Pastor Eric Chang | Lukas 18:9-14 |

Kita akan melanjutkan pembahasan ajaran Yesus lewat perumpamaan-perumpamaan di dalam Injil Lukas. Hari ini kita akan melihat di Lukas 18:9-14. Perumpamaan ini biasanya dikenal dengan judul Perumpamaan tentang orang Farisi dan Pemungut cukai. Seorang pemungut cukai adalah orang yang memungut pajak dari rakyat Israel atas nama pemerintahan Roma. Mereka sangat dimusuhi oleh orang-orang Israel karena mereka dianggap melayani penguasa Roma, dan dengan demikian adalah pengkhianat bangsa. Mereka dipandang sebagai orang tidak beragama dan tidak memiliki hati nurani, yang tidak peduli pada kesejahteraan rakyat Israel, umat Allah, bangsa mereka sendiri.

Beginilah bunyi ayat-ayat  di Lukas 18:9-14:

Dan kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini: “Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai. Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku. Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.

Perlu ditegaskan bahwa pemungut cukai ini menyebut dirinya orang berdosa, bukan seorang yang berdosa. Ungkapan orang berdosa ini sangat penting karena ia memandang dirinya tidak sekadar sebagai salah satu dari sekian banyak orang berdosa sehingga Allah dapat berkata, “Nah, kamu ini hanya salah satu dari sekian banyak orang berdosa. Di dunia ini ada miliaran orang berdosa. Siapa yang peduli dengan salah satu dari antaranya?” Tidak. Orang ini sedang mengalami pengungkapan yang sangat mendalam tentang dosa-dosanya sehingga ia berkata, “Aku orang berdosa, aku orang yang berdosa besar. Aku yang terburuk dari yang lainnya. Orang lain tidak melakukan dosa separah aku. Aku ini orang paling berdosa.”

Ini senada dengan ungkapan yang disampaikan oleh Paulus –

“Di antara mereka akulah yang paling berdosa,” (1 Tim.1:15).

Paulus tidak berkata, “Aku pernah menjadi yang paling berdosa,” tetapi, “Akulah yang paling berdosa, karena aku telah menganiaya Jemaat Allah.” Rasul Paulus, sebelum menjadi Kristen, adalah penganiaya jemaat, dan memang banyak pengikut Yesus yang kehilangan nyawanya di tangan Paulus, dan ia tidak pernah melupakan itu. Sekalipun Allah telah mengampuninya, dan ia tahu bahwa ia telah diampuni, tetapi ia tidak pernah melupakan apa yang pernah ia perbuat itu. “Aku orang berdosa,” demikianlah ucapan si pemungut cukai itu.

Dan kemudian Yesus berkata di ayat 14, “Aku berkata kepadamu: Orang ini (si pemungut cukai) pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan (diampuni) Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan (oleh Allah) dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan (oleh Allah; hal ini dikenal dengan istilah ‘divine passive‘)


Perumpamaan ini berbicara tentang hal
sikap hati yang benar

Perumpamaan ini tentunya sudah sangat terkenal di antara kita, dan anak-anak yang duduk di sekolah minggu pasti akan berkata, “Kami sudah tahu isi ceritanya.” Tetapi persoalannya adalah apakah Anda tahu maknanya? Apa makna perumpamaan ini? Pada dasarnya, perumpamaan ini berbicara tentang sikap hati. Sikap adalah masalah terpenting dalam hidup ini. Tidak ada hal yang lebih penting di dunia ini dibandingkan dengan memiliki sikap yang benar. Bukan peristiwanya yang penting, tetapi sikap kita terhadap peristiwa itu yang penting.

Dua orang yang menghadapi kejadian yang sama dapat menanggapi kejadian itu dengan sikap yang sangat berbeda. Misalnya, ada dua orang yang kehilangan segala-galanya akibat perang, bencana alam, atau pun penyakit. Peristiwa kehilangan segala-galanya bukanlah suatu pengalaman yang langka dalam sejarah umat manusia. Saya menjalani hidup ini melalui berbagai peristiwa peperangan. Saya masih seorang bocah kecil ketika Perang Dunia II, dan selanjutnya saya juga menyaksikan perang saat kaum Komunis datang. Saya melihat banyak orang yang kehilangan segala-galanya! Tadinya mereka tinggal di rumah yang besar, dengan mobil yang besar, tapi mereka terpaksa meninggalkan China tanpa membawa apa-apa, hanya pakaian di badan. Saya juga keluar dari China hanya dengan membawa pakaian di badan dan sebuah tas kecil. Dua orang keluar dari China dengan sama-sama hanya membawa pakaian di badan dan dua dolar di tangan. Di dalam keadaan seperti itu, Anda dapat melihat dua macam reaksi yang sangat berbeda. Yang satu berkata, “Habis sudah! Semuanya sudah berakhir! Saya telah kehilangan segalanya. Hanya tinggal dua dolar di tangan. Saya benar-benar sengsara. Saya sudah hancur sekarang.” Sementara, yang satunya lagi berkata, “Saya memang telah kehilangan segalanya, tetapi saya masih hidup, saya masih punya dua dolar.” Jadi, yang satu berkata, “Yang ada tinggal dua dolar ini”, sedangkan yang lainnya berkata, “Masih ada dua dolar. Ini bukan akhir segalanya. Dan saya juga masih hidup.” Di dalam keadaan yang persis sama, orang bisa bersikap sangat berlainan. Yang satu putus asa dan tamat riwayatnya; yang satunya lagi masih bertahan.

Orang Kristen dengan sikap yang benar pasti akan bertahan, tak peduli seberapa berat, seberapa tipis harapan yang tampak, dan hal ini sudah kita lihat di dalam perumpamaan tentang hakim yang lalim. Orang Kristen bukan jenis manusia yang bersedia menyerah. Akan tetapi tidak semua orang Kristen bersikap seperti ini. Ada banyak orang Kristen yang putus asa ketika menghadapi kesulitan dan keadaan yang sukar. Bagi orang-orang Kristen seperti ini, saya ingin bertanya, “Allah macam apa yang kalian miliki?” Saya sering melihat orang non-Kristen yang juga menghadapi keadaan sukar namun masih tetap bertahan dan berupaya mengatasi kesukaran itu dan membulatkan tekad, “Baiklah. Keadaannya memang sangat buruk. Tetapi kita akan terus menghadapinya dan akan mengatasinya. Sekalipun kita harus mati dalam perjuangan ini, kita akan tetap berjuang.” Jika orang-orang non-Kristen bisa punya sikap seperti ini, mengapa ada orang-orang Kristen yang patah semangat ketika menghadapi kesukaran, yang berkata, “Aku menyerah,” “Aku sudah kalah,” “Habis sudah”? Orang Kristen seperti itu tidak mengenal Allahnya sendiri. Mereka tidak layak menyandang sebutan “Kristen”. Mereka sungguh tidak layak karena tidak ada orang Kristen yang sudah mengenal Allah yang akan menyerah.

Tempatkanlah diri Anda dalam situasi seperti orang yang sudah kehilangan segala-galanya dan hanya tinggal memiliki uang dua dolar di tangan. Seorang non-kristen yang optimis akan berkata, “Baiklah, Saya masih hidup. Memang benar saya sudah kehilangan segalanya; rumah, mobil, tanah dan segala harta kekayaan. Tetapi saya masih hidup, dan di tangan ini masih ada dua dolar!” Namun bagi seorang Kristen sejati, ia tidak sekadar masih hidup, masih punya uang dua dolar, ia masih memiliki harta yang paling berharga, yaitu Allahnya! Tidak ada orang non-Kristen yang mampu berkata, “Aku masih memiliki Allahku! Dan selama aku masih memiliki Allahku, maka aku tetap kaya. Artinya aku tidak kehilangan apa-apa. Sekalipun tidak ada dua dolar, atau bahkan dua sen, tetapi masih ada Allahku!”

Anda mungkin akan berkata, “Kamu dapat bicara seperti itu. Apa yang kamu tahu tentang keadaan yang dihadapi?” Saya tahu banyak tentang keadaan seperti itu. Saya sudah sering menjalani hari tanpa sepeserpun uang di tangan. Saya tidak berbicara tentang contoh khayalan; saya berbicara tentang pengalaman saya. Dan saya memiliki sukacita itu. Seringkali saya menarik kantong pakaian saya, dan hanya benang jahitan kantong itu yang bisa saya tarik keluar, tidak ada uang di sana. Tetapi saya memiliki Allah! Selama saya memiliki Allah, maka saya tahu bahwa saya akan baik-baik saja. Mengapa? Karena Allah adalah Bapa saya. Selama masih ada Bapa, apa yang perlu saya khawatirkan? Anda bertanya, “Apakah itu realistis? Apakah Anda tidak sedang bermimpi saat itu?” Tidak. Jika semua itu hanya mimpi, maka saya tidak akan memberitakan Injil kepada Anda sekarang.

Saya memberitakan Injil karena saya sudah memahami bahwa hanya di dalam keadaan yang sulit itulah maka kuasa Allah mulai terlihat nyata. Pikirkanlah hal itu, tidakkah itu benar? Jika situasi yang Anda hadapi itu sangat menyenangkan, mana ada kesempatan bagi Allah untuk berbuat sesuatu bagi Anda? Kesehatan Anda mantap, tabungan Anda banyak, rumah Anda mewah, dan mobil Anda mengkilat. Lalu apa yang harus Allah kerjakan buat Anda? Anda dapat menikmati segalanya tanpa Allah. Siapa yang akan membutuhkan Allah? Tetapi, jika Anda berada dalam kesulitan, saat Anda berada dalam keadaan yang sangat sukar, dalam masalah besar, itulah saatnya Anda bisa melihat apakah Allah Anda itu nyata atau hanya khayalan, apakah Allah peduli kepada Anda seperti yang Ia katakan atau tidak. Apakah Dia peduli pada Anda? Itulah kesempatan Anda untuk membuktikannya. Jadi, buat apa Anda mengeluh?


George Mueller merelakan segalanya dan percaya kepada Allah

Ada orang yang bertanya kepada George Mueller, “Tidak pernahkah Anda tabungkan sebagian uang Anda?” George Mueller memberikan segala harta kekayaannya kepada orang miskin ketika ia berpaling kepada Allah. Dan sejak saat itu, ia selalu bersemangat memberikan setiap uang yang ia dapatkan kepada orang lain. Jadi, tabungannya sangat jarang terisi. Berapa banyak orang Kristen yang berani hidup seperti itu? Berapa banyak yang berani? Tahukah Anda, berapa juta dolar uang yang mengalir melalui tangan George Mueller untuk membantu orang miskin dan pekerjaan penginjilan? Ketika ia meninggal, ia tidak punya uang sama sekali. Tetapi sepanjang hidupnya, ia sudah menyalurkan sebanyak delapan juta dolar kepada orang miskin dan kepada pekerjaan penginjilan. Hal yang sama juga dilakukan oleh John Wesley. Ketika ia meninggal, hanya tersisa uang sebanyak satu pound atas namanya. Segala kekayaannya telah ia bagikan kepada orang lain.

Namun ketika ada yang menanyakan George Mueller, “Tidakkah berbahaya hidup tanpa uang di rekening bank Anda?” Ia menjawab, “Justru kalau saya punya rekening besar, maka saya tidak akan berkesempatan untuk mengalami apa yang dapat Allah kerjakan selama empat puluh tahun ini.” Pernahkah uang sebesar delapan juta dolar tersalurkan melalui tangan Anda? Ia mengalir lewat tangan George Mueller. Sungguh indah apa yang dilakukan orang ini bagi Allah. Mengapa? Karena ia percaya kepada Allah. Seringkali ia harus duduk menatap meja makan yang kosong, namun damai sejahtera tetap ada padanya. Ia tidak mencemaskan hal itu karena ia memiliki Allah. Ia tidak punya uang tetapi ia punya Allah. Dan Allah tidak pernah mengecewakannya. Saya masih baru menjadi Kristen di China ketika saya membaca kisah hidup George Mueller, dan hal ini sangat menguatkan saya. Saya berkata, “Kalau Allah dapat mengerjakan hal itu melalui George Mueller, Ia tentu dapat melakukan hal itu juga melalui saya.” Jadi saya jalani hidup sebagai orang Kristen di China tanpa mengandalkan apapun selain Allah saja. Itu sebabnya saya berkata bahwa setiap orang Kristen yang tidak memiliki sikap dan sukacita seperti ini di tengah kesukaran yang mereka hadapi, berarti mereka masih belum mengenal Allah. Buat apa Anda mempercayai Allah yang tidak Anda kenal? Apa yang Anda butuhkan dari Allah? Allah Anda tidak nyata.

Ada dua macam sikap. Saya akan mulai dari yang umum, dan saya akan mempersempitnya ke dalam kehidupan Kristen nanti. Bukan peristiwa-peristiwa yang akan menentukan arah hidup Anda. Sikap Anda terhadap peristiwa-peristiwa itulah yang menjadi penentunya. Jangan pernah berkata, “Nasib orang lain masih lebih bagus dari saya.” Anda seharusnya justru prihatin kepada mereka yang terlihat lebih beruntung daripada Anda. Mengapa? Jika ia lebih kaya, uangnya lebih banyak, kapan dia akan punya kesempatan untuk mengalami realitas Allah? Dia tidak punya kesempatan! Itu sebabnya Alkitab terus menerus berkata, “Celakalah, hai kamu yang kaya!” Orang kaya bernasib buruk justru karena mereka tidak tahu apa yang tidak mereka miliki dalam kehidupan rohani. Dan Anda ingin menjadi orang kaya, bukankah begitu? Anda tidak tahu apa yang baik bagi Anda.


Sikap Franklin D. Roosevelt terhadap kelumpuhannya menentukan arah hidupnya

Mari kita melanjutkan dengan mengamati situasi yang ada. Anggaplah ada orang yang mengalami kelumpuhan akibat penyakit, misalnya poliomyelitis. Polio adalah penyakit yang mematikan. Jika polio menyerang dan Anda dapat bertahan hidup, maka Anda dapat mengalami kelumpuhan. Anggaplah kelumpuhan itu memang terjadi, bagaimana sikap Anda jika Anda tidak bisa berjalan lagi? Sekali lagi, dua orang dapat menunjukkan sikap yang sangat berbeda terhadap situasi yang sama. Yang satu mungkin berkata, “Tamat sudah. Selama ini aku sangat suka berolahraga, tapi sekarang aku hanya bisa memutar-mutar roda kursi ini. Aku akan menjadi beban buat masyarakat. Aku tidak berguna lagi buat masyarakat. Mengapa Allah memperlakukanku seperti ini? Kenapa bukan orang lain saja yang terkena polio? Kenapa harus aku yang terkena?” Namun orang yang lain mungkin akan berkata, “Baiklah. Sekarang kakiku sudah lumpuh. Tapi tanganku masih bisa dipakai, dan otakku masih jernih. Jadi, aku masih bisa bekerja, masih berguna buat masyarakat. Lagi pula, otak inilah yang penting. Aku masih bisa berbuat sesuatu.”

Dapatkah Anda membayangkan contoh orang seperti ini? Mungkin Anda sudah tahu contoh yang saya maksudkan. Kejadian seperti itulah yang menimpa Franklin D. Roosevelt. Dia mengalami kelumpuhan akibat polio di pertengahan usianya, di masa puncak karirnya. Usianya 39 tahun dan ia adalah seorang pejabat tinggi negara. Karirnya sangat menjanjikan. Ia adalah seorang olahragawan dan orang yang sangat aktif, dan ia terkena polio. Ia berhasil bertahan hidup. Dan ketika sembuh, kakinya lumpuh dan ia tidak pernah bisa berjalan lagi, tidak bisa berdiri lagi tanpa bantuan tongkat penguat, tidak pernah bisa menikmati olahraga kegemarannya lagi. Ia mengalami kelumpuhan kaki justru di usia puncak karirnya.

Nah, dia tentunya bisa saja patah semangat dan berkata, “Mengapa semua hal ini terjadi padaku? Aku sudah tamat sekarang!” Tidak! Roosevelt memperhatikan keadaan yang baru ini dan berkata, “Baiklah, Sekarang aku sudah lumpuh. Namun itu bukanlah akhir dari kisah hidupku. Aku masih hidup. Akal budiku masih normal. Aku masih bisa berbuat sesuatu buat masyarakat.” Dan ia memang melakukannya! Ia maju menjadi presiden Amerika yang ke-32. Dan ia tetap menjadi presiden sampai empat kali, rekor terlama untuk jabatan presiden Amerika. Orang lain tidak pernah melebihi dua masa jabatan, tetapi Roosevelt memegang sampai empat masa jabatan. Dan ia meninggal di kantornya, setelah 12 tahun menjadi presiden, ia meninggal di awal masa jabatannya yang ke-4. Dialah orang yang banyak berperan dalam memimpin bangsa Amerika, dan secara tidak langsung juga dunia, di dalam menghadapi dan memenangkan Perang Dunia II. Semangat juangnya justru tumbuh di tengah penderitaannya, dan hasilnya adalah dia mampu membangkitkan semangat juang seluruh rakyat Amerika. Ia berkata, “Baiklah, keadaannya memang buruk, tetapi kita pasti bisa bangkit dan mengatasi perang ini bersama-sama.” Dan rakyat tahu bahwa dialah orang yang dapat mengatasi keadaan. Coba lihat, ia selalu berada di kursi rodanya. Ia mengalami kelumpuhan. Namun pernahkah terlihat bahwa ia patah semangat? Tidak, ia bangkit dan menang.

Akan tetapi banyak sekali orang yang terserang penyakit, mendapat pengalaman buruk atau mengalami kelumpuhan, dan mereka menjadi patah semangat. Semangat mereka hancur lebur, bukan sekadar tubuhnya yang hancur. Dua orang yang menghadapi kejadian yang sama, bisa memperlihatkan sikap yang jauh berbeda!


Helen Keller mengalami kebutaan namun akhirnya menjadi penolong orang buta

Kita tahu ada banyak macam penyakit yang dapat menjadi penghambat kegiatan hidup kita. Dua orang dapat saja mengalami kebutaan yang sama, akan tetapi sikap yang mereka tunjukkan terhadap kejadiann itu bisa sangat berbeda. Kita semua tahu tentang Helen Keller, orang yang mengalami kebutaan, penyakit yang paling mengerikan. Kita semua takut kehilangan penglihatan. Umumnya kita merasa lebih baik kehilangan yang lain ketimbang kehilangan penglihatan. Helen Keller mengalami kebutaan, akan tetapi ia kemudian bangkit dan berhasil menolong jutaan orang di dunia, khususnya orang-orang buta.


Beethoven mengalami tuli tetapi terus saja mengarang musik dan memimpin simfoni

Beethoven mengalami ketulian. Jika Anda menjadi tuli, apa yang akan Anda katakan? “Kenapa ini terjadi pada saya? Kenapa saya harus menjadi tuli?” Beethoven tidak menyibukkan diri dengan mengeluh. Ia putuskan untuk terus mengarang musik. Ia bahkan mencoba untuk memimpin simfoni dalam keadaan tuli, suatu hal yang luar biasa! Bagaimana memimpin pertunjukan musik dalam keadaan tuli? Di situlah perbedaan Beethoven dengan yang lain.

Tetapi, sangat banyak orang Kristen yang terkena penyakit dan langsung putus asa. Terhadap orang seperti ini, saya akan berkata, “Kamu belum mengenal siapa Allahmu!” Jika seorang non-Kristen bisa bangkit, mengapa orang Kristen tidak?


Kunci perumpamaan ini: Allah adalah penentu

Sikap yang satu kita sebut pesimis, dan sikap yang satunya lagi kita sebut sebagai optimis. Orang pesimis adalah orang yang melihat awan kelabu meski di tengah langit biru yang cerah.

Saat menatap langit, Anda berkata, “Luar biasa! Bukankah langit biru ini luar biasa?”

Namun orang yang pesimis akan berkata, “Ya, tapi lihatlah awan kelabu di sebelah sana!”

Sikap orang yang optimis sangatlah berbeda. Jika Anda berkata, “Lihat, awan ini gelap sekali!”

Ia akan berkata, “Ya, tapi lihatlah betapa indahnya garis keperakan di tepinya!”

Si pesimis hanya melihat betapa gelapnya awan namun si optimis melihat garis tepinya yang keperakan. Keadaan akan membaik lagi. Tenang saja.

Tentu saja, sebagai orang Kristen, kita tidak boleh sekadar menjadi optimis, kita juga harus realistis. Jika kita bilang ada garis tepi yang keperakan, sementara kenyataannya tidak ada, maka itu berarti bahwa kita ini hanya tukang mimpi saja. Kita ingin menjadi orang yang optimis, tetapi kaki kita juga harus berpijak kokoh di atas landasan yang kuat. Orang yang pesimis tidaklah Kristen yang sesungguhnya, jadi kita tidak usah membahasnya.

Namun ada dua macam optimisme. Dan inilah hal yang dibicarakan dalam perumpamaan ini. Anda bisa saja menjadi orang yang optimis dan sangat puas akan sikap Anda yang optimis itu. Sikap ini masih tidak cukup baik. Anda bertanya, “Apa? Masih ada yang kurang?” Benar, masih ada yang kurang. Anda harus menjadi seorang optimis yang berpijak pada kenyataan. Dan dengan pijakan inilah kita masuk ke pembahasan perumpamaan ini. Mengapa? Si orang Farisi ini jelaslah seorang yang optimis, tetapi ia tidak berpijak pada kenyataan. Ia tinggal di alam mimpi. Mengapa?


Dua sikap berbeda antara kesepuluh pengintai dengan Yosua dan Kaleb

Untuk memberi gambarannya, saya akan kembali kepada contoh Perjanjian Lama tentang dua macam sikap yang berbeda ini. Dan saya akan menanyakan kepada Anda apakah sikap itu realistis, pesimis atau optimis.

Di dalam Bilangan pasal 13, Musa mengirim pengintai ke Tanah Perjanjian. Tahukah Anda berapa banyak pengintai yang dikirimnya ke Tanah Perjanjian itu? Ada 12 orang. Allah membebaskan umat Israel keluar dari Mesir, membawa mereka melintasi padang gurun, dan sekarang Ia akan membawa mereka memasuki Tanah Perjanjian. Akan tetapi, sebelum memulai penyerangan, seluruh keadaan harus dipelajari dan daerah sasaran harus diintai dulu. Demikianlah, Musa kemudian mengirim 12 orang pengintai ke Kanaan sebelum memutuskan untuk memulai penyerbuan. Ke-12 orang itu segera berangkat memasuki Tanah Perjanjian, tanah yang penuh madu dan susu. Mereka melihat buah-buahan segar – anggur berukuran besar, buah delima, buah ara, ladang-ladang yang subur, betul-betul tanah yang penuh madu dan susu. Ini dia tempatnya! Tapi, seperti yang mereka duga, orang-orang yang tinggal di tempat yang sangat bagus tumbuh sangat besar dan kuat, dan para pengintai ini membatin, “Wah! Mereka semua raksasa! Mereka sungguh kuat! Kita ini seperti belalang saja di hadapan mereka! Tidak ada peluang untuk menang menghadapi mereka!”

Sesudah 40 hari, ke-12 pengintai ini kembali ke perkemahan dan memberikan laporan mereka kepada Musa dan bangsa Israel. Sepuluh dari mereka berkata, “Kita tidak bisa memasuki tanah ini. Memang benar, ini adalah Tanah Perjanjian. Tanah ini sangat kaya dan subur sehingga hasil ladangnya melimpah. Lihat saja ukuran buah anggur yang kami bawa ini! Akan tetapi, penduduk yang mendiami tempat ini terbiasa minum madu dan susu, badan mereka semua sangat tinggi, sebagian besar hampir dua meter tingginya! Sementara kita ini rata-rata hanya satu setengah meter saja! Mana mungkin kita bisa menang berperang melawan mereka. Tanahnya memang bagus tetapi tidak bisa kita miliki. Penduduk di sana terlalu kuat bagi kita. Kita tidak bisa melawan mereka.” Jadi, kesepuluh orang pengintai memberi laporan yang mengecilkan hati. Dari kedua belas orang tersebut, hanya dua, yaitu Yosua dan Kaleb, yang berkata, “Memang benar, bukan saja tanah itu sangat kaya, tetapi orang-orang di sana juga sangat besar dan kuat. Tetapi, Allah menyertai kita! Kita pasti menang. Mari segera maju dan menduduki tanah itu!”

Siapa yang optimis? Yang pesimis? Dan yang realis? Anda tentu akan berkata bahwa yang 10 orang itu bersikap realis, bukankah begitu? Mereka melihat kekuatan penduduk yang mendiami Tanah Perjanjian, dan mereka menyadari beratnya keadaan yang dihadapi. Yosua dan Kaleb, hanya punya dua suara, jelas tidak akan memenangkan voting. Mayoritas selalu benar. Begitukah menurut Anda? Di dalam Alkitab, yang mayoritas itu selalu salah. Pernahkah Anda menyadari kenyataan ini? Sepuluh lawan dua, yang dua orang ini jelas-jelas kalah suara. Bukan sekadar kalah suara, bahkan seluruh rakyat langsung menerima laporan yang sepuluh orang itu dan menolak laporan mereka berdua. Apakah kesepuluh orang pengintai itu bersikap realistis? Mereka sangat realistis. Apa yang mereka katakan memang benar. Lalu apa kesalahan mereka? Mereka mengabaikan satu hal – Allah. Apakah mereka percaya kepada Allah? Tentu saja mereka percaya kepada Allah. Mereka adalah umat Israel. Mereka adalah umat Allah. Mereka telah menerima Perjanjian itu. Tentu saja mereka percaya kepada Allah.


Dua macam orang Kristen dan dua macam sikap

Kisah ini juga memberi gambaran tentang dua macam orang Kristen di zaman ini. Jenis yang pertama, seperti kesepuluh orang ini, mempelajari situasi dan memutuskan untuk menyerah. Apakah orang ini percaya kepada Allah? Jelas mereka percaya kepada Allah. Jenis yang kedua adalah yang seperti Yosua dan Kaleb, mempelajari situasinya dan berkata, “Allah akan memberi kita kemenangan.” Lalu apa beda antara kepercayaan kesepuluh orang itu dengan kepercayaan milik Yosua dan Kaleb? Anda mungkin berkata, “Jenis yang kedua itu adalah yang optimis, tetapi tidak memiliki pijakan yang kokoh di atas kenyataan. Sejak kapan pasukan kerdil bisa menang melawan pasukan raksasa?” Di zaman senapan mesin sekarang ini, semakin tinggi badan musuh Anda bisa menjadikan dia sebagai target yang semakin mudah ditembak. Dan tinggi badan bisa menjadi unsur yang merugikan dalam perang modern. Akan tetapi di zaman peperangan yang masih mengandalkan pedang, aturannya justru berbeda. Tenaga, tinggi badan dan jangkauan tangan sangat menentukan kemenangan. Anda tidak mungkin menyuruh petarung kelas ringan melawan yang kelas berat. Perbedaan kekuatannya terlalu jauh. Itu jelas bukan suatu pertarungan yang adil.

Jadi di mana letak perbedaan antara kedua macam sikap itu? Hal yang membedakan adalah: sekalipun keduanya sama-sama percaya kepada Allah, kelompok yang satu mempercayai Allah sekadar sebagai salah satu faktor penentu di antara berbagai faktor lainnya. Jika Allah hanya menjadi salah satu faktor di antara sekian banyak faktor penentu dalam hidup Anda, maka Anda sedang berada di dalam keadaan yang sangat berbahaya, sebagaimana halnya dengan yang akan kita amati dari sikap orang Farisi dalam perumpamaan ini. Namun bagi Yosua dan Kaleb, mereka yang selalu minoritas, Allah sajalah faktor yang menjadi penentu, Allah bukan sekadar salah satu faktor dari sekian banyak yang lainnya. Hanya ada dua macam sikap di dalam lingkungan umat Kristen. Jenis pertama memandang Allah sebagai salah satu faktor penentu, sedangkan jenis yang kedua memandang Allah sebagai satu-satunya faktor penentu.

Saya tidak tahu termasuk kelompok orang Kristen yang manakah Anda ini. Di titik inilah Anda akan melihat perbedaan antara gandum dengan lalang. Dan tahukah Anda apa akibat dari laporan kesepuluh pengintai itu? Kebinasaan Israel. Angkatan itu dimusnahkan di padang gurun karena mereka mengindahkan laporan dari kesepuluh pengintai itu. Mereka mengambil sikap yang sama dengan kesepuluh orang tersebut, dan mereka menolak untuk masuk ke Tanah Perjanjian. Mereka berkata, “Tidak. Kita tidak mungkin menang melawan pasukan raksasa. Bukankah para pengintai itu berkata bahwa mereka sangat tinggi dan kuat? Percuma saja dilawan.” Dan apa yang mereka lakukan? Di dalam pasal selanjutnya, Bilangan 14:1-4, mereka mulai menggerutu kepada Allah, “Mengapa Allah membawa kami keluar dari Mesir? Benar, kita memang menjadi budak di Mesir, namun setidaknya kita masih bisa makan daging. Tapi sekarang, kita terjebak di sini, di tengah padang gurun, dan kita tidak bisa masuk ke Tanah Perjanjian karena kita akan dicincang pasukan musuh jika nekat menyerbu masuk ke Tanah Perjanjian. Mereka akan menjadikan kita perkedel. Mereka terlalu kuat buat kita. Apakah Allah membawa kita keluar dari Mesir untuk membinasakan kita di padang gurun dan di Tanah Perjanjian? Allah hanya ingin melihat kita binasa!” Mereka menggerutu terhadap Allah dan terhadap Musa, dan malahan mereka hendak melempari Musa dengan batu! Demikian pula halnya dengan Yosua dan Kaleb. Mereka juga bermaksud untuk merajam Yosua dan Kaleb sampai mati, kalau saja Allah tidak turun tangan (Bil.14:10).


Yang menentukan adalah sikapnya, dan bukan kejadiannya
.

Kedua belas orang pengintai itu jelas menghadapi peristiwa yang sama, akan tetapi sikap mereka terhadap keadaan itu sangat jauh berbeda. Akibatnya adalah, karena seluruh umat memilih untuk mendengarkan laporan kesepuluh pengintai itu, mereka semua dibinasakan di padang gurun! Mereka tidak pernah masuk ke Tanah Perjanjian. Hanya Yosua dan Kaleb saja dari angkatan itu yang boleh masuk ke Tanah Perjanjian. Yang lainnya binasa di padang gurun.

Saya sampaikan sekali lagi, sebagai orang Kristen, bukan kejadiannya yang akan menentukan arah hidup Anda, tetapi sikap Anda terhadap kejadian itulah yang akan menjadi penentu arah hidup Anda. Prinsip ini adalah hal yang mutlak perlu Anda pegang dan ingat. Sekali lagi, ingat, kesepuluh pengintai itu semua percaya kepada Allah; mereka termasuk bagian dari umat perjanjian, umat pilihan. Dan mereka dipilih khusus untuk menjadi pasukan pengintai. Tapi dalam pandangan mereka, Allah hanya sekadar salah satu faktor di antara sekian banyak yang lainnya, dan Allah tidak akan cukup mampu untuk membalik keadaan. Hanya jika Allah menjadi satu-satunya penentu dalam hidup Anda, maka Anda akan sanggup bertekun dalam segala kesulitan. Dialah penentu hidup Anda. Dia satu-satunya faktor yang menentukan. Dan jika Allah merupakan satu-satunya faktor penentu dalam hidup Anda, perbedaan sikap yang Anda tunjukkan akan jauh berbeda! Anda akan mengamati keadaan yang dihadapi, lalu Anda menatap kepada Allah, mengamati keadaannya sekali lagi, dan menatap kepada Allah lagi dan berkata, “Ini bisa dilakukan.” Apakah Anda seorang yang realistis atau bukan? Jawabannya bergantung pada keberadaan Allah dalam hidup Anda, menurut Anda Allah itu nyata atau tidak? Apakah Allah itu nyata, atau Ia tidak nyata?

Saya sampaikan kepada Anda, jika Allah itu tidak nyata, tidak usah datang lagi ke gereja. Lupakanlah Kekristenan. Lupakan saja agama, karena iman akan lebih merugikan ketimbang menolong hidup Anda. Ada beberapa orang yang imannya hanya cukup untuk membuat mereka merasa enak (feel good), tapi tidak cukup untuk membuat mereka menjadi baik (be good). Sikap yang dihasilkan sangat jauh berbeda. Jika iman Anda hanya dipakai sebagai obat bius untuk mengejar rasa enak, lebih baik Anda pakai obat bius yang asli. Lupakan saja. Tinggalkan saja Kekristenan Anda! Saya memberitakan Firman setegas itu. Saya tidak suka mempermanis kata-kata. Saya tidak ingin berurusan dengan agama. Saya tidak punya waktu untuk agama. Kita sedang berbicara tentang realitas. Adakah Allah itu nyata atau Ia tidak nyata? Jika Allah itu tidak nyata, maka kita tidak membutuhkan agama. Tidak perlu ada agama. Siapa yang mau menjalani hidupnya di dunia khayal? Apakah Anda hanya menginginkan sedikit agama untuk sekadar mendapatkan rasa enak, dan ketika balon khayalannya pecah, Anda terhempas ke dalam kenyataan yang pahit? Setiap orang yang terlibat narkoba tahu persis keadaan ini. Terasa sangat enak ketika obat biusnya bekerja, namun ketika efeknya berhenti, terasa sangat menyakitkan. Kita tidak menghendaki Kekristenan semacam ini. Kita tidak membutuhkan Allah jika Allah itu tidak nyata. Bangunlah iman Anda di atas landasan kenyataan.


Allah menjadi nyata jika kita datang dengan kerendahan hati

Namun ini membawa kita pada satu pertanyaan: Bagaimana kita bisa tahu bahwa Allah itu nyata? Bagaimana Anda bisa tahu? Inilah tepatnya hal yang sedang disampaikan oleh perumpamaan ini – jalan untuk mengetahui realitas Allah.

Lupakan saja Kekristenan! Lebih baik begitu, lupakan saja! Kita tidak butuh Kekristenan yang membuat orang menjadi sombong, merasa diri ini lebih unggul dan paling benar di dunia ini. Siapa yang membutuhkan Kekristenan semacam ini? Saya akan setuju dengan Lenin bahwa Kekristenan semacam in adalah candu. Siapa yang butuh barang seperti ini? Hasil dari Kekristenan semacam ini adalah orang-orang yang di luarnya terlihat sangat alim tetapi penuh kebusukan di dalam. Mereka merasa lebih baik dari orang lain, padahal kenyataannya tidak. Itulah maksud saya ketika mengatakan ada orang yang imannya hanya cukup sampai membuat mereka merasa enak (feel good) tetapi tidak membuat mereka menjadi baik (be good). Kita dapat mengejar rasa enak itu tanpa bantuan agama. Agama macam apa yang Anda pegang sekarang ini? Apakah termasuk jenis yang membuat Anda sekadar merasa enak? Itukah yang Anda inginkan? Itu sangat berbahaya!

Agama semacam itu akan mendorong Anda untuk menatap ke arah orang-orang non-Kristen sebagai orang-orang kelas rendah, orang-orang yang tidak beragama, sambil mensyukuri kedudukan Anda, “Terima kasih, ya Allah. Saya pergi ke gereja dua kali seminggu. Terima kasih, ya Allah, saya memasukkan uang ke kotak persembahan. Terima kasih karena saya tidak seperti si pemungut cukai dan orang-orang berdosa itu.” Itulah ‘agama’ yang memberi Anda rasa enak. Saya yakin si orang Farisi ini merasa sangat senang ketika berdiri di dekat ruang maha kudus, ketika ‘rombongan kaum awam’ menatapnya dengan kagum, dan ia boleh berdoa dengan penuh kebanggaan, dengan dada membusung dan tangan terentang lebar, ia berkata, “Terima kasih, ya Allah!” Agama macam apa ini? Siapa yang butuh agama jika hasilnya adalah orang-orang congkak yang tidak tahu diri? Kita tidak butuh agama semacam itu. Orang Farisi ini tidak berpijak pada kenyataan. Mengapa? Karena baginya Allah hanyalah salah satu faktor, dan ia belum memahami Allah.

Jika ia mengerti isi Kitab Sucinya, jika ia pernah baca Perjanjian Lama, ia pasti akan tahu bahwa Allah tidak akan menolerir orang-orang yang berperilaku seperti ini. Apakah ia belum tahu isi Alkitabnya? Apakah ia selama ini sekadar beribadah ke bait Allah tanpa mempelajari isi Kitab Suci? Tidak tahukah ia akan Mazmur 51:19?

Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kau pandang hina, ya Allah.

Apa kata Yesaya tentang orang yang tinggal bersama Allah? Yesaya 57:15 berkata,

“Sebab beginilah firman Yang Mahatinggi dan Yang Mahamulia, yang bersemayam untuk selamanya dan Yang Mahakudus nama-Nya: “Aku bersemayam di tempat tinggi dan di tempat kudus tetapi juga bersama-sama orang yang remuk dan rendah hati, untuk menghidupkan semangat orang-orang yang rendah hati dan untuk menghidupkan hati orang-orang yang remuk.”

Dan Yesaya 66:2 berkata,

“Bukankah tangan-Ku yang membuat semuanya ini, sehingga semuanya ini terjadi? Demikianlah firman Tuhan. Tetapi kepada orang inilah Aku memandang: kepada orang yang tertindas dan patah semangatnya dan yang gentar kepada firman-Ku.”

Adakah orang Farisi ini tidak membaca Kitab Sucinya? Allah menolak mereka yang sombong tetapi menerima orang yang rendah hati.

Tetapi orang Farisi ini malah berkata penuh kesombongan dan merasa benar sendiri di hadapan Allah. Ia tidak berpijak pada kenyataan. Ia tidak mengenal siapa Allah itu. “Allah”-nya tidak nyata. Bukan Allah yang nyata. Ia telah menciptakan ‘Allah’ bagi dirinya sendiri dan menyembah ‘Allah’ yang memberi rasa enak ini. Benar, dia orang yang optimis, tetapi optimis yang tidak berpijak pada kenyataan. Karena kenyataannya Allah tidak seperti yang ia bayangkan. Saya ingin tahu, ‘Allah’ macam apa yang Anda sembah? Apakah ‘Allah’ yang Anda sembah itu adalah Allah Alkitab, atau apakah Anda telah menciptakan berhala bagi diri Anda? Allah yang tidak nyata? Jadi, sekadar mengenal Allah saja tidaklah cukup, kita harus mengenal Allah dengan benar. Allah yang sejati adalah Allah yang diungkapkan melalui Yesus Kristus. Jadi Anda dapat melihat bahwa sekadar keberadaan Allah tidak cukup untuk dianggap sebagai realitas. Benar, Allah itu ada, tetapi itu masih belum lengkap sebagai realitas. Realitas yang benar sebagai pijakan adalah mengenal Allah yang alkitabiah. Pertanyaan selanjutnya yang perlu dibahas adalah, “Bagaimana caranya mengenal Allah yang seperti ini?”

Dan saya melihat ada banyak orang Kristen yang percaya kepada Allah, tetapi hidup mereka tidak memikat hati orang lain karena ketika Anda amati kehidupan mereka, Anda akan tahu bahwa Allah mereka tidak nyata. Sikap hati mereka adalah bahwa Allah itu hanya salah satu faktor penentu dalam hidup mereka. Seperti yang dikatakan oleh Bertrand Russell (dan saya cukup sering mengutip kalimat ini), “Jika orang-orang Kristen itu benar-benar percaya pada apa yang mereka sebut mereka percayai, kehidupan mereka akan sangat jauh berbeda dengan apa yang saya lihat sekarang.” Dan saya rasa itulah penilaian sebagian besar orang non-Kristen. Mereka mengamati kehidupan orang Kristen, dan berkata, “Nah, kehidupan mereka tidak membuat saya kagum. Tidak ada istimewanya.” Hal seperti itulah yang sering kita lihat belakangan ini, jika orang non-Kristen mengamati kehidupan orang Kristen, hasil penilaian mereka negatif.

Namun tentu saja, ini tidak berarti bahwa orang non-Kristen itu kehidupannya lebih benar. Sebenarnya, sikap mereka sama saja dengan sikap orang Farisi ini. Mereka berkata, “Nah, dosaku tidak ada yang besar. Kehidupanku tidak lebih buruk dari orang-orang Kristen itu. Mungkin malah lebih baik dari sebagian besar orang Kristen. Dan kalau orang-orang Kristen itu diselamatkan, mestinya aku juga diselamatkan.” Jika Anda seorang non-Kristen, dan Anda memberi selamat kepada diri Anda karena kehidupan Anda tidak lebih buruk dari kebanyakan orang Kristen, maka apakah Anda menyadari bahwa sikap Anda ini sama saja dengan sikap orang Farisi itu?

Jawaban saya atas penilaian orang-orang non-Kristen itu sederhana saja. Pertama, Ingatlah bahwa tidak semua orang yang menyebut dirinya Kristen itu akan diselamatkan. Dengan begitu, membandingkan kehidupan Anda dengan orang Kristen bukanlah tindakan yang jitu. Karena Anda bisa saja membandingkan diri Anda dengan jenis orang Kristen yang memang tidak diselamatkan. Jadi, ini bukan dasar yang tepat untuk memuji diri. Kedua, Allah melihat isi hati. Ingatlah prinsip yang vital ini. Allah tidak menilai apa yang Anda kerjakan, juga apa yang Anda katakan, tetapi Ia menilai isi hati Anda.

Dan itulah hal yang dilupakan oleh orang Farisi ini. Ia terus saja menunjuk segala sesuatu yang telah ia lakukan; ia berpuasa dua kali seminggu, jadi ia pastilah orang baik. Hukum Taurat hanya menyebut tentang satu kesempatan berpuasa, di Hari Pendamaian. Anda dapat membaca ini di dalam Imamat 16:29. Tentu saja seorang Yahudi dapat berpuasa lebih sering lagi jika ia mau, tetapi hanya satu saja puasa yang diwajibkan dalam setahun. Orang-orang Farisi menjalankan puasa dua kali seminggu secara tetap, jadi mereka sudah jauh melampaui apa yang diwajibkan oleh Hukum Taurat! Bagus sekali.

Dan orang ini juga berkata di dalam Lukas 18:12, “Aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.” Anda harus menjadi orang Farisi untuk bisa memahami apa maksud omongannya. Hukum Taurat mewajibkan Anda untuk mempersembahkan perpuluhan dari penghasilan. Akan tetapi orang-orang Farisi memberi perpuluhan dari segala miliknya. Apa maksudnya? Artinya, jika ia membeli sekeranjang buah, sepersepuluh dari belanjaannya itu akan dijadikannya perpuluhan. Mengapa? Karena mereka takut kalau-kalau orang yang menjual buah tersebut tidak mempersembahkan perpuluhan dari hasil jualannya, dan akibatnya buah-buah itu menjadi najis. Jadi, untuk menjaga supaya tetap aman dari hal-hal yang najis, bukan hanya dari penghasilan saja mereka menghitung perpuluhan, tetapi juga dari belanjaan mereka. Itulah semangat religius yang diangkat sampai ke puncak! Tetapi semangat ini tidak berpijak pada kenyataan karena yang dilihat oleh Allah adalah isi hati Anda. Memang baik memberi perpuluhan, memang baik pula berpuasa, tetapi Anda harus melakukannya dengan sikap yang benar. Dan sikap orang Farisi ini jelas salah. Allah hanya menjadi salah satu faktor penentu hidupnya. Allah adalah salah satu faktor, faktor yang penting, tetapi bukan faktor yang menentukan.


Dua sikap yang berbeda antara Ayub dan istrinya

Izinkan saya untuk memberi contoh yang lain lagi dari Perjanjian Lama, tentang sikap yang berbeda dalam menghadapi kejadian yang sama. Selalu saya melihat perbedaan itu. Lihatlah betapa beratnya kejadian yang menimpa Ayub di dalam kedua pasal pertama kitab Ayub. Dia mengalami peristiwa yang sangat jarang dihadapi oleh seorang manusia. Ia kehilangan semua anak, harta kekayaan dan bahkan termasuk kesehatannya! Benar-benar buruk kesehatannya sehingga tidak tersisa sedikitpun kulit yang utuh di tubuhnya. Borok memenuhi tubuhnya, mulai dari ujung kepala sampai ke telapak kaki sehingga ia mengalami kesulitan untuk berdiri, duduk ataupun berbaring; posisi apa yang cocok buat dia? Begitu parah keadaan Ayub. Istrinya tentu saja mengalami kejadian yang sama, kehilangan segala-galanya juga. Anak-anak Ayub adalah anak-anaknya juga, kekayaan Ayub juga kekayaannya. Jadi dia juga kehilangan semua anak dan kekayaannya. Hanya satu keuntungan yang masih dimilikinya – kesehatannya masih baik; ia tidak kehilangan kesehatannya. Akan tetapi sikap hati mereka terhadap peristiwa ini sangat jauh berbeda.

Ayub telah kehilangan segalanya, dan reaksi dia terhadap semua ini adalah, “Allah yang memberi, Allah juga yang mengambil. Terpujilah nama Tuhan.” Dia masih memuji Allah. Mengapa? Ayub berkata, “Allah memberi saya nafas kehidupan. Allah memberi saya kesehatan ini. Allah memberi saya segala yang saya miliki. Jadi segala milik saya adalah milik Allah. Dengan telanjang saya lahir ke dunia, dengan telanjang juga saya akan meninggalkan dunia. Allah yang memberi, Allah pula yang mengambil. Terpujilah nama Tuhan!” Ia tidak patah hati. Ia masih bisa memuji. Sikapnya teguh.

Bagaimana sikap istrinya? Sikap istrinya malah sangat berlawanan. Ia berkata kepada Ayub, “Masih mau bertekun dalam kesalehanmu? Masih mau beriman kepada Allah? Kutikilah Allah dan matilah! Aku sudah muak dengan Allah, aku tidak sudi menyembah Allah yang memperlakukan umat-Nya seperti ini! Jika Dia tidak menyenangkan hatiku, buat apa aku menyenangkan hati-Nya? Semuanya harus seimbang. Kalau Allah menamparku, maka aku akan balik menampar Allah. Engkau mengambil segala milikku, jadi jangan harap aku mau menyembah-Mu lagi!” Apakah istri Ayub percaya kepada Allah? Tentu saja. Tapi apakah Anda sudah melihat apa yang terjadi dengan imannya? Karena percaya kepada Allah itulah dia jadi ingin mengutuki Allah.

Dapatkah Anda memahami mengapa saya berkata lebih baik Anda tidak usah beriman sama sekali kalau Allah tidak menjadi satu-satunya faktor penentu dalam hidup Anda? Karena iman seperti itu mungkin akan berakhir dengan tindakan mengutuki Allah. Orang non-Kristen masih lebih baik dari Anda jika iman yang Anda miliki seperti itu. Siapa yang butuh iman semacam itu? Jika Anda tadinya tidak percaya kepada Allah, Anda pasti tidak akan mengutuki Allah, bukankah begitu?  Buat apa mengutuki Allah? Jika Anda bukan orang yang percaya kepada Allah, apa Anda mau buang-buang waktu untuk mengutuki Allah? Jelas Anda tidak akan sudi memboroskan waktu seperti itu. Istri Ayub punya cukup iman untuk percaya kepada Allah, tetapi iman yang bisa mendorongnya mengutuki Allah justru karena ia percaya pada-Nya. Sangat mengerikan! Itu sebabnya mengapa saya sangat menekankan kepada Anda, “Jika Allah bukan satu-satunya faktor penentu di dalam hidup Anda, lebih baik Anda tidak beriman sama sekali.” Pilih antara menyerahkan hidup Anda sepenuhnya kepada Allah atau tidak usah sama sekali.

Tetapi, apakah Ayub seorang yang realistis, atau dia ini seorang pengkhayal? Apakah ia hanya sekadar menjaga kesalehan? Apakah ia masih berpijak pada kenyataan? Ayub sangatlah kokoh berpijak pada kenyataan, karena ia tahu bahwa kita berhutang segalanya kepada Allah. Allahlah yang memberi kita kehidupan dan segala yang kita miliki. Ia berhak untuk menarik semua itu kembali. Tetapi, jika ia menarik segala yang jadi milik kita, apakah Ia tidak akan memberikan kembali suatu saat nanti, jika Ia berkenan?


Allah adalah realitas yang menentukan, entah Anda percaya atau tidak

Allah adalah realitas yang menentukan, entah Anda menerima kenyataan ini atau tidak. Sekalipun Anda tidak mempercayai bahwa ia adalah realitas yang menentukan, ketidakpercayaan Anda tidak akan membuat kenyataan ini berubah. Kebanyakan orang Kristen tidak mengetahui hal ini. Dan saya juga katakan: iman Anda tidak akan mengubah kenyataan. Iman itu akan mengubah diri Anda. Jika Anda tidak percaya kepada Allah, maka hal itu tidak akan mengubah kenyataan bahwa Allah itu ada. Ini hanya akan berakibat pada sikap Anda terhadap kenyataan. Apakah jika Anda tidak percaya akan adanya benua Australia, maka benua itu tidak akan ada? Ketidakpercayaan Anda tidak akan mengubah fakta apapun, bukankah begitu? Jika Anda tidak percaya bahwa Yesus telah datang ke dunia, maka apakah ketidakpercayaan itu membuat-Nya tidak jadi datang di zaman dulu? Tidak ada fakta yang akan berubah. Iman akan mengubah Anda, bukannya mengubah fakta. Ketidakpercayaan juga hanya akan mengubah Anda, tetapi tidak mengubah fakta. Jadi hal yang perlu dipegang adalah menyadari bahwa Allah itu realitas atau kenyataan yang menentukan. Kepercayaan atau ketidakpercayaan Anda tidak akan mempengaruhi fakta yang ada.

Bukankah merupakan suatu fakta bahwa kita tidak akan ada jika Allah tidak menciptakan kita? Dialah yang menentukan keberadaan kita. Ketidakpercayaan Anda tidak akan mengubah kenyataan. Bukankah suatu fakta bahwa Ia telah memberi kita segala yang kita miliki? Bukankah Dia yang menciptakan bunga di padang dan burung-burung di udara? Andakah yang menciptakan makanan yang Anda nikmati? Anda bekerja untuk mendapatkan uang untuk membeli makanan, tetapi bukan Anda yang menciptakan makanan itu. Dan jika tidak ada lagi makanan yang bisa dibeli, maka uang Anda tidak berguna lagi, kecuali kalau Anda seorang pemakan kertas. Allahlah pencipta semua itu. Melon yang rasanya lezat itu, bukan Anda yang menciptakannya, bukan Anda yang memberinya rasa. Allahlah yang menentukan hal-hal ini.

Suatu hari nanti, Anda akan mati dan tak seorang pun di dunia ini yang dapat menolong Anda. Dokter, ahli bedah dan ilmuwan yang paling hebat pun tidak dapat mencegahnya. Anda akan mati jika saatnya tiba. Dia yang menentukan itu. Waktu kita ada dalam kekuasaan-Nya. Ketika Ia berkata kepada si orang kaya, dalam perumpamaan tentang orang kaya yang bodoh, “malam ini nyawamu akan diambil.” Tidak seorang pun di dunia ini yang dapat membatalkannya karena Allah telah berkata, “Malam ini,” dan itu artinya benar-benar malam ini. Dia adalah realitas yang menentukan. Entah Anda percaya atau tidak, tidak akan ada bedanya.

Anda mungkin bertanya, “Bagaimana Anda bisa tahu bahwa Dia adalah realitas yang menentukan?” Mustahilkah untuk mengetahui hal ini? Tidak. Inilah hal yang sedang disampaikan oleh perumpamaan ini. Anda akan mengetahui kebenaran jika Anda menghampiri kebenaran itu dengan sikap yang tepat. Sikap sangatlah penting di dalam memastikan fakta atau realitas. Jika sikap Anda salah, maka Anda tidak akan pernah sampai pada kebenaran karena sejak titik awal Anda sudah menutup hati Anda terhadap kebenaran itu.

Saya tegaskan kepada Anda, buatlah pilihan hari ini. Apakah Anda akan mendapati Allah sebagai realitas yang menentukan atau lebih baik lupakan saja hal Kekristenan dan tidak usah datang lagi ke gereja. Anda mungkin bertanya, “Wah. Bagaimana mungkin seorang pendeta berbicara seperti ini?” Karena saya mencintai kebenaran. Saya mengasihi kebenaran. Jika Injil yang saya beritakan ini tidak benar, saya tidak akan memberitakannya. Saya tidak punya hak untuk memberitakannya. Saya akan berdiam diri. Dan sudah seharusnya saya menutup gereja ini karena saya telah  membuat banyak orang hidup dalam khayalan. Alasan saya memberitakan Injil setegas ini adalah karena saya tahu bahwa Allah adalah realitas yang menentukan. Saya tahu itu!

Anda akan bertanya, “Bagaimana Anda bisa tahu?” Inilah tepatnya kunci pemahaman perumpamaan ini. Yesus sedang berkata kepada kita, “Kukatakan kepadamu bahwa setiap orang yang datang kepada Allah dengan cara seperti di pemungut cukai ini, ia akan mengenal Allah sebagai realitas yang menentukan.” Tetapi banyak orang Kristen yang datang kepada Allah tidak dengan cara seperti ini. Mereka tidak memiliki sikap seperti ini, dan itulah sebabnya mereka gagal mengenali Allahnya.”


Menjadi seorang Kristen bukan sekadar masalah keyakinan mental

Sekitar dua atau tiga hari yang lalu, saya bercakap-cakap dengan seseorang dan ia memberitahu saya bahwa ia telah menjadi Kristen. Mungkin saya telah bertindak terlalu keras terhadapnya, akan tetapi saya benar-benar ingin agar ia tahu persis apa yang sedang ia lakukan.

Lalu saya tanyakan kepadanya, “Kapan kamu menjadi Kristen?”

Jawabnya, “Musim panas yang lalu.”

Saya berkata, “Bisakah Anda memberitahu saya bagaimana Anda menjadi Kristen?”

Ia menjawab, “Ada banyak hal yang saya ragukan selama ini. Tetapi ketika saya ikut perkemahan musim panas, segala keraguan di benak saya itu terjawabkan.”

“Keraguan seperti apa?” tanya saya.

Ia berkata, “Ya, keraguan seperti: Apakah Yesus benar-benar sudah bangkit dari antara orang mati? Apakah Alkitab itu bisa dipercaya?”

Dan saya bertanya, “Lalu bagaimana pertanyaan-pertanyaan itu bisa terjawab?”

Ia berkata, “Setelah saya mendengarkan penjelasan para pembicara di sana. Mereka berhasil meyakinkan saya bahwa Yesus telah benar-benar bangkit dari antara orang mati. Dan bahwa Alkitab itu nyata.”

Saya berkata, “Baiklah, saya mengerti. Nah, apakah Anda tahu apa maksud Yesus ketika ia berkata, ‘Setiap orang yang mau mengikut sku harus menyangkal dirinya, memikul salib dan mengikut aku, barulah ia dapat menjadi muridku’?”

Ia menjawab, “Wah, nats itu sangat sulit.”

Saya berkata, “Bukan sulitnya, tetapi sangat penting bagi Anda untuk tahu apa maksudnya. Tahukah Anda apa maksudnya?”

Ia menjawab, “Wah, saya tidak yakin apa saya tahu maksudnya.”

Saya berkata, “Anda seorang Kristen tetapi tidak tahu apa maksud pernyataan itu?”

Mengapa saya berkata seperti ini? Karena saya melihat bahwa yang terjadi hanya sekadar perubahan pendapat. Ia berubah pendapat tentang beberapa fakta tertentu. Tadinya, dia tidak percaya bahwa Yesus telah bangkit dari antara orang mati, tapi sekarang ia berpikir, “Yeah, saya rasa Yesus memang betul-betul bangkit dari kematian. Saya rasa ini kejadian yang nyata. Fakta-faktanya sangat meyakinkan.” Setiap orang yang membaca buku karangan Frank Morrison yang berjudul, Who Moved the Stone? (Siapa yang telah memindahkan batu itu?), bisa sangat yakin terhadap bukti-bukti yang diajukannya. Jika Anda renungkan fakta-fakta yang berkaitan dengan peristiwa kebangkitan Yesus, memang tidak ada kesimpulan lain selain setuju bahwa YEsus telah bangkit. Saudara ini pikirannya telah berhasil diyakinkan bahwa peristiwa itu nyata, dan kemudian percaya bahwa Alkitab itu benar; bahwa Alkitab itu bisa diandalkan. Tetapi masalahnya adalah, tidak ada perubahan sikap yang mendasar pada diri orang ini. tidak ada perubahan yang terlihat dalam sikapnya. Itu sebabnya saya menyadari bahwa ia masih belum menjadi seorang Kristen. Menjadi seorang Kristen bukanlah sekadar perkara perubahan pendapat. Ini adalah masalah perubahan sikap. Saya harap Anda mau mengerti akan apa yang saya sampaikan ini karena jika Anda tidak mengerti apa yang sedang saya sampaikan, maka Anda tidak akan mengerti apa yang sedang Yesus sampaikan dalam perumpamaan kali ini.

Apakah orang Farisi di dalam perumpamaan ini percaya kepada Allah? Tentu saja ia percaya kepada Allah. Perhatikan semangatnya – perhatikan betapa besar uang yang ia persembahkan. Ia mempersembahkan perpuluhan dari segala miliknya (baik untuk penerimaan maupun belanjaannya). Tahukah Anda betapa besarnya pengeluaran untuk itu? Tentu saja ia percaya kepada Allah! Tidak seorangpun yang mau mempersembahkan uang sebanyak itu jika ia tidak percaya kepada Allah. Orang yang tidak percaya kepada Allah tidak akan mau berpuasa dua kali seminggu bagi Allah. Tentu saja ia percaya kepada Allah! Apakah Anda pikir ia orang yang senang menyiksa diri sendiri? Jelas bukan. Ia melakukan semua itu karena ia berpikir bahwa hal-hal tersebut menyenangkan hati Allah. Akan tetapi sebenarnya ia tidak berpijak pada kenyataan karena ia tidak menyadari bahwa Allah melihat ke dalam hati, harus terjadi suatu perubahan di dalam hati, suatu perubahan sikap. Anda tidak akan dapat mengenali Allah sebagai realitas penentu di dalam hidup Anda jika Anda mendatangi-Nya dengan sikap yang salah.

Inilah hal yang membuat perbedaan antara kedua macam orang Kristen. Sikap istri Ayub yang sangat keras menghujat Allah itu terjadi karena ia memulai dengan dasar sikap yang salah. Ayub sendiri menunjukkan sikap yang benar karena dasar sikapnya benar. Saya peringatkan Anda, jika Anda seorang Kristen, tetapi tidak ada kerendahan hati, hati yang remuk di hadapan Allah, dan bukan sekadar hanya sekali di masa lalu melainkan sebagai suatu hal yang berkelanjutan, maka Anda sedang berdiri di tempat yang sangat berbahaya. Anda sedang menjalani hidup ini seperti si orang Farisi itu, di dalam alam khayal.


Doktrin jaminan keselamatan akan menggiring sangat banyak orang ke dalam neraka!

Satu pokok lagi sebagai penutup. Saya sangat prihatin terhadap satu ide yang sedang berkembang di kalangan orang Kristen: doktrin jaminan keselamatan. Saya rasa doktrin ini akan mengirimkan orang ke neraka dalam jumlah yang paling banyak dibandingkan dengan doktrin yang lainnya yang pernah menggerogoti umat Kristen. Anda mungkin berkata, “Ini adalah pernyataan yang sangat salah.” Saya menyatakan hal ini setelah melakukan penelaahan selama bertahun-tahun, bukan hasil renungan beberapa jam atau hari, tetapi bertahun-tahun.

Perhatikan orang Farisi ini sekali lagi. Dia adalah gambaran ideal bagi penganut doktrin jaminan keselamatan. Ayat 9, ayat pertama dari perumpamaan ini berkata, “Dan kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain,…” Yesus melihat ada orang yang percaya bahwa dirinya benar. Kata menganggap ini diterjemahkan dari kata Yunani yang ditulis dalam bentuk perfect tense. Dan kata ini, jika ditulis dalam bentuk perfect tense, selalu berisi makna rasa percaya diri, kepastian, keyakinan. Mereka percaya kepada diri mereka sendiri, mereka sangat yakin bahwa diri mereka benar. Nah, orang Farisi di dalam perumpamaan ini merasa sangat yakin bahwa dirinya sudah benar! Dan justru itulah persoalan yang menjatuhkannya. Jaminan keselamatannya didasari oleh landasan yang salah.

Begitu banyak orang Kristen yang juga memiliki jaminan keselamatan padahal mereka tidak seharusnya memilikinya. Merasa ada keselamatannya sudah terjamin oleh landasan yang benar padahal keliru sama sekali, jelas merupakan bencana besar! Perhatikan keyakinannya akan keselamatan itu. Seluruh tingkah lakunya mengikuti anggapannya tentang keselamatan itu. Jika Anda katakan padanya bahwa ia tidak mendasarkan keselamatannya pada Allah melainkan pada dirinya sendiri, maka si Farisi ini pasti akan protes keras, ia akan berkata bahwa semua itu dilakukannya demi Allah. Orang Farisi percaya kepada Allah, bahkan Paulus sendiri mengakui hal itu. Kata Paulus tentang orang Farisi dan orang Yahudi, “Mereka adalah orang-orang yang sangat giat, tetapi kegiatan mereka tidak didasari pemahaman yang benar,” atau, tidak berpijak pada realitas (Kisah 21:20; 22:3)

Orang Farisi ini merasa memiliki jaminan yang kokoh; ia sangat percaya diri. Kata yang diterjemahkan dengan menganggap ini di bagian lainnya dalam Perjanjian Baru sering diterjemahkan dengan kata yakin. Si Farisi ini merasa sangat yakin bahwa ia sudah hidup benar, sehingga ia merasa layak untuk diselamatkan. Menjadi orang yang benar berarti menjadi orang yang diselamatkan. Ia sangat yakin bahwa keselamatan itu sudah di tangannya. Itu sebabnya ia dapat berkata, “Saya berterima kasih kepada Allah atas keselamatan saya. Terima kasih Tuhan karena saya tidak seperti orang-orang yang lain.” Keyakinan yang mengerikan! Mematikan! Lalu ia melangkah dengan gagah, keluar dari bait Allah, sesudah memanjatkan doa seperti ini. melangkah penuh rasa puas kepada diri sendiri. Tentu saja ia orang yang rajin berdoa, dia berdoa tiga kali sehari. Orang Farisi berdoa tiga kali dalam sehari. Itu sebabnya mengapa ia terlihat berada di dalam bait Allah.

Lalu bagaimana dengan si pemungut cukai ini? Ia tidak punya keyakinan akan jaminan keselamatan itu. Ia bahkan tidak berani mengarahkan matanya kepada Allah. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia tidak berani maju ke bagian depan di dalam bait Allah; ia memilih untuk berdiri di belakang. Ia memukuli dadanya sambil berkata, “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini. Tidak ada orang yang lebih jahat dariku. Aku tidak layak untuk masuk ke bait Allah ini. Aku tidak layak untuk berbicara kepada-Mu, tetapi kasihanilah aku, ya Tuhan, berbelas-kasihlah.”

Dan adakah orang lain di sekitar situ yang akan memberinya keyakinan akan keselamatan? Adakah imam yang datang kepadanya dan berkata, “Dosa-dosamu sudah diampuni. Kuumumkan bahwa mulai sekarang engkau sudah diampuni sepenuhnya.”? Tak seorangpun yang mengatakan sesuatu hal tentang itu kepadanya. Pastilah, orang yang malang ini, sesudah memukuli dadanya, sesudah memohon belas kasihan dari Allah, lalu keluar diam-diam dari bait Allah dan menghilang di tengah kerumunan banyak orang. Adakah si pemungut cukai ini mendapat keyakinan? Apakah ia berpikir bahwa Allah pasti mendengarnya karena ia punya hak untuk didengar? Mungkin dia tidak memiliki rasa yakin sama sekali, tetapi ia terus saja berkata, “Kasihanilah aku, ya Tuhan, kasihanilah aku.” Dan Yesus berkata di dalam ayat 14, “Aku berkata kepadamu” (Dia tidak berkata kepada pemungut cukai itu melainkan kepada para muridnya. Yesus tidak berkata apapun kepada si pemungut cukai. Jika Yesus mengatakan hal ini kepadanya, maka orang itu mungkin akan mendapat keyakinan akan jaminan keselamatan sejak saat itu.), “Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak.” Pembenaran itu terjadi sekalipun si pemungut cukai ini tidak tahu bahwa ia sudah dibenarkan, sudah diampuni. Akan tetapi, orang Farisi itu tidak dibenarkan. Atas dasar apa si pemungut cukai ini dibenarkan? Dasarnya adalah ini: barangsiapa merendahkan dirinya, Allah akan meninggikannya, tetapi barangsiapa meninggikan dirinya, Allah akan merendahkannya (Mat.23:12).


Pertanyaan terpenting dalam hidup ini: apakah Allah itu nyata?

Saya benar-benar berharap agar Anda mau memahami maksud perumpamaan ini karena kesejahteraan kekal Anda bergantung padanya! Tidak ada pertanyaan yang lebih penting ketimbang pertanyaan tentang realitas Allah di dalam hidup ini. Tidak ada pertanyaan yang lebih penting dari itu. Tentulah sangat menegangkan menunggu jawaban atas pertanyaan apakah akan ada obat untuk penyakit kanker. Tetapi sekalipun jawaban atas pertanyaan itu nantinya muncul, tetap tidak lebih penting dibandingkan dengan pertanyaan tentang realitas Allah. Dan jika Anda tidak pernah menghadapi pertanyaan itu, berarti Anda tidak pernah berhadapan dengan kenyataan.

Jika Anda bukan seorang Kristen, Anda harus mulai mempertanyakan apakah Allah itu nyata atau khayalan. Saya rasa Anda tidak harus menjadi orang yang pandai untuk bisa menyadari bahwa: Jika Allah itu nyata, maka Anda sebaiknya segera membereskan hubungan Anda dengan-Nya, karena saatnya pasti tiba ketika Anda harus memberikan pertanggungjawaban, walaupun sekarang atau besok Anda masih bisa menghindarinya. Saat itu akan datang. Sekalipun Anda bukan seorang Kristen dan Anda mungkin tidak percaya akan adanya Allah, pikirkanlah hal itu baik-baik. Jika Allah itu benar-benar nyata, apa yang akan terjadi pada Anda? Sebaiknya Anda mulai saja berkata kepada diri sendiri, “Aku harus mencari tahu jawaban atas pertanyaan itu.” Saya sungguh takjub melihat betapa bebalnya kelakuan beberapa orang. Mereka tidak merasa perlu untuk mencari tahu jawaban atas pertanyaan itu, dan suatu hari nanti, semuanya akan terlambat. Tidak ada pertanyaan yang lebih penting daripada ini. karena jawabannya akan segera berdampak pada seluruh segi kehidupan Anda.

Tetapi jika Anda seorang Kristen, jangan berbangga hati dan berkata, “Hore, aku sudah percaya kepada Allah!” Itu masih belum cukup. Orang Farisi ini juga percaya kepada Allah. Anda perlu bertanya kepada diri Anda, “Apakah saya mengenali Allah sebagai realitas penentu dalam hidup saya? Apakah saya berpijak pada realitas Allah? Apakah Allah yang saya sembah ini adalah Allah Alkitab? Apakah saya sebenarnya sudah membuat satu berhala yang bukan Allah Alkitab dan kemudian menyembah-Nya? Apakah saya hanya memanfaatkan ‘Allah’ yang saya sembah ini untuk membuat saya merasa enak (feel good) tetapi tidak membuat saya menjadi benar (be good)? Apakah sikap saya sudah berubah?”

Terakhir, saya sampaikan hal ini kepada Anda: Entah Anda ini seorang Kristen ataupun bukan, prinsip yang berlaku sama saja. Satu hal yang saya ketahui dengan pasti adalah bahwa  jika Anda datang kepada Allah dengan sikap seperti si pemungut cukai ini, maka Anda akan mengenali Allah sebagai realitas. Si pemungut cukai ini mungkin tidak mendapatkan rasa yakin itu ketika ia meninggalkan bait Allah, akan tetapi cepat atau lambat, ia akan segera mendapatkan keyakinan itu. Mengapa? Karena tidak seorangpun yang akan dibiarkan tanpa hubungan dengan Allah dalam waktu yang lama jika ia memiliki sikap seperti ini. Allah akan datang kepada Anda, Ia akan berbicara kepada Anda, Ia akan bersekutu dengan Anda, dan Anda akan mulai mengetahui apa maksud ucapan Paulus dalam Roma 8:16, “Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah.” Kalimat di dalam Roma 8:16 adalah suatu kenyataan yang sungguh indah. Setiap orang yang datang kepada Allah dengan sikap seperti itu pasti akan bertemu dengan Allah. Itulah janji Allah. Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu (Mat.7:7). Dan saya tahu persis bahwa itu semua memang benar. Itu sebabnya mengapa saya memberitakan Injil. Memberitakan Injil tidak membuat saya menjadi kaya. Saya memberitakan Injil karena itu benar. Karena Injil itu benar.

Dan saya menantang setiap orang, entah Anda seorang Kristen atau bukan: Tetapkanlah pilihan Anda – Entah Allah akan menjadi realitas yang menentukan hidup Anda atau sebaiknya Anda lupakan saja Dia dan tinggalkan segala yang berbau Kristen. Saya tidak akan menyalahkan Anda. Saya menyampaikan simpati dan pemahaman yang paling dalam kepada Anda.

Namun jika Anda benar-benar ingin menjadi Kristen, Anda akan berkata, “Aku harus bisa mengenali Allah sebagai realitas yang menentukan hidupku, Allah yang sesungguhnya. Aku harus datang kepada Allah dengan sikap yang baru. Aku harus menjadi seperti pemungut cukai ini yang berkata, ‘Tuhan, ampuni saya yang selama ini sudah begitu sombong, selama ini saya memanfaatkan agama justru untuk menumpulkan hati nurani saya, memburamkan pemahaman saya. Saya telah menyalahgunakan agama. Ampunilah saya. Sekarang saya datang kepada-Mu dengan kesadaran bahwa saya bukan orang yang berarti, bukan siapa-siapa, di hadapan Allah yang kekal. Kasihanilah saya. Selama ini saya berpikir bahwa saya lebih baik ketimbang orang lain, tetapi sekarang saya sadar, ya Tuhan, saya sadar bahwa di mata-Mu, saya ini sekotor kain pel, tidak layak untuk diterima. Tuhan, kasihanilah saya. Berbelas kasihlah.'” Jika Anda dapat datang kepada Allah dengan sikap yang ikhlas seperti ini, Anda pasti akan segera mengenal Allah.


Bangunlah! Sadarilah situasi Anda di hadapan Allah

Kebanyakan orang datang kepada Allah tanpa rasa membutuhkan. Orang Farisi ini tidak punya rasa membutuhkan. Perhatikan doanya, “Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu…” dan ia melanjutkan segala omong-kosongnya. Tidak ada satupun hal rohani yang dimintanya dari Allah, jadi ia tak dapat apa-apa dari Allah. Ia tidak merasa membutuhkan apa-apa. Jika Anda tidak merasa membutuhkan apa pun, maka keadaan Anda sama dengan orang Farisi ini. Tahukah Anda mengapa orang itu tidak merasa membutuhkan sesuatu? Karena ia tidak berpijak pada realitas. Ia tidak tahu keadaannya yang sesungguhnya. Ia masih belum menyadari keadaannya yang sesungguhnya.

Anda mungkin mengidap kanker di tubuh Anda sekarang, namun Anda merasa semuanya baik-baik saja. Anda bahkan tidak tahu bahwa kanker tersebut akan membunuh Anda suatu saat nanti. Jadi Anda tidak mempedulikannya, Anda tidak membuat upaya penanganan sejak awal. Anda tidak mulai berolah raga. Anda tidak memperhatikan makanan Anda. Anda tidak peduli betapa kotornya udara yang Anda hirup. Anda tidak khawatir. Anda berkata, “Saya merasa baik-baik saja.” Tahukah Anda kapan saya mulai memikirkan kebugaran dan udara bersih? Pada saat saya mengetahui bahwa hidup saya sedang terancam. Jika Anda menunggu sampai selama itu, keadaannya sudah terlambat, bukankah begitu?

Orang tidak merasakan kebutuhan rohani jika ia belum menyadari keadaan rohaninya yang sebenarnya. Bangunlah! Sadarilah situasi Anda di hadapan Allah. Sadarlah akan hal ini: keadaan Anda sangatlah menyedihkan! Sadarilah betapa lemahnya diri Anda. Sadarilah betapa najisnya diri Anda. Hanya dengan kesadaran seperti itu baru Anda bisa datang kepada Allah dengan sikap seperti si pemungut cukai ini dan berkata, “Ya Tuhan, kasihanilah saya.” Saya sampaikan sekali lagi, jika Anda bersikap seperti itu, maka Anda akan mengenal Allah seperti pemungut cukai ini mengenal-Nya. Ia mengalami hadirat Allah. Itu adalah janji Allah.

 

Berikan Komentar Anda: