taurat adalah pembelajarannya. Berdasarkan definisinya, seorang ahli Taurat sama sekali berbeda dari seorang nabi. Seorang nabi tidak harus orang yang sangat terpelajar. Dia bisa saja bukan seorang yang terpelajar. Dalam beberapa kasus, ada nabi yang sangat terpelajar, dalam kasus lainnya, ada yang tidak terpelajar. Pendidikan bukanlah hal yang mendasar, bukanlah hal pokok di dalam pelayanan seorang nabi, dan ini berbeda dengan syarat menjadi seorang ahli Taurat. Seorang nabi di dalam Perjanjian Lama adalah seorang pelihat, orang yang melihat pesan yang berasal dari Allah, orang yang mendapatkan penglihatan dan menyampaikan firman langsung dari Allah dan dia menyampaikan firman tersebut kepada umat. Seorang ahli Taurat belum tentu menerima penglihatan dari Allah. Dia belum tentu mendengar pesan apa-apa dari Allah. Dia menguraikan isi Alkitab, yang dalam hal ini adalah Perjanjian Lama. Seorang ahli Taurat adalah orang yang sangat terpelajar dalam hal isi Alkitab, orang yang mampu menjelaskan isi Alkitab, pakar dalam hal Perjanjian Lama. Kita juga memiliki ahli Taurat untuk bidang Perjanjian Baru. Saya sama sekali tidak meremehkan kecendekiawanan, dan saya juga tidak sedang membahas kecendekiawanan dalam arti yang luas, hanya di bidang firman Allah saja. Saya tidak meremehkan kecendekiawanan. Namun saya tidak setuju jika para cendekiawan berpikir bahwa mereka bisa menggantikan para nabi, jika para ahli Taurat berpikir bahwa mereka bisa mengambil alih pengelolaan gereja dan menyingkirkan para nabi. Kita tidak boleh membiarkan hal ini terjadi karena bukan ini yang dimaksudkan oleh firman Allah.


TIDAK SEORANGPUN DAPAT MENJADI NABI TANPA KEKUDUSAN

Hal yang kelima adalah alasan mengapa firman Allah begitu menekankan bobot kedudukan para nabi di tengah jemaat. Anda bisa saja menjadi seorang ahli Taurat yang sempurna, menjadi pakar Perjanjian Baru yang hebat, bahkan menjadi pengkhotbah yang luar biasa, fasih berbicara, terpelajar, tanpa adanya kekudusan di dalam hidup Anda. Berkhotbah adalah suatu keahlian. Kefasihan berbicara bisa saja suatu bakat alami. Keahlian ini tidak harus berkaitan dengan Allah sama sekali. Ada orang-orang non-Kristen yang luar biasa fasihnya, sangat menghibur dan sangat terpelajar. Saya belajar di sebuah fakultas teologi di London, di mana para profesornya adalah orang-orang liberal, artinya, mereka tidak memiliki hubungan yang nyata dengan Allah. Mereka menolak banyak sekali isi firman Allah. Mereka bahkan menolak adanya kemungkinan untuk membina hubungan yang akrab dengan Allah. Akan tetapi mereka sangatlah terpelajar. Mereka adalah para cendekiawan yang hebat. Mereka adalah para pakar yang hebat, dan saya mengagumi kepandaian mereka dan integritas mereka akan kecendekiawanan mereka. Mereka bersikap jujur dengan mengakui bahwa mereka tidak memiliki hubungan yang hidup dengan Allah, hal yang saya hormati sebagai sebuah kejujuran. Mereka tidak berpura-pura memiliki sesuatu yang sebenarnya tidak mereka miliki.

Kadang kala, para hamba Tuhan tidak begitu jujur dalam bersikap. Mereka mengaku diri rohani dan melebihi keadaan yang sebenarnya, mengaku memiliki kekudusan yang melebihi keadaan yang sebenarnya. Namun itulah perbedaan yang vital, di antara pengkhotbah dengan nabi, yakni para nabi sejati. Anda bisa saja menjadi seorang pengkhotbah yang hebat berdasarkan pendidikan Anda, berdasarkan kefasihan Anda berbicara. Anda bahkan bisa menjadi pengkhotbah yang sangat efektif jika Anda menguasai seluk beluk berpidato. Jika Anda memahami psikologi massa, Anda akan tahu bagaimana cara berbicara yang bisa memikat masyarakat. Justru inilah hal yang dilakukan oleh para nabi palsu. Para nabi palsu adalah pakar dalam berkomunikasi tentang hal-hal yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Mereka bisa merasakan apa yang senang didengarkan oleh seseorang dan bisa membuat Anda benar-benar terbuai olehnya. Begitulah terampilnya para nabi palsu itu. Itulah sebabnya mengapa Israel tidak bisa membedakan antara nabi sejati dan yang palsu karena mereka tidak paham bahwa kunci perbedaannya terletak pada satu pokok, pokok yang fundamental: kekudusan.

Bahkan kekudusan ingin mereka buang dari gereja karena dipandang sebagai hal yang tidak esensial bagi keselamatan. Kita diajari bahwa kita diselamatkan oleh iman dan bukan oleh perbuatan. Dan menurut definisi mereka, kekudusan adalah perbuatan. Ajaib! Jadi, jika kekudusan adalah perbuatan, tentu saja Anda bisa buang kekudusan karena, jika tidak, maka itu berarti bahwa kita akan diselamatkan oleh kekudusan, yakni perbuatan kita. Demikianlah hal yang diajarkan oleh para cendekiawan yang cerdik ini. Jadi, kekudusan dibuang. Dan iman diartikan sebagai semacam pengakuan tentang Allah. Apa-apaan ini? Apa yang sudah kita raih di zaman ini? Inilah alasan mengapa saya tidak mau gagal dalam menekankan kekudusan di gereja-gereja karena Anda tidak akan bisa menjadi seorang nabi sejati Allah tanpa kekudusan.

Di dalam pelayanan pelatihan kita, kami melatih orang-orang untuk masuk ke dalam pekerjaan Tuhan. Saya punya banyak pengalaman, setidaknya, di bidang ini. Saya sering memeriksa eksegese dari sebagian peserta saat mereka mengkhotbahkan firman Allah, dan sebagian dari eksegese mereka sangat bagus. Dan saya tahu bahwa orang-orang tersebut akan menjadi pengkhotbah yang sangat bagus nantinya. Mereka akan menjadi ekspositor yang sempurna karena kemampuan menggali firman yang mereka miliki. Mereka tahu bagaimana menguraikan isi Alkitab. Sebagian dari mereka, bukan saja sempurna dalam hal eksegese, tetapi juga sangat fasih berbicara. Jadi, saya tahu bahwa mereka akan menjadi pengkhotbah yang luar biasa nantinya. Beberapa tahun ke depan, mereka akan menjadi terkenal. Masyarakat akan segera mengakui keterampilan dan kemampuan mereka sebagai pengkhotbah. Namun justru hal ini yang menguatirkan saya. Karena Anda bisa saja menjadi seorang pengkhotbah yang sempurna, Anda bisa menjadi seorang hamba Tuhan yang hebat, Anda bisa menjadi seorang ekspositor yang sepurna tanpa memiliki kekudusan di dalam hidup Anda. Saya lebih memilih untuk memiliki nabi – seorang nabi Allah yang sejati – daripada pengkhotbah karena Anda tidak akan bisa menjadi seorang nabi tanpa memiliki kekudusan. Hal ini tidak mungkin terjadi tanpa kekudusan.

prophetInilah bahayanya ajaran para ‘cendekiawan’ Perjanjian Baru ini. Dengan menggusur keluar para nabi, para nabi Allah yang sejati, berarti Anda telah menyingkirkan hamba-hamba kudus dari Allah di zaman Perjanjian Baru ini. Anda menggantikan para nabi, para manusia ilahi, dengan para cendekiawan, suatu hal yang telah terjadi. Di zaman ini gereja-gereja mencari hamba Tuhan dengan mempersyaratkan latar-belakang pendidikan mereka, gelar apa yang dimiliki, toga dari kampus mana yang dikenakan? Malahan, di Inggris, sudah merupakan hal yang lazim bagi seorang pastor untuk naik ke mimbar dengan memakai toga akademik mereka. Saya pernah diundang untuk berkhotbah di sebuah gereja dan mereka menanyakan gelar apa yang saya miliki. Saya menolak untuk memberitahukan mereka. Jika Anda mengundang saya, undanglah saya sebagai hamba Allah, tetapi jika saya diundang karena gelar akademik saya, maka saya tidak akan menerima undangan itu. Pertanyaan tentang gelar menjadi tidak relevan jika Anda meminta saya untuk berkhotbah. Jika diminta untuk bekerja dalam pekerjaan sekuler, maka Anda berhak menanyakan latar belakang pendidikan saya. Namun di dalam pelayanan firman, latar belakang pendidikan saya menjadi tidak relevan.

Namun zaman sekarang adalah zaman para cendekiawan. Jika Anda membaca daftar juru khotbah di majalah “Christianity Today” tentang siapa yang akan berkhotbah di sebuah KKR, akan tertera nama “Dr. Anu.” Tentu saja, kebanyakan dari gelar tersebut adalah gelar kehormatan yang tidak memiliki nilai apa-apa. Akan tetapi, Anda akan tetap bisa membuat nama orang tersebut terdengar lebih berbobot dengan menyebutkan gelarnya, “Dr. Anu.” Ada apa dengan gereja? Para nabi telah digusur oleh para cendekiawan. Dan mereka ini berkeliling memberitahu kita bahwa kita tidak memerlukan para nabi.

Saya sudah cukup panjang lebar memberi penekanan tentang pokok ini. Pokok yang tidak suka saya jabarkan. Namun di zaman sekarang ini, jika saya harus memberitakan tentang nubuatan, maka saya harus mempertahankan posisi saya. Saya harus memberi pembelaan mengapa saya berkhotbah tentang nubuatan. Itulah keadaannya sekarang ini.


BAGAIMANA KITA BISA MENJADI NABI?

Kita perlu berpaling ke Yohanes pasal 15 jika ingin membahas tentang bagaimana menjadi nabi. Jika berbicara tentang nubuatan, maka materi ajaran Yesus bisa ditemukan di banyak tempat. Malahan, Yesus berkeinginan untuk mengubah semua muridnya menjadi nabi-nabi. Itulah tujuan dari pelatihan yang diberikan kepada para muridnya saat Yesus melatih para rasul. Mereka diharapkan untuk menjadi nabi-nabi, dan memang mereka akhirnya menjadi nabi-nabi. Jika Anda perhatikan kehidupan Petrus dan juga pelayanannya, maka Anda akan melihat bahwa dia memang menjalankan peran sebagai seorang nabi. Dia menerima penglihatan.

Paulus berkali-kali menerima penglihatan, seperti yang tercatat di Kisah Para Rasul dan juga di surat-suratnya. Itu adalah tanda dari seorang nabi; seorang nabi berbicara menyampaikan penglihatan atau pesan yang dia dengar dari Allah.

Dalam hal Samuel, bagaimana dia tahu bahwa dia akan menjadi nabi? Dia mendengar suara Tuhan yang memanggil namanya, “Samuel.” Dia mendengar. Dia tidak melihat Tuhan akan tetapi dia mendengar suara-Nya. Entah penglihatan ataupun suara, keduanya adalah tanda seorang nabi.


GELAR TIDAK MENJADIKAN SEORANG ITU NABI

Berapa banyak orang di zaman ini memiliki hubungan seakrab itu dengan Allah? Begitu sedikit orang yang memiliki hubungan erat dengan Tuhan maka tak heranlah jika orang tidak memahaminya, karena mereka tidak bisa menemukan orang yang memiliki keakraban dengan Allah. Serahkan pelayanan kepada mereka yang telah menghabiskan waktunya untuk duduk di antara buku-buku. Membaca daftar gelar para pendeta, kira-kira berapa banyak waktu yang dihabiskan dari satu sekolah ke sekolah lain untuk mendapatkan gelar-gelar itu. Tentunya waktu yang dihabiskan tidak kurang dari 8 atau 10 tahun. Dari mana mereka mendapatkan dana untuk membiayai pendidikan yang lama dan mahal ini? Saya sendiri telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk belajar sehingga saya pernah bertanya-tanya, “Apakah memang dibutuhkan waktu belajar bertahun-tahun untuk menghasilkan seorang manusia Allah?” Dan jika dengan pendidikan kita bisa menghasilkan manusia Allah, lalu di mana manusia-manusia Allah itu sekarang? Setelah melewati tiga sekolah Alkitab, saya tidak lihat adanya manusia-manusia Allah tesebut. Berapa banyak atau bahkan adakah orang yang bisa ditandai sebagai manusia Allah di generasi ini? Jika pendidikan semacam itu bisa menghasilkan manusia Allah, lalu di manakah adanya mereka sekarang?


TIGA TANDA KHAS SEORANG NABI

Dari Yohanes pasal 15, bagaimana caranya untuk menjadi manusia Allah? Bukan dengan menghabiskan bertahun-tahun waktu untuk memburu gelar yang hanya akan menggelembungkan ego dan menjadikan kita lebih sombong dan angkuh sepanjang waktu. Namun jawabannya ada di sini. Jika kita bisa menerapkan pasal ini ke dalam hidup kita, maka kita semua akan menjadi sebagai nabi-nabi Allah. Ada tiga hal yang khas mengenai nabi yang langsung terlihat.

Pasal ini dapat dibagi menjadi 3 bagian. Bagian yang pertama adalah dari ayat 1-11, yang berbicara tentang persekutuan (communion). Tanda pertama dan yang juga mendasar dari seorang nabi, yang paling vital, adalah pergaulannya dengan Allah. Anda tidak bisa menjadi seorang nabi tanpa adanya pergaulan dengan Tuhan. Namun Anda bisa menjadi seorang juru khotbah tanpa memiliki persekutuan dengan Tuhan.

Saya membaca buku karya seorang hamba Tuhan, Martyn Lloyd Jones yang berjudul “Preaching and Preachers” (Khotbah dan Pengkhotbah). Saya pernah belajar di bawah pelayanannya di London. Beliau dihormati sebagai seorang ekspositor terbesar di dunia, bukan sekadar di Inggris, untuk zaman ini. Ada satu pernyataan dalam buku ini yang membuat saya bingung. Bagian ini berkata bahwa berdoa merupakan hal yang sangat penting bagi seorang pengkhotbah. Namun, hal yang membuat saya bingung adalah ketika dia menulis, “Mengenai hal berdoa ini, saya tidak dapat menyampaikan banyak hal.” Dia menyampaikan bahwa dia merasa tidak layak untuk berbicara tentang hal doa. Saya renungkan pernyataan ini secara mendalam. Dia merasa tidak layak untuk berbicara tentang hal berdoa. Mengapa? Apakah itu berarti bahwa dia merasa bermasalah dengan kehidupan doanya? Tidakkah seharusnya seorang pengkhotbah menguraikan doa sebagai hal yang paling penting? Mengapa pengkhotbah yang terbesar di zaman ini ragu untuk berbicara tentang doa? Saya sangat terharu akan kerendahan hatinya. Saya benar-benar tersentuh akan kerendahan hatinya. Namun saya juga agak cemas dengan pernyataan ini karena kalimat tersebut kembali mengingatkan saya akan fakta bahwa tanpa doa, Anda tetap bisa menjadi seorang pengkhotbah yang ulung dan sangat berpengaruh. Karena firman Allah yang diberitakan bisa melakukan banyak hal tanpa terganggu oleh siapa Anda, sekalipun kehidupan Anda sangat tidak kudus, sekalipun kehidupan Anda tidak banyak berisi doa. Kita melihat hal ini di Yesaya pasal 55, firman Allah akan mencapai tujuan penyampaiannya.

Camlah hal yang penting ini, pergaulan dengan Tuhan adalah inti dari nubuatan. “Jika kamu tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam kamu,” apalagi makna dari pernyataan ini selain dari persatuan yang terdalam? Karena persekutuan yang terdalam ini, Yesus melanjutkan dengan berkata, “Oleh karenanya, kamu akan berbuah banyak jika kamu tinggal di dalam Aku.” Adakah dari antara Anda yang memiliki persekutuan seperti ini? Pernahkah Anda menyelami manisnya persekutuan dengan Tuhan? Apakah ini merupakan suatu pengalaman pribadi Anda?

Persekutuan bukan hanya hal yang esensial untuk bisa berbuah, tetapi penting untuk bisa tetap hidup. Karena ayat 6 berbunyi:

“Barangsiapa tidak tinggal di dalam Aku, ia dibuang ke luar seperti ranting dan menjadi kering, kemudian dikumpulkan orang dan dicampakkan ke dalam api lalu dibakar.”

Hal ini berkenaan dengan penghakiman. Api dan pembakaran berbicara tentang akhir zaman. Sekarang kita mengerti apa yang dimaksudkan Paulus saat dia berkata, “Supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak.” Di Hari Penghakiman nanti, berapa banyak hamba Tuhan yang harus menerima ucapan ini dari Tuhan, “Enyahlah dari-Ku dan masuklah ke dalam hukuman!” Lalu mereka akan berkata, “Tuhan, Tuhan, bukankah kami memberitakan Injil di dalam namamu? Bukankah kami mengusir setan-setan dalam nama-Mu? Bukankah kami melakukan berbagai mukjizat dalam nama-Mu?” Dan Yesus akan berkata, “Aku tidak kenal kamu semua, aku tidak tahu dari mana kamu berasal.” Hal ini tertulis di Matius pasal 7, saya tidak mengarang percakapan tersebut. “Bukan semua orang,” demikian kata Yesus, “yang berseru Tuhan! Tuhan! Yang akan masuk ke dalam kerajaan surga.” Dan Paulus sangat takut dengan kemungkinan ini, “Jangan sampai setelah memberitakan Injil dengan berhasil,” – siapa yang lebih berhasil daripada Paulus dalam memberitakan Injil? – “lalu aku sendiri ditolak.” Ini adalah kemungkinan yang sangat nyata sehingga bahkan Paulus, bahkan seorang rasul, juga bisa ditolak. Bandingkanlah dengan keyakinan dangkal yang disebut sebagai ‘jaminan keselamatan’ yang banyak dianut di gereja-gereja sekarang ini. Keyakinan dangkal ini mereka sebut ‘jaminan keselamatan’.

Persekutuan atau communion dengan Tuhan adalah esensi dari nubuat. Mengapa kami ingin agar setiap orang di gereja menjadi nabi? Karena itu akan berarti bahwa semua orang di gereja akan hidup di dalam pergaulan yang akrab dengan Tuhan. Hanya di dalam keakraban seperti itulah baru Tuhan bisa mengabarkan sesuatu kepada Anda, memberi Anda penglihatan tentang diri-Nya.

Hal kedua dari Yohanes 15:12-17 adalah bahwa persekutuan tersebut dilandasi oleh persahabatan. Persahabatan dengan Tuhan. Hal ini sangat menyentuh hati saya. Ayat 15 dan 16 berkata:

“Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah kudengar dari Bapaku.”

Perhatikan baik-baik isi pernyataan ini. “Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah kudengar dari Bapa-Ku.” “Semua yang telah dinyatakan oleh Bapa kepadaku, telah Aku nyatakan kepadamu.” Itulah inti dari nubuat. Itulah hal pokoknya. Itulah arti dari nubuat. Camlah hal ini baik-baik. Nubuat adalah persekutuan, nubuat adalah pernyataan ilahi. Dan Yesus memberitahu kita bahwa segala hal yang telah dia dengar dari Bapa telah dinyatakan kepada kita. Ini merupakan anugerah yang lebih dari cukup bagi kita. Hal ini mengingatkan saya akan pernyataan seorang nabi dari Perjanjian Lama yang menyatakan bahwa tidak ada hal yang diperbuat oleh Allah tanpa Dia menyatakannya lebih dahulu kepada para hamba-Nya, kepada para nabi.

Hal ketiga yang perlu kita cermati adalah: dari ayat 18-27, kita membaca tentang penganiayaan. Ayat 18:

“Jikalau dunia membenci kamu, ingatlah bahwa ia telah lebih dahulu membenci Aku daripada kamu.”

Apakah dunia membenci Anda? Apakah pernyataan ini merupakan suatu kenyataan atau sekadar merupakan perkiraan saja? Dunia tidak membenci kita, malah memperlakukan kita dengan baik. Ada seorang kawan saya yang menjadi pendeta di gereja milik pemerintah dan dia tinggal di rumah yang berkamar 20 di Jerman. Dunia tidak membencinya. Dunia memberinya rumah dengan 20 kamar. Dunia juga memberinya gaji yang tinggi, di atas gaji rata-rata orang Jerman. Jika kita renungkan tentang para pendeta zaman sekarang, terutama para pendeta pemerintah di negara-negara Eropa dan juga di Amerika, kita semua diperlakukan dengan hormat. Kami bertanya-tanya apakah kita semua memahami isi Alkitab dengan benar atau tidak. Dunia tidak membenci kita. Namun kebencian dari dunia adalah tanda dari setiap nabi sejati di dalam Perjanjian Lama. Lihatlah isi Perjanjian Lama, lihat apa yang terjadi pada nabi-nabi Allah. Mereka dianiaya, dan seperti yang telah kita lihat sebelumnya, Yesus sendiri berkata kepada orang-orang Yahudi bahwa setiap nabi akan menghadapi hukuman mati atau penganiayaan berat sehingga harus selalu melarikan diri. Seperti itulah tanda seorang nabi sejati. Jika dunia memperlakukan Anda dengan sangat baik, Anda tahu bahwa secara rohani Anda sedang bermasalah.

Saya masih ingat bagaimana saya pernah bersaksi beberapa waktu yang lalu. Saya berkata bahwa ada sesuatu yang salah. Saya begitu dihormati di gereja-gereja Tionghoa. Saya diundang untuk berkhotbah di berbagai KKR. Saya sangat dihormati dan saya pikir tentunya ada sesuatu yang salah dengan diri saya. Lalu Tuhan dengan cepat meluruskan hal tersebut bagi saya, dan saya sangat bersyukur sejak persoalan tersebut diluruskan oleh Tuhan bagi saya. Tanda bagi seorang nabi adalah bahwa Anda ditolak, Anda dianiaya. Kita tidak dengan sengaja pergi mencari gara-gara; yang perlu Anda lakukan adalah berkhotbah seperti yang dilakukan oleh para nabi, dan lihat apa yang akan terjadi pada diri Anda. Berbicara sebagai seorang nabi, hidup sebagai nabi, melangkah dalam keakraban dengan Allah, dan lihatlah apa yang akan terjadi pada diri Anda. Ingat saja ucapan saya ini, penolakan itu akan segera datang. Dan kita bersukacita di tengah aniaya karena kita tahu bahwa hal itu akan terjadi seperti yang telah disampaikan oleh Yesus di bagian pembukaan dari Khotbah di Bukit di Matius 5:12, “Demikian pula mereka telah menganiaya para nabi sebelum kamu.”


HANYA HAMBA YANG MENJADI SAHABAT ALLAH

Mari kita cermati beberapa hal sebelum kita akhiri pembahasan. Bagaimana cara menjadi nabi? Pertama, saya harap Anda perhatikan satu hal, yakni firman yang sangat berharga di Yoh 15:15 –

“Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku.”

Beberapa pokok uraian mengenai hal ini.

Walaupun Yesus tidak memanggil kita hamba bukan berarti bahwa kita ini bukanlah hamba. Kita harus menguraikan Kitab Suci dengan cermat. Kita ini tetaplah hamba, ingatlah akan hal ini. Yesus tetaplah merupakan Tuan dan Raja atas kehidupan kita. Malahan, di ayat 20, dia melanjutkan dengan berkata, “Ingatlah akan firman yang telah Kusampaikan kepadamu, seorang hamba tidak lebih tinggi daripada tuannya.” Dengan segera dia mengingatkan kita bahwa kita ini tetaplah hamba. Dia tidak memanggil kita hamba, artinya adalah bahwa dia tidak memperlakukan kita sebagai hamba, tetapi kita ini tetaplah hamba. Ayat ini sangatlah menarik. Yesus melanjutkan dengan berkata, “Aku tidak memperlakukanmu sebagai hamba melainkan sebagai sahabat.” Siapakah orang-orang yang Yesus perlakukan sebagai sahabat? Dia memberitahu kita di ayat 14, “Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu.” Artinya, “Kalau kamu benar-benar taat kepadaku, maka kamu adalah sahabatku.” Akan tetapi siapa orang yang taat sepenuhnya kepada dia? Orang yang benar-benar taat tentulah para hamba. Dengan demikian, menjadi taat sepenuhnya kepada Yesus berarti menjadi hambanya. Dengan kata lain, yang dimaksudkan oleh Yesus adalah, “Kamu adalah sahabatku kalau kamu adalah hambaku, kalau kamu taat akan semua yang kuperintahkan kepadamu.” Hanya hamba yang bisa menjadi sahabat. Itulah makna yang harus kita pegang.


SALING MENGASIHI SEPERTI KRISTUS TELAH MENGASIHI

Lalu, bagaimana cara untuk menjadi sahabatnya? Dengan menaati perintahnya. Apakah perintahnya? Perintahnya di ayat 12 adalah,

“Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.”

Perhatikan, Yesus tidak sekadar menyuruh kita untuk saling mengasihi, karena hal itu mudah untuk kita. Namun dia melanjutkan dengan berkata, “Seperti Aku telah mengasihi kamu. Kamu adalah sahabatku kalau kamu mengasihi sesuai dengan standar kasihku.”

scholarKita mulai melihat bahwa persahabatan dengan Tuhan ini bukanlah perkara yang mudah. Berkutat dengan kecendekiawanan adalah hal yang lebih mudah untuk ditangani. Hanya sekadar masalah duduk di meja belajar dan belajar dari bulan ke bulan, tahun ke tahun. Namun mengasihi melibatkan pengorbanan terutama jika mengasihi dengan standar seperti ini. Karena mengasihi berarti kita tidak sekadar duduk di belakang meja. Mengasihi berarti bahwa kita harus keluar dan menjalani hidup demi orang lain, satu hal yang jelas-jelas enggan dilakukan oleh para cendekiawan, setidaknya oleh para cendekiawan yang saya kenal. Mereka gemar mengunci diri di dalam kamar mereka untuk belajar, terpaku pada buku-buku setiap saat, suatu hal yang saya gemari juga. Saya juga menggemari hal tersebut. Saya suka belajar. Dan itulah kelemahan saya. Saya gemar belajar. Dan di tengah keasyikan belajar itu, saya cenderung mengabaikan orang lain. Saat ada orang menelepon karena membutuhkan bantuan, saya tidak boleh berkata, “Oh! Saya sedang belajar. Hubungi saya nanti saja. Saya harus menuntaskan pelajaran ini. Saya tidak punya waktu buatmu sekarang ini. Saya akan menemuimu lain kali.” Orang lain menjadi semakin tidak penting dan saya lalu membenarkan tindakan saya dengan berkata, “Ini adalah firman Allah, oleh karenanya saya harus mempelajarinya. Ini adalah prioritas utama.” Lalu kapan saya bisa mengasihi sesama manusia? Saya tidak punya waktu untuk orang lain, apalagi untuk mengasihinya sesuai dengan standar kasih Kristus. Menjadi cendekiawan sangat menyita banyak waktu, mengasihi sesama manusia juga sangat menyita waktu. Di antara keduanya, Anda harus memilih salah satu. Seringkali, saya harus meletakkan Alkitab saya, menyela kegiatan belajar yang sangat saya sukai itu, lalu pergi keluar dan memberikan waktu untuk orang lain. Waktu yang sangat berharga, sangat berharga bagi saya, karena jika saya pakai untuk belajar, maka saya memperoleh sesuatu manfaat. Saat saya mengasihi seseorang, maka saya bersikap memberi, saya tidak bersikap mengambil dari hal yang saya kasihi itu. Saya memberi, dan terus memberi. Apakah Anda bisa melihat akan adanya konflik jika menjadi nabi sekaligus cedekiawan?

Seperti apa standar kasih Yesus? Ayat 13 berbunyi,

“Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.”

Wah! Jika saya mengorbankan nyawa saya demi sahabat-sahabat saya, berarti saya tidak bisa belajar lagi. Apa jadinya dengan studi saya, dan juga dengan gelar yang sedang saya kejar? Kita bisa dengan lancar mengucapkan ayat, “Kita tidak dapat mengabdi dua tuan.” Anda akan mengabdi pada buku-buku Anda atau saudara seiman Anda. Dan saya rasa, bagi mereka yang dari kalangan intelektual, entah kita suka atau tidak, kita sering dipaksa untuk memilih: memberi lebih banyak waktu untuk buku-buku saya atau untuk orang lain. Apakah pilihan Anda? Saya mengakui kepada Anda bahwa seringkali saya salah pilih. Saya mengambil keputusan yang salah. Saya lebih mengasihi buku-buku saya. Namun jika saya lebih mengasihi buku-buku saya, bagaimana mungkin saya bisa menjadi sahabatnya? Karena untuk bisa menjadi sahabat Yesus, saya harus menempatkan saudara seiman sebagai yang utama. Hanya dengan pilihan seperti itulah, baru Yesus bisa berkata, “Segala yang telah Kudengar dari Bapa akan Kusampaikan kepadamu.” Itulah sebabnya mengapa saya katakan bahwa untuk menjadi pengkhotbah yang berhasil, maka Anda harus menjadi seorang cendekiawan. Anda perlu menjadi cendekiawan jika Anda tidak ingin menjadi pembicara yang selalu mengulang satu macam khotbah saja setiap saat. Dalam hal ini, tentu saja, Anda tidak perlu banyak belajar Alkitab, karena memang ada pengkhotbah yang menguasai lima atau enam khotbah dasar dan mereka sekadar mengulangi isi khotbah-khotbah tersebut dengan mengubah-ubah bentuknya saja. Jika Anda ingin menjadi seorang pengkhotbah yang berhasil, maka Anda harus mempelajari firman Allah secara mendalam, Anda harus menjadi seorang cendekiawan, Anda harus menjadi seorang ahli Taurat.

Namun jika Anda ingin menjadi seorang nabi, maka Anda harus meluangkan banyak waktu Anda dengan Allah. Namun ada satu hal yang indah tentang pergaulan dengan Allah: Anda bisa bersekutu dengan Allah di hadapan orang lain. Yesus, bahkan saat sedang dikelilingi oleh para rasul, dia bersekutu dengan Allah. Jadi, Anda bisa bersekutu dengan Allah di dalam setiap situasi, entah di dalam bus atau kereta api, tidak ada masalah. Bahkan ketika ada orang yang sedang berbicara dengan Anda, hati Anda bisa tetap bersekutu dengan Allah. Ini hal yang sangat indah. Itulah sebabnya mengapa nabi tidak harus merupakan seorang cendekiawan. Ia bisa saja adalah seorang cendekiawan, tetapi tidak harus.

Dari  penelitian ayat ini, saya menemukan hal lain yang juga sangat indah di sini: tentang menjadi sahabat Yesus. Seberapa besar pengorbanan yang rela Anda lakukan untuk bisa menjadi seorang sahabat Yesus? Anda tidak akan menjadi sahabat Yesus dengan sekadar menghabiskan waktu untuk belajar. Saya tidak sedang meremehkan kecendekiawanan. Lagi pula, saya sendiri juga telah menghabiskan banyak tahun di dalam hidup saya untuk belajar. Namun saya mendapati bahwa jika saya ingin menjadi sahabat Yesus, maka saya tidak akan bisa menghabiskan banyak waktu dengan buku-buku saya lalu mengorbankan pergaulan saya dengan Tuhan dan dengan saudara-saudara seiman lainnya.


DUA ORANG YANG DISEBUT SEBAGAI SAHABAT ALLAH: ABRAHAM DAN MUSA

Di dalam Perjanjian Lama, hanya ada dua orang yang disebut sebagai sahabat Allah. Saya cukup terkejut akan kenyataan ini. Dua tokoh ini adalah Abraham dan Musa. Abraham disebut sebagai sahabat Allah di 2 Tawarikh 20:7 dan Yesaya 41:8. Dan Musa, yang sangat kita kenal baik, disebut sebagai sahabat Allah di dalam Keluaran 33:11 dan bagian-bagian Alkitab lainnya.

Hanya ada dua orang dari seluruh isi Perjanjian Lama yang disebut sebagai sahabat Allah, dan Yesus sedang menawarkan kepada kita persahabatan darinya hanya jika kita bersekutu dengannya. Bagaimana kita bisa menjadi sahabatnya jika kita tidak berbicara dengannya? Sangatlah munafik jika kita berkata bahwa si Anu adalah sahabat kita tetapi kita tidak punya waktu untuk berbicara dengannya. Anda senang berada bersama sahabat justru karena mereka semua itu adalah sahabat. Fakta bahwa mereka adalah para sahabat berarti bahwa mereka sangatlah berharga bagi Anda, dan Anda ingin meluangkan sebanyak mungkin waktu bersama mereka.

friendofgodSaya pernah punya seorang sahabat karib saat saya masih belum menjadi Kristen. Kami selalu bersama-sama. Apapun hal yang sedang saya kerjakan, jika saya dengar suaranya memanggil, akan saya tinggalkan untuk bisa segera bersamanya, karena dia lebih berarti dibandingkan apapun yang sedang saya kerjakan. Persahabatan sangatlah berharga, sangat manis. Namun suatu hari, dia harus pergi dan saya kehilangan satu sahabat yang paling karib, dia pergi karena kaum Komunis telah datang dan dia harus melarikan diri. Dia melarikan diri ke daerah barat laut Tiongkok, dan saya tidak pernah mendengar kabar darinya lagi. Saya tidak pernah lupa akan sahabat yang satu ini. Persahabatan adalah hal yang sangat manis, sangat kuat.

Persahabatan seperti inilah yang ditawarkan kepada kita. Dengan menilai waktu yang Anda luangkan unuk bersekutu dengan Allah setiap hari, dan Anda akan tahu seberapa Allah adalah sahabat Anda, dan seberapa akrab Anda dengan Dia. Berapa banyak waktu yang Anda luangkan di dalam persekutuan dengan Tuhan minggu lalu? Atau bahkan hari ini? Tadi malam? Jujurlah terhadap diri Anda sendiri.

Itulah sebabnya mengapa kita tidak punya nabi sekarang ini. Kita tidak punya nabi karena kita tidak punya orang yang bergaul akrab dengan Tuhan, yang gemar bersekutu dengan Tuhan, yang gembira memiliki persahabatan dengan Tuhan. Hanya ada dua orang yang mendapatkan kesempatan istimewa tersebut di dalam Perjanjian Lama. Namun kita semua diberikan kesempatan istimewa ini di dalam Perjanjian Baru, dan kita tidak merengkuh kesempatan ini dengan bersemangat! Kita justru ingin membuang kesempatan emas ini. Saya yakin, suatu hari nanti saat Anda dan saya berdiri di hadapan Tuhan, hal yang paling kita sesali nantinya adalah sebenarnya kita bisa bergabung dengan Abraham dan Musa karena persahabatan-Nya telah ditawarkan kepada kita melalui Kristus, tetapi kita menghabiskan waktu dengan TV, dengan buku-buku kita – sekalipun itu adalah buku-buku Kristen atau bahkan mungkin Alkitab. Bacalah sebanyak mungkin buku, bacalah sebanyak mungkin Alkitab, tetapi bukan dengan mengorbankan waktu kita dengan Tuhan. Pernahkah Anda bersekutu dengan Tuhan dan Anda juga belajar Alkitab pada waktu yang bersamaan dan kedua kegiatan itu tidak saling berebut perhatian Anda? Pernahkah Anda mencobanya? Itulah sebabnya mengapa kita tidak punya nabi. Bagaimana agar kita bisa menjadi nabi?

Merupakan hal yang menarik juga bahwa Abraham dan Musa memiliki kombinasi tiga macam sebutan – mereka adalah sahabat, mereka disebut hamba, dan mereka juga disebut nabi. Ketiga sebutan itu diberikan kepada kedua orang ini.

 
BEBERAPA IMBAUAN PRAKTIS

Mari kita tutup pembahasan ini segera dengan beberapa pokok berikut. Kita akan dengan singkat membahas: bagaimana supaya kita bisa menjadi nabi? Pada dasarnya, caranya adalah lewat pergaulan dengan dengan Tuhan.

Namun persoalan yang kedua adalah ini. Apakah kita benar-benar berhasrat untuk bersekutu dengan Tuhan? Kita tahu bahwa adalah kesempatan istimewa yang diberikan kepada kita untuk masuk ke ruang maha kudus, yang tadinya hanya bisa dimasuki sekali dalam setahun oleh imam kepala. Namun segala sesuatu yang ditawarkan kepada kita cenderung kita abaikan. Saya tinggal di Montreal sekitar 6 tahun lamanya dan para turis lebih banyak tahu tentang Montreal daripada saya. Mereka telah mengunjungi Man and His World, mereka telah mengunjungi Botanical Garden, mereka telah berkunjung ke berbagai tempat, padahal saya sendiri belum pernah mengunjungnya. Mengapa? Karena saya merasa bahwa saya bisa mengunjunginya kapan pun saya mau. Dan karena saya bisa datang setiap waktu, akibatnya saya justru tidak pernah datang. Saya menduga mungkin ini juga yang menjadi masalah dengan orang-orang Kristen. “Benar, aku punya akses untuk datang ke hadirat Tuhan setiap saat, oleh karenanya aku tidak pernah datang.” Para turis tahu bahwa mereka hanya punya satu atau dua hari dan mereka bergegas mengunjungi segala tempat, dan mereka bisa melihat lebih banyak hal daripada saya yang tinggal selama enam tahun di sini. Itulah sebabnya mengapa ketika waktu kita telah habis, saat menjelang ajal, tiba-tiba saja kita merasa harus bergegas. Kita bergegas menghadap ke hadirat-Nya untuk berdoa. Setiap hari kita berdoa sepanjang hari sampai detik terakhir hidup kita. Namun karena kita telah disediakan waktu seumur hidup untuk datang ke hadirat-Nya, untuk bersahabat dengan-Nya, kita malah cenderung berkata, “Besok saja. Besok aku akan berdoa. Besok aku akan membina persahabatan dengan-Nya.” Dan dengan setiap kata besok yang kita ucapkan, kita sedang bergerak menuju saat di mana tidak tersedia lagi hari esok itu.

Paulus berkata di 1 Korintus 14:1,39,

“Usahakanlah untuk beroleh karunia nubuat.”

Hasrat sungguh-sungguh. Di dalam bahasa Yunani disebut zenoo, yang merupakan akar kata zeal (semangat membara) dalam bahasa Inggris. Kata tersebut tidak sekadar berarti hasrat, ia memiliki arti perjuangan, pergulatan keras untuk mencapai sesuatu. Kita sering memiliki hasrat. Saat Anda mendengarkan khotbah ini lalu Anda berpikir, “Aku benar-benar berhasrat untuk menjadi sahabat Tuhan.” Dan seketika ibadah selesai Anda keluar dan menikmati acara santai, menikmati kue coklat, dan Anda telah lupakan segala hal yang berkaitan dengan persekutuan dengan Tuhan, tentang hal menjadi nabi dan sebagainya. Semuanya lenyap. Kita tidak memiliki hasrat yang sungguh-sungguh, semangat membara. Harapan saya adalah agar Anda oleh kasih karunia Allah akan mampu berkata, “Aku tidak akan berhenti berjuang sampai, oleh kasih karunia Allah, aku menjadi nabi sehingga aku bisa melayani-Nya dan membangun gereja-Nya.” Itulah ambisi rohani.

Namun masih ada masalah lainnya, yaitu: bukan saja kita harus memiliki hasrat tersebut, kita juga harus memiliki keteguhan. Hal inilah yang jarang ditemukan di kalangan umat Tuhan. Kita hanya sesaat saja memiliki hasrat tersebut dan hasrat itu menjadi semakin lemah, dan esoknya kita sudah lupa apa yang tadinya kita hasratkan. Milikilah keteguhan hati untuk terus maju. Bagi Anda yang mengerti bahasa Yunani, perhatikanlah hal ini, kalimat di 1 Korintus 14:1,39 itu berbentuk present tense (bentuk sekarang). Semuanya dituliskan dalam bentuk present tense. “Sungguh-sungguh berjuang” berarti terus menerus berjuang, demikianlah maknanya di dalam bentuk kalimat present tense (bentuk sekarang) di dalam bahasa Yunani. Teruslah berjuang sampai Anda mendapatkan karunia nubuat itu. Bukan sekadar semburan energi sesaat melainkan dengan konsisten dan terus menerus mengejar sampai Anda mendapatkan hal tersebut seperti yang disampaikan di dalam perumpaman-perumpamaan Tuhan. Mengetuk pintu terus menerus. Tidak pernah menyerah sampai Anda mendapatkannya. Itulah hal yang kita perlukan.

Hal lain lagi yang cukup sederhana tetapi jarang kita kerjakan adalah “Meminta”. Jika Anda tidak memintanya, maka Anda tidak memperoleh apa-apa. Saya juga mendapati hal lain dalam rangka menjadi seorang nabi Allah: Anda harus renungkan secara mendalam firman Allah. Hal ini ada di Yohanes 15:7 –

“Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya.”

“Mintalah apa saja yang kamu kehendaki” – ini adalah firman yang sangat menantang. Jadi, mintalah terus karunia nubuat itu sampai karunia itu benar-benar diberikan kepada Anda, bukankah begitu? “Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu” – meresapi baik-baik pengajaran Yesus. Setiap nabi Allah ditandai dengan pemahaman rohani serta pemahaman akan firman Allah yang mendalam – yang tidak harus akademis melainkan mendalam dan rohani. Merenungkan siang dan malam akan firman-Nya, karena ini adalah bagian dari berkomuni dengan Tuhan.

Hal yang keempat, membangun persahabatan satu sama lain. Anda mungkin terkejut mendapati bahwa hal ini berkaitan dengan karunia nubuat, tetapi memang prinsip ini disebutkan di 1 Yohanes 4:20 –

“Jikalau seorang berkata: “Aku mengasihi Allah,” dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.”

Jika Anda tidak bisa membangun persahabatan dengan saudara seiman Anda yang bisa Anda lihat, bagaimana Anda akan membangun persahabatan dengan Allah yang tidak bisa Anda lihat? Hal yang rohani selalu terkait dengan praktek sehari-hari. Menjadi rohani bukan hal yang tidak praktis. Setiap orang yang tidak menerapkan secara praktis kerohaniannya berarti dia tidak tahu apa arti kerohanian itu.

Ada alasan yang baik kenapa para nabi tinggal di tengah masyarakat. Karena di tengah masyarakatlah para nabi belajar tentang komitmen satu dengan yang lainnya. Dan di tengah gereja ini Anda diberi semua peluang untuk belajar tentang komitmen antara satu dengan yang lainnya. Itulah sebabnya mengapa Anda berada di dalam tim pelatihan. Sangatlah penting untuk bisa belajar komitmen ini, persahabatan satu dengan yang lain.

Kiranya Allah menganugerahkan kita semua agar bisa menjadi nabi-nabi Allah di tengah angkatan ini.

 

Berikan Komentar Anda: