Greg Deuble | Monoteisme |

Setiap pribadi memiliki nama. Setiap individu apakah laki-laki, perempuan, dewasa maupun anak kecil memiliki nama. Nama pribadi saya adalah Gregory. Kebetulan Gregory berarti ‘berjaga-jaga’. Saya tidak keberatan jika anda memanggil saya Greg… sebenarnya, satu-satunya orang yang pernah memanggil saya Gregory adalah ibuku dan saya kemudian sadar bahwa saya dalam masalah karena itu selalu diucapkan dengan nada yang tegas dan berakhir dengan tanda seru! Nama anda mewakili anda, pribadi yang nyata, ‘diri’ anda. Saya mengenal banyak orang yang menjadi sangat kesal ketika nama pribadi mereka dilupakan, diubah atau disalahejakan, dll.   

Di dalam Alkitab Allah telah bersusah payah menyatakan Nama Pribadi-Nya kepada kita. Sebanyak 6,828 kali Allah yang satu-satunya di dalam Alkitab dipanggil Yahweh. Angka ini tidak termasuk 49 kemunculan “Yah” (singkatan, sama seperti Greg adalah singkatan untuk Gregory) maupun banyak ungkapan “Haleluyah” (atau Halelu—Yah) dengan arti ‘puji Yah’.

Dalam Alkitab Ibrani asli, Yahweh ditulis dengan menggunakan empat konsonan YHWH. Tidak ada huruf vokal yang tertulis dalam teks Ibrani. Keempat konsonan ini dipanggil Tetragramaton yang berarti ‘empat huruf’. Karena tidak ada huruf vokal di dalam teks, dan karena bangsa Yahudi berhenti mengucapkan Nama itu sebab takut dengan tidak hati-hati menghujat Nama Allah, saat ini terdapat beberapa perdebatan tentang bagaimana mengucapkan YHWH. Namun, Ensiklopedia Judaica yang otoritatif mengatakan bahwa ucapan asli adalah Yahweh dan hal itu tidak pernah terhilang. Bagaimanapun juga, tidak ada larangan dalam Alkitab supaya kita berhenti menyebut ataupun tidak lagi memakai Nama Allah. Sebaliknya, umat-Nya diperintahkan untuk

“Bersyukurlah kepada Yahweh, panggillah nama-Nya, beritahukanlah perbuatan-Nya di antara bangsa-bangsa, masyhurkanlah, bahwa nama-Nya tinggi luhur!” (Yesaya 12:4).

Jadi, Nama Yahweh rata-rata muncul lebih dari 6 kali per halaman di dalam Perjanjian Lama! Sebutan Nama Allah dalam jumlah yang begitu besar ini merupakan saksi yang kuat tentang identitas Allah dalam Alkitab. Yahweh adalah pusat dan Pribadi yang paling penting di dalam Alkitab.

Terdapat bagian-bagian Alkitab di mana Allah memanggil Diri-Nya satu “Jiwa”, yang sama artinya dengan ‘Diri’.  Di Yesaya 42:1 Allah berbicara tentang “Jiwa-Ku”. Kata Ibrani nephesh diterjemah sebagai ‘jiwa’ digunakan secara konsisten dengan arti seorang individu, yaitu, seorang diri, apakah hewan, manusia atau Allah Sendiri. Yahweh menjelaskan dirinya sebagai Satu Jiwa Individu, suatu “Diri”. Fakta ini dapat diverifikasikan ribuan kali di seluruh Alkitab, bukan hanya dari penggunaan Nama PribadiNya, tetapi juga dari kata-kata ganti nama (prononima).

Ketika Allah menyebut tentang Diri-Nya atau ketika disebut maupun dirujuk oleh orang lain, prononima tunggal digunakan. Ketika merujuk kepada Diri-Nya Allah berkata, ‘Aku…’,  ‘… Aku’, ‘-Ku’,  ‘MilikKu’ (I, Me, My, Mine) dalam bentuk pribadi pertama. Ketika orang berdoa kepada-Nya Dia disebut dalam bentuk pribadi kedua tunggal, ‘Engkau…’, ‘… Engkau’, ‘-Mu’, ‘milikMu’ (Thou, Thee, Thy, Thine), tetapi ini adalah Bahasa Inggris kuno, dan tidak begitu menonjol hari ini karena ‘kamu’ (you) yang kita gunakan bisa berarti tunggal maupun jamak bergantung pada konteks dan apakah kata kerja dan prononima-prononima yang bersangkutan itu tunggal atau jamak. Lalu, ketika seseorang merujuk kepada Allah secara tidak langsung, bentuk pribadi ketiga tunggal ‘Dia …’, ‘… Dia’, ‘-Nya’, ‘DiriNya’ (He, Him, His, Himself) selalu digunakan.

Tidak ada cara yang lebih kuat lagi bagi bahasa untuk menyampaikan bahwa Allah dalam Alkitab adalah Pribadi Tunggal ketika ia menggunakan beribu-ribu prononima tunggal dan kata kerja tunggal bersama dengan Nama Pribadi-Nya! (Hanya ada empat pengecualian terhadap peraturan yang melimpah ini. Dalam keempat pengecualian itu Allah menggunakan apa yang dipanggil oleh para ahli Alkitab sebagai bahasa kerajaan yang sopan, “Mari kita …”. Empat ayat ini bukanlah pengecualian yang membuktikan bahwa Allah itu lebih dari satu Pribadi. Pengecualian-pengecualian ini mudah dijelaskan di dalam konteksnya.) Dalam kenyataannya, di Perjanjian Lama, Yahweh tidak pernah merujuk kepada lebih dari satu Allah Individu dan tentu saja bukan suatu kesatuan tiga Pribadi.

Yahweh Sendiri menjelaskan apa arti Nama-Nya di Keluaran 3:14. Alkitab bahasa Inggris kita menerjemahkan Yahweh di situ dengan cara yang statis, AKU ADALAH AKU (I AM THAT I AM). Ini terjemahan yang patut disayangkan.  Kamus Ibrani akan menunjukkan bahwa terjemahan yang tepat seharusnya dibaca sebagai, “AKU AKAN MENJADI APA YANG AKU AKAN MENJADI” (I WILL BE THAT WHICH I WILL BE).

Septuaginta (terjemahan bahasa Yunani dari bahasa Ibrani yang dimulai di tahun 250 S.M. oleh ahli-ahli Alkitab Ibrani) menerjemahkan Nama Allah sebagai, “AKU ADALAH DIA YANG ADA” (I AM THE ONE WHO IS BEING). Yang Ada. Dalam kata lain, Yahweh, Allah Alkitab adalah Allah yang Hidup, Yang kekal dan tidak diciptakan.  Perjanjian Baru mencatat seperti ini,

“Aku adalah Alfa dan Omega, firman TUHAN Allah, yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang” (Wahyu 1:8).

Nama Pribadi Allah bermaksud untuk memberi sukacita dan penghiburan dan kekuatan yang nyata bagi umat-Nya. Nama-Nya menyampaikan bahwa Dia memiliki hubungan kovenan (perjanjian) dengan umat yang telah ditebus-Nya dan akan menjadi apapun yang mereka butuhkan pada waktu apapun. Tidak heran kita dipanggil untuk mengasihi Dia dengan segenap hati dan dengan segenap akal budi dan dengan segenap kekuatan kita serta tidak meletakkan apapun yang berhala atau allah buatan manusia diatas-Nya. Kita harus mengasihi “Dia” — bukan sesuatu esensi atau hakekat yang impersonal!

Kebenaran-kebenaran yang terungkap ini sangat berlawanan dengan Allah yang disembah umat Kristen pada hari ini … Allah Tritunggal yang tidak memiliki nama! Kekristenan pada zaman kini menyembah “Keallahan” (“Godhead”) dengan Tiga Pribadi. Allah bukan lagi satu Pribadi Individu yang memiliki Nama. Allah seperti ini lebih dari Pribadi Individu karena Dia merupakan tiga Pribadi dalam ‘Satu Esensi’. Bagaimana sulap teologia ini bisa terjadi?

Kisah Perubahan Besar itu mulai seawal waktu orang-orang Yahudi  dibuang oleh Nebukadnezar, raja Babel, ke dalam pembuangan pada 586 S.M. Mereka sadar bahwa mereka telah berbuat salah besar terhadap Allah. Ketika kembali ke tanah asal, mereka tidak lagi ingin menghujat Nama Yahweh, jadi mereka memulai kebiasaan yang baru yaitu memanggil Yahweh sebagai “Lord” (Ibrani Adonai). Mulai saat itu Yahweh adalah “Tuan”. [Alkitab-alkitab bahasa Indonesia pula salah menerjemahkannya menjadi “Tuhan”!]

Sebuah nama pribadi berubah menjadi sebuah gelar! Sekali lagi penting untuk perhatikan bahwa Allah Sendiri tidak pernah memberi perintah untuk tidak mengucapkan Nama Pribadi-Nya. Kebiasaan ini segera menjadi tertanam dalam terjemahan Perjanjian Lama yang sekarang kita kenal sebagai Septuaginta (mungkin anda pernah melihat angka Romawi LXX yang digunakan sebagai singkatan untuk terjemahan Yunani ini). Septuaginta menjadi sumber penting untuk mengutip Perjanjian Lama ketika para rasul menulis Perjanjian Baru, karena pada saat itu bahasa Yunani sudah menjadi bahasa umum di dunia Romawi, sama seperti bahasa Inggris pada zaman sekarang. Dalam kenyataannya, telah diperkirakan bahwa 75% dari kutipan-kutipan Perjanjian Lama di dalam Perjanjian Baru berasal dari LXX dan bukan dari teks Ibrani. Salah satu kitab Perjanjian Baru, yaitu Kitab Ibrani, mengandung 100% kutipan Kitab Suci dari Septuaginta. Jadi, di mana pun Nama Yahweh muncul dalam tulisan Ibrani asli, bahasa Yunani sekarang memberi-Nya gelar “the Lord” (Sebagian terjemahan bahasa Inggris berusaha untuk memelihara bagian yang diubahkan ini dengan menerjemahkan Yahweh dengan semua huruf besar sebagai “LORD”. Dalam Alkitab Indonesia pula, Yahweh menjadi “TUHAN”).

Hal ini sangat penting bagi pembahasan kita. Jadi jangan terburu-buru. Ketika Nama Allah diterjemahkan ke dalam Septuaginta, ia menjadi sebuah gelar dan bukan lagi sebuah nama pribadi! Yahweh sekarang sudah menjadi ‘Tu(h)an’. Lalu kenapa hal ini menjadi masalah?

Jawabannya tidak sulit untuk diketemukan. Orang-orang Yahudi mengerti bahwa setiap kali mereka membaca “Tu(h)an”, ia sedang merujuk kepada Allah Israel Sendiri, yang Namanya adalah Yahweh. Kesetaraan Yahweh dengan “Tu(h)an” tidak menjadi masalah bagi mereka. Orang-orang Yahudi tahu bahwa gelar Yunani ‘Tuan’ (kyrios) itu merupakan istilah umum dan tergantung pada konteks, bisa merujuk kepada siapa pun yang memiliki kedudukan atau otoritas selain dari Yahweh. Namun, di dalam Alkitab Ibrani orang-orang Yahudi menggunakan satu kata untuk TUHAN (Adonai), dan kata yang lain untuk tuan yang lebih rendah, apakah dia manusia maupun malaikat (adoni). Namun, orang-orang Yunani dan bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki pengetahuan dalam latar belakang Yahudi sangatlah mudah dikelirukan karena di dunia mereka terdapat “banyak allah dan banyak tu(h)an” (dengan mengutip persis kata-kata Paulus kepada jemaat Korintus yang memang berasal dari lingkungan budaya tersebut, 1 Korintus 8:5).

Jadi pertanyaan pentingnya adalah: Ketika para rasul mulai mengakui “Yesus adalah Tu(h)an” apakah mereka bermaksud Yesus adalah Yahweh, Allah Perjanjian Lama (Adonai), atau mereka mengerti bahwa Yesus adalah Tu(h)an dengan pengertian lain (adoni)? Ketika Petrus, misalnya, menyampaikan khotbah ‘Kristen’ yang pertama pada hari Pentekosta bahwa, “Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tu(h)an dan Mesias”, apakah Petrus tiba-tiba menjadi bangsa lain yang tidak berpengetahuan dan mengacaukan gelar “Tu(h)an” dengan menerapkannya tanpa pandang bulu kepada dua pribadi yang adalah Allah  (Kisah 2:36)? Apakah Yesus, yang telah disalibkan tetapi sekarang Mesias yang dimuliakan, Tu(h)an dalam arti yang sama seperti Allah adalah TUHAN? Sama sekali tidak!

Kita sudah tahu bahwa gelar “Tu(h)an” adalah istilah umum yang dapat mengacu kepada pribadi-pribadi selain dari Yahweh. Dan anda bisa benar-benar pasti bahwa pada Hari Pentekosta ketika Petrus berkata “Allah telah menjadikan Yesus Mesias Tu(h)an” para pendengar Yahudi tidak akan tiba-tiba berpikir, “Ternyata kita memiliki Anggota Kedua dalam Keallahan. Bayangkan, selama ini ternyata ada dua Yahweh.” Sama sekali tidak mungkin. Mereka paham bahwa Yesus adalah Tu(h)an Mesias dan bukan TUHAN Allah Sendiri. Mereka paham bahwa ketika Kitab Suci memanggil seseorang Tuan, itu tidak secara otomatis bermaksud bahwa mereka adalah “Allah yang sejati dari Allah yang sejati”, dengan meminjam kata-kata dari salah satu kredo.

Di berbagai perikop rasul-rasul menggunakan rumus, “Allah dan Bapanya Tu(h)an Yesus Kristus”. Perhatikan Allah bukan saja Allahnya Kristus tetapi Dia adalah “Allahnya Tu(h)an kita Yesus Kristus”. Sebagai Tu(h)an Mesias, Yesus mengakui Allah bukan hanya sebagai Bapanya, tetapi juga sebagai Allahnya! Tu(h)an Kristus mengakui Dia Yang adalah TUHANnya sebagai Allah. Jadi sangatlah jelas bahwa gelar Tu(h)an Mesias tidak boleh dikacaukan dengan gelar bagi Tuhan Allah. Yesus sama sekali tidak pernah dipanggil ‘Tuhan Allah’ di dalam Alkitab. Sama sekali tidak pernah! Jadi, Yesus tidak dikenal sebagai Allah tetapi dibedakan dari Allah ketika Alkitab memanggilnya “Tu(h)an Yesus Kristus”. Berdasarkan rumus ini saja Tu(h)an Yesus tidak mungkin adalah Allah Yahweh. Yesus adalah Kristusnya TUHAN Allah, atau dia yang diurapi Tuhan. Allah adalah TUHAN kepada Tu(h)an Yesus kita. Terdapat dua Tu(h)an di dalam Alkitab, tetapi hanya satu adalah Allah Yahweh dan Bapa kepada Tu(h)an Yesus Mesianik kita.

Ini tidak berarti bahwa bagi kita Yesus tidak berfungsi seolah-olah dia adalah Allah. Sama sekali tidak. Karena di dalam dialah “berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allahan” dan ketika kita melihat Yesus kita melihat Allah, ketika kita mendengar Yesus kita mendengar Allah (Kol 2:9; 2 Kor 4:6, dll.). Melihat Yesus dan mendengar Yesus sama seperti melihat dan mendengar Bapa seperti Yesus sendiri katakan. Menaati Yesus sama seperti menaati Allah. Tidak mendengarkan Yesus sama dengan tidak mempercayai Allah. Ini karena Yesus secara sempurna mewakili Allah dan secara sempurna diberi otoritas oleh Allah Bapanya untuk menjadi agen-Nya dan untuk bertindak sepenuhnya atas nama-Nya.

Perjanjian Baru tidak menghubungkan mukjizat-mukjizat dan keajaiban-keajaiban besar dan tanda-tanda Yesus konon kepada Keallahannya. Yesus sendiri bersaksi bahwa firmannya dan pekerjaannya bukan dari dia tetapi dari Allah melaluinya. Para rasul mengerti hal ini dengan jelas. Yesus dari Nazaret adalah

“seorang yang telah ditentukan Allah dan yang dinyatakan kepadamu dengan kekuatan-kekuatan dan mujizat-mujizat dan tanda-tanda yang dilakukan oleh Allah dengan perantaraan dia di tengah-tengah kamu…” (Kisah 2:22).

Dan,

“Allah mengurapi dia dengan Roh Kudus dan kuat kuasa, dia, yang berjalan berkeliling sambil berbuat baik dan menyembuhkan semua orang yang dikuasai Iblis, sebab Allah menyertai dia” (Kisah 10:38).

Ya, mukjizat-mukjizat dan tanda-tanda Yesus memiliki golongannya tersendiri. Tidak seorangpun yang pernah bicara seperti orang ini dan tidak seorangpun yang pernah melakukan apa yang dia telah lakukan. Akan tetapi semua ini berkaitan dengan kuasa dan pengurapan Allah Bapanya, bukan karena Yesus itu Allah.

Dengan cara yang sama, tidak seorangpun memperdebatkan bahwa karena Musa atau Elia mengerjakan mukjizat-mukjizat dan tanda-tanda yang hebat maka mereka pasti Allah. Ketika kita membaca, “Maka ketakutanlah mereka semua, sedang rasul-rasul itu mengadakan banyak mujizat dan tanda,” tidak seorangpun mengusulkan bahwa para rasul pasti Allah (Kisah 2:43). Sumber mukjizat-mukjizat dan tanda-tanda dan keajaiban-keajaiban Yesus berasal dari pengurapan Allah ke atasnya.

Kembali kepada pokok utama: Jika Nama Allah Yahweh tidak muncul di dalam teks PB, ke manakah ia pergi di dalam halaman-halaman PB? Bagaimana kita mengenal Dia sekarang? Kenyataannya adalah bahwa ketika kita sampai di PB kata “Allah” — dalam Yunani ho theos hampir selalu dengan kata sandang — digunakan untuk merujuk hanya kepada Bapa. Sekitar 1325 kali di dalam PB “Allah” adalah Bapa. (Yesus memang dipanggil ‘allah’ di dua ayat dan ayat-ayat ini harus dilihat dari konteksnya untuk memahami apakah pengecualian tersebut melanggar peraturan.) Di sinilah letaknya perbedaan besar antara kata ‘Allah’ dalam PB dengan pemikiran orang Kristen masa kini di mana Allah itu sebenarnya Tiga Pribadi. Saya ulangi: Di Perjanjian Baru, 1325 kali Allah adalah Bapa … sendiri.

Satu lagi fakta yang menarik adalah bahwa Yesus sendiri menegaskan monoteisme dari warisan budaya Yahudinya. Yesus mengesahkan pengakuan para nabi bahwa Bapanya adalah “Allah yang esa” (Yoh 5:44) dan Bapanya adalah “satu-satunya Allah yang benar” (Yoh 17:3). Dalam semua ajaran dan percakapannya yang tercatat, Yesus hanya mengacukan kata ‘Allah’ kepada Bapanya saja … tidak pernah kepada dirinya. Yesus mengenal hanya satu Allah Individu Yang Namanya adalah Yahweh.

Para rasul sendiri setuju dengan kepercayaan monoteistis Yesus. Misalnya Paulus berkata, hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup” kemudian dia melanjuti dengan berkata ada “satu Tu(h)an saja, yaitu Yesus Kristus (Mesias)”, melaluinya Allah Bapa yang esa itu bekerja untuk memberkati kita (1Kor.8:6). Paulus berkata, ada “satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua” (Ef.4:6). Kecuali kalau Yesus adalah Bapa dari semua, menurut Paulus, Yesus bukan Allah!

Satu pertanyaan mudah dan sederhana yang harus kita tanyakan pada diri kita adalah, ada berapa Yahweh sebenarnya? Batu fondasi dasar bagi pengakuan umat Israel adalah Ulangan 6:4. Yesus sendiri percaya akan pernyataan tentang monoteisme Yahudi yang klasik ini. Dia memanggilnya “perintah terutama dan teragung”. Bunyinya seperti ini,

“Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!”

TUHAN huruf besar berarti teks Ibrani asli dibaca, YHWH. Di sini tertulis Nama Pribadi Allah. Yahweh adalah “Allah kita” dan hanya terdapat satu Yahweh yang adalah TUHAN! Ini merupakan kredo utama atau pengakuan iman Yesus sendiri. Mengapa ini tidak menjadi pengakuan utama Gereja pada saat ini yang mengklaim sedang mengikuti Yesus? Bagaimana kita bisa terus mengabaikan perintah yang utama dan paling penting itu? Lebih buruk lagi, mengapa kita tidak lagi mendengarkan teologi Yesus tentang identitas Allah?

Perhatikan dengan teliti. Terdapat bukan dua atau tiga Yahweh. Beberapa ahli teologia Kristen bersikeras bahwa kata “satu” di Ulangan 6:4 melibatkan “kesatuan kompleks”. Mereka menjelaskan bahwa sama seperti serangkai anggur tidak berarti hanya satu anggur tetapi banyak, dan sekelompok burung tidak berarti hanya satu burung di dalamnya, kenapa “satu Allah” tidak bisa berarti lebih dari satu Pribadi di dalam “Keallahan” itu?

Apakah anda melihat aksi sulap yang dilakukan terhadap kita di sini? Pertama-tama, konsep bahwa terdapat suatu kejamakan anggur di dalam serangkai (satu rangkai) bukan berasal dari kata sifat bilangan ‘satu’ tetapi dari kata golongan — ‘rangkai’. Yang benar adalah ‘se-rangkai’ anggur berarti hanya ‘satu rangkai’, bukan dua rangkai, atau tiga rangkai. Konsep di mana terdapat beberapa burung di dalam satu kelompok burung bukan berasal dari kata sifat bilangan ‘satu’, tetapi dari kata jamak yang dijelaskannya, kelompok. Anak kelas satu SD di sekolah manapun di seluruh dunia tahu bahwa ‘satu’ bukan dua, atau tiga. Jadi, konsep kompleksitas atau kejamakan tidak berasal dari kata ‘satu’, tetapi dari nomina kolektif yang dijelaskannya. Jika saya menunjukkan kepada anda seekor lipan (Bahasa Inggris centipede; centi = seratus) dan berkata, “Lihat betapa kompleksnya satu itu. Satu bisa berarti seratus karena seekor lipan memiliki seratus kaki!” anda pasti segera menyadari tipu muslihat itu. Jika saya berkata, “Lihat, satu sebenarnya berarti tiga karena sebuah tripod mempunyai tiga kaki!” sekali lagi anda pasti melihat tipu muslihat itu.

Oleh karena itu … dan ini kenyataan yang menghancurkan … kata sifat bilangan “satu” (kata Ibraninya adalah echad) tidak diterapkan pada kata “Allah”. Di dalam Alkitab Ibrani Allah adalah YHWH. Dia adalah satu Pribadi Tunggal dengan sebuah Nama. Bahkan trinitarian mengingatkan kita supaya tidak merancukan Pribadi-pribadi itu! Jika kita melihat ayat ini dalam bahasa Inggris maka kenyataan ini menjadi sangat jelas. Terjemahan Inggris berbunyi, “The LORD is our God, the LORD is one” (TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!). Perhatikan kata sifat ‘satu’ diterapkan bukan pada kata ‘Allah’ tetapi kata ‘Tuhan’. Hanya ada satu Tuhan, bukan dua atau tiga Tuhan. Ini prinsip utama di seluruh ajaran Perjanjian Lama tentang Allah. Terdapat satu Yahweh yang adalah Allah. Lalu, di mana Allah Yahweh di dalam Perjanjian Baru? Apakah Dia tiba-tiba hilang dari gambaran sama sekali? Atau Dia tiba-tiba berubah menjadi Tiga Pribadi dalam Satu Hakekat?

Kebanyakan orang Kristen pada masa kini tidak sadar bahwa doktrin Tritunggal telah mengubah makna dan isi Nama Allah. Ketika trinitarian berbicara tentang “Allah” mereka tidak bermaksud Allah Yahweh. Bagi mereka, “Allah” terdiri dari Tiga Pribadi yang berbagi satu Wujud atau satu ‘Hakekat/Zat’. Konsep ini berasal dari agama-agama pagan (penyembah berhala) dan bukan dari iman orang Yahudi. Allah tripartit “ortodoks” tidak ada dalam Alkitab, dan tentu saja ‘Allah’ mereka tidak memiliki nama sama sekali! Jarang ada orang Kristen yang menyamakan Yahweh dengan Allah Bapa, dan kalau ada pun mereka mengaku bahwa “Allah Bapa” ini hanyalah satu dari Tiga Pribadi di dalam “Keallahan”. Ini bukanlah pengakuan Yesus sendiri tentang siapa Allah.

Kita benar-benar harus bertobat. Dan dengan bertobat, saya bermaksud melakukan pemikiran ulang yang serius, karena bertobat berarti berubah dalam pikiran kita. Tidak ada malu di dalam hal itu. Seolah-olah jika berpihak kepada Yesus dan mendengarkan pengakuannya akan membawa malu! Sebenarnya, itu akan membawa kebahagiaan dan kemuliaan kepada kita. Bukan kebetulan Alkitab sering menempatkan doktrin monoteisme dalam konteks menghindari pemberhalaan (Kel 20:1-5; 1 Kor 8:1-6; 1 Yoh 5:19-21, dll.) Ya, Allah Alkitab adalah Individu “Diri” yang memiliki nama pribadi. Yesus mengasihi Dia. Dan bersama Yesus sang Mesias, saya akan mengasihi Dia dengan segenap hati dan akal budi dan kekuatan saya. Semoga kita semua juga demikian!

 

Berikan Komentar Anda: