Pastor Eric Chang | Kualitas Hidup (2) |

Akhir-akhir ini saya banyak berpikir tentang ‘kualitas hidup’.  Di khotbah saya yang lalu, saya menunjukkan bahwa setiap hal di dalam kehidupan ini ada sangkut-pautnya dengan kualitas hidup.  Hal ini termasuk keputusan kita untuk menjadi seorang Kristen.

Bayangkan anda mendengar kesaksian seorang Kristen sebagai berikut, “Sewaktu aku belum menjadi orang Kristen, aku hidup dengan penuh kebahagiaan.  Setiap hari aku mempunyai sukacita di dalam hatiku.  Kesukacitaanku begitu penuhnya sehingga akhirnya aku merasa sudah tiba saatnya untuk menjadi sengsara.  Lalu, aku membuat keputusan untuk menjadi seorang Kristen.”

Saya tidak pernah mendengar kesaksian seperti ini.  Pernahkah anda mendengar kesaksian seperti ini?  Walaupun kita tidak pernah mendengarnya, tetapi kelihatannya dalam kenyataan sehari-hari itulah yang terjadi dengan orang Kristen. Memang saya tidak tahu kalau mereka itu benar-benar bahagia atau tidak sebelum menjadi orang Kristen, tetapi kelihatannya sesudah menjadi orang Kristen, mereka menjadi sengsara.  Meskipun mereka mencoba dengan sepenuh hati untuk kelihatan bahagia, kadang-kadang mereka gagal melakukannya.

Apakah masalahnya?  Inilah pertanyaan yang ingin saya bahas: Seperti apakah kualitas hidup kekristenan anda?

Kenapa seseorang ingin datang kepada Kristus pada mulanya?  Apakah karena ia ingin menjadi sengsara?  Mungkin beberapa di antara kita telah menyadari pada saat kita belum menjadi orang Kristen, bahwa untuk menjadi seorang Kristen itu memerlukan komitmen, dan bahwa kehidupan kekristenan merupakan kehidupan yang sulit.  Akan tetapi, kita juga tidak mau menjadi seperti orang muda yang berkata kepada Yesus, “Tidak, tidak.  Aku rasa persyaratanmu terlalu tinggi.  Lain kali lagi saja.”  Lalu, kenapa kita masih tetap mau menjadi orang Kristen setelah mengetahui dengan jelas harga yang harus dibayar dan komitmen yang diminta?


Semangat Seorang Pendaki Pegunungan Himalaya

Tahun lalu saya berkunjung ke Nepal.  Ketika pesawat sedang menuju ke Nepal dari India, setiap orang di pesawat begitu ingin melihat pegunungan Himalaya sampai-sampai hampir seluruh penumpang menggeser ke satu sisi pesawat untuk melihat dengan sekilas pegunungan itu.  Ini membuat saya berpikir jangan-jangan pesawatnya akan terbalik.  Setiap orang begitu terpesona dengan keindahan dan keagungan pegunungan Himalaya.  Enak juga bisa melihat pegunungan itu dari jauh, sejauh kabin pesawat yang terbang tinggi di atasnya.  Akan tetapi, ada orang yang tidak puas dengan cara melihat seperti ini.  Apa yang mereka lakukan?  Mereka datang sendiri ke Nepal, lalu mendaki pegunungan itu, dengan menantang hawa dingin, penderitaan, dan bahaya yang luar biasa.

Kenapa mereka melakukan hal itu?  Ada pendaki yang merasa tidak puas dengan hanya mendaki bagian yang rendah dari jajaran pegunungan Himalaya.  Mereka ingin mendaki puncaknya yang tertinggi.  Mereka benar-benar mempertaruhkan nyawanya dan banyak orang yang akhirnya kehilangan nyawa mereka karena mendaki.  Mungkin definisi kita akan kualitas hidup ialah suatu gaya hidup yang santai, tetapi bagi para pendaki itu kualitas hidup berarti mendaki gunung tinggi dan melihat dunia dari atas puncak gunung, meskipun hal itu berarti pelatihan pendakian yang keras selama bertahun-tahun, dan kerelaan memikul penderitaan menghirup udara tipis.  Bagi mereka, kualitas hidup bukan berarti mempunyai waktu untuk bermalas-malasan, tetapi mempunyai waktu yang berkualitas.  Hanya para pendaki itulah yang memahami arti kepuasan dari keberhasilan mendaki puncak tertinggi, memandangi dunia yang terhampar di bawahnya.  Pelatihan yang bertahun-tahun itu adalah suatu persiapan untuk saat yang telah dinanti-nantikan.  Bagi mereka, kualitas hidup adalah suatu penaklukan, suatu kemenangan atas tantangan-tantangan luar biasa.

Mungkin orang-orang seperti inilah yang sedang dicari oleh Yesus.  Dia berkata kalau kita ingin menjadi murid-muridnya, caranya tidak gampang.  Dia suka mencari orang-orang yang memahami kualitas hidup sebagai suatu kesiagaan untuk menaklukan puncak-puncak gunung rohani, dan bukan sebagai waktu untuk bersantai-santai.


Seluruh Aspek Kehidupan Adalah Tentang Pengejaran Kualitas Hidup Yang Lebih Baik

Setiap aspek kehidupan adalah tentang kualitas hidup, tidak peduli bagaimana pengertian kita.  Kalau kita pergi ke shopping mal atau toko-toko, kita bisa melihat banyak sekali toko-toko yang menjual pakaian.  Kadang saya bertanya-tanya siapa yang akan membeli begitu banyak pakaian, karena kebanyakan pakaian yang saya miliki cenderung bertahan sangat lama.  Di sini jelas sekali kita dapat lihat bahwa untuk kebanyakan orang, pakaian berarti kualitas hidup.  Mereka harus membeli pakaian.  Bagi mereka, itulah pengertian mereka akan kualitas hidup.

Satu contoh lagi.  Apakah anda mempunyai televisi di rumah?  Tentu saja, setiap orang mempunyainya.  Apakah televisinya hitam putih?  Tentu saja tidak.  Itu barang kuno.  Saya tanya anda lagi, apa salahnya dengan televisi hitam putih?  Kalau anda menonton siaran berita lewat TV hitam putih, apakah berita yang anda dengar itu menjadi salah?  Apakah penting bagi anda untuk melihat warna pakaian yang dipakai oleh sang penyiar?  Tidak juga!  Kalau begitu kenapa kita semua membeli televisi berwarna?  Kita berkata yang berwarna lebih baik, lebih bagus kelihatannya.  Akan tetapi, hal ini sedikit sekali kaitannya dengan kualitas berita.  Seluruh kaitannya adalah dengan kualitas hidup.  Agar supaya kita bisa terus-menerus meningkatkan kualitas hidup ini, riset jutaan dolar Amerika sedang dilaksanakan untuk memperoleh mutu warna yang lebih tinggi dan kecanggihan teknis yang lebih unggul, sehingga mereka bisa mengorek lebih banyak uang dari kantong kita.

Mengapa kita melakukan riset medis? Karena kita ingin mencari obat penyembuhan untuk penyakit-penyakit seperti kanker.  Namun, apakah kita pernah bertanya: apa salahnya kalau menderita penyakit kanker?  Apa masalahnya, terlebih lagi sekarang ini banyak sekali orang yang menderita penyakit kanker?  Untuk menanyakan hal seperti ini kedengarannya bodoh sekali, karena bagi kita hal ini sudah jelas dengan sendirinya.  Untuk kebanyakan dari kita, menderita penyakit kanker itu adalah suatu hal yang serius karena kanker dapat membunuh kita.  Seperti yang kita ketahui kematian berarti akhir dari kualitas hidup.  Berapa banyak di antara kita yang sanggup hidup sedemikian sehingga kanker tidak mempengaruhi kualitas hidup kita?  Oleh karena kanker, banyak sekali uang dan tenaga kerja yang telah dicurahkan ke dalam riset medis, untuk mencoba mencari jalan keluar agar kita dapat mempertahankan kualitas hidup.  Kita melihat banyak sekali bentuk dan ragam obat penghilang rasa sakit dan obat batuk di apotik, karena kita tahu bahwa penyakit dan batuk merusak kualitas hidup kita.  Kita tidak lagi dapat menikmati hidup kita.


Apakah Tuhan Ingin Kita Hidup Sengsara?

Sekarang kita bisa lihat dengan cukup jelas bahwa jika kualitas hidup itu penting untuk kehidupan jasmani, maka demikian jugalah halnya untuk kehidupan rohani.  Janganlah kita mempunyai mentalitas yang berbeda tentang Allah, misalnya kita menjadi curiga jangan-jangan Dia mempunyai pandangan yang berbeda akan kualitas hidup rohaniah.  Mungkin bagi Dia, seorang Kristen yang baik adalah seorang Kristen yang sengsara.  Semakin sengsara, semakin rohaniah.  Apakah ini kedengarannya tidak asing lagi?  Jalan pikiran kita kadang seperti ini: karena dunia orang tidak percaya banyak membicarakan tentang kesenangan hidup, maka kita berkesimpulan bahwa segala bentuk kesenangan hidup tentu saja bersifat kedagingan.  Hal sebaliknya pasti benar: menjadi sengsara berarti menjadi rohaniah.  Maka kita merasa bersalah kalau kadang-kadang kita merasa senang, karena kita berpikir bahwa kita telah melakukan sesuatu hal yang tidak rohaniah.

Lihatlah para biarawan di biara-biara.  Bukankah mereka menganggap kesengsaraan suatu kerohanian?  Mereka mengenakan pakaian dari bahan yang kasar dengan corak sangat sederhana, makan makanan yang bersahaja, hidup tanpa kenikmatan duniawi sama sekali.  Mereka juga harus hidup di dalam kebungkaman, karena di kebanyakan biara, mereka telah disumpah untuk menjadi bungkam.  Jadi kalau berbicara dengan sesama mereka saja tidak diizinkan, bayangkan apa hukumannya kalau mereka tertawa.  Segala bentuk kesenangan telah dilarang.  Bagi kita mereka kelihatannya sedang mencari  kesengsaraan.

Mungkin kita telah menyalahfahami mereka.  Sama seperti para pendaki Himalaya itu, mereka sedang mencari suatu kualitas hidup yang lain.  Para pendaki itu tidak memerlukan pakaian yang indah sewaktu mendaki Himalaya.  Mereka tidak bisa menikmati ‘Kentucky Fried Chicken’ sewaktu menggantung di lereng yang terjal.  Jadi kenikmatan hidup yang normal harus disisihkan disaat mereka sedang mencoba untuk menjangkau tujuan mereka yaitu mencapai puncak gunung tertinggi.  Jika seorang biarawan benar-benar sedang mencari kesukacitaan di dalam Allah, itu adalah hal yang baik; ia tahu bahwa ia sedang mencari suatu kualitas hidup yang lain.  Tetapi jika ia berpikir bahwa ia akan mendapatkan keselamatan hanya dengan cara hidup dalam kesengsaraan, dan jalan menuju keselamatan adalah dengan menjadi sengsara, ia telah salah menanggapi.


Paulus Memiliki Kualitas Kesukacitaan

Rasul Paulus mengatakan sesuatu hal yang sangat penting di 1 Timotius 6:17,

“Allah yang dalam kekayaanNya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati.” 

Rasul Paulus adalah seorang yang begitu mengenal penderitaan dan kesengsaraan.  Ia adalah seorang prajurit Kristus sejati.  Tetapi jika anda pernah tinggal dengannya, anda akan menemukan kualitas kesukacitaan di dalam hidupnya.  Bagaimana dengan diri kita sendiri?  Apakah orang-orang yang mengenal kita melihat sesuatu di dalam hidup kita?  Kualitas hidup macam apakah yang mereka temukan di dalam hidup kita?  Apakah mereka melihat buah Roh di dalam hidup kita?

Kita semua tahu buah Roh (Galatia 5:22-23).  Apabila kita mengamati kesembilan buah Roh itu, kita akan melihat bahwa setiap buah itu bersangkut-paut dengan kualitas hidup.  Apakah pesannya masih belum jelas bagi kita?  Allah memberikan Roh Kudus kepada kita supaya kita dapat memiliki kualitas hidup yang istimewa: kehangatan kasih, kesukacitaan yang meluap-luap, ketenangan damai sejahtera.  Daftarnya berlanjut dengan kesabaran dan kelemah-lembutan dan segala hal lainnya yang indah.  Itu berarti jika Roh Kudus memenuhi hidup kita, kita akan hidup di dalam kualitas hidup yang demikian.  Jika kita dipenuhi dengan semuanya ini, apakah kita bisa merasa sengsara?  Sebaliknya, jika anda merasa sengsara, apakah mungkin anda dipenuhi oleh Roh?  Lihatlah kehidupan anda.  Lihatlah situasi kehidupan anda sekarang ini.  Seperti apakah kualitas hidup anda sekarang ini?


Tuhan Peduli Akan Kebahagiaan Kita

Di mana saja di kitab Suci, akan anda temukan bahwa keprihatinan Allah berkaitan dengan kualitas hidup.  Sewaktu Yesus memulai pelayanannya, Dia mengajarkan apa yang kita kenal sebagai Ucapan-ucapan Bahagia (Matius 5:3-11).  Alkitab Cina menyebutnya ‘Delapan Ucapan Bahagia’, tetapi sebenarnya ada sembilan ucapan dengan kata ‘berbahagialah’, cocok sekali dengan kesembilan buah-buah Roh.  Hal yang menarik juga adalah kata “berbahagialah” yang berarti ‘bergembiralah’.  Jadi kita bisa terjemahkan Ucapan Bahagia yang pertama sebagai: “Bergembiralah orang yang miskin di hadapan Allah.”  Saya lebih suka ucapan itu diterjemahkan dengan demikian, karena kata “berbahagialah” tidak mempunyai banyak arti lagi.  Jadi kita lihat di Matius sembilan kali Tuhan berkata: “Bergembiralah orang”.

Satu hal menarik lagi untuk dicatat ialah Tuhan memulai pelayananNya dengan menekankan kegembiraan sembilan kali.  Apakah anda gembira?  Apakah saya gembira?  Jika tidak, maka pelayananNya masih belum menjangkau kita.


Hati Yang Suci – Rahasia Kegembiraan

Apakah rahasia kegembiraan?

Marilah kita lihat salah satu dari ayat-ayat ini:

“Bergembiralah (Berbahagialah) orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah” (Matius 5:8) 

Di sini kita melihat bahwa Allah akan memberi kita kegembiraan kalau hati kita bersih, dan kegembiraan itu adalah karena akan melihat Allah.  Menurut ayat ini, prinsipnya adalah kita tidak akan bisa bergembira di dalam Tuhan jika hati kita tidak suci.  Kata yang diterjemahkan sebagai ‘suci’ secara harfiah berarti ‘bersih’.  Jika ada ketidak-bersihan di hati anda, anda tidak akan memiliki kesukacitaan.

Ini bukan hanya sekedar teori.  Ini adalah hal yang praktis.  Jika kita mempunyai semacam kepahitan, misalnya, di dalam hati kita, atau jika kita iri hati kepada seseorang, apakah kita masih bisa bergembira?  Tidak bisa, karena dosa atau kotoran itu telah mencemarkan seluruh batin kita.  Ambillah contoh sederhana seperti keserakahan.  Selama keserakahan itu ada di dalam hati kita, kita tidak akan dapat menjadi gembira, karena kita tidak akan pernah puas dengan apa yang kita miliki.  Jadi kalau saya iri hati dengan mobil yang dikendarai seorang jemaat gereja, kegembiraan saya akan lenyap.  Kegembiraan itu tidak akan ada karena hati saya yang tidak bersih.  Ini bukanlah teori yang abstrak.  Hal ini bisa diuji, seperti tes yang dilakukan di laboratorium.  Kita bisa mengetahuinya dari kehidupan kita sendiri.


Biarlah Roh Allah Menyelidiki Hati Kita

Itulah sebabnya, jika kita menginginkan kegembiraan dan kesukacitaan di dalam Tuhan, kita harus membiarkan Roh Allah menyelidiki setiap ketidak-bersihan di hati kita.  Karena meskipun hanya sedikit saja ketidak-bersihan di hati itu masih tetap akan merampas kesukacitaan kita.  Ingatlah bahwa Allah menginginkan kita untuk menikmati hidup dengan sepenuhnya.  Tetapi ini bukanlah hanya untuk kepuasan diri sendiri, tetapi supaya kita bisa menjadi terang dunia!  Sayangnya untuk menjadi terang bagi diri sendiri saja seringkali sulit apalagi menjadi terang dunia.  Kita hampir tidak bisa melihat kemana arah tujuan kita, apalagi menolong orang lain menujukan arah tujuan mereka.

Kita semua mengerti jikalau saya memeras jeruk, sari jeruk yang akan keluar.  Anak kecilpun tahu.  Tetapi bagaimana kalau saya memeras jeruk itu dengan sekuat tenaga, apakah sari apel yang akan keluar?  Bagaimana kalau saya memerasnya dengan lemah-lembut sambil berkata: “Tomat, tomat, tomat!”, apakah saya akan mendapatkan sari tomat?  Kita tahu sendiri jawabannya.  Tetapi untuk kebanyakan orang Kristen, kita melihat fenomena yang menarik.  Kalau anda ‘memeras’-nya dengan lemah-lembut, dengan hanya memberi sedikit tekanan, yang keluar masih kelihatan mirip seorang murid Kristus, masih kelihatan mirip sari jeruk.  Tetapi kalau hidup menghantam mereka dengan keras, misalnya kecelakaan mobil, yang akan keluar mungkin lebih jelek dari sari tomat!

Jika rekan kerja anda dengan tidak sengaja menumpahkan kopi sehingga membasahi anda besok pagi di kantor, bagaimanakah reaksi anda?  Apakah yang akan keluar itu sari jeruk, atau sari tomat, atau sari buah lain yang lebih jelek?  Apakah anda akan melompat dari tempat duduk anda dan menarik kerah bajunya seraya berkata: “Kamu ini bagaimana?  Buta ya matamu?  Lihat bajuku, rusak semua!”  Rekan kerja anda mungkin berpikir gereja anda melatih singa-singa sebagai murid-muridnya!


Belajar Melihat Diri Kita Sendiri Melalui Sari Buahnya

Apa yang dapat kita pelajari dari semuanya ini?  Jika hati kita suci dan tanpa ketidak-murnian, reaksi kita tidak akan berbeda meskipun kita di-‘peras’ dengan sekuat tenaga atau dielus-elus dengan lemah-lembut.  Tentu saja kita bisa berdalih; kalau kita tidak dikagetkan seperti itu, kita tidak akan bereaksi demikian.  Saya bertanya-tanya bagaimana reaksi anda kalau tiba-tiba saya kagetkan.  Suatu hari saya akan menyamar dan kemudian  menubruk anda sampai jatuh.  Bagaimana reaksi anda?   Apakah anda akan berkata: “Kamu ini bagaimana?  Buta ya matamu?”  Mungkin anda akan memberi beberapa hantaman kepada saya.

Namun hanya dengan cara inilah Allah mencari tahu apa yang terkandung di dalam hati kita.  Pernahkan anda memperhatikan bila Tuhan memberi anda sebuah sentakan secara mendadak, reaksi anda akan menyatakan siapa anda sesungguhnya?

Apakah reaksi anda jika tiba-tiba seseorang menanyakan tentang kehidupan perkawinan anda?  Atau tentang anak-anak anda?  Apakah anda mencoba menghindari topik itu?  Apakah anda mendadak teringat akan janji pertemuan yang sudah terlambat?  Hal-hal sensitif apakah yang tidak mau kita bicarakan?  Kalau kita mempunyai hal-hal sensitif seperti ini, tidaklah mengherankan bila kita tidak mempunyai kesukacitaan.


Tuhan Ingin Kita Menjadi Bahagia

Apa yang saya katakan adalah suatu hal yang praktis.  Allah menginginkan kita untuk mempunyai kesukacitaan.  Tidak hanya agar anda bisa menjadi gembira, tetapi karena kesukacitaan itu mempengaruhi orang lain.  Pernahkan anda memperhatikan jikalau kita merasa tidak senang , kita membuat setiap orang di dalam keluarga dan di gereja juga tidak senang?  Kalau ada seseorang yang hadir di persekutuan dengan wajah murung, maka dalam waktu singkat setiap orang akan menatapnya, dan setiap orang akan mulai merasa tidak senang.  Akhirnya ketidaksenangan itu mempengaruhi gereja secara menyeluruh.

Kita dipanggil untuk menjadi ‘terang dunia’.  Ini kedengarannya sangat rohaniah.  Tetapi apa arti kerohanian itu sebenarnya?  Dapatkah kita memberi definisinya?  Banyak orang yang mempunyai dugaan kalau seorang yang rohaniah adalah seorang yang kelihatan sakit berat, dengan punggung terbungkuk karena kerendahan-hatinya, dan mempunyai citarasa yang buruk atas pakaian yang dipakainya karena dia tidak mempunyai waktu untuk hal-hal duniawi.  Dia juga bersikap sangat serius di gereja, tersenyum hanya sedikit saja, tidak terlalu banyak, karena dia tahu sikap yang terlalu gembira bukanlah sikap yang pantas ditunjukkan di gereja.  Apakah ini arti kerohanian yang benar?  Saya percaya kalau kita mengerti Tuhan dengan lebih baik, kita akan banyak merubah ide-ide kita tentang kerohanian.


Apakah Kualitas Hidup Anda Membuat Orang Lain Tertarik?

Di tempat kerja kita, apakah rekan kerja kita tertarik kepada kita karena kita selalu mengacung-acungkan Alkitab kita?  Apakah mereka tertarik kepada Tuhan karena kita mempunyai lencana yang bertuliskan “Aku milik Yesus”?  Atau apakah karena kualitas hidup kita yang membuat mereka berkata: “Wah! Orang ini sungguh berbeda.  Ada kasih, kesukacitaan, kedamaian.  Saya tidak mengerti, tetapi yang jelas orang itu mempunyai sesuatu.”  Kualitas seperti ini adalah suatu kualitas yang tidak bisa dibuat-buat.  Kualitas seperti ini memberi kesan yang mendalam karena diri kita begitu dipenuhi dengan kualitas itu sehingga meluap keluar dengan sendirinya, tanpa mempedulikan bagaimana cara kita di-‘peras’.

Orang-orang yang mengenal Yesus menceritakan kepribadian Yesus supaya kita bisa menjadi seperti Dia.  Seperti apakah Dia itu?  Kita bisa membacanya di Yohanes 1:14,

“Kita telah melihat kemuliaanNya, … penuh dengan kasih karunia dan kebenaran.” 

Perhatikan kata ‘penuh’.  Kasih karunia adalah ekspresi lain dari kasih.  Dimana ada kasih, disitu ada kasih karunia.  Dimana ada kasih karunia, disitu ada kasih.  Kedua-duanya tidak terpisahkan.  Lalu ada kata ‘kebenaran’, dan kebenaran itu selalu bersih.  Kebenaran, kesucian, dan kebersihan juga tidak terpisahkan.

Karena Yesus itu penuh dengan kasih karunia dan kebenaran, ‘sari buah’ yang keluar dariNya tidak akan pernah mengejutkan kita.  Apa yang sudah penuh di dalam akan meluap keluar.  Meskipun Dia dikejutkan, dipukul dan dicemooh, yang keluar masih tetap kasih karunia dan kebenaran.  Inilah sebabnya ketika Yesus sedang dicaci-maki, Dia tidak membalasnya.  Begitu juga dengan rasul Paulus yang berkata: “Kalau kami dimaki, kami memberkati” (1Korintus 4:12).  Ketika mereka menyalibkan Yesus, kualitas hidupNya masah tetap sama: “Bapa, ampunilah mereka” (Lukas 23:34).   Penuh dengan kasih karunia dan kebenaran.  Ketika tombak menembus sisi tubuhNya, darah dan air mengalir keluar: lambang atas kasih karunia dan kebenaran.

Segala apa yang terkandung di dalam anda dan saya akan mengalir keluar.  Dan saya berdoa agar apa yang mengalir keluar akan sama seperti apa yang dikatakan oleh rasul Paulus: “Kami adalah bau harum dari Kristus yang menghidupkan” (2 Korintus 2:16).  Jika anda ambil sehelai daun peppermint dan kemudian anda remas, anda dapat mencium bau harumnya.  Kalau anda ‘diremas’, apa yang keluar?  Apakah yang keluar itu suatu reaksi yang keji atau tetap kemanisan Yesus?


Perhatikan Stres Batiniah Kita

Saya ingin praktis dalam menolong kita semua meneliti reaksi batin kita.  Perhatikanlah diri anda sewaktu anda beristirahat di rumah atau di tempat kerja.  Perhatikanlah ketegangan di dalam tubuh anda, karena hal ini menyatakan sesuatu akan ‘sari buah’ kita.  Di saat anda menjadi tegang, anda tidak dapat mempunyai kesukacitaan.  Ada orang-orang yang menggertakkan gigi sewaktu mereka tidur.  Temukan dan tanganilah sumber-sumber dari ketegangan itu.  Apakah sumbernya itu kecemasan?  Contohnya, kita mempunyai banyak kekuatiran kalau tiba saatnya bagi kita untuk ber-‘sharing’ di dalam grup.  Menjadi kuatir adalah hal yang biasa/ alamiah karena adalah alamiah bagi kita untuk peduli dengan pendapat orang lain tentang ‘sharing’ kita.  Di segi lain, jikalau kita benar-benar mengasihi satu sama lain di dalam grup, ketakutan dan kecemasan itu akan lenyap.  Ketakutan melahirkan kecemasan, dan kecemasan melahirkan ketegangan.  Telitilah diri kita untuk melihat kalau sumber ketegangan itu berasal dari ketakutan akan manusia atau kekurangan akan kasih.


Menjaga Hidup Kita Supaya Tidak Bernoda

Setiap dari kita mempunyai noda-noda yang berbeda di dalam hidup kita yang perlu dibersihkan supaya hati kita dapat menjadi suci.  Kalau hanya 1% dari air di botol itu tercemar, maka kita tidak akan mempunyai air yang murni lagi.  Bagian 1% yang tercemar itu akan mencemari 99% yang lainnya.  Untuk menjadi bersih berarti harus bersih total, kalau tidak maka tidak akan bersih.  Seperti kalau ada noda kecil di atas sprei putih, sprei itu tidak bersih lagi.

 “Berbahagialah orang yang suci hatinya” berarti hati itu harus suci, tidak boleh ada noda didalamnya.  Karena itu Daud berdoa kepada Tuhan seperti ini:

“Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku.  Ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!” (Mazmur 139:23-24). 

Daud ingin melihat apakah ada kejahatan atau ketidak-bersihan dalam kehidupannya betapapun kecilnya.  Mengapa Daud begitu peduli akan hal ini?  Bukankah ini adalah hal yang biasa bagi kita semua jika ada sedikit noda di dalam kehidupan kita?  Tidak bisa, terutama kalau anda menginginkan kesukacitaan, kalau anda ingin menikmati hidup yang penuh di dalam Kristus.  Bersamaan dengan maksud itu, kita berseru kepada Tuhan: “Bersihkanlah aku, ya Allah, dan aku akan menjadi bersih!”

Maka dengan sungguh-sungguh saya berdoa agar setiap dari anda dapat memasuki tahun yang baru ini dengan suatu pengalaman seperti apa yang dikatakan rasul Paulus: “Allah yang dalam kekayaanNya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati”.  Paulus juga berkata di 1 Korintus 11:28: “Hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri” di saat perjamuan kudus, tetapi tidak hanya di saat perjamuan kudus saja.  Dia meneruskan dengan berkata bahwa ada beberapa di antara mereka yang sakit, dan ada beberapa yang telah meninggal.  Sedikit ketida-bersihan akan meracuni seluruh sistim hidup kita secara jasmaniah dan rohaniah.

Malam ini sebelum anda tidur, biarkanlah Tuhan menyelidiki hati anda dan anda juga menyelidikinya dengan Tuhan untuk melihat jikalau ada sesuatu (kebencian, kepahitan, atau hal lain yang mungkin telah anda lupakan) yang Tuhan ingin keluarkan.  Dengan demikian anda dapat tidur nyenyak nanti malam, dan anda tidak akan menggertakkan gigi anda sewaktu tidur.

 

Berikan Komentar Anda: