Pastor Eric Chang | Lukas 18:1-8 |

Hari ini kita melanjutkan eksposisi kita atas firman Allah di Lukas 18:1-8. Perumpamaan ini dikenal dengan judul “Perumpamaan tentang Hakim Yang Tidak Adil”, atau “Janda Yang Gigih”. Apa pesan yang ingin disampaikan oleh Yesus kepada kita? Apa yang ingin dijelaskannya kepada kita lewat perumpamaan ini? Mari kita baca Lukas 18:1-8.

1 Kemudian, Yesus menceritakan sebuah perumpamaan kepada murid-murid-Nya untuk memberitahu mereka bahwa mereka harus selalu berdoa dan tidak berkecil hati.
2 Kata-Nya, “Di sebuah kota, ada seorang hakim yang tidak takut kepada Allah dan tidak menghormati orang lain.
3 Di kota itu, ada seorang janda yang terus-menerus datang kepada hakim itu dan berkata, ‘Berikanlah keadilan kepadaku terhadap lawanku.’
4 Untuk beberapa waktu, sang hakim tidak mau menolong janda itu. Akan tetapi, kemudian hakim itu berkata dalam hatinya, ‘Meskipun aku tidak takut kepada Allah dan tidak menghormati siapa pun,
5 tetapi karena janda ini terus-menerus menggangguku, aku akan memberikan keadilan kepadanya supaya ia tidak menyusahkan aku dengan kedatangannya yang terus-menerus itu.’”
6 Lalu, Tuan berkata, “Dengarlah apa yang dikatakan hakim yang tidak adil itu.
7 Tidakkah Allah akan memberi keadilan kepada orang-orang pilihan-Nya yang berseru kepada-Nya siang dan malam? Apakah Ia akan menunda-nunda sampai lama untuk menolong mereka?
8 Aku berkata kepadamu, Ia akan segera memberi keadilan kepada mereka. Akan tetapi, ketika Anak Manusia datang, apakah Ia akan menemukan iman di bumi?”


Akankah Yesus Menemukan Iman Di Bumi?

Akankah Yesus menemukan iman ketika dia datang kembali? Apa yang sedang disampaikan oleh Yesus melalui perumpamaan ini? Jangan sampai pemisahan pasal membuat Anda gagal mengamati hubungan antara pasal ini dengan pasal sebelumnya. Apa saja hal yang disampaikan oleh Yesus di pasal sebelumnya? Ia berbicara tentang kedatangannya kembali, kedatangan kembali Anak Manusia. Perumpamaan ini merupakan kelanjutan dari tema tersebut. Itu sebabnya ayat 8 berkata, “Ketika Anak Manusia datang, apakah Ia akan menemukan iman di bumi?” Ini adalah hal yang sangat penting.

Hal yang paling menonjol dari perumpamaan ini adalah: kegigihan si janda. Ia terus saja mendatangi si hakim dan terus menerus mengganggunya sampai ia mendapatkan keadilan yang merupakan haknya. Poin ini sangatlah nyata. Kita sudah mempelajari pentingnya sikap yang gigih dan tekun ini di dalam kehidupan Kristen ketika kita membahas Perumpamaan tentang Sahabat di Tengah Malam (Lukas 11:5-8). Apakah perumpamaan yang kita pelajari sekarang ini sama saja dengan Perumpamaan tentang Sahabat yang Meminjam roti di Tengah Malam? Anda tentunya ingat bahwa di perumpamaan tersebut, si sahabat itu terus saja mengetuk pintu rumah tetangganya sampai ia berhasil mendapatkan sepotong roti yang akan ia bagikan kepada temannya. Apakah ini sekadar pengulangan dari tema yang sama, yaitu tentang kegigihan? Pentingnya kegigihan memang sangat ditekankan di sini, tetapi apakah tema kedua perumpamaan ini sama? Tidak, karena ada beberapa perbedaan penting di sini. Perbedaan-perbedaan penting itulah yang akan kita amati secara teliti di sini. Jadi, saya tidak akan mengulang tema tentang kegigihan atau ketekunan di sini, tetapi saya akan lebih menitikberatkan aspek-aspek yang belum diberikan dalam Perumpamaan tentang Sahabat di Tengah Malam.


Jangan putus asa di tengah tekanan

Jadi apa tema perumpamaan ini? Apa pokok yang ingin disampaikan oleh Yesus bagi kita? Di sini hanya ada delapan ayat, mari kita pelajari satu per satu. Yesus memberi perumpamaan yang mengajari para murid untuk tidak berputus asa dan terus berdoa. Sangatlah penting bagi para murid untuk tidak menyerah. Mereka tidak boleh patah semangat dan akhirnya berkata, “Percuma berusaha meneruskan. Saya berhenti! Saya tidak mau melanjutkan lagi! Tidak ada gunanya berjuang terus!” Kita semua sudah melihat ada banyak orang yang tadinya Kristen, yang akhirnya menyerah di bawah tekanan. Dalam menjalani pelayanan sebagai gembala, saya menjumpai orang-orang yang sesudah beberapa waktu menjalani kehidupan sebagai orang Kristen, menyerah dengan begitu saja. Mereka menyerah! Mereka berhenti berdoa! Mereka berkata, “Percuma berdoa! Allah tidak menjawab doa saya! Saya menyerah. Tak ada gunanya lagi melanjutkan hidup sebagai orang Kristen.” Jika Anda tidak berdoa lagi, jelas Anda sudah berhenti menjadi orang Kristen. Anda telah memutuskan satu-satunya jalur hubungan dengan Allah yang memberi hidup itu. Itu berarti semuanya sudah tamat! Inilah pokok yang sangat penting dari perumpamaan ini. Hal ini disampaikan tepatnya di kalimat yang menyatakan tujuan dari perumpamaan ini: Jangan menyerah dalam menghadapi kesulitan.

Kata yang diterjemahkan sebagai “tak jemu-jemu”, arti dasarnya adalah “tidak menjadi lelah, letih atau kehabisan tenaga”. Ada orang yang kehabisan tenaga ketika menghadapi tekanan. Mereka tidak sanggup melanjutkan lagi! Menurut mereka sudah terlalu berat!

Saya teringat pada waktu saya nyaris saja hancur dalam suatu periode hidup Kekristenan saya. Saya merasa tidak mampu melanjutkan. Saya ingat persis saat-saat itu. Saya sudah menjadi seorang Kristen selama tiga tahun di Shanghai, China, di bawah pemerintahan Komunis dan menjalani tiga tahun kelaparan. Tiga tahun tanpa sarapan pagi, dan jarang mendapatkan makan siang, dan sangat sering tanpa makan malam. Makanan saya adalah kue dadar karena bahan pangan termurah yang bisa saya beli adalah sekantong tepung. Saya campurkan tepung itu dengan air, dan kadang-kadang jika saya mampu, saya menambahkan gula ke dalamnya. Kemudian saya panaskan sedikit minyak di wajan dan adonan itu saya goreng sampai matang. Itulah makanan saya. Jadi, saya hanya perlu membeli sekantong tepung dan minyak kacang, yang bisa didapatkan dengan murah di Shanghai. Saya tidak membutuhkan banyak minyak tanah untuk membuat kue dadar. Nasi perlu sekitar 25 menit untuk dimasak, tetapi kue dadar hanya perlu digoreng selama dua menit.

Mungkin kekurangan gizi dan tekanan bertubi-tubi yang harus saya hadapi tanpa mengetahui seperti apa masa depan, mulai melemahkan saya. Kaum Komunis terus saja bertanya mengapa saya menjadi Kristen, mengapa saya pergi ke gereja. Saya terpisah dari orang tua saya; saya sendirian! Sendirian, di tingkat manusia, tetapi tidak terasa sendirian karena Allah bersama saya. Sesudah tiga tahun mengalami hal ini, saya kehabisan tenaga, menjadi sangat kurus, sangat letih, dan kesehatan jasmani saya tidak pernah pulih kembali sesudah itu. Saya tidak menanggung beban seberat beban para pendeta pada masa itu. Saya masih seorang Kristen yang baru. Saya mengalami kemurahan Allah sepanjang tiga tahun itu, tetapi mukjizat dari Allah yang saya alami tidak dapat menyeimbangi kelelahan fisik, emosi dan rasa kesepian yang menghimpit, kesepian yang dialami oleh banyak orang.

Saya sudah berusaha untuk meninggalkan China berkali-kali. Saya sudah berdoa berkali-kali, tetapi kaum Komunis masih tidak membiarkan saya pergi. Dua kali saya memohon izin dan dua kali permohonan itu ditolak. Apa gunanya mengajukan permohonan lagi? Percuma saja. Saya tidak dapat berhubungan dengan orang tua saya. Tidak ada uang. Tidak ada masa depan. Tidak punya apa-apa selain Allah saja. Saya terus berdoa dan tampaknya hal yang paling utama didoakan justru tidak mendapat jawaban saat itu. Saya menunggu dan menunggu. Tiga tahun adalah masa yang panjang bagi orang muda seperti saya, khususnya ketika perut ini terasa lapar dan saya tidak melihat adanya masa depan yang bisa dikejar. Kesehatan jasmani saya semakin merosot akibat kurang gizi. Di paru-paru sebelah kiri saya, mulai muncul noda-noda. Keadaan saya benar-benar sangat rawan. Namun, sesudah mengalami semua ini, saya baru bisa mengerti dengan baik apa arti perumpamaan ini.

Saya berdoa kepada Allah dengan kondisi seperti itu, itu memang bukan doa saya yang pertama. Saya ingat keadaan saya ketika saya berdoa di pagi itu, saya sangat lemah dan lelah. Saya rasa, pada saat itu saya sudah sampai di titik “putus asa”, atau lose heart (kehilangan semangat), seperti yang tertulis dalam versi terjemahan Revised Standard Version (RSV). Saya di ambang menyerah. Saya berlutut di hadapan Allah di dalam kamar saya, dalam keadaan yang sangat dingin pada musim salju, dan saya berkata, “Tuhan, saya lelah. Saya letih. Tuhan, saya tidak dapat melanjutkan lagi. Berbelaskasihlah kepada hamba-Mu yang lemah ini. Saya bersedia untuk melakukan apa saja yang Kau kehendaki agar saya lakukan. Saya bersedia untuk menetap di China.”

Allah menjawab doa saya dengan luar biasa. Allah mengerti keadaan kita. Allah tahu persoalan kita. Ia tahu seberapa jauh kita bisa melangkah. Ia adalah Allah yang hidup. Ia akan mengerjakan bagian-Nya jika kita sudah bertekad untuk setia sampai pada akhirnya, sampai sejauh kemampuan kita. Pada kesempatan itu, suara Allah bergema di telinga saya dengan sangat jelas, sejelas suara saya sekarang ini yang terdengar di telinga Anda. Allah berkata, “Eric, Aku akan membawamu keluar dari China.” Suara itu sangat jelas. Itu merupakan kali pertama Allah berbicara kepada saya, tetapi bukan yang terakhir. Sejak saat itu, Ia mengangkat saya. Ia meyakinkan saya bahwa saya tidak sendirian. Sejak saat itu, saya tahu bahwa saya akan meninggalkan China. Tuhan sudah menyatakan hal itu kepada saya. Dua bulan kemudian, saya berada di luar China. Sekarang, Anda melihat saya di tempat ini.

Melalui perumpamaan ini, Yesus menunjukkan kepada kita bahwa dia tahu kalau kita dapat berputus asa, bahwa kita bisa patah semangat dan menyerah di tengah tekanan. Itu sebabnya Tuhan berbicara langsung kepada saya di Shanghai, karena Dia tahu saya sedang mendekati titik putus asa. Suara Tuhan bergema dengan sangat jelas. Terdengar pada saat saya terjaga; bukan sedang tidur, bukan dari imaginasi saya. Sebenarnya, saya sangat terkejut mendengar suara itu sehingga saya berbalik untuk mencari tahu mungkin ada orang yang menyelinap dan berbicara di belakang saya. Namun, tidak ada orang lain di kamar saya yang kosong. Kamar saya bisa dibilang kosong karena nyaris tidak ada barang di dalamnya. Tidak ada tempat bagi orang lain untuk bisa bersembunyi di sana.

Hal yang menyentuh hati saya di dalam perumpamaan ini adalah kepedulian Yesus kepada para murid. Ia membicarakan hal itu jauh sebelum ujian datang menghadang para murid. Perumpamaan ini adalah sambungan dari pembicaraan Yesus dengan para murid yang dimulai dari Lukas 17:22. Jadi, Yesus sedang berbicara kepada semua orang Kristen di sini. Ia tidak sedang berbicara kepada orang non-Kristen. Yang disampaikan oleh Yesus adalah, “Kalian akan menghadapi masa-masa yang sukar. Aku sudah mengingatkan sejak awal ketika kalian mulai mengikut aku. Pikul salibmu dan ikutlah aku. Akan tiba saatnya ketika kalian berdoa dan seolah-olah tidak ada jawaban atas doa kalian.” Saya pribadi harus menunggu sampai tiga tahun. Waktu tiga tahun bagi orang muda seperti saya tentu sangatlah lama. Saat itu saya masih belum berusia 20 tahun. Yesus memahami hal ini dan ia memberi semacam pengumuman awal bagi para murid, “Biarpun tampaknya seperti tidak ada jawaban bagi doa kalian, bertahanlah! Bertahanlah dengan gigih!” Allah mengizinkan Anda untuk diuji sampai pada titik tertentu, tetapi Ia tidak akan membiarkan Anda sampai ke titik putus asa. Tuhan tahu seberapa daya tahan Anda. Akan tetapi, perumpamaan ini menitikberatkan peranan kita: bertahanlah sampai pada akhirnya. Yesus tidak sedang membicarakan bagian Allah.


Kesukaran hidup memberi pengalaman rohani yang paling baik tentang Allah 

Saya secara khusus prihatin tentang mereka yang akan kembali ke negara asal mereka, dan tentang kemampuan mereka yang kembali ke situ untuk dapat tetap bertahan. Saya juga prihatin kepada saudara-saudara yang sedang menanggung berbagai beban sekarang ini. Siapa di antara kita yang tidak sedang menanggung beban? Anda tidak perlu pergi ke tempat lain untuk mencari persoalan. Namun, mereka yang kembali ke negara asal akan menghadapi tekanan yang khusus dari dunia. Kadang-kadang, Anda akan menghadapi tekanan dari dalam dan luar yang tidak Anda duga. Mungkin sesudah Anda berpaling kepada Tuhan di Kanada, dan ketika Anda pulang Anda mendapati bahwa orang tua Anda tidak memahami tindakan Anda. Mereka akan bertanya, “Omong kosong macam apa ini? Jadi orang Kristen dan berubah jadi orang fanatik yang bodoh seperti ini? Hidup sedikit religius memang baik buat semua orang, tetapi terlalu berpegang pada agama jelas tidak baik buat semua orang. Segala sesuatu harus dijalankan secara moderat.” Saudara-saudara kandung Anda juga tidak memahami diri Anda. Masyarakat sekitar juga tidak lagi memahami diri Anda. Jadi, tekanan mulai tumbuh, sampai ke titik yang sulit untuk diterima.

Saya ikut merasakan penderitaan yang sedang ditanggung oleh mereka yang sudah pulang. Saya menerima kabar dari mereka yang menceritakan tentang kesukaran yang mereka hadapi. Bukanlah hal yang menyenangkan jika Anda pulang ke rumah dan berbicara tentang hal yang tidak dimengerti oleh semua orang. Keluarga Anda akan berkata, “Siapa yang butuh pengenalan akan Allah? Hanya uang yang kita perlukan. Uanglah allah yang kita perlukan. Buat apa bicara tentang Allah? Bersikap praktislah! Hadapi kenyataan! Kapan Allah memberi kamu makan?” Nah, tentu saja Allah selalu memberi kita makan, tetapi mereka tidak mengetahui itu. Selama tiga tahun, Allah menghidupi saya, tidak dengan makanan mewah. Kue dadar adalah makanan juga. Allah juga melakukan berbagai mukjizat, seperti yang sudah saya saksikan kepada sebagian dari Anda. Ia selalu memastikan supaya kebutuhan kita terpenuhi. Itulah hal yang sudah Ia lakukan bagi saya.

Sebenarnya, Allah memang perlu mengizinkan saya untuk mengalami masalah kesehatan juga, atau saya mungkin tidak akan berada di sini sekarang. Pihak Komunis tidak akan memberi saya izin pergi dari China kalau Allah tidak membiarkan kesehatan saya terkena masalah. Kadang kala, memang terasa menyakitkan saat melewati masa-masa susah, bukankah begitu? Saya teringat pada para orangtua yang, kadang-kadang, terpaksa membiarkan anaknya mengalami penderitaan tertentu untuk bisa membentuk mereka dengan lebih baik. Saya rasa itulah alasan mengapa Allah perlu membiarkan saya menanggung penderitaan itu. Di dalam kasih-Nya kepada saya, Ia harus membiarkan tubuh saya menjadi semakin kurus, sampai akhirnya paru-paru saya mulai terinfeksi. Jadi, pemerintah Komunis mulai berpikir, “Tidak ada gunanya menahan orang ini supaya tetap tinggal di China, karena dia pasti akan menjadi beban buat kita. Baiklah, kita biarkan saja dia pergi!” Kadang kala, Allah harus membiarkan kita menanggung penderitaan tertentu karena Ia memandang dari keseluruhan rencana-Nya. Semua itu demi kebaikan kita.

Sebagian pengalaman rohani yang paling indah justru saya dapatkan di China, seperti yang sudah saya saksikan pada sebagian dari Anda. Hal yang ingin saya sampaikan, khususnya bagi Anda yang akan pulang ke negara asal, adalah pengalaman rohani yang terindah adalah pada saat menghadapi kesukaran dan tekanan, bukan pada saat Anda menikmati kesenangan dan kelimpahan, atau ketika hidup terasa mudah. Saat di dalam tekanan justru merupakan saat tercurahnya berkat rohani yang paling besar. Itulah sebabnya, jangan lemah semangat dalam menghadapi kepulangan menuju tempat asal Anda. Tantangan dan persoalan yang akan hadir akan memberi kesempatan bagi Anda untuk melihat apakah Allah kita itu Allah yang hidup. Saya tegaskan dengan jujur kepada setiap orang, “Jika Allah bukan Allah yang hidup, lupakan saja Dia! Jangan sia-siakan waktu Anda dengan urusan agama.” Bukankah saya sudah sering kali mengatakan hal seperti ini? Jika Allah bukanlah Allah yang hidup, lupakan saja! Tamatkan hubungan Anda dengan Dia! Siapa yang perlu agama? Jika Anda menghendaki agama, itu urusan Anda. Saya tidak memberitakan agama; saya memberitakan Allah yang hidup! Saya percaya kepada-Nya! Saya mengikut Dia karena saya sudah mengalami Dia. Saya tahu bahwa Ia benar.

Anda tidak bodoh dalam merelakan hal yang tidak dapat Anda pertahankan untuk memperoleh hal yang tidak dapat Anda kehilangan. (Jim Elliot)

Saya juga tahu bahwa jika saya mengejar dunia sekarang, saya akan mendapatkan penghasilan yang jauh lebih besar daripada yang saya peroleh sekarang ini sebagai seorang gembala. Akan tetapi, hal itu tidak menarik minat saya. Mengapa? Karena saya hanya tertarik pada Allah yang hidup. Masanya akan tiba ketika kekayaan menjadi tidak berarti sama sekali. Uang Anda akan lenyap. Mereka yang telah meninggalkan China tahu persis akan hal ini. Ketika kaum Komunis datang, para pengusaha besar di Shanghai kehilangan segalanya. Habis semua! Investasi ayah saya di sebuah pabrik lenyap seketika. Mobil miliknya disita. Rumah dan kekayaan yang lain lenyap sudah. Kekayaan dunia ini berlalu dengan sangat cepat, tetapi Allah kekal selamanya! Ada banyak politikus penting yang saya kenal kala itu, sekarang ini mereka bukan siapa-siapa lagi. Kemuliaan dunia ini berlalu dengan cepatnya. Ayah saya sendiri adalah orang yang berkedudukan tinggi. Para prajurit di Nanjing memberi hormat setiap kali saya melintasi mereka. Sekalipun saya sedang bersepeda melewati mereka, para penjaga itu tetap berdiri tegak dan memberi hormat kepada saya. Mengapa? Karena ayah saya berkedudukan tinggi saat itu. Akan tetapi, kemuliaan ini pun berakhir dalam sesaat. Segala sesuatunya lenyap! Kemuliaan dunia ini tidak ada artinya. Tepat seperti yang dikatakan oleh raja besar Israel, Salomo, dalam Pengkhotbah, “Semuanya akan berlalu. Kesia-siaan belaka.” Apakah Anda ingin menjalani hidup untuk mengejar hal-hal yang akan berlalu? Ini bukanlah hikmat!

Menjalani hidup demi yang kekal, itulah hikmat. “Orang yang merelakan apa yang tidak bisa dipertahankannya untuk memperoleh apa yang tidak akan kehilangan bukanlah orang bodoh.” Itulah kata-kata bijak yang disampaikan oleh Jim Elliot. Itulah hikmat. Mengurbankan hidup Anda untuk mendapat sesuatu yang tidak dapat Anda pertahankan merupakan kebodohan! Mengurbankan hidup Anda untuk mendapat sesuatu yang tidak akan Anda kehilangan, itulah hikmat! Akan tetapi, tidak ada apa pun dari dunia ini yang tidak akan berlalu dari tangan Anda. Anda lahir dalam keadaan telanjang dan tidak membawa uang, Anda juga akan meninggalkan dunia ini dengan telanjang dan tanpa uang. Tak ada satu pun kekayaan dunia ini yang akan menyertai Anda. Lantas, apakah Anda akan memutuskan untuk hidup demi menikmati tahun-tahun yang singkat ini? Itukah hikmat? Saya sampaikan kepada Anda bahwa John Sung bisa saja menjadi profesor bidang kimia di Nanjing. Ketika ia ditanya, “Mengapa Anda meninggalkan karir Anda yang cemerlang di bidang kimia ini dan malah memberitakan Injil?” Jawabannya adalah, “Saya merelakan apa yang tidak bisa saya pertahankan untuk memperoleh apa yang tidak dapat saya kehilangan.” Itulah hikmat!

Akan tetapi, bukanlah hal yang mudah untuk memperoleh apa yang tidak akan hilang dari Anda. Sudah cukup sering saya sampaikan kepada Anda, menjadi orang Kristen itu bukanlah hal yang mudah. Saya tidak pernah memberitakan Injil yang palsu. Saya tidak pernah berkata kepada Anda, “Jadilah orang Kristen, maka Anda akan menerima sukacita dan kemudahan, dan Allah akan mengalirkan uang ke dalam saku Anda.” Kekristenan macam apa ini? Saya tidak pernah mengkhotbahkan Kekristenan semacam ini! Tidak. Saya beritahukan sejujurnya kepada Anda bahwa menempuh jalan kebenaran di dunia yang dikuasai oleh dosa berarti memasuki kehidupan yang sukar. Melangkah di jalur kerendahan hati di tengah dunia yang penuh kecongkakan jelas akan sangat menyulitkan hidup Anda. Melangkah di jalur kejujuran di tengah cengkeraman kebohongan, bukanlah langkah yang mudah. Itu sebabnya, menjadi seorang Kristen yang sejati di tengah dunia yang seperti ini jelas merupakan kehidupan yang sangat sulit. Anda jelas belum menjadi seorang Kristen sejati dalam waktu yang lama jika belum pernah mengalami segala macam kesukaran ini! Ada begitu banyak tekanan yang akan ditimpakan ke pundak Anda sehingga sering kali Anda akan merasa seperti di dalam perumpamaan ini, “Saya tidak kuat lagi! Saya tidak bisa meneruskannya lagi!” Anda dibuat begitu lemah semangat. Anda ditekan sampai sangat lemah.

Saat saya membulatkan tekad untuk mengikut Kristus memberitakan Injil, tekanan segera muncul. Ayah dan ibu saya berdiri menentang. Saya bukan sekadar satu-satunya anak laki-laki, saya adalah anak tunggal di dalam keluarga, dan orang tua saya meletakkan segala harapan mereka ke pundak saya! Mereka mengharapkan saya untuk menjadi seorang negarawan, untuk bisa meraih apa yang masih belum berhasil dicapai oleh ayah saya. Atau, setidaknya, menjadi seorang ilmuwan besar. Saya percaya, bersama Allah, saya juga bisa mencapai sukses di bidang-bidang tersebut. Namun, saya sampai pada pertanyaan, “Apa gunanya? Apa hasil yang akan saya dapatkan dengan semua itu?” Saya pernah punya ambisi yang besar di bidang kemiliteran, tetapi saya kemudian mempertanyakan ambisi tersebut, “Apa yang terjadi dengan Alexander Agung? Ia mati dan kerajaannya terpecah belah. Apa yang terjadi dengan Kaisar Yulius? Ia dibunuh oleh sahabatnya sendiri. Apa yang terjadi dengan Napoleon? Ia mati dalam pengasingan di pulau terpencil. Apa yang terjadi dengan semua orang besar itu?” Saya tidak takut menghadapi kematian di pulau terasing seperti Napoleon, ditikam oleh sahabat sendiri seperti Yulius Kaisar, atau mati karena sakit mendadak seperti Alexander Agung. Akan tetapi, pertanyaannya adalah: Apa artinya semua itu? Apa gunanya semua itu? Semua terbukti sia-sia. Tidak punya nilai yang kekal.

Namun, tentu saja orangtua saya tidak melihat persoalan dengan cara yang sama karena mereka tidak mengenal Allah seperti saya. Demikianlah, tekanan itu mulai muncul. Ayah saya berkata, “Baik, kamu ingin melayani Allah? Aku tidak akan membiayai sekolahmu. Kamu tidak akan bisa sekolah.” Ia mengira dengan menghentikan aliran dana, saya akan takluk terhadap tekanan kebutuhan dana pendidikan. Ia tidak tahu bahwa saya sudah mengenal Allah yang hidup selama tiga tahun di China! Saya tahu bahwa Allah yang hidup akan memelihara saya. Saya memutuskan untuk setia pada tekad semula. Ayah saya tidak kunjung berhenti menyesali apa yang sudah ia perbuat terhadap saya. Walaupun aliran dana sudah berhenti, ternyata saya masih tetap bisa lulus dari Sekolah Alkitab (Bible College); dan saya juga lulus dari Fakultas Ilmu Ketuhanan (Faculty of Divinity) di sebuah universitas atas berkat pemeliharaan Allah. Ayah saya menyesali keputusannya karena ia menyadari bahwa ia telah kehilangan peluang untuk membuat saya merasa berhutang budi padanya dengan membiayai pendidikan saya. Allah memelihara saya. Ayah saya tidak mengerti bagaimana saya bisa tetap bersekolah dan bahkan sampai lulus universitas padahal ia tidak memberi saya uang lagi. Ia tidak mengerti karena ia tidak tahu bahwa Allah adalah Allah yang hidup!

Ibu saya sangat keras menentang Injil karena selama ini yang ia lihat adalah Kekristenan palsu yang sedang mencengkeram Eropa. Ketika saya lulus, ibu berkata, “Saya tidak tahu apa-apa tentang Allah yang kamu bicarakan ini. Kamu selalu berkata bahwa Allah akan melakukan ini dan itu. Akan tetapi, sekarang saya bisa melihat bahwa Allahmu itu benar. Allahmu itu nyata. Saya tidak bisa menyangkal kenyataan ini. Saya sudah melihat buktinya di dalam hidupmu.” Kemudian ia berlutut bersama saya dan menerima Yesus dalam hidupnya. Itulah saat yang paling luar biasa dalam hidup saya! Setiap menjelang Hari Ibu, seperti sekarang ini, saya selalu teringat pada ibu saya. Saya teringat pada hari yang indah itu, ketika ibu saya, yang sangat menentang Injil, berlutut bersama saya, dengan air mata bercucuran di pipinya, menerima Yesus dalam hidupnya. Ia adalah seorang intelektual yang teguh, seorang pemikir yang kokoh, dan ia sudah mengajukan segala penolakannya dengan menggunakan landasan akal pikiran. Namun, ia akhirnya dapat melihat kebenaran yang sejati, dan di hadapan bukti nyata itu ia berkata, “Allahmu itu nyata. Tidak dapat diragukan lagi.”

Namun, sebelum sampai pada saat terjadinya perubahan itu, sungguh sangat besar tekanan yang harus saya hadapi! Seringkali saya merasa putus asa saat bersekolah di Sekolah Alkitab. Seringkali, ketika saya masih bersekolah di London, saya berpikir, “Aku pasti tidak akan menyelesaikan studi saya.” Namun, Allah selalu memelihara saya. Bagaimana kita bisa bertahan? Semudah penjelasan dalam perumpamaan ini, di tengah kesulitan, bertekunlah, bertahanlah sampai akhir. Kadang kala, saya sampai menggigit bibir dan berkata, “Jika saya memang harus mati kelaparan di Inggris ini, mati kelaparan di negeri asing tanpa sanak satu pun, saya akan mati dalam kesetiaan kepada Allah. Saya tidak akan menyimpang ke kanan atau ke kiri.” Saya sudah bertekad untuk setia sampai pada akhirnya.

“Akan tetapi, ketika Anak Manusia datang, apakah Ia akan menemukan iman di bumi?” (Luk 18:8).

Kata Yunani bagi ‘iman’ dan ‘kesetiaan’ adalah sama. Akankah Dia mendapati kesetiaan atau justru kita semua sudah patah semangat di saat itu? Akankah kita menyerah di tengah berbagai tekanan ini?


Hakim, sebagai wakil Allah, seharusnya membela perkara janda ini

Ayat ke-2 menampilkan hakim ini sebagai kontras. Ayat itu menceritakan tentang seorang hakim di sebuah kota, dan seperti apa ciri hakim ini? Ia tidak takut akan Allah dan juga tidak peduli pada manusia. Dalam pepatah Tionghua, “tian bu pa, di bu pa” (tidak takut surga, tidak takut bumi!) Ia tidak menyembah surga dan tidak memperhatikan sesama manusia. Ia hanya peduli pada dirinya sendiri. Dirinya sendirilah yang dia sembah. Ia menyembah dirinya sendiri. Tentu saja, yang ada dalam pikirannya hanyalah dirinya sendiri. Coba Anda bayangkan keadaan hakim yang seperti ini.

Orang macam apa yang berperilaku seperti ini? Tentunya orang yang sangat mementingkan diri sendiri, sangat egosentris. Anda dapat melihat karakter hakim ini. Ia tidak peduli pada kebenaran dan keadilan. Ia tidak berbelas kasihan dan bahkan tidak peduli pada hukum yang seharusnya ditegakkannya, karena menurut hukum Taurat, janda berhak mendapat perlakuan istimewa dibandingkan yang lain. Hukum Taurat dirancang untuk membela mereka yang tidak mampu membela dirinya. Akan tetapi, hakim ini tidak peduli pada hukum Taurat dan juga tidak memiliki belas kasihan. Ia tidak peduli kepada siapa pun kecuali dirinya sendiri. “Tuhan mereka ialah perut mereka, demikian kata Paulus kepada jemaat di Filipi (Flp 3:19). Ada banyak orang seperti itu di dunia ini. Dari mana penduduk kota dapat memperoleh kebenaran dan keadilan jika hakim yang mereka miliki seperti ini?

Lalu tampillah seorang janda di ayat 3. Di dalam Alkitab, janda adalah gambaran bagi orang yang lemah, yang tak mampu membela dirinya dan miskin. Di dalam Alkitab, janda selalu menjadi lambang orang-orang yang tidak punya sumber penghasilan karena ia tidak punya suami. Ia tidak punya perlindungan karena tidak ada lelaki yang akan menjadi pembelanya. Di Mazmur 68:6, Allah disebut sebagai “Pembela bagi para janda”.

Jadi, kita sekarang melihat ada dua pemeran dalam perumpamaan ini, yaitu janda dan hakim. Yang satu miskin dan tidak punya pembela, dan yang satunya lagi hanya memikirkan dirinya sendiri saja, hakim congkak yang tidak peduli pada apa pun selain dirinya sendiri. Apa hal yang akan disampaikan oleh Yesus melalui gambaran ini? Banyak sekali.

Kita perlu ingat bahwa perumpamaan ini, sama seperti perumpamaan Yesus yang lainnya, mengisahkan kehidupan di tengah konteks masyarakat Yahudi yang merupakan umat Allah. Janda ini adalah umat Allah, anak bangsa Israel. Hakim ini juga seorang umat Allah, warga Israel. Di dalam Perjanjian Lama, hakim adalah wakil Allah bagi masyarakat Israel. Perumpamaan ini tampaknya disarikan dari Mazmur 82.

1  Allah berdiri dalam sidang ilahi; Ia menghakimi di tengah-tengah para allah.
2 “Berapa lama lagi kamu akan menghakimi dengan tidak adil, dan mengangkat muka orang fasik?”
3 “Hakimilah orang miskin dan anak yatim, adililah orang yang tertindas dan melarat.
4 Selamatkan orang miskin dan melarat, lepaskan mereka dari tangan orang fasik.
5 Mereka tidak tahu ataupun paham, mereka berjalan dalam kegelapan, semua dasar bumi terguncang. (Mzm 82:1-5)

Kita akan membandingkan hakim di dalam perumpamaan ini dengan kelima ayat di Mazmur 82 ini. Di ayat 1, kita lihat bahwa para hakim itu disebut para allah karena mereka menyelenggarakan kewenangan Allah, yaitu kuasa keadilan atas bangsa Israel. Yesus mengutip ayat 6 dari Mazmur ini di Yohanes 10:34, “Bukankah tertulis dalam Kitab Tauratmu, ‘Aku telah berfirman, Kamu adalah allah’?” Lalu, perhatikanlah kata “berapa lama lagi”, di ayat ke-2 dari Mazmur 82 itu, “Berapa lama lagi kamu akan menghakimi dengan tidak adil, dan mengangkat muka orang fasik?”

Hakim di dalam perumpamaan kali ini juga melakukan hal yang persis sama. Ia telah menyelewengkan kedudukannya sebagai wakil Allah karena ia tidak memberi keadilan kepada yang lemah dan anak yatim, ia juga tidak membela hak orang yang sengsara dan berkekurangan, sebagaimana yang disebutkan di ayat 3. Di ayat 4 disebutkan bahwa, seorang hakim harus “selamatkan orang miskin dan melarat, lepaskan mereka dari tangan orang fasik”, tetapi hakim di dalam perumpamaan ini tidak mau meluputkan orang-orang dari ketidakadilan dan penindasan. Keseluruhan Mazmur pasal 82 ini menjadi latar belakang dari perumpamaan ini.


Guru-guru palsu akan menindas orang Kristen yang setia

Jika kita berbicara tentang tekanan, tekanan macam apa yang akan dihadapi oleh seorang Kristen? Hal apa yang akan menyebabkan seorang Kristen sampai ke titik jemu, lelah, merasa putus asa? Persoalan akan datang dari dua arah: satu dari luar Jemaat, dan satunya lagi dari dalam Jemaat.

Dari luar jemaat akan muncul aniaya dari orang-orang dunia. Ingatlah Matius 10:16, saat Yesus berkata,

“Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala.”

Sebagai seorang Kristen, Anda menjadi domba di tengah serigala. Sama seperti si janda ini, Anda adalah orang miskin, tanpa perlindungan, dan ke mana Anda mengharapkan keadilan dalam menjalani hidup di dunia ini? Hakim mana yang akan membela perkara Anda? Jadi, keras dan kejamnya penolakan dunia adalah salah satu sebab yang melemahkan dan menjatuhkan orang-orang Kristen.

Dari dalam lingkungan jemaat, sayangnya, terdapat juga satu sumber masalah yang akan menghantam seorang Kristen. Saya rasa, inilah hal khusus yang mendapat perhatian dalam perumpamaan ini karena Yesus memilih tokoh hakim sebagai pemerannya.

Para nabi memberitahu kita bahwa salah satu sebab mengapa Israel masuk dalam pembuangan adalah karena para hakimnya telah menyeleweng dan menerima suap dan mereka tidak membela perkara orang-orang yang lemah. Mereka tidak membela kepentingan para janda. Mereka tidak peduli pada anak-anak yatim. Murka Allah ditimpakan ke atas mereka karena hal-hal ini. Hampir semua nabi mengecam para hakim, para wakil Allah di tengah umat Israel. Tugas mereka adalah menjalankan keadilan Allah, dengan berlandaskan pada hukum Taurat. Para pemimpin Israel telah menyeleweng. Saya teringat pada Yehezkiel 34, satu pasal tentang pengaduan atas kelakuan para pemimpin Israel yang menyebutkan,

“Kalian, para gembala Israel, seharusnya menggembalakan dan memberi makan domba-domba-Ku, Israel. Tetapi kalian hanya sibuk mengisi perut kalian saja. Hanya kepentinganmu saja yang kalian pikirkan.”

Para gembala itu sama seperti hakim dalam perumpamaan ini.

Jika kita amati perumpamaan tentang hakim yang tidak adil ini, tampaknya Yesus secara sengaja mengajukan tokoh hakim ke dalam perumpamaan ini. Jika Yesus ingin memakai hakim itu sebagai lambang dari orang dunia yang menyusahkan kehidupan orang Kristen, seorang hakim sulit dijadikan sebagai simbol dari dunia karena hakim dipilih Allah untuk menegakkan keadilan bagi umat Israel, umat Allah. Malahan, mungkin, penentang terburuk yang harus dihadapi seorang Kristen adalah para pemimpin jemaat yang tidak peduli.

Mereka yang telah pulang duluan menceritakan tentang persoalan yang mereka terima dari para pimpinan gereja di sana. Saya ikut bersedih atas penderitaan mereka. Sangat sering terjadi, para hakim yang seharusnya menjalankan pekerjaan Allah di tengah jemaat Allah ternyata tidak melakukannya. Mereka hanya mengerjakan kepentingan mereka sendiri.  Memang ada banyak sekali orang yang menjadi pendeta karena motivasi duniawi, bukannya rohani. Mereka lebih peduli pada masalah mengamankan kedudukan, menyenangkan atasan, penerimaan dari orang lain supaya mereka dapat mengamankan posisi mereka. Saya tidak berkata semua pendeta berkelakuan seperti itu, Yesus juga tidak mengatakan bahwa semua hakim di Israel adalah jahat. Masih ada hakim yang baik di Israel. Akan tetapi, para hakim yang jahat ini telah sangat menyengsarakan umat Israel. Para gembala yang jahat telah menyengsarakan jemaat.

Dapatkah Anda melihat bahwa Allah secara ajaib telah mengetahui bahwa apa yang telah terjadi di Israel akan terjadi pula di gereja? Itulah sebabnya Yesus berkata di ayat terakhir dari perumpamaan ini, “Akan tetapi, jika Anak Manusia itu datang, adakah ia mendapati iman di bumi?” Adakah Anak Manusia akan menemukan iman di tengah jemaat Allah di bumi? Jika iman tidak dapat ditemukan di dalam gereja, ke mana lagi Anda bisa berharap untuk menemukan iman? Di tengah orang dunia? Tentu saja, iman hanya bisa didapatkan di gereja! Namun, apakah Yesus akan menemukannya? Yesus telah melihat apa yang akan terjadi di tengah jemaat Allah. Di 2 Timotius 3:6,13; dan 4:3, Rasul Paulus menubuatkan bahwa pada akhir zaman, gereja akan dipenuhi oleh guru-guru palsu, pengajar dan pendeta yang datang ke tengah jemaat hanya untuk mengenyangkan perut mereka sendiri, mengejar kepentingan pribadi. Perlu saya tegaskan kembali, tidak semua pendeta seperti itu. Ada banyak pendeta yang benar, tetapi ada banyak juga pendeta yang jahat. Yang jahat inilah yang telah banyak menyengsarakan umat Allah. Menanggung penderitaan akibat tekanan orang dunia itu lebih mudah. Yang berat justru menanggung penderitaan akibat tekanan dari orang-orang Kristen. Sekali lagi saya tegaskan kepada mereka yang akan kembali ke tempat asal mereka, bertahanlah. Anda akan menghadapi penentangan dari para hakim semacam ini yang, bukannya melayani firman Allah sebagaimana seharusnya yang mereka lakukan, tetapi justru menindas kebenaran karena mereka hanya peduli pada kepentingan pribadi mereka, hanya memikirkan gengsi mereka. Bertahanlah!


“Menggangu” hamba Allah yang lalim itu sampai mereka menerapkan Firman Allah

Namun, ada lagi satu pelajaran yang muncul dari perumpamaan ini. Bertahan teruslah menghadapi orang-orang tersebut. Apa yang harus kita lakukan jika kita berhadapan dengan pendeta yang melayani karena mengincar gaji tinggi, karena tidak bisa bekerja di tempat lain, karena ingin menjadikan tugas sebagai gembala itu sebagai sumber penghasilannya? Apa yang harus kita lakukan? Apa yang harus Anda lakukan jika Anda pulang ke tempat Anda dan Anda harus berurusan dengan pendeta semacam ini? Satu hal yang dapat Anda lakukan adalah dengan meniru tindakan si janda ini: maju terus. Teruslah maju, menuntut pendeta itu untuk menjalankan firman Allah. Apa yang dilakukan oleh janda itu? Ia terus saja mendatangi si hakim dan berkata, “Engkau belum memberiku keadilan sesuai dengan Hukum Allah Israel! Jalankanlah firman Allah! Saya menuntutmu untuk menggenapi firman Allah. Penuhilah itu!” Pelajaran yang kita dapat adalah bahwa sekalipun si hakim yang lalim ini memenuhi Hukum Allah bukan karena kepeduliannya pada keadilan, tetapi ia tetap bisa didorong untuk menjalankan itu oleh upaya terus menerus dari si janda, ia akan lelah juga menghadapi ketekunan si janda. Saya rasa ini adalah pelajaran yang perlu kita pegang.

Saya akan memberi Anda satu contoh. Hal ini terjadi di Hong Kong ketika pertama kali saya keluar dari China. Di China saya bertemu dengan kumpulan orang Kristen Rusia yang luar biasa di Shanghai. Mereka dari gereja Baptis Rusia. Orang-orang China benar-benar menghendaki kepergian mereka karena mereka ini bukan orang China. Mereka orang Rusia, tidak bisa berbahasa China, dan mereka tidak lancar bergaul di masyarakat. Yang paling utama adalah karena mereka itu orang-orang Kristen yang setia. Sebelum saya meninggalkan China, orang-orang Rusia yang saya kasihi ini berkata, “Kalau kamu sudah sampai di Hong Kong, tolong ingatkan gereja Baptis bahwa kami masih ada di sini. Kami di sini berjuang untuk bisa bertahan di China. Kami kelaparan di sini. Bersediakah Anda mengingatkan mereka akan keberadaan kami di sini?” Saya berkata, “Saya pasti akan melakukan itu.”

Jadi, ketika saya sampai di Hong Kong, sesuai dengan janji itu, saya terus saja mendatangi Federasi Gereja Baptis sampai akhirnya mereka berbuat sesuatu bagi para saudara Kristen Rusia di Shanghai. Sungguh sebuah keberuntungan, Presiden Federasi Gereja Baptis saat itu sedang berada di Hong Kong. Saya tidak membiarkannya tinggal tenang sampai saya melihat mereka bertindak. Hari demi hari, saya terus menghubungi orang itu. Ia pasti berpikir, “Orang muda ini benar-benar bikin pusing.” Saya meneleponnya di hotel, atau jika ia mengadakan kebaktian, maka saya segera mendatangi tempat acara itu berlangsung sehingga dia menjadi sangat hafal dengan diri saya! Setiap kali melihat saya, ia berkata, “Baiklah, baiklah. Urusan orang-orang Rusia di Shanghai!” Saya berkata, “Benar. Nah, lakukanlah sesuatu. Mereka sedang kelaparan di sana. Setiap hari yang berlalu mungkin tidak berarti buatmu, tapi sangat berarti buat mereka. Setiap hari mereka bergelut dengan pertanyaan apakah akan sanggup bertahan sampai besok?”

Saat saya masih di Shanghai, saya mengunjungi orang-orang Rusia itu bersama para tua-tua dari gereja kami, dan makanan terbaik yang dapat mereka bagikan kepada kami adalah semangkok sop dan sepotong roti. Mereka sendiri hanya makan roti tanpa ditemani sop. Kami makan sop dan roti itu beramai-ramai sebagai tamu kehormatan mereka. Seperti itulah kemiskinan yang melanda mereka. Jadi, saya bertekad untuk tidak membiarkan sang Presiden Federasi Gereja Baptis ini merasa tenteram, sebelum ia berbuat sesuatu. Saya sangat bersyukur ketika akhirnya para saudara Rusia itu bisa berangkat meninggalkan China dalam waktu singkat. Pemerintah China tidak mempertahankan mereka, jadi yang perlu dilakukan hanyalah menyediakan sedikit uang untuk membiayai keberangkatan mereka. Demikianlah, seperti si janda ini, saya datang tanpa kenal lelah. Pemimpin besar Federasi itu tidak saya biarkan merasa damai sampai ia akhirnya bertindak. Saya tidak ingat nama Presiden Federasi Gereja Baptis itu. Setiap hari, siang dan malam saya terus saja mengganggunya.

Kata yang dipakai untuk menggambarkan kegigihan si janda dalam ayat 5 diterjemahkan dengan kata “menyerang” (“akhirnya menyerang aku). Kata Yunani hupopiazo secara harfiah berarti “menyerang bagian bawah mata, menghitamkan mata”. Hupopiazo juga dipakai oleh Paulus di 1 Korintus 9:27, “Aku memukul tubuhku.” Artinya mendisiplinkan diri sendiri. Hakim di dalam perumpamaan ini sangat kuatir kalau-kalau si janda itu akan menyerangnya karena janda itu terus saja mendatanginya. Tentunya hakim ini tidak menguatirkan pukulan tinju si janda karena janda itu tidak cukup kuat untuk melakukannya. Hakim ini tentunya sedang berpikir secara metafora, “Janda ini pasti akan bikin saya lelah! Dia pasti akan datang terus setiap hari, menyusahkan hidup saya. Baiklah, sekalipun saya tidak takut akan Allah, dan saya tidak peduli pada orang lain, saya hanya peduli pada diri sendiri, lebih baik saya berikan saja apa yang dia mau supaya dia tidak perlu datang lagi sesudah ini. Dia betul-betul menyusahkan!”

Sebagaimana halnya dengan si janda, kita juga bisa memakai strategi ini karena memang ada pendeta dan pengajar yang tampaknya tidak peduli pada Allah dan sesama manusia, yang mereka pedulikan hanya diri mereka sendiri. Kita bisa saja merusak ketenteraman dan membuat mereka begitu lelah sehingga suatu hari mereka berkata, “Baiklah, mari kita jalankan firman Allah. Kalau tidak, orang itu akan mendatangi kita terus.” Ini bisa menjadi strategi yang bagus. Mungkin inilah strategi satu-satunya yang bisa dipakai pada akhir zaman. Ketika gereja sudah semakin parah dalam mengalami pembusukan, apa yang akan terjadi dengan orang-orang pilihan?

Sangat perlu untuk kita ingat bahwa si janda ini tidak melambangkan seseorang melainkan gereja sejati, umat pilihan. Itu sebabnya Anda mendapati Yesus berkata di ayat 7,

“Tidakkah Allah akan memberi keadilan kepada orang-orang pilihan-Nya…?

Jadi, si janda ini merupakan lambang dari “umat pilihan”, yaitu umat Allah yang setia di dalam jemaat. Ini adalah hal yang sangat indah. Jemaat sejati digambarkan sebagai seorang janda. Sendiri, tetapi tidak sendirian. Miskin, tetapi tidak melarat. Mereka memiliki Allah berikut berkat-berkat rohani dari Allah. Secara duniawi mereka tidak memiliki kemampuan untuk bertahan, tetapi bukannya tanpa pembela, mereka dibela oleh Allah. “Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah” (Luk 6:20; Mat 5:3). Jemaat yang sejati dan setia selalu dilambangkan dengan gambaran orang miskin, atau dengan gambaran seorang janda.


Allah akan membela Jemaat-Nya, tapi dapatkah Anda bertahan?

Sekarang kita sampai pada ayat yang terakhir. Bagian pertama dari ayat 8 berkata, “Aku berkata kepadamu, Ia akan segera memberi keadilan kepada mereka.” Allah akan membela Anda. Allah akan segera membenarkan jemaat-Nya. Allah memedulikan jemaat-Nya. Perumpamaan ini merupakan sebuah janji. Janji bahwa jikalau Anda mau bertahan sampai pada kesudahannya, Allah pasti akan membela perkara Anda. Anda tidak akan kecewa. Akan tetapi, Ia akan mengizinkan kita untuk melihat batas ketahanan kita. Akan ada saatnya ketika Anda dan saya sampai pada keadaan yang secara jasmani letih, secara mental remuk, dan secara rohani lemah, dan kita berkata kepada Tuhan, “Tuhan, saya tidak sanggup lagi!” Jika ada orang yang mengalami keletihan itu, saya menyampaikan rasa prihatin dan simpati saya kepada Anda. Saya tidak pernah menilai diri ini lebih baik daripada orang itu. Kita tidak boleh mengecam atau menghakimi orang itu. Ada orang yang memang sudah sangat letih; mereka patah semangat. Akan tetapi, Allah selalu peduli. Allah sangat peduli pada kita semua. Ia berkata, “Aku akan membenarkanmu. Aku akan membela perkaramu.” Penalaran dalam perumpamaan ini mengikuti pola yang tertulis dalam Matius 7:11,

Jadi, jika kamu yang jahat tahu bagaimana memberi anak-anakmu pemberian-pemberian yang baik, terlebih lagi Bapamu yang di surga, Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya.”

Jika seorang hakim yang lalim bisa terus diganggu sampai mau memberikan keadilan, bukankah Allah, Hakim yang adil, jauh lebih bersedia dan bersukacita untuk memberikannya? Ini benar-benar sebuah perumpamaan yang indah.

Perumpamaan ini ditutup dengan bagian kedua dari ayat 8 yang berkata, “Akan tetapi, jika Anak Manusia itu datang, adakah ia mendapati iman di bumi?” Sekalipun janji Allah telah diberikan bahwa Ia akan membela dan membenarkan Anda selalu, apakah Anda akan mampu bertahan? Jawabannya ada di tangan Anda, bukan pada Allah. Allah tak pernah gagal. Persoalannya adalah, apakah Anda akan gagal? Jawaban yang mengerikan adalah bahwa akan ada banyak orang yang gagal. Di Matius 24:10-12, Yesus memperingatkan murid-muridnya bahwa pada akhir jaman,

“Banyak orang akan murtad dan mereka akan saling menyerahkan dan saling membenci.”

Anda tidak akan bisa murtad kalau sebelumnya tidak pernah punya iman, sama halnya dengan pernyataan bahwa Anda tidak akan bisa meninggalkan Montreal kalau Anda tidak pernah tinggal di sana.

“Banyak nabi palsu akan muncul dan menyesatkan banyak orang. Dan karena makin bertambahnya kedurhakaan, maka kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin.”


Mengapa kita sampai patah semangat dan murtad?

Hal apa yang akan membuat kita putus asa? Mari kita perhatikan penjelasan singkat berikut ini:


Kita menjadi jemu mengerjakan hal yang benar

Kata Yunani yang sama, egkakeo, diterjemahkan dengan kata “berkecil hati” di Lukas 18:1 dan “lelah” di 2 Tesalonika 3:13,

Saudara-saudaraku, janganlah lelah berbuat baik.

Ada beberapa saudara yang sudah begitu banyak berbuat baik. Mereka selalu memberi, memberi dan terus memberi diri, uang, waktu dan tenaga mereka. Pernahkah Anda sadari bahwa kadang-kadang Anda memberi begitu banyak sehingga Anda benar-benar jemu memberi karena kehabisan, baik tenaga, waktu maupun harta?

Saya pernah menerima warisan yang berupa uang asuransi. Kemudian saya mulai memberi, memberi dan memberi, sampai akhirnya tidak ada yang tersisa lagi. Saya mulai kesal, “Aku melayani Tuhan. Akibatnya aku kehabisan uang.” Saya berkata kepada Tuhan, “Tuhan, tentulah ada batas bagi seseorang di dalam memberi. Cukup sudah! Haruskah saya menanggung kemiskinan dan kelelahan batin?” Saya menjadi lelah dan jemu berbuat baik. Akan tetapi, kemudian saya menjadi malu sendiri. Layakkah kita merasa telah memberi terlalu banyak sementara Tuhan sudah memberikan segalanya bagi kita? Akan tetapi, memang ada saatnya di mana kita merasa sangat lelah dan kesal. Kita memberi, memberi dan memberi sampai akhirnya kita kehabisan, tetapi orang-orang tampaknya tidak menghargai itu semua. Apakah kita memberi karena mengharapkan penghargaan dari orang lain? Atau, apakah kita lebih suka kalau orang lain tidak tahu bahwa kita sudah memberi? Seharusnya kita memberi supaya dilihat Allah, bukan supaya dilihat manusia. Jadi, janganlah lelah dalam berbuat baik.


Kita kehilangan kesabaran
.

Galatia 6:9 memakai kata Yunani yang sama, egkakeo, yang diterjemahkan dengan kata “lelah”, dan ayat itu menyampaikan hal yang sama:

Jangan kita menjadi lelah berbuat baik. Jika musimnya tiba, kita akan menuai asalkan kita tidak menyerah.

Jika kita tidak menjadi lemah, kita akan menuai. Hal yang paling menyedihkan adalah jika Anda menabur, tetapi tidak menuai. Ini adalah tragedi besar. Anda menabur, Anda tebarkan semua benih ke tanah, Anda telah memberikan segalanya, tetapi Anda tidak menuai! Memang membutuhkan waktu untuk bisa mulai menuai apa yang telah Anda taburkan. Anda tidak bisa menuai besok, apa yang Anda taburkan sekarang. Anda mungkin harus menunggu sampai datang musim panen. Jika yang Anda tanam adalah pohon buah-buahan, mungkin Anda harus menunggu sampai bertahun-tahun. Namun demikian, Paulus berkata di Galatia 6:9, jangan menjadi lemah. Perlu waktu sebelum tanaman siap dipanen. Ketika Anda sudah menaburkan semua benih Anda di tanah dan Anda tidak memiliki sisa benih lagi, dan Anda sedang menanti bulan demi bulan, itu memang merupakan penantian yang panjang. Namun, jika Anda tidak menjadi lemah, Anda akan menuai. Apa yang Anda tuai? Galatia 6:8 berkata bahwa Anda akan menuai hidup yang kekal! Ini adalah hal yang sangat penting! “Orang yang menabur dari Roh akan menuai hidup yang kekal dari Roh.” Hidup yang kekal akan Anda tuai jika Anda sabar menantikannya. Jadi, saya memohon kepada Anda yang akan pulang ke tempat asal Anda, dan sekaligus kepada semua yang hadir di sini, bertahanlah!


Apakah Anda akan menyembah anak lembu emas?

Namun, masih ada satu poin lagi. Yesus bertanya di ayat 8,

“Akan tetapi, ketika Anak Manusia datang, apakah Ia akan menemukan iman di bumi?””

Ini adalah pertanyaan yang saya ulangi berkali-kali sejak awal khotbah hari ini. Seperti yang sudah sampaikan sebelumnya, jawabannya tidak terletak di tangan Allah, melainkan di tangan Anda. Apakah Anda akan melanjutkan sampai pada kesudahannya? Saya mohon kepada Anda, bertahanlah sampai akhir! Tetaplah bertahan sampai pada kesudahannya supaya Anda boleh menuai.

Pertanyaan Yesus ini langsung mengingatkan saya pada Keluaran 32:1. Tahukah Anda apa yang terjadi di Keluaran 32:1? Musa naik ke gunung mendatangi Allah untuk menerima Perintah Allah, dan ia menghilang! Seluruh bangsa Israel berdiri dan menyaksikan kepergian Musa, menyaksikan Musa masuk ke dalam awan dan menghilang! Bangsa ini menunggu sehari, dua hari, tiga hari dan bangsa ini mulai gelisah, “Hei. Apa yang terjadi dengan Musa? Ia pergi ke gunung Allah dan sampai sekarang tidak muncul lagi.” Kemudian berlanjut lagi, enam hari, sembilan hari berlalu. Tahukah Anda berapa lama Musa pergi? Sepuluh hari? Dua puluh hari? Hal ini berlanjut terus sampai tiga puluh hari, dan masih tidak ada tanda-tanda Musa akan kembali! Apa yang terjadi dengan Musa? Lalu, kita baca di Keluaran 32:1,

“Lihatlah, Musa telah membawa kita keluar dari tanah Mesir, tetapi kita tidak tahu apa yang terjadi padanya sekarang. Jadi, buatlah allah supaya ia berjalan di depan kami dan memimpin kami.”

Dengan kata lain, “Si Musa ini sudah sekian lama pergi ke atas gunung untuk bertemu dengan Allah. Mungkin Allah menyuruhnya tinggal tetap di sana! Berarti Musa tidak akan pernah kembali lagi! Apa yang harus kita lakukan? Kita harus memiliki sesuatu yang dapat kita sembah. Kita akan membuat patung anak lembu emas dan menyembahnya!” Apakah Musa menemukan iman di bumi ketika ia kembali 40 hari kemudian? Dapatkah Anda memahami maksud pertanyaan ini? Adakah Musa mendapati iman? Tidak! Yang ia dapati adalah umat Allah yang sudah menyeleweng dan menyembah anak lembu emas, yaitu uang! Hanya sedikit yang tetap setia!


Banyak Gereja Yang Menyembah Uang

Banyak orang yang datang ke gereja dan kebingungan, gereja itu sebenarnya apa? Gereja adalah organisasi pengumpul uang. Satu kantong persembahan lewat, disusul satu kantong lagi, dan ternyata masih ada kantong susulan lagi! Apa-apaan ini? Seorang sahabat saya beribadah ke sebuah gereja di Amerika, dan melihat betapa kantong persembahan di sana beredar sampai empat kali dalam satu kali ibadah! Di Inggris, ia terbiasa dengan memberi satu kali persembahan. Jadi, ketika kantong persembahan itu diedarkan lagi, akhirnya ia kehabisan uang untuk dipersembahkan! Empat kali persembahan! Gereja sudah mulai menyembah anak lembu emas!

Seorang sahabat saya yang lain bergabung dengan sebuah pelayanan radio di Timur Jauh, saya tidak akan menyebutkan nama radio dan negaranya. Sesudah bergabung selama beberapa bulan, teman saya itu mengundurkan diri!

Saya bertanya, “Mengapa kamu mundur dari pelayanan siaran radio ini?”

Ia berkata, “Tadinya, saya kira saya akan melayani lewat siaran radio. Ternyata yang mereka perintahkan kepada saya adalah berkeliling mengumpulkan uang! Saya mempelajari firman Allah selama bertahun-tahun bukan untuk melakukan pekerjaan mengumpulkan uang!”

Gereja sudah menjadi lembaga pengumpul uang. Maaf kalau saya berkata seperti ini. Saya mengasihi gereja. Saya mengasihinya! Tidak ada sukacita bagi saya untuk berkata seperti ini. Namun, hal ini mengingatkan saya pada kata-kata Yesus, “Apabila Anak Manusia datang, apakah masih ditemukan orang yang percaya kepada-Nya di bumi ini?” Atau apakah gereja malah menyembah anak lembu emas dari Mesir? Apakah gereja akan menimbun uang, menyembah uang, menyembah gelar-gelar, menyembah lembaga-lembaga buatan dunia? Kita menyembah berhala-berhala yang disembah oleh dunia! Dewa apa yang disembah oleh orang Mesir dulu? Anak lembu emas! Apa yang disembah oleh gereja sekarang? Gereja menyembah hal yang sama, anak lembu emas, gelar-gelar, kedudukan tinggi dan uang. Kita menyembah hal yang sama! Gereja mengalami pembusukan dari dalam! Tak heran kalau si hakim ini tidak peduli baik kepada Allah maupun manusia. Ia telah belajar untuk menyembah perutnya sendiri. Ke mana kita akan berpihak?

Ingatlah bahwa pada bagian awal khotbah ini, saya sudah menyatakan bahwa konteks perumpamaan ini adalah kedatangan kembali Kristus. Kita selama ini berkata, “Yesus sudah pergi! Ia sudah pergi selama 100, 200, 300, 1.000 bahkan sudah 2.000 tahun. Apa yang sudah terjadi dengannya? Apakah dia akan kembali? Mungkin tidak. Siapa yang tahu?” Kita mirip seperti orang-orang Israel yang sedang berkata, “Musa ini, kami tidak tahu apa yang sudah terjadi padanya. Mungkin dia sudah diambil oleh Allah. Mungkin dia tidak akan kembali lagi. Kami tidak tahu!” Itulah hal yang disebutkan oleh 2 Petrus 3:3-4:

3 Pertama-tama, ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir nanti, para pengejek akan datang untuk mengikuti hawa nafsu mereka yang berdosa.
4 Mereka akan berkata, “Mana janji tentang kedatangan-Nya? Karena sejak nenek moyang kita mati, semuanya masih tetap berjalan seperti pada permulaan penciptaan.”

Para pengejek akan berkata, “Yesus sudah pergi ke surga dan Ia akan tetap tinggal di sana selamanya! Kita tidak akan bertemu dia lagi. Jadi, mari kita menyembah anak lembu emas saja!” Pada waktu ia datang kembali, adakah dia akan mendapati iman di bumi? Apakah kita masih setia padanya?

Saya mohon kepada Anda, saudara-saudara, tak peduli seberapa besar tekanan yang datang, tetaplah setia sampai akhir. Inilah inti dari perumpamaan ini. Mari kita berdoa bagi kita semua yang akan menghadapi berbagai macam tekanan karena memang sukar menjalani hidup di tengah dunia yang menjadikan dusta dan kepalsuan sebagai dasar pijakannya. Kiranya Allah akan menganugerahkan kepada kita kasih karunia yang kita butuhkan, yaitu kesadaran bahwa Ia akan membela kita sampai pada akhirnya.

 

Berikan Komentar Anda: