Pastor Eric Chang | Lukas 11:5-13 |

Kita akan melanjutkan eksposisi di Lukas 11:5-13 untuk mempelajari satu perumpamaan yang biasanya disebut Perumpamaan tentang Sahabat pada Tengah Malam. Lukas 11:5-13

5 Lalu kata-Nya kepada mereka, “Jika seorang di antara kamu mempunyai seorang sahabat dan pada tengah malam pergi kepadanya dan berkata kepadanya: Sahabat, pinjamkanlah kepadaku tiga roti,
6 sebab seorang sahabatku yang sedang berada dalam perjalanan singgah ke rumahku dan aku tidak mempunyai apa-apa untuk dihidangkan kepadanya;
7 masakan ia yang di dalam rumah itu akan menjawab: Jangan mengganggu aku, pintu sudah tertutup dan aku serta anak-anakku sudah tidur; aku tidak dapat bangun dan memberikannya kepadamu.
8 Aku berkata kepadamu: Sekalipun ia tidak mau bangun dan memberikannya kepadanya karena orang itu adalah sahabatnya, namun karena sikapnya yang tidak malu itu, ia akan bangun juga dan memberikan kepadanya apa yang diperlukannya.
9 Karena itu, Aku berkata kepadamu: Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketuklah, maka pintu akan dibukakan bagimu.
10 Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetuk, baginya pintu dibukakan.
11 Bapak manakah di antara kamu, jika anaknya minta ikan, akan memberikan ular kepada anaknya itu sebagai ganti ikan?
12 Atau, jika ia minta telur, akan memberikan kepadanya kalajengking?
13 Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di surga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya.”

Seorang Sahabat tiba di Tengah Malam

Pertama-tama, saya ingin melukiskan gambaran perumpamaan ini supaya Anda dapat melihatnya dengan mata pikiran Anda. 

Perumpamaan ini adalah tentang seseorang yang kedatangan sahabatnya pada tengah malam. Waktu yang agak aneh untuk sampai ke rumah orang. Namun, hal ini tidak begitu aneh di negara-negara panas karena orang tidak mengadakan perjalanan apabila matahari berada tepat di atas kepala, khususnya di Palestina, tempat yang siang harinya sangat, sangat panas.

Kalau begitu, kapan mereka mengadakan perjalanan? Mereka menunggu sehingga matahari terbenam. Orang ini memulai perjalanan ketika cuaca mulai menjadi lebih dingin pada sekitar jam enam, dan tiba pada tempat sahabatnya pada tengah malam. Perumpamaan ini sering disebut “Sahabat Pada Tengah Malam”. Orang ini dibangunkan pada tengah malam saat sahabatnya ini tiba. Saya tidak tahu apakah ia menduga kedatangannya atau tidak. Jalur komunikasi tidak terlalu bagus pada zaman itu. Masih belum ada telepon yang dapat dibel untuk berkata, “Aku akan tiba tengah malam nanti!” Barangkali ia tiba-tiba saja muncul. Mungkin, ia menulis sepucuk surat, tetapi saya tidak tahu bagaimana keadaan pelayanan pos pada waktu itu — mungkin surat itu tiba setelah ketibaan sahabatnya.

Orang ini telah mengadakan perjalanan yang jauh dan, tentu saja, sudah agak lapar. Tuan rumah tidak ada roti maupun makanan untuk disajikan kepada tamu yang tidak terduga ini. Jadi, apa yang ia lakukan? Ia memandang keliling dan berpikir sebentar, “Ha! Sahabatku diseberang jalan! Ia selalu menyimpan persediaan, aku akan pergi dan mengetuk pintunya.” Namun, tentu saja pada tengah malam Anda tidak pergi dan membangunkan seluruh kampung. Lalu, ia berpikir lagi, “Apa yang harus kulakukan? Apakah aku membiarkan sahabatku ini lapar sampai pagi? Atau, haruskah aku pergi dan mengganggu sahabatku di seberang jalan itu?” Setelah memikirkannya, ia memutuskan, “Bagaimanapun juga, apa gunanya seorang sahabat? A Friend in Need, Is A Friend Indeed. (Sahabat yang ada saat dibutuhkan adalah sebenar-benarnya sahabat.) Sekarang, saya membutuhkan  beberapa roti, maka saya akan mengetuk pintu sahabat saya itu. Meskipun ia telah tidur, memberikan roti kepada saya hanya memakan beberapa menit dan sesudah itu ia bisa kembali tidur. Sedangkan sahabat saya ini yang baru tiba akan kelaparan sampai pagi jika saya tidak pergi meminta roti.”


Sikap Tidak Tahu Malu

Maka ia memutuskan untuk pergi dan mengetuk pintu sahabatnya itu pada tengah malam, namun ia tidak mendapatkan suatu respon yang antusias, hal yang tidak sulit untuk dibayangkan. Kebanyakan orang bekerja agak keras dan mereka menghargai waktu tidur mereka. Seraya ia terus mengetuk pintu, sahabatnya di dalam rumah menjawab, “Jangan mengganggu aku, pintu sudah tertutup dan aku serta anak-anakku sudah tidur; aku tidak dapat bangun dan memberikannya kepada saudara!” Jawabannya ialah, “tidak” dalam satu kata. “Tinggalkan aku dan pergi. Kami sudah tidur, dan ini bukan waktunya untuk mengetuk pintu. Apakah kamu tidak tahu bertimbang rasa? Tahukah kamu pukul berapa sekarang?”

Namun, dengan suara yang keras ia menjelaskan situasinya dari luar pintu. Dia mungkin dapat membangunkan seluruh kampung jika sahabatnya ini tidak cepat-cepat membuka pintu. Ia berkata, “Seorang sahabatku telah datang dan aku membutuhkan tiga roti.” Mengapa membutuhkan tiga roti untuk seorang sahabat? Pasti ia makan seperti kuda! Tentu saja, ia mau memastikan persediaan yang cukup. Roti pada zaman itu tidak seperti roti pada zaman sekarang. Saya kira seorang yang sangat lapar dengan mudah dapat menghabiskan barangkali dua atau bahkan tiga roti tanpa banyak kesulitan. Mungkin juga, ia berpikir, “Aku akan memberi kepadanya dua roti. Sebagai tuan rumah, aku tidak bisa duduk di situ dan melihatnya makan, jadi aku harus makan sesuatu bersama dia.” Ini disebut pei ke dalam bahasa Mandarin, artinya Anda harus makan bersama tamu yang mengunjungi Anda. Itu adalah kesopanan, khususnya bagi orang Tionghoa; tuan rumah tidak duduk dan melihat tamunya makan. Biasanya, seorang tamu merasa lebih senang jika tuan rumah makan sedikit bersamanya. Jadi, barangkali satu roti untuk dirinya sendiri, dan dua yang lain untuk sahabatnya yang baru sampai itu.

Namun, sahabatnya dalam rumah itu berkata, “Aku dan anak-anakku sudah tidur.” Gambarannya adalah sebuah rumah Palestina yang mempunyai satu kamar dan dua lantai: lantai bawah dan ada beberapa anak tangga menuju lantai atas. Seringkali, domba-domba, kambing-kambing, binatang-binatang peliharaan dan ayam-ayam tidur di lantai bawah, suatu ruang seperti gua di bawah lantai atas. Penghuni rumah itu, orang dewasa dan anak-anak, tinggal di lantai atas. Jadi, kamarnya tidak banyak. Barangkali pada zaman itu, orang lebih miskin, kita tidak tahu. Namun, ini tampaknya seperti sebuah rumah dengan satu kamar. Mereka tidak ada tempat tidur, maka mereka tidur di atas semacam kasur dan anak-anak semuanya tidur bersama supaya saling memanaskan. Jika ada yang bergerak, barangkali ia akan membangunkan semua yang lain. Sebetulnya, alasan yang diberikan bahwa anak-anaknya sudah tidur bukanlah alasan yang kuat karena kebanyakan orang yang mempunyai anak tahu bahwa apabila mereka sudah tertidur, agak sulit untuk membangunkan mereka. Setidaknya, tidak sehingga fajar baru mereka dapat dibangunkan dengan mudah. Jadi, sebetulnya itu alasan yang lemah. Pada kenyataannya, ia tidak mau menyusahkan diri untuk bangun. Ia merasa agak gemas dengan tetangganya ini yang tidak tahu malu mengetuk-ngetuk pintu pada tengah malam. Saya kira kebanyakan dari kita akan menunjukkan reaksi yang sama, bukankah begitu? Marilah kita jujur dengan diri kita sendiri. Kalau tidak, suatu hari saya akan mencobanya pada pintu Anda dan lihat bagaimana perasaan Anda. Tentu saja, Anda akan berkata, “Buat apa kamu ketuk-ketuk pintu pada tengah malam?!”

Namun, orang ini yang mengetuk pintu meminta tiga roti, tidak mau begitu saja pergi. Ia terus mengetuk pintu dan berkata, “Berikan aku roti itu karena aku tidak bisa membiarkan sahabatku lapar. Bisa tak kamu bangun?” Yang di dalam rumah berkata, “Tidak,” dan yang di luar ini berkata, “Ya,” dan ia terus mengetuk pintu itu. Akhirnya orang yang berada di tempat tidur itu berpikir, “Nah, jika aku tidak memberi kepadanya tiga roti itu, ia akan terus mengetuk pintu itu sampai subuh dan aku tidak akan tidur sama sekali. Satu-satunya cara untuk menyingkirkan dia adalah memberikan saja tiga roti itu dan berkata, ‘Ambillah dan pergi supaya aku bisa kembali tidur.'”

Di Lukas 11:8 dikatakan,

“Aku berkata kepadamu: Sekalipun ia tidak mau bangun dan memberikannya kepadanya karena orang itu adalah sahabatnya, namun karena sikapnya yang tidak malu itu, ia akan bangun juga dan memberikan kepadanya apa yang diperlukannya.”

Sekalipun ia tidak mau memberikan roti itu demi persahabatan, ia akan memberikannya hanya untuk menyingkirkan dia. Jadi, ia akan memberikannya bukan demi persahabatan, karena persahabatan di dunia ada batas tertentu yang tidak dapat dilewati. Sikap yang tidak tahu malu seperti inilah yang menang pada akhirnya. Yesus sedang mengilustrasikan suatu ketekunan yang pantang menerima “tidak” sebagai jawaban.

Pokok ini dapat juga dilihat dari ayat 9, tetapi tidak terlalu jelas dalam Bahasa Indonesia. Di dalam bahasa Yunani asli, bentuk kata kerja masa sekarang terus menerus (present continuous tense) dipakai: “Mintalah terus menerus, maka akan diberikan kepadamu; carilah terus menerus, maka kamu akan mendapat; ketoklah terus menerus, maka pintu akan dibukakan bagimu.” Itulah artinya dalam bahasa Yunani, dan justru itulah yang dilakukan orang ini. Ia terus menerus mengetuk sampai pintu dibuka. Ia terus menerus meminta sampai ia diberikan apa yang ia inginkan. Ia terus menerus mencari sampai ia mendapatkan tiga roti itu. Itu tak tahu malu namanya! Anda bisa berkata, orang ini berkulit tebal. Namun, karena ia telah memutuskan untuk mendapatkan tiga roti itu, ia tidak akan mundur sehingga ia mendapatkannya.


Rahasia Doa: Ketekunan yang Tak Tahu Malu

Pertanyaan di sini ialah, apakah yang ingin diajarkan Yesus kepada kita? Apakah ia sedang mengajar kita untuk tidak bertimbang rasa? Apakah ia mengajar kita untuk tidak bertenggang rasa dan tidak tahu malu? Jadi, lain kali Anda merasa lapar pada tengah malam, dan Anda membutuhkan hamburger, Anda akan berkata, “Oh ya, aku akan ke rumah saudara-saudaraku. Aku akan mengetuk pintu sekalipun sudah jam dua pagi. Aku akan berkata, ‘Pendeta itu berkhotbah mengenai sikap tak tahu malu. Karena itu aku di sini. Mana hamburgernya?!” Apakah itu yang diajarkan Yesus? Apakah pelajarannya? Ketekunan itu memang baik, tetapi yang ini tampaknya agak berlebihan. Oleh karena itu, kita harus terus mengejar arti bagi perumpamaan ini. Apa yang ingin disampaikan oleh Yesus melalui perumpamaan ini?

Kata kunci bagi perumpamaan ini ada di ayat 8, tentang “sikapnya yang tidak malu itu”. Sebenarnya, kata ini dalam bahasa Yunani sangat menarik dan dipakai hanya satu kali dalam Perjanjian Baru. Kata benda ini tidak muncul di mana pun dalam Perjanjian Baru kecuali dalam kitab-kitab Apokrif. Secara harfiah kata ini memang berarti “tak tahu malu”.

Sekalipun kata bendanya tidak muncul dalam Perjanjian Lama Yunani (Septuaginta), kata ajektipnya muncul beberapa kali. Yang menarik, kata ini tidak sekali pun mempunyai arti yang baik dalam Perjanjian Lama. Artinya tak tahu malu, atau kurang ajar. Hal ini agak membingungkan kita. Tampaknya Yesus sedang mendorong sikap tidak tahu malu, bukan? Apa yang ingin Yesus ajarkan kepada murid-muridnya? Apakah Yesus ingin menjadikan murid-muridnya orang yang tidak mempedulikan perasaan orang lain? Apakah Yesus ingin mereka menjadi orang yang tidak bertimbang rasa? Dunia ini memang sudah dipenuhi dengan banyak orang yang tidak bertimbang rasa. Kita tidak membutuhkan dua belas rasul lagi yang berjalan keliling mengetuk pintu orang pada tengah malam!

Perumpamaan ini datang segera sesudah ajaran Yesus tentang doa. Di Lukas 11:2, murid-murid Yesus memintanya mengajar mereka bagaimana untuk berdoa. Ia mengajarkan mereka doa yang dikenal sebagai “Doa Bapa Kami” itu, “Bapa, dikuduskanlah nama-Mu; datanglah Kerajaan-Mu…” Sesudah mengajar mereka Doa Bapa Kami, Yesus memberitahu mereka sebuah rahasia tentang doa. Ingat bahwa perumpamaan ini berhubungan dengan rahasia doa. Yesus mengajarkan bahwa dalam doa, suatu sikap yang harus Anda pelajari adalah ketekunan yang tak tahu malu. Apa artinya ini?


Prinsip Kebulatan Tekad

Pelajaran pertama yang ingin diajarkan Yesus ialah sikap “tidak tahu malu” ini, yaitu kebulatan tekad dalam doa. Yesus sedang menunjuk kepada suatu kekurangan rohani yang besar bagi kebanyakan orang Kristen pada masa kini. Pikirkan cara Anda berdoa. Apakah ada kebulatan tekad semasa Anda berdoa? Apakah terdapat ketekunan ketika Anda berdoa, jangankan tidak tahu malu?

Maka hal pertama yang harus Anda perhatikan ialah pentingnya kebulatan tekad atau kegigihan dalam hal berdoa. Tidak seorang pun akan mencapai apa-apa dalam kehidupan ini tanpa tekad yang bulat. Anda tidak akan mencapai apa-apa tanpa kegigihan. Itu ialah suatu prinsip yang benar bahkan di dunia. Saya pernah menonton filem Hollywood tentang seorang redaksi muda, atau seorang pengacara muda yang mencari pekerjaan. Ia pergi ke kantor surat kabar karena ia ingin bekerja sebagai seorang redaksi, dan kepala redaksi yang bercerutu dengan kakinya di atas meja, melihat orang muda itu dan langsung mengusirnya karena ia tidak ada pengalaman. Namun, ia tidak mau pergi. Ia bertekad untuk tidak menerima “tidak” sebagai jawaban, dan berkata, “Berikan aku satu kesempatan. Aku akan buktikan kepada Anda betapa bagusnya aku.” Kita sering mendengarkan cerita seperti ini. Atau, seorang pengacara yang mencari pekerjaan dan majikan tidak menginginkan dia. Namun, ia bertekad untuk mendapatkan pekerjaan itu, dan akhirnya ia berhasil dan semua orang merasa gembira. Tanpa kebulatan tekad, Anda tidak akan mencapai apa-apa. Bahkan orang dunia mengetahui hal ini.

Tampaknya orang non-Kristen memiliki lebih banyak pengertian tentang hal ini dibandingkan dengan orang Kristen. Saya memikirkan kata Yesus yang berbunyi, “Sebab anak-anak dunia ini lebih cerdik terhadap sesamanya daripada anak-anak terang.” (Luk 16:8) Saya melihat banyak orang Kristen yang sama sekali tidak ada kebulatan tekad. Pikirkan kehidupan doa Anda sekali lagi. Kapan Anda meminta sesuatu dengan tekun? Kapan Anda berkata kepada Allah, “Tuhan, aku benar-benar membutuhkan ini demi sahabatku ini, atau saudara ini. Aku akan berpaut kepada Engkau sehingga Engkau memberikannya. Aku tidak akan menerima ‘tidak’ sebagai jawaban”? Barangkali Anda berkata, “Itu tak tahu malu!” Benar sekali. Namun, justru itulah yang diajarkan Yesus!


Allah Menyukai Orang yang Tak Tahu Malu dalam hal Berdoa

Anda perlu mencobanya dengan Allah. Allah menyukainya. Allah menyukai orang yang mempunyai tekad yang bulat. Kita, orang Tionghua, biasanya sangat ke chi (sungkan). Kita berpikir, “Kita tidak boleh berkelakuan seperti ini. Tidak! Kita tidak boleh mempermalukan orang lain seperti itu. Kamu tidak boleh memperlakukan orang lain seperti itu. Itu tidak benar.” Izinkan saya mengatakan kepada Anda, Yesus ingin mengubah pemikiran kita. Ia berkata, “Barangkali kamu tidak menyukainya. Barangkali orang lain tidak menyukainya karena mereka semua begitu egois. Namun, Allah tidak egois dan Allah menyukai orang yang datang dan tekun meminta sesuatu.” Itulah sebabnya di Yesaya 62:6-7, umat Allah didesak untuk tidak memberi-Nya ketenangan sehingga Ia menyelesaikan rencana-Nya, sehingga Ia memasyurkan Israel di seluruh dunia. Yesaya 62:6 sangat luar biasa!

“Hai kamu yang harus mengingatkan YAHWEH kepada Sion, janganlah kamu tinggal tenang dan janganlah biarkan Dia tinggal tenang.”

Terus bertekun sehingga rencana-Nya digenapi. Manusia tidak menyukai ini, tetapi Allah tidak berpikir seperti Anda atau seperti saya. Pemikirannya sama sekali berbeda. Ia tidak keberatan jika Anda menelepon-Nya pada jam dua pagi. Ia tidak keberatan jika Anda menelepon-Nya pada jam tiga pagi. Ia tidak keberatan jika Anda datang pada tengah malam dan mengetuk pintu surga. Ia tidak keberatan sama sekali. Sebenarnya, Ia menyukainya. Ia sedang mencari orang yang akan berbuat seperti itu, yang tidak membiarkan Dia tinggal tenang, yang bertekad untuk melakukan sesuatu dan tidak akan berhenti sampai diselesaikan. Pemikiran Allah sangat berbeda dari kita. Ia mengasihi orang yang tak tahu malu, yang berkata, “Tuhan, perkara ini harus digenapi dan akan digenapi. Aku memohon kepada Engkau, dan aku akan terus memohon kepada Engkau. Aku akan terus mengetuk pintu surga.” Itulah yang diajarkan oleh Yesus tentang Allah, “Ketuklah terus menerus dan pintu akan dibuka kepada kamu.” Jika kita dapat mempelajari rahasia rohani ini, kita sedang dalam perjalanan menjadi tokoh-tokoh rohani yang besar.

Kapan kali terakhir Anda meminta sesuatu dari Allah dengan tekun? Apakah Anda meminta? Atau Anda berkata, “Tuhan, sekali lagi aku meminta ini”? Dan Allah tidak menjawab. Barangkali Anda berkata, “Anda lihat? Ia tidak pernah menjawab. Aku berhenti saja. Aku berdoa kepada Allah, tetapi Ia tidak pernah menjawab doaku. Itulah sebabnya aku menyerah.” Biarkan saya bertanya kepada Anda, “Berapa lama Anda berdoa? Apakah selama tiga puluh lima detik? Seberapa tekun Anda berdoa?” Anda berkata, “Ah! Aku sudah meminta dua tiga kali.” Dua tiga kali! Bayangkan, jika kita membunyikan bel, kita biasanya membunyikan dua tiga kali! Itu saja yang kita lakukan dalam doa! Padahal Allah mau Anda meletakkan jari Anda pada tombol dan menekannya di situ tanpa melepaskannya dan berkata, “Tuhan, aku tidak akan melepaskan jariku. Aku tidak akan lepaskan sampai pintu ini dibuka.” Anda berkata, “Itu tak tahu malu! Benar-benar memalukan!” Benar! Itu tak tahu malu! Namun, itulah yang Allah harapkan dari Anda! Sulit untuk dimengerti, bukan? Pemikiran Allah begitu berbeda dari kita. Ia tidak bermaksud supaya Anda pergi ke pintu tetangga dan membunyikan bel seperti ini. Namun, maksud Yesus ialah, “Kamu bisa berbuat demikian dengan Allah.” Yesus sedang mengajarkan tentang doa. Ia tahu orang lain tidak suka diperlakukan seperti itu. Ia tahu orang lain itu egois, tetapi Yesus berkata Allah tidak seperti itu. Sekalipun orang lain menganggap ini tidak tahu malu, tetapi Allah menyukainya. Berbuat demikianlah kepada Allah dan Anda akan menemukan bahwa Allah benar-benar menjawab doa. Pikirkan orang seperti George Mueller. George Mueller ialah orang yang pantang menerima “tidak” sebagai jawaban. Ia mendekati Allah untuk segala sesuatu dan ia berpaut kepada Allah, dan Allah memberi kepadanya. Sangat menakjubkan!

Di dalam Misynah (hukum lisan orang Yahudi yang dibukukan yang kemudian menjadi bagian utama Talmud), kita diberitahu tentang seorang yang disebut Onias, seorang yang sangat menarik. Josephus, seorang sejarawan Yahudi memanggilnya Onias Yang Benar. Onias ialah seorang yang sangat benar, seorang yang saleh. Kesalehan sangat penting dalam hal berdoa sebagaimana yang dikatakan oleh Yakobus di Yakobus 5:16,

“Doa orang benar yang dinaikkan dengan sungguh-sungguh, sangat besar kuasanya.”

Jika Anda hidup di dalam dosa, satu-satunya permohonan yang dapat Anda panjatkan dengan tekun adalah supaya Allah mengampuni Anda dan Anda tidak akan berhenti berdoa sehingga Allah mengampuni. Allah akan mengampuni jika Anda benar-benar bertobat. Namun, jika Anda ingin meminta perkara-perkara yang lain, sebaiknya Anda memastikan Anda layak untuk meminta. Ini berarti, Anda harus terlebih dulu membiarkan Dia menyucikan Anda oleh anugerah-Nya supaya Anda diperbolehkan untuk datang kepada-Nya. Apa pun yang Anda minta dengan cara itu, Anda akan menerima. Kemudian, Anda akan mengalami sendiri bahwa Allah itu Allah yang hidup. Lalu, kehidupan rohani Anda akan bertunas. Selanjutnya, iman Anda akan bertumbuh dalam kekuatan.

Mengapa Onias menjadi begitu terkenal? Pernah sekali, terjadinya suatu musim kemarau yang panjang di seluruh tanah Israel dan tanaman menjadi kering. Di sebuah negara pertanian, jika hujan tidak turun Anda akan mengalami masalah besar. Karena tidak adanya hujan yang turun, ekonomi tanah air terganggu, dan banyak orang kelaparan. Mereka datang kepada Onias Yang Benar dan berkata, “Berdoalah agar hujan turun. Tolonglah berdoa!” Onias segera menjawab, “Masukkan tempat pembakaran roti Paskah itu.” Begitulah besarnya iman Onias itu. Mengapa memasukkan tempat pembakaran roti Paskah? Karena perayaan Paskah sudah menjelang dan orang akan membakar roti Paskah pada tempat pembakaran roti yang dibuat dari tanah liat. Jika hujan turun, hujan akan menyebabkan tempat pembakaran roti kembali menjadi tanah liat. Maka ia segera berkata, “Masukkan tempat pembakaran roti Paskah itu.” Tanpa meragukan apakah Allah akan menjawab atau tidak, segera ia menjawab, “Oke, kamu meminta aku berdoa untuk hujan? Kamu akan mendapatkan hujan. Masukkan tempat pembakaran roti Paskah itu.” Mereka memasukkan tempat pembakaran roti Paskah. Namun, masih tidak hujan.

Maka Onias keluar dan melukis satu lingkaran sekeliling dirinya dan berkata, “Tuhan, aku akan berdiri di dalam lingkaran ini siang dan malam sehingga Engkau memberikan hujan yang kami butuhkan.” Lalu, hujan turun. Itulah sebabnya pada kemudian hari ia dikenal sebagai Onias Si Pembuat-Lingkaran. Hujan turun beberapa tetes dan ia terus berdoa dan terus berdoa dan ia berkata, “Tuhan, aku tidak meminta hujan ini. Hujan ini hanya beberapa tetes. Tidak cukup!” Ia telah meletakkan jarinya pada tombol bel dan ia masih terus menekan. Karena itu, hujan mulai turun dengan lebat sekali. Hujan turun sehingga menyebabkan banjir. Lalu Onias berkata, “Tuhan, aku tidak meminta ini juga. Aku meminta Engkau memenuhi tempat penampungan air dan bukan membanjiri seluruh tanah dan menghanyutkan rumah-rumah.” Sesudah itu, hujan turun pas sesuai kebutuhan. Begitulah ceritanya dalam Misynah. Ini adalah sebuah cerita yang menarik, dan kita tidak meragukan dari sumber yang dapat kita kumpulkan, bahwa ini adalah cerita benar. Onias hidup sebelum zaman Yesus, dan peristiwa ini terjadi kira-kira pada tahun 70 SM. Karena itu, ia dikenali sebagai Onias Si Pembuat-Lingkaran.

Namun tentu saja, rabi yang utama pada waktu itu yang bernama Simeon ben Shetah, menganggap cara Onias berdoa dalam lingkaran seperti itu, kurang ajar dan tak tahu malu. Jadi, rabi ini berkata, “Seandainya kamu bukan Onias, aku telah mengucilkan kamu karena tingkah laku yang tak tahu malu itu. Namun, apa yang dapat kulakukan? Kamu adalah Onias, dan Allah menjawab doa kamu karena kamu itu seperti anak yang mendesak bapanya, dan bapa mengabulkan permintaannya.”

Makanya Onias dianggap setingkat dengan Elia. Dalam Midrash, sebuah lagi kitab orang Yahudi, dikatakan,

“Tidak seorang pun dapat dibandingkan dengan Elia dan Onias Si Pembuat-Lingkaran, yang menyebabkan umat manusia melayani Allah.”

Apabila hujan turun mencurah ke bawah, mereka melihat apa yang dilakukan Allah untuk menjawab doa Onias. Banyak orang berkerumun ke Bait Allah dan menyembah Allah, mengakui bahwa Dia adalah Allah yang hidup yang menjawab doa hamba-Nya yang benar, Onias. Itulah sebabnya dikatakan bahwa tidak ada manusia yang dapat disamakan dengan Elia atau Onias, yang menarik hati manusia kepada Allah, menyebabkan umat manusia melayani Allah. Anda tentu ingat bahwa Elia melakukan hal yang sama. Ia berdiri di atas Gunung Karmel dan meminta Allah menurunkan api, dan api turun menghanguskan persembahan di atas altar, dan umat Israel berpaling kepada Allah akibat dari perbuatan hamba Allah yang besar ini.

Hari ini kita membutuhkan orang seperti itu, yang menang atas Allah, seperti Yakob, yang berpaut kepada Allah dan berkata, “Aku tidak akan melepaskan Engkau sampai Engkau memberkati aku. Engkau bisa melakukan apa saja padaku tetapi aku tidak akan membiarkan Engkau pergi.” Itulah alasan mengapa namanya diganti menjadi Israel, karena ia bergumul melawan Allah dan menang. Ia bergulat sepanjang malam! Kapan waktunya Anda berdoa untuk sesuatu sepanjang malam? Sekali-kali cobalah dan Anda akan diherankan bagaimana Allah menjawab melampaui apa yang dapat kita doakan atau pikirkan. Sukacita kehidupan Kekristenan adalah menyaksikan apa yang dapat Allah kerjakan. Menjadi seorang Kristen dan melayani Dia bukanlah semata pergi ke gereja, berbuat ini dan itu, atau berkhotbah. Semua ini penting. Namun, di atas segala-galanya adalah pelayanan doa.

Kita telah melihat pokok yang pertama, yaitu kebulatan tekad rohani, sikap tidak tahu malu yang enggan menerima ‘tidak’ sebagai jawaban dan terus berpaut kepada Allah. Sekali lagi saya ulangi, tentu saja manusia tidak menyukai sikap ini, tetapi Allah menyukainya. Ia menyukai orang yang mempunyai kebulatan tekad rohani. Saya berharap Allah akan membangkitkan untuk kita di dalam gereja ini orang-orang yang benar-benar mempunyai kegigihan rohani.


Sikap Tidak Tahu Malu dalam Mengejar Tujuan Hidup

Saya ingin berbicara tentang ketekunan rohani terutamanya kepada mereka yang akan dibaptis hari ini. Pertimbangkan arah hidup Anda. Pikirkan dengan berhati-hati gol Anda, atau tujuan hidup Anda. Setelah mempertimbangkan tujuan dan gol itu, pusatkan seluruh pikiran Anda padanya dengan tekun, dan berkata, “Tuhan, aku akan mengejar gol ini sampai gol ini digenapi oleh anugerah-Mu.” Jika setiap orang yang dibaptis hari ini akan berbuat seperti itu, setiap orang akan menjadi tokoh rohani yang besar. Mereka akan menjadi seperti Paulus.

Paulus ialah seorang yang sangat tekun. Itulah rahasia kebesaran rohaninya. Kalau Anda melihat kehidupan Paulus, Anda dapat melihat bahwa Paulus adalah seorang yang sangat gigih. Ia menempatkan cita-citanya di depan matanya dan tidak ada apa-apa yang dapat menyebabkannya menoleh ke sebelah kiri atau kanan. Ia melangkah seperti anak panah yang terbang menuju tanda sasaran, dan tidak ada apa-apa yang dapat menghalangnya dalam perjalanan. Ingat bagaimana ia mengarah ke Yerusalem dan tidak seorang pun dapat menghalangnya, tidak seorang pun dapat membujuknya supaya jangan pergi. Saat ia tahu apa yang benar di hadapan Allah, apakah arahnya dan tujuannya, ia menetapkan pikirannya pada tujuan itu. Ia maju ke depan sampai tujuan itu digenapi. Kiranya setiap dari kita mempelajari rahasia ini!

Banyak orang di dalam gereja seringkali mempunyai banyak niat yang baik. Namun, niat yang baik tidak membawa Anda ke mana-mana. Memang baik mempunyai niat yang baik, tetapi banyak niat baik yang tidak pernah dipenuhi. “Aku akan membaca sedikit lebih banyak Alkitab minggu depan.” Tentu saja, minggu depan Anda terlalu sibuk, jadi Anda menundanya ke minggu sesudah itu, dan seterusnya. Pada akhirnya, Anda tidak membaca Alkitab sama sekali. “Aku akan mulai berdoa. Yah, menurut aku ini khotbah yang bagus. Aku akan mulai hidup seperti ini, tetapi aku akan mulai besok.” Apabila besok datang, Anda berkata, “Ah tidak. Minggu depan.” Kemudian tahun depan, dan seterusnya. Semua ini adalah niat yang baik, tetapi niat yang baik tidak pernah membawa seorang pun ke mana-mana. Yang penting adalah ketekunan rohani.


Prinsip Kasih dan Kepedulian Pada Orang lain

Hal yang kedua yang ingin diajarkan Yesus kepada kita adalah ciri doa. Apakah orang ini mengetuk pintu tetangganya karena ia menginginkan roti itu untuk dirinya sendiri? Tidak, ia melakukan ini untuk orang yang lain. Motifnya adalah kasih dan kepedulian pada orang lain. Sikap inilah yang sangat menyenangkan Allah. Sikap tidak tahu malu ini berasal dari perhatian dan kasih yang siap berbuat sesuatu untuk orang lain, meskipun berbuat sesuatu itu mungkin berarti ia perlu bertekad untuk tidak tahu malu.

Mengapa ia perlu menyusahkan dirinya menyediakan roti untuk orang ini yang datang dengan tiba-tiba? Mengapa perlu ia menyusahkan dirinya untuk menyediakan makanan? Ia bisa saja berkata, “Nah, aku minta maaf. Kamu sampai pada tengah malam, tentu saja kamu tidak mengharapkan aku untuk menyediakan roti bagi kamu, bukan? Kamu tidak telepon, kamu tidak kirim telegram, kamu bahkan tidak menulis surat, dan tiba-tiba kamu muncul pada tengah malam. Makanya, jangan mengharapkan roti dariku. Lain kali kamu datang, pastikan kamu menulis surat terlebih dulu. Setidaknya telepon dulu sebelum toko tutup. Lain kali jangan begini lagi. Aku minta maaf, tetapi kamu pergi tidur dalam kelaparan, oke? Sayang sekali! Namun, kamu tidak akan mati kelaparan, bukan? Maksud saya, sekali-kali berpuasa juga bagus untuk kamu.”

Inilah pokok yang kedua yang diajarkan Yesus dalam perumpamaan ini. Belajarlah untuk memperhatikan kesejahteraan orang lain. “Masalah kamu adalah masalah aku. Jika kamu tidak ada makanan, itu adalah masalah aku. Aku akan memastikan supaya kamu ada sesuatu untuk dimakan.”  Sulit bagi kita untuk memiliki sikap seperti itu karena kita dilahirkan egois. Kita tidak peduli tentang orang lain. “Yang penting adalah aku, bukan kamu. Itu masalah kamu, maka kamu pergi dan selesaikan sendiri. Jika kamu mau roti, aku akan beritahu kamu siapa ada roti. Kamu pergi dan ketuk pintunya sendiri dan lihat apakah ia memberi kepada kamu atau tidak.” Barangkali setiap orang akan berkata demikian. Kita harus belajar sikap untuk rela menyusahkan diri demi orang lain.  Hal ini sangat sulit untuk dipelajari. Namun, kita harus terus mengejarnya. Mengapa? Karena di sini Yesus melukiskan satu gambaran yang indah kepada kita. Jika Anda hidup untuk diri sendiri, jika Anda hanya memperhatikan diri sendiri, Anda hanya memiliki seorang yang memperhatikan Anda, yaitu diri Anda sendiri. Namun, dalam membangun Kerajaan Allah, Yesus mau mengubah mentalitas ini, supaya setiap orang saling memperhatikan. Itu sangat indah.

Sekarang pikirkan. Seandainya Anda memperhatikan setiap orang di dalam gereja, dan setiap orang di dalam gereja memperhatikan Anda. Berapa orang yang memperhatikan Anda? Seluruh gereja memperhatikan Anda. Sebelumnya, Anda hanya memperhatikan diri sendiri, berarti hanya ada seorang yang memperhatikan Anda. Sekarang, seluruh gereja memperhatikan Anda. Bukankah gereja seharusnya begitu? Jadi, Anda tidak perlu lagi berpikir tentang diri sendiri, orang lain yang berpikir tentang Anda. Anda hanya memusatkan perhatian memikirkan tentang orang lain. Ini sangat indah! Jika kita dapat mempraktekkan hal ini, kita akan mulai hidup sebagaimana Yesus memaksudkan kita untuk hidup sebagai sebuah gereja. Namun, saya masih belum melihat hal ini terwujud di dalam gereja. Saya melihat kita semua masih egois. Saya melihat bahwa kita masih hidup untuk diri kita sendiri. Barangkali kita sedikit lebih baik dari sebelumnya; kita sedikit lebih memperhatikan orang lain.

Saya sering berpikir tentang semua orang di dalam gereja yang harus saya perhatikan, apakah kebutuhan mereka dan sebagainya. Namun, saya tidak cukup tenaga maupun kekuatan, khususnya sesudah satu program pelatihan dalam minggu itu. Sesudah itu,  saya begitu capek. Kepala saya berdenyut-denyut, seolah-olah ada yang bermain gendang di dalam. Saya merasa begitu lelah. Saya selalu merasa saya tidak dapat melakukan apa yang harus saya lakukan. Di sini ada seorang saudara yang harus saya perhatikan, tetapi saya tidak berbuat apa-apa untuk dia. Di sana ada seorang saudara lagi yang harus saya berbuat sesuatu untuk dia. Banyak kali, saya berbaring di tempat tidur dan berpikir sendiri, “Aku mau berdoa untuk orang ini dan orang itu. Aku seharusnya dapat berbuat lebih untuk saudara itu, tetapi aku belum. Ah! Andai saja seluruh gereja rela berfungsi sebagai sebuah gereja, dan setiap orang saling memperhatikan, tanggung jawab itu tidak akan jatuh pada hanya satu orang yang berusaha untuk memperhatikan semua yang lain.” Itu tidak akan berhasil. Namun, apabila setiap orang melakukannya, sumbangan yang sedikit dari setiap orang akan menghasilkan perbedaan yang besar. Jadi di sini, Yesus menempatkan di depan mata kita prinsip saling memperhatikan di dalam Kerajaan Allah. Kita harus begitu saling mempedulikan sehingga kita rela menyusahkan diri untuk menolong seseorang, dan kalau perlu, menjadi tidak tahu malu dan bertekad untuk mendapatkan pertolongan yang diperlukan oleh orang itu. Saya rindu untuk melihat hari-hari apabila gereja mulai berfungsi seperti ini.


Berdoa untuk Orang lain

Umpamanya, dalam doa kita, apakah kita hanya berdoa untuk diri kita sendiri? Semuanya tentang ujian saya, pekerjaan saya, studi saya, keluarga saya, ini saya dan itu saya. Marilah belajar untuk melupakan diri sendiri dan menghabiskan waktu kita berdoa untuk orang lain. Orang ini ada kebutuhan, maka berdoalah untuk orang ini. Orang itu ada kebutuhan, maka berdoalah untuk orang itu. Lalu, mungkin Anda akan bertanya-tanya, apa terjadi kepada Anda sendiri? Biar saya beritahu Anda: jangan kuatir tentang diri Anda. Allah tidak melupakan orang yang melupakan dirinya. Ini sangat penting. Anda coba melupakan diri Anda dan Anda akan menemukan bahwa Allah mengingat Anda sepanjang waktu. Cobalah sekali-sekali. Anda tidak perlu selalu berdoa untuk diri Anda, kesehatan Anda, rumah Anda, dan pekerjaan Anda. Cobalah berdoa untuk orang lain dan belajarlah untuk melupakan diri Anda itu sedikit. Semoga Allah menolong kita untuk melupakan diri kita! Tempatkan diri Anda di atas altar seperti Paulus, yang berkata, “Mengenai diriku, aku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan demi kamu semua….” Anda curahkan diri Anda dan Allah akan menyusahkan diri-Nya untuk memperhatikan Anda. Ia akan menaruh seluruh perhatian-Nya kepada Anda. Sekalipun tidak seorang pun yang mengingat, Allah mengingat. Betapa indahnya perhatian-Nya itu!


Prinsip Kejujuran yang Absolut dengan Allah

Ini membawa kita ke pokok yang ketiga dan terakhir. Ada tempatnya untuk sikap tidak tahu malu dalam kehidupan Kristen. Jangan salah memahami saya. Saya ingin menjelaskan kepada Anda sebentar lagi apa yang dimaksudkan Yesus dalam pokok yang ketiga ini.

Pernahkah Anda perhatikan betapa dangkalnya hubungan kita dengan sesama manusia ? Saya seringkali menjadi sedih melihat betapa sulitnya untuk meruntuhkan tembok pemisah antara kita. Selalu ada tembok pemisah di antara kita. Apabila Anda berbicara dengan seseorang, dapat dirasakan bahwa orang itu memasang tembok. Tembok itu tidak semestinya disengajakan, tetapi suatu tembok bawah-sadar di mana seseorang itu tampak defensif. Mereka bertanya-tanya, “Mengapa kamu berbicara kepadaku? Apakah karena kamu inginkan sesuatu dariku?” Mengapa kita begitu takut kehilangan sesuatu? Mengapa kita begitu takut? Apakah kita akan kehilangan beberapa butir berlian yang kita simpan dalam hati kita? Hubungan kita dengan sesama manusia cenderung menjadi sangat dangkal.

Kesopanan, yang berlawanan dengan sikap tidak tahu malu, dapat menjadi halangan yang besar bagi hubungan antar perorangan. Sampai ke tingkat tertentu memang penting untuk bersikap sopan, tetapi bersikap sopan dapat menjadi halangan yang besar kepada hubungan antar satu dengan yang lain. Kesopanan dapat menjadi mekanisme pertahanan yang sama sekali tidak dapat ditembusi. Anda tidak tahu apa sebenarnya yang dipikirkan oleh orang itu. Kadang-kadang apabila saya memberitakan Injil, saya berharap ada orang yang langsung berkata kepada saya, “Tidak.” Dengan cara ini saya tahu jelas pendirian Anda. Namun, karena sungkan orang selalu berkata, “Ya”, walaupun sebenarnya tidak.

“Maukah Anda ke gereja hari Minggu ini?”

“Oh, pasti! Aku akan datang ke gereja Minggu akan datang!”

Tentu saja Minggu akan datang, Anda tidak melihat orang itu. Mengapa Anda tidak bisa jujur dengan saya? Hanya katakan, “Aku tidak akan datang ke gereja karena alasan ini…” Atau, Anda bahkan tidak perlu memberi saya alasan apa pun. Hanya katakan, “Aku tidak akan datang ke gereja.” Itu saja. 

Namun, karena Anda tidak mau menyinggung perasaan orang, Anda berkata, “Ya. Pasti! Jam berapa kebaktian Anda? Aha, jam dua. Aku akan mencatatkannya, aku pasti datang. Terima kasih. Anda baik sekali.”

Namun, orang itu tidak pernah datang. Dia memanfaatkan kesopanan sebagai sarana untuk membangunkan tembok, untuk menutup jalan. Jadi, terdapat dua macam kesopanan. Ada satu yang sejati, yang berasal dari kasih. Yang satu lagi datang dengan niat untuk menutup pintu, dengan cara yang tidak melukai perasaan, tetapi mengatakan ‘tidak’ dengan mengatakan ‘ya’.  Sifat ini sudah begitu tertanam di dalam pribadi kita sehingga hubungan kita dengan sesama manusia, bahkan sesama orang Kristen, menjadi sangat dangkal. Sangat sulit untuk kita dapat saling berkomunikasi sampai Anda benar-benar tahu apa yang saya maksudkan dan saya tahu persis apa yang Anda maksudkan. Jika ada kasih yang sejati di antara satu dengan yang lain, tidak akan ada kepura-puraan, tidak ada kemunafikan dan tidak ada kesopanan yang palsu. Saya berkata kesopanan yang palsu karena ada juga kesopanan yang sejati, dan kita memang harus bersikap sopan. 

Saya selalu memikirkan perkataan Kong Hu Cu: Jun zi zhi jiao dan ru shui. Saya tidak pernah melupakan perkataan itu. Entah berapa kali bapa saya mengutipnya kepada saya. Kapan saja saya mempunyai seorang sahabat yang sangat dekat, ia akan berkata, “Jangan terlalu dekat dengan sahabat itu sekarang. Kamu harus menjaga jarak karena Kong Hu Cu berkata, jun zi zhi jiao dan ru shui.” Kalimat itu berarti, hubungan kita harus jernih seperti air; jangan seperti anggur yang mempunyai rasa yang keras dan menggairahkan. Karena itu, kita harus menjaga jarak kita dengan sesama manusia, dan jangan pergi melewati itu. Itulah li, yaitu kesopanan dalam bahasa Mandarin. Barangkali itu benar di dunia ini yang setiap orang itu egois dan setiap orang menaikkan pagar dan melukiskan perbatasan masing-masing, tetapi bagaimana dengan gereja? Apakah kita harus selalu bersikap dangkal satu dengan yang lain?

Pengajaran Barat juga tidak berbeda. Ke mana saja saya pergi, saya melihat tanda, “Private. Keep out.” (“Milik Pribadi. Jangan Masuk!”) Itulah perbatasannya. Atau, “Trespassers will be prosecuted.” (“Pelanggar akan dituntut ke pengadilan.”) Makin lama makin menakutkan! Itu berarti, “Jaga jarakmu. Di sini ada perbatasan, dan jangan kamu berani masuk. Kalau tidak, aku akan menuntut kamu ke pengadilan!” Jika saya menyusun kata-kata pada papan tanda itu dengan sopan, akan tertulis pada papan itu, “Private.”  Kurang sopan sedikit, “Private. Keep out.” Atau, lebih kurang sopan lagi, “Beware of dogs.” (“Berjaga-jaga dengan anjing.”) Jadi, kita menemukan situasi yang sama di mana-mana di seluruh dunia ini. Kita tidak ingin orang lain terlalu mendekati karena kita merasa tidak aman. Kita tidak tahu apa yang mereka inginkan dari kita. Kita berpikir, “Barangkali ia akan mengetuk pintu aku pada tengah malam untuk meminta roti jika aku terlalu bersahabat dengan dia. Tidak, aku bukan tipe yang ini. Aku tidak suka kelakuan seperti ini.”

Namun, Allah menghendaki supaya kita membangun suatu hubungan yang sangat dekat antara satu dengan yang lain. Ia ingin supaya kita mendekati satu dengan yang lain, bersikap ikhlas satu dengan yang lain, berbicara jujur satu dengan yang lain, tidak bersikap was-was satu dengan yang lain, dan rela mencurahkan diri kita satu kepada yang lain. Sangat sulit, bukan? Sangat sulit, tetapi itulah ideal yang Yesus gambarkan bagi kita. Lebih dari itu, perumpamaan ini mengungkapkan pikiran Allah kepada kita. Ia menghendaki supaya kita datang kepada-Nya dengan cara ini, jujur dan terbuka, tanpa kesopanan yang palsu.

Seringkali kita berbicara kepada Allah seolah-olah kita berbicara kepada bos kita di kantor. Bagaimana kita berbicara dengan bos kita? Kita masuk ke dalam kantornya dengan satu senyuman melebar, dan tentu saja kita memamerkan tingkah laku yang terbaik. Kemudian kita berkata, “Bos, engkau baik-baik hari ini?’ Kita mempunyai hubungan yang baik dengan bos itu, dan kita mengatakan hal-hal yang suka didengarnya. Kita berkata kepada dia, “Jas yang engkau kenakan itu bagus sekali! Apakah dasi engkau itu Christian Dior? Apakah engkau yang membelinya? Engkau mempunyai selera yang tinggi!” Kita harus menyenangkan bos kita supaya kita dapat naik pangkat dan naik gaji. Bukankah kita sering melakukan hal yang sama kepada Allah? Kita datang kepada-Nya seperti menghadap Bos Besar dan kita berusaha untuk memberitahu Allah hal-hal yang menyenangkan-Nya. “Allah, Engkau begitu ajaib, sungguh.” Namun, di dalam hati kita, kita berkata, “Dalam banyak kesempatan Engkau tidak memberikan apa yang aku inginkan.” Namun, kita melanjutkan, “Tetapi bagaimana pun juga, Allah, Engkau begitu baik.” Doa kita begitu dangkal. Doa yang bagaimana ini? Allah tidak mau kita bermain-main dengan Dia. Katakan saja apa yang Anda maksudkan, terus-terang langsung ke pokok persoalan yang sebenarnya.

Ia lebih suka Anda berurusan dengan Dia dengan cara yang tidak tahu malu, dan gigih. Habakuk seperti itu. Ia berkata, “Tuhan, mengapa Engkau berbuat seperti ini? Aku benar-benar tidak mengerti mengapa Engkau melakukan hal ini. Aku akan berdiri di sini Tuhan, dalam segala hormat, sehingga Engkau memberikan aku jawaban yang aku pinta.” Nah, itu sangat berani. Akan tetapi, itu adalah keberanian  rohani. Allah hendak supaya kita datang kepada-Nya dengan hormat, tetapi juga dengan suatu ketekadan. Ia mau supaya kita gigih dan sangat jujur. Marilah kita berdoa kepada Allah dalam segala kejujuran. Janganlah berpikir bahwa Allah itu seperti orang lain. Ia adalah Allah. Ia melihat ke dalam hati. Ia tahu apa yang kita pikirkan. Janganlah berpura-pura, dan marilah berbicara kepada-Nya hati ke hati. Sangatlah menyenangkan! Saya yakin Anda mempunyai seorang sahabat karib. Tahukah Anda mengapa sahabat itu begitu dekat dan mengapa Anda menikmati waktu-waktu bersama sahabat itu? Karena Anda tidak perlu berpura-pura di hadapan orang itu. Anda bisa santai. Anda bisa menunjukkan dirimu yang sebenarnya. Anda bisa mengatakan apa saja yang ada dalam pikiran Anda karena dia seorang sahabat. Anda tidak dapat berbuat seperti itu dengan setiap orang, tetapi Anda dapat berbuat seperti itu dengan sahabat Anda. Itulah yang diinginkan Allah. “Datanglah kepada Aku dan anggaplah Aku sebagai seorang Sahabat.” 


Pergi kepada seorang Sahabat demi seorang Sahabat

Itulah sebabnya cerita itu dimulai dengan cara ini: seseorang pergi kepada seorang sahabat demi sahabatnya yang lain. Intinya ialah “kepada seorang sahabat demi seorang sahabat.” Yesus berkata kepada kita di sini, “Anggaplah Allah sebagai sahabatmu. Datanglah kepada-Nya dan jangan malu-malu meminta dari Dia apa yang dibutuhkan oleh sahabatmu yang lain itu.” Keduanya adalah sahabat. Anda benar-benar mengasihi kedua-duanya. Anda mengasihi Allah dan Anda mengasihi sesama manusia. Jika kita dapat menangkap rahasia ini, kita akan bergerak jauh dalam kehidupan rohani ini karena inilah kehendak Allah bagi kita. Saya berharap kepada Allah kita mengenal kasih semacam ini yang melampaui rasa malu. Di Ibrani 12:2 kita membaca,

Yesus tahan menderita di kayu salib! Ia tidak peduli bahwa mati di kayu salib itu adalah suatu hal yang memalukan. (BIS)

Demi kita, Yesus rela menanggung rasa malu. Mati di atas kayu salib sangatlah memalukan. Siapa yang rela mati di atas kayu salib atas pilihan sendiri? Kayu salib itu khusus untuk perampok, untuk penjahat, untuk pembunuh. Jadi, apakah yang rela Anda tanggung demi seorang sahabat? Barangkali tidak banyak. Namun, Yesus rela “mengabaikan rasa malu,” rela menanggung kehinaan demi keselamatan kita. Dapatkah kita membagi mentalitas ini juga demi sahabat-sahabat kita dan berkata, “Aku rela bersikap tak tahu malu demi kesejahteraannya”?

Sekarang kita akan meringkaskan.


Ringkasan

1.      Pokok yang pertama adalah: kita membutuhkan kegigihan rohani, yaitu kegigihan rohani yang tidak tahu malu. Jika Anda dapat melakukan itu, Anda akan menjadi tokoh rohani yang besar. Banyak di antara kita masih mengingat Sundar Singh, hamba Allah yang besar dari India itu. Ia tidak mengenal Allah, tetapi ia berkata, “Tuhan, aku merayu kepada Engkau untuk menyatakan diri-Mu kepadaku. Aku harus mengenal Engkau supaya aku dapat hidup untuk Engkau. Jika Engkau tidak menyatakan diri-Mu kepadaku, aku lebih baik mati daripada melanjutkan begini.” Dan Allah menyatakan diri-Nya! Itulah kegigihan rohani. Allah menyukai orang semacam ini. Jika Anda berdoa seperti ini, Ia pasti akan menjawab doa Anda. Lalu Anda akan mengalami-Nya sebagai Allah yang hidup.

2.      Pokok yang kedua adalah komitmen kita satu kepada yang lain. Kita rela menanggung rasa malu demi seorang saudara laki-laki atau saudara perempuan. Mengapa tidak menerima sedikit penghinaan jika perlu demi kesejahteraan saudara kita? Pikullah sedikit penderitaan demi orang lain. Bagaimanapun juga, pertimbangkanlah apa yang telah dipikul oleh Yesus demi kita.

3.      Akhirnya, ubahlah hubungan kita dengan Allah. Datanglah kepada Dia dalam segala kejujuran, tanpa kepuraan-puraan sama sekali. Berbicaralah kepada Dia apa saja yang ada di dalam hati Anda. Jika ada sesuatu yang tidak menyenangkan Anda, beritahu Dia. Jangan berpidato kepada Allah; Ia tidak mau mendengar semua itu. Beritahukan saja apa yang ada di dalam hati Anda. Jika Anda tidak senang tentang sesuatu, katakan, “Tuhan, aku benar-benar tidak senang karena ini. Aku tidak senang. Aku tidak mengerti mengapa harus begitu.” Ketika ibu saya meninggal, saya benar-benar marah dan terganggu karena menurut saya ibu saya mempunyai potensi yang besar untuk melayani Tuhan. Ibu saya mempunyai kemampuan menulis yang luar biasa. Saya menaruh pengharapan bahwa setelah ibu saya datang kepada Tuhan, ia akan dipakai Tuhan untuk melayani-Nya meskipun ia baru bertobat. Tiba-tiba Tuhan mengambilnya. Ia meninggal dunia. Saya menderita sekali di hadapan Tuhan. Saya berkata, “Tuhan, aku tidak senang akan hal ini. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang telah Engkau lakukan. Aku benar-benar terganggu karena ini.” Saya menangis di hadapan Tuhan, dan saya sangat terusik, dan saya memberitahu-Nya itu. Saya tidak mengatakan kata-kata yang sedap didengar kepada-Nya. Saya mencurahkan hati saya dalam kepedihan dan kesedihan dan bahkan dalam sedikit kemarahan. Saya mengaku merasa sedikit marah. Namun, Allah menaruh belas kasihan. Sementara saya terus berpaut kepada Tuhan, tidak dapat tidur pada waktu malam ketika saya memikirkan pertanyaan itu, Tuhan menjawab dan menghiburkan hati saya. Karena itu, marilah kita datang kepada Tuhan dengan cara ini. Saya pikir banyak orang Kristen perlahan-lahan kembali ke jalan yang lama karena mereka tidak pernah belajar untuk jujur bersama Allah. Mereka mengucapkan hal-hal yang tidak mereka maksudkan. Mereka berurusan dengan Allah seperti mereka berurusan dengan orang lain. Mereka tidak memberitahu-Nya apa yang mereka rasakan, dan ini memperburuk situasi. Mereka menyimpannya di dalam hati dan hal ini akan sangat merusak hubungan. Datanglah kepada Dia, beritahu Dia kenyataan yang ada di dalam hati Anda itu dan berdoalah dengan tekun. Anda akan melihat betapa baiknya Allah itu!

 

Berikan Komentar Anda: