Greg Deuble | Monoteisme |

Mayoritas orang yang menyatakan diri sebagai Kristen — apakah Katolik Romawi, Ortodoks Timur, atau Protestan — mengaku bahwa Yesus itu “sepenuhnya Allah” dan pada waktu yang berjesus-as-man-and-godsamaan “sepenuhnya manusia”. Artinya, Yesus 100% Allah dan 100% manusia secara serempak. Jadi, kedua sifat ini — Anak Allah yang Ilahi dan Anak Manusia yang lahir oleh manusia — dinyatakan tanpa bukti sebagai perpaduan yang sempurna di dalam seorang pribadi Yesus Kristus. Istilah teknis dan teologis bagi perpaduan sempurna antara dua sifat ini adalah “perpaduan hipostatis” (hypostatic union). Jadi, untuk diterima sebagai “ortodoks” kita diharuskan mempercayai bahwa Yesus Kristus adalah “Allah Anak” yang sama-sama kekal abadi, sama kedudukan, sebagai Pribadi kedua dalam Trinitas sementara pada waktu yang sama dia merupakan manusia sejati: Satu Pribadi dengan dua sifat yang tidak dapat dipisahkan, “Allah-manusia”  yang sempurna.

Di sepanjang generasi-generasi sejak doktrin ini pertama-tama disahkan secara resmi dan dilaksanakan — sejak Konsili Kalsedon (Chalcedon) pada tahun 451 S.M. sampai seterusnya — siapa pun yang berani mengemukakan pertanyaan-pertanyaan yang masuk akal, yang menunjukkan bagaimana doktrin ini tidak mungkin secara Alkitabiah maupun secara logika, akan dikucilkan. Jadi, dengan risiko dianggap sebagai “heterodoks”, saya akan menanyakan beberapa pertanyaan, berdasarkan hanya pada pewahyuan Alkitabiah yang berkaitan dengan Pribadi Allah di dalam Alkitab, dan yang berkaitan dengan sifat manusia. Ini merupakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh banyak pemikir yang luar biasa yang juga menyatakan iman mereka pada Allah yang hidup sejak Kalsedon, jadi saya tidak sendiri dalam mencari kesehatan jiwa dan pengertian yang benar.

Sebelum melanjutkan, mari kita dengan sangat jelas memahami kepercayaan ortodoks. Bagi Kekristenan ortodoks, Yesus tidak bisa hanya memiliki beberapa kualitas manusia; dia harus memiliki semua (kualitas manusia) supaya layak disebut sebagai sepenuhnya manusia. Pada waktu yang bersamaan, dia tidak bisa memiliki hanya beberapa kualitas ilahi; dia harus memiliki semua (kualitas ilahi) supaya layak dianggap sebagai sepenuhnya Ilahi. Yesus harus 100% Allah dan 100% manusia pada saat yang bersamaan. Perenungan sejenak akan menunjukkan bahwa usulan ini adalah mustahil dari standar Alkitab maupun standar logika. Mari kita ambil satu contoh yang sederhana dari bibir Yesus sendiri:

“Tapi tentang hari dan saat itu tidak seorangpun yang tahu, malaikat-malaikat di surga tidak, dan Anakpun tidak, hanya Bapa sendiri.” (Matius 24:36)

Ayat ini bermasalah bagi teori “perpaduan hipostatis”. Bagaimana Yesus bisa disebut “sepenuhnya Allah” dan tidak mengetahui sesuatu yang begitu penting yang berdampak pada sejarah seluruh bumi? Apakah Yesus sedang berbicara kebenaran mutlak ketika dia mengaku bahwa dia sebenarnya tidak mengetahui kapan saat itu? Dan apakah Yesus sedang berbicara kebenaran mutlak ketika dia menyatakan bahwa hanya Bapa sendiri yang tahu akan saat itu? Menurut Yesus, tidak seorang pun — malaikat-malaikat di surga tidak, dan dia sendiri pun tidak — tahu akan saat itu.

Cara yang biasa digunakan untuk lolos dari dilema ini berbunyi seperti berikut: Apa yang Yesus sebut tentang dirinya, yaitu ketidaktahuan, berlaku untuk dirinya sebagai manusia, meskipun tidak berlaku untuk dirinya sebagai Yang Ilahi. Sebagai Allah-Manusia, Yesus secara serempak mahatahu sebagai Allah (bersama dengan Pribadi-pribadi lain di dalam Keallahan) dan tidak mengetahui beberapa hal sebagai manusia (bersama dengan orang-orang lain dalam ras manusia).

Ah, saya paham! Yesus secara serempak tahu dan tidak tahu tentang fakta ini. Jadi dia mengetahui kebenaran (karena dia mahatahu sebagai Allah), tetapi kemudian memberitahu kita bahwa dia tidak tahu fakta ini karena dia secara serempak seorang manusia? Jadi Yesus tahu bahwa dia tidak tahu apa yang dia ketahui, dan inilah kenyataan mutlak dari hal ini, bukan?

Apakah kita benar-benar berpikir bahwa murid-murid yang mendengar Yesus mengucapkan kebenaran ini berpikir dalam diri mereka, “Ah, itu berarti dia tidak mengetahuinya sebagai manusia, tetapi tentu saja, dia mengetahuinya sebagai Allah”? Maafkan ironi jari-jari saya yang sedang mengetik ini, tetapi tidak heran Gereja Non-Yahudi mengambil waktu 300 tahun untuk menemukan jawaban semacam ini! Kenyataan eksegesis yang tidak bisa dimungkiri adalah bahwa Yesus bukan berbicara tentang sifat ilahinya versus sifat manusiawinya. Yesus secara spesifik berkata “hanya Bapa tahu”. Artinya tidak satu pun dari “kedua sifat” Yesus yang tahu!

Tidak, permasalahan bukanlah pada apa yang dikatakan oleh teks. Permasalahannya adalah membaca teks berdasarkan paradigma yang disebut “perpaduan hipostatis”. Eksegesis Alkitabiah harus disesuaikan dengan tradisi kita dengan segala cara, seaneh dan sejanggal apa pun.

Mari kita menghadapi kebenaran perkataan Yesus di sini. Terdapat beberapa hal yang tidak diketahuinya sebagai Anak Allah. Apa yang menyebabkan kegelisahan berasal dari doktrin bahwa Yesus itu 100% Allah dan 100% manusia sekaligus. Bukankah ini sebuah penegasan konyol bahwa Yesus mengetahui segala hal dan tidak mengetahui segala hal sekaligus?

Jadi, dengan apakah anda ingin masakan teologia anda disajikan? Dengan sederhana, berdasarkan kata-kata pada teks, ataupun penuh dengan ramuan campuran buatan manusia berdasarkan peraturan Gereja selama berabad-abad yang harus dipercayai di bawah ancaman penganiayaan?

Menjadi manusia berarti ia cenderung terbatas dalam pengetahuannya. Menjadi Allah berarti Ia tidak memiliki batas dan sempurna dan lengkap dalam segala pengetahuan. Anda tidak dapat menjadi kedua-duanya pada waktu yang bersamaan. Ini akan membuat Yesus ortodoks menjadi seperti penderita schizofrenia.

Secara definisi, sesuatu benda tidak dapat menjadi lawan dari dirinya sendiri. Suatu benda tidak dapat menjadi sempurna dan tidak sempurna pada waktu yang bersamaan. Kehadiran satu dari kualitas ini menunjukkan ketidakhadiran kualitas yang lainnya. Yesus hanya bisa menjadi salah satunya. Secara logika ia tidak bisa menjadi kedua-duanya. Mempercayai bahwa dia bisa menjadi tak terbatas dan terbatas pada waktu yang bersamaan tidak lebih masuk akal daripada jika saya memberitahu anda bahwa saya baru melihat sebuah lingkaran persegi! Apakah saya sedang mengatakan bahwa lingkaran itu tidak bulat, maka itu bukan sebuah lingkaran? Atau apakah saya sedang mengatakan persegi itu bulat? Itu sama dengan omong kosong. Hal itu tidak mungkin sama sekali, kecuali kita mengubah-ubah definisi lingkaran dan persegi. Ataupun bagaimana pandangan anda terhadap kewarasan saya jika saya menyebut tentang es batu panas? Mungkin sangat imaginatif, tetapi tidak masuk akal dan tidak sesuai kenyataan.

Jadi, untuk mengatakan bahwa seseorang itu mengetahui segala hal, tetapi tidak mengetahui segala hal pada waktu yang bersamaan, sama seperti mengatakan bahwa “X” dan “bukan X” sama-sama benar. Ini berarti kita telah membuang arti dari kata-kata atau membuang logika, dan dalam kedua kasus kita sedang bercakap omong kosong yang tidak membawa arti apapun.

Akan tetapi, bukankah Allah dapat melakukan apapun yang dipilih-Nya? Tentu saja Dia dapat — kecuali hal-hal yang tidak konsisten dengan karakter Allah. Apakah Dia bisa memilih untuk menjadi jahat atau bebal? Dapatkah Dia menjadi Iblis atau tidak sama sekali? Sekali-kali tidak! Allah umat Kristen adalah Allah Israel yang Kekal, Allah Semesta Alam yang selamanya tidak akan pernah menjadi apa pun selain dari Allah itu.

Jadi, jika kita ingin mengatakan bahwa, “Allah melakukan dan tidak melakukan,” atau “Allah adalah dan bukan” secara serempak, maka pernyataan kita tidak memiliki arti. Ketika kita mengatakan Yesus adalah Allah yang sempurna dan manusia yang sempurna pada waktu yang bersamaan kita sedang mengatakan dua hal yang berlawanan yang tidak mungkin, bahkan untuk yang Mahakuasa! Marilah kita menerima kenyataan, bahwa terdapat beberapa hal yang bahkan Allah tidak dapat lakukan, jika tidak, Dia akan berhenti menjadi Allah.

Mari kita ambil satu lagi contoh Alkitab untuk mengilustrasikan dilema tentang teori Allah-Manusia ortodoks. Yesus memberitahu kita di Yohanes 4:24 bahwa “Allah itu Roh”. Yesus bermaksud bahwa Allah (Yang dia sebut “Bapa” di ayat sebelumnya) bukan terdiri dari zat. Hal ini seharusnya jelas karena Dia ada sebelum adanya alam semesta yang terdiri dari zat. Allah telah menciptakan zat dan tidak terdiri dari bahan yang Dia ciptakan. Oleh sebab itu, adalah aksiomatis bahwa Allah, yang adalah Roh, tidak terdiri dari apa pun yang jasmani yang bisa terurai atau berubah. Sebagai Roh, Dia ada di luar ciptaan dan tidak seperti zat, Ia tidak dapat dipisahkan. Ini sebabnya Allah bisa berkata, “Aku, TUHAN, tidak berubah” (Mal 3:6). Hal yang mendasar tentang Allah di dalam Alkitab adalah sifat-Nya yang transenden dan – apa yang para teolog panggil – keabadian-Nya (His immutability), yaitu sifat-Nya yang tidak akan berubah.

Tidak adanya perubahan di dalam kesempurnaan-Nya merupakan dasar bagi tidak adanya apa pun yang terpisah-pisah di dalam Allah. Sebagai Roh, Allah memenuhi ruang dan waktu dalam alam semesta yang jasmani, tetapi tidak ada apa pun dari alam semesta jasmani yang menjadi Allah oleh karena dipenuhi oleh-Nya. Alam semesta tidak mampu menampung-Nya. Allah itu Roh, bukan zat yang bisa berubah, itu sebabnya Dia tidak dapat dipisah-pisahkan.

Allah Sendiri dengan jelas membedakan antara diri-Nya sebagai Roh dan manusia sebagai “daging”. Ketika bangsa Israel dalam kesesakan berlari ke Mesir untuk mendapatkan pertolongan, mereka terdakwa karena tukar-menukar dengan bodoh. Allah menunjukkan kepada mereka, “Sebab orang Mesir adalah manusia, bukan allah, dan kuda-kuda mereka adalah daging, bukan roh” (Yes 31:3). Kedua kategori tersebut, daging dan roh, tidak bisa dikelirukan maupun dicampur satu dengan yang lain. Perhatikan Allah menempatkan manusia dan kuda dalam kategori yang sama yaitu “daging” jasmani dan menempatkan diri-Nya di kategori yang lain sebagai Roh. Bangsa-bangsa kafirlah, bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah yang selalu mencampur-adukkan Roh dan zat dan Alkitab menyebut hal ini dosa penyembahan berhala!

Yesus Sendiri mengetahui hal ini. Bandingkan definisi Yesus tentang Allah, Yang adalah Roh dengan penjelasannya tentang dirinya. Setelah kebangkitannya dari kematian Yesus menantang murid-muridnya,

“Lihatlah tanganku dan kakiku, bahwa aku inilah dia! Rabalah aku dan lihatlah, karena roh tidak mempunyai daging dan tulang, sedangkan kamu melihat aku mempunyainya.” (Lukas 24:39 ILT).

Jadi Yesus berkata dia bukan roh! Yesus menempatkan dirinya, bahkan dalam keadaannya yang telah bangkit dari kematian sebagai sepenuhnya jasmani. Jadi Yesus meletakkan dirinya di dalam kategori yang sama sekali berbeda dari “Bapa” Yang dia telah definisikan bagi kita sebagai Roh.

Ini sebabnya Allah di dalam Alkitab didefinisikan dengan kata “abadi”. Dua kali dalam satu surat singkat rasul Paulus menjelaskan Allah dengan kata abadi. Dia menulis bahwa “Allah yang esa itu” adalah Allah yang “kekal, abadi, yang tak nampak…” (1Tim 1:17). Kata Yunani yang khusus di sini untuk “abadi” memiliki arti “tidak dapat binasa”. Allah itu Roh dan oleh karena itu sifat dasar-Nya tidak akan pernah binasa. Secara definisi Allah itu sampai selama-lamanya tidak dapat binasa!

Nah, sekali lagi dalam surat yang sama Paulus menulis bahwa Allah ini “satu-satunya yang tidak takluk kepada maut…” (1Tim 6:16). Di sini Paulus menggunakan kata lain untuk menyampaikan tentang keabadian. Kata ini membawa arti “tidak pernah mati”, “tidak bisa mati”. Secara definisi “hanya” Allah dan Dia sendiri saja memiliki kualitas tidak akan bisa mati. Mustahil bagi Allah untuk mati! Ketika kita melihat kedua ayat ini secara berdampingan kita seharusnya memahami bahwa Allah adalah “Allah yang esa” Yang “memiliki” keabadian dan secara definisi tidak bisa mati, dan oleh karena itu tidak dapat binasa.

Bandingkan hal ini dengan Yesus. Alkitab memberitahu kita bahwa ketika Yesus dikuburkan dia berada dalam keadaan “binasa” (decay/membusuk) (Kis 2:27). Yesus telah mati dan dapat binasa. Dia seorang manusia. Dan jika bukan karena kesetiaan dan kuasa Allah Bapanya Yang satu-satunya memiliki keabadian, Yesus akan membusuk di kubur itu. (Bukanlah kebetulan bahwa setiap ayat dalam Perjanjian Baru yang menyatakan tentang kebangkitan Yesus memberitahukan kepada kita bahwa Allahlah Yang telah membangkitkan dia dari kubur, dari antara orang mati. Setiap ayat! Tidak ada satu pun ayat di mana pun yang memberitahu kita bahwa Yesus membangkitkan dirinya dari kematian. Allah menghormati taat setianya Yesus dengan karunia kekekalan-Nya.) Maut tidak lagi berkuasa atas Yesus. Inilah harapan bagi setiap orang yang percaya kepada Kristus, yang “sulung dari orang-orang yang telah meninggal”. Karena dia hidup, maka kita hidup. Yesus adalah manusia pertama yang telah diizinkan Allah untuk memiliki kekekalan. Sebelumnya tidak demikian. Dia manusia yang dapat binasa karena dia telah mati. Sekarang Yesus dipanggil “dia yang hidup”, tetapi dia berkata bahwa dia telah mati tetapi lihatlah, sekarang dia hidup sampai selama-lamanya (Wah 1:18).  Hal ini tidak dapat dikatakan bagi Allah.

Saya tahu bahwa saya akan ditantang soal jika Yesus bukan Allah bagaimana saya dapat diselamatkan? Seringkali saya diyakinkan bahwa hanya Allahlah yang cukup besar untuk membayar harga yang tak terhingga bagi semua dosa dunia. Itu sebabnya Yesus haruslah Allah-Manusia karena seorang yang “hanya manusia” tidak cukup besar untuk menjadi Juruselamat bagi semua manusia.

xl-ie70-001-mm-001Sekarang berhenti dan pikirkan permasalahan ini. Jika Yesus adalah Anak Ilahi yang pra-ada, pribadi ini oleh karena Keilahiannya haruslah abadi, jadi tidak mungkin bisa mati di atas kayu salib bagi dosa-dosa saya. Dan pertimbangan bahwa Yesus memiliki “dua sifat” dan hanya sifat manusianya yang telah mati di kayu salib tetap tidak menyelesaikan persoalan. Jika hanya sifat manusianya yang telah mati, maka dengan teori ini bagaimana penganut Trinitas tetap mempertahankan bahwa Yesus harus Allah jika tidak saya tidak memiliki Juruselamat? Toh juga teori ini mengatakan bagian atau sifat Allahnya tidak mati! Berdasarkan teori ini hanya sifat Yesus yang “hanya manusia” itu yang telah mati. Dan juga jangan lupa “perpaduan hipostatis” mengajarkan bahwa kedua sifat itu tidak bisa dipisahkan!

Jadi saya masih ditinggalkan tanpa Juruselamat berdasarkan teori yang terkenal itu. Saya ditinggalkan dengan seorang Allah-Manusia yang tidak bisa mati, tetapi telah mati juga! Tidak ada satu pun ahli teolog sampai saat ini yang bisa menjelaskan hal ini, tanda pasti bahwa itu adalah ‘Allah-Manusia’ buatan manusia yang dikarang Gereja.

Jadi pertanyaan pentingnya adalah: Bagaimana kematian Yesus menyelamatkan kita? Dia memberitahu kita bahwa,

“sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepadanya beroleh hidup yang kekal” (Yoh 3:14-15).

Hal ini merujuk kepada kejadian yang tertulis di Bilangan 21:7-9 di mana orang-orang sedang mati karena gigitan ular-ular berbisa. Musa diperintahkan Allah untuk membuat ular tembaga dan menaruhnya pada sebuah tiang untuk semua orang melihat; mereka yang percaya ketika mereka memandang akan diselamatkan dari ular-ular berbisa itu.

Yesus membandingkan kejadian ini dengan iman terhadapnya: “Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepadanya beroleh hidup yang kekal.” Poin di sini seharusnya sangat jelas; keselamatan ribuan orang yang memandang pada ular tembaga tidak ada hubungan sama sekali dengan sifat yang ada pada ular tembaga — mereka telah diselamatkan oleh Allah melalui iman dalam janji-Nya bahwa barangsiapa memandang akan diselamatkan. Allah berfirman kepada Musa, “Buatlah ular tedung dan taruhlah itu pada sebuah tiang; maka setiap orang yang terpagut, jika ia melihatnya, akan tetap hidup” (Bil 21:8). Ayat yang selanjutnya menegaskan bahwa mereka yang memiliki iman untuk memandang tetap hidup. Hal yang sama berlaku untuk semua orang yang memandang kepada Yesus demi keselamatan melalui iman. Kuasa keselamatan Allah di dalam Kristuslah yang menyelamatkan kita dari dosa dan maut. Jadi bukan sesuatu sifat yang ada pada diri Yesus yang menyelamatkan, tetapi Allah Bapa kita yang menyelamatkan kita di dalam dan melalui Kristus. Keselamatan sepenuhnya adalah pekerjaan Allah, dan hanya oleh kasih karunia-Nya. Yesus adalah agen pengantara dan alat yang dipakai Allah untuk menyelamatkan. Kita tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa sebagai Anak yang tanpa dosa, taat secara sempurna, dan yang selalu berkenan kepada Allah Bapa, Yesus secara sempurna layak untuk mempersembahkan korban persembahan yang sempurna bagi semua manusia (lihat 1Tim 2:5). Dialah domba yang tak bercacat.

Mari kita simpulkan. Apakah seseorang bisa menjadi Tak Terbatas dan terbatas pada waktu yang bersamaan? Apakah suatu Pribadi, termasuk Allah, bisa menjadi Tak Terbatas tetapi terbatas pada waktu yang bersamaan? Apakah seseorang dapat mengetahui segala hal, tetapi tidak mengetahui beberapa hal pada waktu yang bersamaan? Apakah seorang bisa menjadi Roh yang tidak dapat binasa dan tidak takluk maut dan pada waktu yang bersamaan menjadi seorang jasmani yang bisa binasa dan mati? Cukup persoalan telah diajukan untuk secara serius menantang teori “perpaduan hipostatis” dari dua sifat yang sama sekali berlawanan di dalam satu Allah-Manusia dari Gereja ortodoks. Sesungguhnya, mungkin pantas dinyatakan bahwa Yesus yang “sepenuhnya Allah” dan “sepenuhnya manusia” pada waktu yang bersamaan sebenarnya bukan Allah maupun manusia.

 

Berikan Komentar Anda: