Pastor Eric Chang | 1 Korintus 4:13 |
Judul khotbah ini, “Paulus, Sampah dunia”, berasal dari 1 Korintus 4:13,
“Kami telah menjadi sama dengan sampah dunia, sama dengan kotoran dari segala sesuatu, sampai pada saat ini.”
Dengan kata lain, “Hal itu berlaku sampai sekarang. Saya dianggap sebagai sampah dunia bukan di masa lalu saja tetapi sampai saat ini, saya masih dipandang seperti itu.” Paulus berulang kali membuat pernyataan ini. Hal ini penting untuk diperhatikan. Paulus di sini tidak sekadar berkata, “Aku adalah sampah dunia.” Terlebih lagi, ia juga tidak berkata bahwa ia sendiri saja yang menjadi sampah dunia, ia berkata ‘kami’, artinya, ia dan rekan sekerjanya adalah sampah dunia. Untuk memastikan kita memahami hal itu, ia mengulangi pernyataan itu dalam bentuk lain: kami adalah “kotoran dari segala sesuatu.”
Makna ayat ini sangatlah dalam dan saya masih belum layak untuk membicarakannya, tetapi setidaknya saya harus mencobanya. Saya tidak layak karena saya sendiri belum mencapai tingkatan tersebut. Saat ini saya masih belum dianggap sebagai sampah dunia. Memang ada orang yang di sepanjang masa pelayanan saya memandang saya sebagai sampah dunia, dan saya menganggap hal itu sebagai suatu penghormatan, akan tetapi tingkat pengalaman saya di bidang ini masih sangat dangkal. Ini juga merupakan alasan mengapa saya mendapati bahwa saat mencoba untuk berbicara tentang salib saya merasa kesulitan, karena saya masih belum mengalami salib seutuhnya – termasuk penderitaan yang menyertainya. Demikianlah, saya masih belum memahami secara tuntas berdasarkan pengalaman sendiri bagaimana rasanya diperlakukan sebagai sampah dunia. Pernahkah Anda diperlakukan sebagai sampah dunia? Apakah ada orang yang memandang Anda sebagai kotoran dari segala sesuatu?
Kedua kata itu menggunakan kata Yunani yang sangat menarik. Kata ‘sampah’ merupakan terjemahan dari kata perikatharma dalam bahasa Yunani. Kata peri berarti pinggiran dan kata katharma berarti hal yang dibersihkan. Jadi gabungan kedua kata tersebut berarti “dibersihkan mulai dari tepi”. Gambarannya seperti ini: Ketika Anda memasak makanan dan kemudian mencuci panci atau wajan yang dipakai untuk memasak, Anda akan melihat kotoran yang mengeras di tepian panci atau wajan tersebut. Kotoran tersebut melekat kuat dan biasanya cukup sulit untuk dibersihkan, jadi Anda perlu memakai penggosok yang keras untuk membersihkan perikatharma atau kotoran yang melekat di bagian pinggir panci atau wajan tersebut. Kotoran ini biasanya akan membuat Anda sakit kepala jika Anda ingin membersihkan peralatan memasak Anda sampai benar-benar bersih, karena Anda harus mengerahkan tenaga yang cukup besar untuk menggosoknya, terutama jika kotoran ini gosong dan mengeras. Dalam bahasa percakapan sehari-hari, biasanya kita menyebut kotoran ini sebagai ‘kerak’. Kata ‘sampah’ sebenarnya bukan terjemahan yang cukup tepat dari kata Yunani asalnya. Di dalam bahasa Indonesia, kata aslinya bisa kita artikan sebagai kotoran yang mengendap di dasar suatu wadah, dengan kata lain, bisa kita terjemahkan dengan kata ‘ampas’, misalnya pada saat kita habiskan segelas kopi, maka kita bisa melihat adanya ampas kopi itu di bagian dasar dari gelas kita.
“Kami,” demikian kata Paulus, “dipandang sebagai sampah.” Apa yang harus Anda lakukan untuk bisa dipandang sebagai sampah oleh dunia? Apakah kehidupan kita menimbulkan reaksi tertentu? Kehidupan Paulus mendorong timbulnya suatu tanggapan, entah itu bau kehidupan ataupun kematian. Kita adalah bau kehidupan yang menghidupkan bagi sebagian orang, dan bau kematian yang mematikan bagi sebagian yang lain (2Kor.2:16). Di lingkungan jemaat Galatia, ada beberapa orang yang memandang Paulus seperti Yesus sendiri. “Kalian menerimaku,” demikian kata Paulus kepada orang-orang di Galatia, “seperti kalian menerima Yesus sendiri.” Mereka memandangnya sebagai gambaran dari Kristus, dan dia memang begitu. Akan tetapi, jika di tengah jemaat Anda dipandang seperti ini, mestinya di mata dunia, Anda akan dipandang sebagai sampah.
Pemuridan: Keikutsertaan Menjadi Sampah Dunia
Apa hubungan semua ini dengan pemuridan? Segalanya! Saya ingin menekankan, agar sekalipun Anda telah lupa akan isi pembahasan yang lain, bahwa Anda akan ingat bahwa makna pemuridan di dalam PB tak dapat dipisahkan dari keikutsertaan menjadi sampah. Ada tertulis di dalam Alkitab bahwa di hari-hari terakhir, akan banyak orang yang tidak mau mendengarkan ajaran yang sehat, tetapi hanya ingin menyenangkan telinganya. Anda bisa baca itu di 2 Timotius 4:3. Jadi ciri khas dari hari-hari terakhir adalah ajaran yang sehat akan banyak ditolak, karena terlalu keras untuk dicerna. Kita tidak suka dengan ajaran yang terlalu keras itu. Kita ingin mendengarkan hal-hal yang memang mau kita dengarkan – untuk memuaskan telinga kita. Inilah salah satu hal utama yang ingin saya sampaikan: tanda dari seorang murid yang sejati adalah ia bersedia mendengarkan kebenaran, tidak peduli sekeras apapun hal itu untuk ‘pencernaannya’.
Salah satu hal yang saya lakukan di dalam penelaahan Alkitab pribadi adalah mencari ayat-ayat yang menurut saya sangat sulit untuk dicerna. Saya ingin memastikan saya tidak meluputkan sesuatu. Saya tidak ingin membangun sikap yang salah terhadap Firman Allah, yang membuat saya hanya terpaku pada ayat-ayat yang hanya berisi janji-janji indah yang bisa saya terima. Saya tidak mau menjadi orang yang hanya ingin memuaskan telinga saja. Saya justru ingin meneliti ayat-ayat yang, sejujurnya, sangat sulit untuk saya telan. Dan Tuhan benar-benar telah memberkati saya sepanjang hidup saya karena saya mau mendengarkan hal-hal yang secara alami tidak saya sukai.
Apakah saya rela memperlakukan ayat ini bagi diri saya? Yaitu, mengambil bagian berbunyi “Paulus, sampah dunia” lalu mengubahnya menjadi “Eric, sampah dunia. Kotoran dari segala sesuatu”? Bukankah sekarang ayat ini menjadi sangat sulit ditelan? Kita semua ingin merasa diterima. Kita semua ingin terkenal. Kita ingin semua orang menyukai kita. Kita tidak mau orang lain memandang kita sebagai sampah dunia, bukankah begitu? Dan hal itulah yang membuat pemuridan sebagai hal yang sulit. Itu karena pemuridan berkaitan dengan hal menjadi sampah.
Mungkin Anda berkata, “Baiklah. Tunjukkan bukti yang mendukung uraian Anda.” Saya akan menunjukkan bukti itu. Paulus, dalam beberapa ayat sesudahnya, berkata, “Sebab itu aku menasihatkan kamu: turutilah teladanku!” Setelah berkata bahwa ia adalah sampah dunia, secara mengejutkan, ia melanjutkan dengan berkata, “Nah, bukan aku saja yang menjadi sampah dunia. Kamu juga harus meniru teladanku”, dan itu disampaikan segera setelah mengucapkan kata-kata di ayat 13 itu. Perhatikan, Paulus sedang berbicara kepada jemaat di Korintus yang, sebagaimana ia gambarkan di pasal 3 ayat 1, disebutnya sebagai manusia duniawi. Dan manusia duniawi tentu tidak mau menjadi sampah dunia; mereka ingin menjadi populer. Mereka ingin merasa diterima. Mereka akan berkata, “Terimalah aku. Jangan tolak diriku.” Akan tetapi, apa yang akan Anda lakukan terhadap sampah? Apa yang akan Anda lakukan dengan kotoran? Apakah Anda akan menaruhnya di dalam mangkok yang indah? Dalam mangkok kaca dan memamerkannya? Tentu saja tidak! Yang akan Anda lakukan adalah mengambilnya dan membuangnya ke tong sampah.
Maukah kita ditolak dunia?
Apa yang dikatakan oleh Paulus? Ia mengatakan hal ini di Galatia 6:14, “Oleh salib Kristus, aku telah disalibkan bagi dunia ini dan dunia ini bagiku.” Beritakan hal itu, dan dunia akan segera memperlakukan Anda sebagai sampah. Mengapa? Karena Anda telah memutuskan hubungan Anda dengan dunia. Anda tidak lagi mau menyenangkan dunia; Anda hanya ingin menyenangkan Yesus. Hanya Yesus yang penting bagi Anda. Saat saya menyenangkan hati Yesus, saya tidak bisa menyenangkan hati dunia. Dan jika saya menyenangkan dunia, maka saya tidak bisa menyenangkan Yesus. Saya harus memilih, dan itulah pilihan yang ada dalam pemuridan.
Menjadi seorang Murid berarti menjadi Hina dan ditolak Manusia
Paulus ingin melangkah di jejak Kristus. Di 1 Korintus 11:1, ia berkata,
“Jadilah pengikutku (imitators = peniru), sama seperti aku juga menjadi pengikut (imitator = peniru) Kristus.”
Di sini Paulus menjadi peniru Kristus. Ia menjadi sampah, karena Yesus juga telah diperlakukan sebagai sampah. Sadarkah Anda akan hal itu? Sadarkah Anda bahwa salib Kristus adalah lambang tertinggi untuk mengungkapkan suatu sikap penolakan? Anda tentu tidak akan menyalibkan orang yang Anda senangi; Anda akan menyalibkan orang yang tidak Anda inginkan. Dengan menyalibkan seseorang berarti Anda ingin membuang orang itu selamanya dari bingkai kehidupan Anda. Anda menaruhnya di kayu salib dan membuatnya sangat menderita di sana, untuk mengungkapkan tingkat penolakan Anda terhadapnya.
Di Yesaya pasal 53, pasal yang terkenal karena menceritakan tentang Yesus sebagai Hamba yang Menderita, apa yang tertulis di sana?
“Ia dihina dan dihindari orang.”
Sekarang Anda bisa melihat hubungannya. Kita dipanggil sebagai murid berarti kita harus memikul salib dan mengikut Yesus. Salib adalah gambaran penghinaan dan penolakan. Kita harus sadari hal itu. Ketika Yesus berkata, “Pikullah salibmu,” sebenarnya apa yang harus kita pikul? Saya tidak melihat adanya orang yang berkeliling sambil memikul balok kayu atau bagian salib di pundaknya. Selain Petrus, rasul yang lain tidak mengalami kematian di kayu salib. Lalu bagaimana mereka akan memenuhi pengajaran dari, misalnya, Lukas 14:27: “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut aku, ia tidak dapat menjadi muridku”? Apakah kita ini muridnya? Jika benar, maka seharusnya kita selalu berjalan sambil memikul salib. Namun apa itu salib? Salib adalah lambang penolakan – dan itu berarti menjadi orang yang dihina dan ditolak oleh manusia. Yesus berkata, “Benar, akulah hamba yang menderita itu. Aku dihina dan ditolak oleh manusia.” Ia datang kepada miliknya, tetapi orang-orang miliknya itu tidak menerimanya. (Yoh.1:11). Dan Yesus berkata, “Jika engkau ingin menjadi muridku; maka hal yang sama akan terjadi padamu.” Anda juga, akan dihina dan ditolak oleh manusia.
Saat kita lemah, kita akan mengalami Kenyataan menjadi Murid
Kita ingin dipakai dalam keadaan yang kuat. Kita mengira bahwa cara untuk bisa menjadi alat yang berguna bagi Allah adalah dengan menjadi orang kuat. Ini adalah pemikiran yang umumnya berlaku. Sedangkan menjadi sampah dunia berarti kita dipakai dalam kelemahan. Namun justru di dalam kelemahan itulah baru kita mengalami realitas dari hal mengikut dia yang telah dihina dan ditolak oleh manusia itu. Dalam hal ini, saya sendiri merasa malu, karena saya ternyata masih belum mencapai tingkatan yang disebutkan oleh Paulus ini. Saya masih belum bisa berdiri di sini dan berkata, “Aku adalah sampah dunia ini, dunia telah menjadikan aku sama dengan sampah,” karena saya ini masih belum diperlakukan sebagai sampah oleh kebanyakan orang. Dunia cenderung menghormati Anda. Dan gereja bergerak di dalam posisi yang berkuasa. Lagi pula, kebanyakan dari kita adalah orang-orang berpendidikan. Sangat sulit bagi orang untuk memandang kita sebagai sampah jika kita memasang berbagai gelar akademis di belakang nama kita, bukankah begitu?
Saya pernah diundang untuk berkhotbah di sebuah gereja di Inggris, dan di dalam surat undangan itu disebutkan bahwa saya harus memakai toga berikut topi khasnya saat sedang berkhotbah di atas mimbar nanti. Saya berpikir, “Apa-apaan ini? Mengapa saya harus melakukan hal seperti itu?” Terus terang saja, saya tidak punya toga dan juga topi khasnya itu, karena pada saat wisuda kelulusan, saya memakai toga sewaan. Saya menyewa untuk beberapa jam pada hari itu. Saya juga tidak punya topi khas tersebut. Karena itu juga barang sewaan. Jika saya harus mengenakan pakaian seperti itu, maka saya mungkin harus pergi ke tempat persewaannya di London, padahal pada saat itu saya tinggal di Liverpool. Saya berpikir, “Apa artinya ini? Mengapa saya harus memakai toga untuk memberitakan Firman Allah? Ya, idenya adalah pandangan bahwa si pembicara adalah orang yang berwenang. Dalam hal memberitakan Firman Allah, kita memang harus berbicara berdasarkan kuasa yang diberikan oleh Allah. Namun mengapa sehelai toga, yang dipakai dalam lingkungan sekuler, menjadi persyaratan agar saya bisa berbicara tentang Firman Allah?” Selanjutnya, saya menolak untuk mengenakan toga. Saya katakan, “Jika Anda ingin melihat orang yang berkhotbah sambil mengenakan toga yang indah, undang orang lain saja. Sejujurnya, saya tidak punya toga.”
Jemaat di Korintus: contoh orang-orang yang ingin berada dalam Posisi yang Kuat
Orang-orang di Korintus semuanya ingin dipakai dalam posisi berkuasa. Begitulah cara kerja orang duniawi. Dan gereja, sayangnya, cenderung untuk menjalankan fungsinya dengan cara yang sama seperti cara kerja dunia. Di sini, Paulus, dengan cukup pedas, berbicara tentang perkara tersebut di dalam pasal yang sama – yaitu pasal 4. Empat kali di dalam konteks pasal ini, ia berbicara tentang kesombongan – yaitu kesombongan orang Kristen di Korintus. Anda akan melihat kata ‘sombong’ di ayat 6, 18, 19 dan di pasal 5 ayat 2. Paulus berkata kepada mereka, “Kamu sombong, sedangkan aku adalah sampah dunia.” Dan di Galatia 6:14, “Kamu bermegah, sedangkan aku hanya bermegah di dalam salib Kristus.”
Lalu ia berkata dengan pedas kepada orang-orang Korintus di ayat 8,
“Kamu telah kenyang”
Wah, mereka sudah sangat puas terhadap diri sendiri.
“…kamu telah menjadi kaya”
– mereka berada dalam posisi berkuasa karena kekayaan berarti kekuasaan.
“…tanpa kami kamu telah menjadi raja”,
artinya, “kami tidak termasuk ke dalam kategori raja sedangkan kalian adalah raja.” Namun kemudian, dengan keras ia melanjutkan, “Tapi, kalian ini sesungguhnya bukanlah raja, bukankah begitu? Aku berharap seandainya saja kalian ini benar-benar raja, supaya aku bisa ikut memerintah bersama kalian. Kalian sudah memerintah. Setidaknya, demikianlah menurut perkiraan kalian. Dan kami ingin sekali memerintah bersama kalian.” Memerintah, raja, kenyang, dan sebagainya – lambang kekuasaan. Dan Paulus sebenarnya sedang menyindir mereka. Namun ia ingin meyakinkan mereka bahwa tujuannya bukanlah untuk mempermalukan mereka, melainkan sekadar menyadarkan mereka bahwa kehidupan Kristen bukanlah kehidupan yang seperti itu. Itu sebabnya ia katakan di ayat 14, “Kutuliskan semua ini bukan untuk mempermalukan kalian. Itu bukanlah tujuanku – sekalipun berdampak seperti itu – “tetapi untuk menegor kamu sebagai anak-anakku yang kukasihi.”
Berfungsi di dalam Kuasa Allah melalui Kelemahan!
Hubungan antara seorang rabi dengan muridnya (kata talmid adalah bahasa Ibrani untuk kata murid) sama dengan hubungan antara seorang ayah dengan anaknya, dan hal ini terlihat di ayat 14 itu, “Aku berkata kepadamu sebagai anak-anakku yang kukasihi.” Kalian adalah murid-muridku. Namun kalian tidak meniruku. Jadi ia melanjutkan di ayat 16 dengan berkata, “Aku menasehati kamu untuk meniru teladanku. Jangan memakai kekuasaan karena kuasa Allah justru terwujud di dalam kelemahan.” Apakah kita senang berada dalam posisi yang lemah? Tidak!
Lalu apa arti ‘memikul salib’ itu? Cukupkah dengan cara memikul balok kayu atau memakai kalung salib emas di leher? Arti sesungguhnya adalah keputusan untuk menjadi sampah dunia! Dengan kata lain, sampah dunia merupakan pengertian dari memikul salib. Apa arti menjadi sampah dunia? Kesediaan untuk menjadi sampah dan menjadi kotoran, menjadi yang terhina dari segala sesuatu berarti kesediaan untuk menjadi rendah hati sepenuhnya. Apakah yang dikatakan oleh Yesus tentang hal ini? Di Matius 11:29, dikatakan “…belajarlah padaku.” Di sana kita melihat kata ‘belajar’, yang merupakan konsep Ibrani dari pemuridan.
“Belajarlah padaku, karena aku lemah lembut dan rendah hati.”
Yesus hanya Memilih satu Hal untuk dibicarakan – Kerendahan Hati!
“Belajarlah padaku sebab aku…” Apa yang dia inginkan agar kita pelajari? Apakah Yesus ingin agar kita belajar bagaimana cara menyembuhkan orang lain? Ia tidak memberi kita pelajaran seperti itu, sejauh yang saya ketahui. Ia bahkan tidak memberi tahu kita apa yang harus dilakukan untuk penyembuhan itu. Apakah Yesus hendak mengajari kita cara mengusir setan? Ia tidak mengajari kita bagaimana cara melakukan ini atau itu. Yang Yesus katakan adalah, “Jadilah rendah hati, karena aku ini rendah hati.” Belajarlah padaku, jika engkau ingin menjadi muridku, kerendahan hati inilah yang harus kamu pelajari. Suatu hal yang mengejutkan, dari segala macam mata pelajaran yang tentunya bisa Yesus berikan, ia hanya memilih satu hal untuk dibicarakan – kerendahan hati!
Seberapa tulus dan mendalamnya langkah kita bersama Yesus akan diuji dengan satu perkara ini. Terlebih lagi, perhatikanlah ini, “Aku ini rendah hati.” Kadang kala kita bisa terlihat seperti rendah hati. Badan saya agak membungkuk dan kepala saya agak menunduk, dan melihat itu mungkin Anda akan berkata, “Ia adalah orang yang rendah hati, karena ia berjalan seperti itu.” Mungkin sebenarnya saya ini orang dengan hati yang sangat angkuh, tetapi yang Anda perhatikan hanyalah bentuk badan saya, dan saya terlihat seperti orang yang rendah hati. Lalu apa arti rendah hati? Kerendahan hati adalah hal yang sangat sulit untuk dipelajari oleh orang seperti saya, sangat sulit sekali. Dan ini adalah hal yang sangat perlu untuk saya pelajari. Bagaimana cara membedakan kerendahan hati yang sejati dengan yang palsu? Maksud dari kerendahan hati yang palsu adalah kerendahan hati yang berdasarkan kekuatan manusia. Kerendahan hati juga dipandang sebagai hal yang baik di kalangan manusia.
Contoh dari Kerendahan Hati yang Manusiawi
Ayah saya adalah seseorang yang selalu berusaha untuk menjadi rendah hati. Ini adalah hal yang sangat sulit baginya, sebagai orang non-Kristen, tetapi ia tetap berusaha. Saya sangat mengagumi ayah saya. Prestasi akademisnya sangat luar biasa. Saya teringat ketika ada orang yang bertanya kepada ayah saya, “Bisakah Anda berbahasa Inggris?” Ia tersenyum dan menjawab, “Bisa sedikit saja.” Nah, orang ini tidak tahu bahwa ayah saya lulusan dari Harvard. Dan ia menyusun disertasi doktornya di dalam bahasa Inggris, bahasa Inggris yang sangat baik, dan ia mengejar serta memperoleh dua gelar doktor. Selain bahasa Inggris, ia juga menguasai beberapa bahasa asing lainnya dengan baik. Namun ketika ditanya apakah ia bisa berbahasa Inggris, ia hanya menjawab, “Bisa sedikit.”
Saya dapat berkata bahwa ia berusaha sangat keras untuk menjadi rendah hati. Sekalipun ia memegang jabatan yang sangat tinggi di pemerintahan, ia menolak kendaraan dan sopir resmi yang disediakan, dan membeli sendiri sebuah sedan kecil buatan Inggris, yaitu sebuah Austin 10, dan mengendarainya sendiri. Suatu hari, ia dihentikan oleh seorang polisi, yang menganggap bahwa dia telah melanggar aturan lalu lintas, dan polisi ini berkeras untuk memeriksa surat-suratnya. Ayah saya agak keberatan untuk memperlihatkan surat-suratnya. Akan tetapi petugas itu berkeras, dan dengan suara yang agak kasar, seperti orang yang sangat berkuasa, berkata, “Mana surat-suratmu!” Lalu ayah saya mengeluarkan surat-suratnya, dan ketika petugas itu membaca namanya, segera saja ia berdiri tegak dan memberi hormat. Ia berubah seolah-olah telah menjadi tiang garam! Membeku dalam posisi memberi hormat! Tadinya ia telah bersikap agak kasar, dengan harapan untuk meminta suap. Jika Anda bayar, maka ia akan membebaskan Anda. Ia tidak tahu bahwa ayah saya adalah salah satu pejabat tinggi yang paling anti korupsi, di dalam pemerintahan yang korup saat itu. Dan orang yang malang ini, petugas ini, sudah membayangkan akan kehilangan pekerjaannya. Sebelum membeku dalam posisi hormat, ia telah mengembalikan surat-surat ayah saya. Ayah saya hanya berkata kepadanya, “Tidak apa-apa! Kamu hanya menjalankan tugas.” Lalu ayah saya segera berlalu.
Kerendahan hati! Ia bisa saja memecat orang itu. Ia bisa melakukan apa saja terhadap orang itu, akan tetapi ia bersikap rendah hati. Nah, jika saja ia bepergian dengan kendaraan resmi untuk pejabat tinggi, tentu saja petugas tersebut tidak akan berani menghentikannya. Karena ia mengendarai sebuah sedan Austin 10, sedan kecil yang sangat sederhana, maka petugas polisi ini merasa bahwa ia sedang berhadapan dengan orang yang mudah untuk dipermainkan. Sayangnya dia bermain-main dengan orang yang salah. Lalu, ayah saya mencoba untuk bersikap rendah hati. Namun tentu saja, saya kenal betul watak ayah saya. Kita semua mengenal watak ayah kita, bukankah begitu? Dan saya tahu bahwa saat itu ia sedang berusaha untuk bersikap rendah hati, tetapi ini bukanlah kerendahan hati rohaniah yang menjadi pokok pembicaraan kita.
Kuasa Rohani berasal dari Kerendahan hati
Dalam menutup pembahasan ini, saya pikir contoh yang nyata dari kerendahan hati yang harus kita tiru adalah contoh dari Yesus yang ditunjukkan oleh Paulus di Filipi pasal 2:8,
“Ia telah merendahkan dirinya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.”
Yesus merendahkan dirinya. Merendahkan diri sampai sejauh mana? Sedemikian rendahnya, sampai mati di kayu salib (ay.8). Dan kerendahan hati yang sedalam inilah yang menjadi panggilannya kepada kita. Paulus berkata,
“Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus” (ay.5).
Mengapa Yesus tidak berbicara panjang lebar tentang kuasa rohani kepada murid-muridnya? Mengapa ia saat itu tidak menguraikan tentang hal, misalnya, berdoa? Anda tentu ingat, para murid bahkan harus meminta kepadanya, “Ajarlah kami berdoa” (Lukas 11:1). Anda tentunya akan berpikir bahwa doa adalah salah satu pokok pertama yang akan Yesus ajarkan. Tidak! Ia hanya menekankan satu hal. “Belajarlah padaku – aku ini rendah hati.” Selanjutnya apa? Hal yang lain baru menyusul setelah itu. Yang pertama bukanlah kuasa – bahkan bukan kuasa rohani! Kuasa rohani datang melalui kerendahan hati! Allah tidak mau mempercayakan kuasa ini kepada orang yang akan menyalahgunakannya. Tidak mengherankan jika kuasa rohani ini sangat jarang terdapat di tengah orang-orang Kristen, karena Allah tidak bisa mempercayakan kuasa itu kepada kita karena kita belum rendah hati!
Paulus tahu banyak tentang hal kuasa, dan juga di 1 Korintus pasal 4 dan ayat 19 dikatakan,
“Tetapi aku akan segera datang kepadamu, kalau Tuhan menghendakinya. Maka aku akan tahu, bukan tentang perkataan orang-orang yang sombong itu, tetapi tentang kekuatan mereka.”
Paulus bekerja dengan penuh kuasa dan rahasia kuasa itu adalah kerendahan hati. Semakin Anda rendah hati, semakin Anda akan mengalami kuasa Tuhan, tetapi hanya terjadi jika kita dalam persekutuan dengan penderitaannya. “Ia dihina dan ditolak oleh manusia”. Jika saya mengikut Yesus, dapatkah saya mengambil tempat terhormat sedangkan dia berada dalam posisi ditolak oleh manusia? Tidak! Jika Yesus ditolak, maka saya juga harus ikut ditolak. Jika saya tidak ditolak, maka saya harus bertanya: “Apakah saya ini sedang mengikuti Yesus yang ditolak oleh manusia?” Dan jika saya belajar untuk masuk ke dalam persekutuan penderitaannya, menjadi orang yang dihina dan ditolak oleh manusia, barulah Allah mau mempercayakan segala bentuk kuasa-Nya kepada kita. Ya, kita bisa menyembuhkan orang yang sakit, mengusir setan, mengerjakan banyak hal, namun hanya jika kita mengikuti pelajaran kerendahan hati ini.
Baru-baru ini, saya membaca buku catatan harian John Sung, bisa dikatakan bahwa ia ini adalah penginjil terbesar di Tiongkok untuk abad ini. Semakin saya baca, semakin saya merasa tersentuh. Allah memakai dia dengan penuh kuasa, dan seringkali pada waktu John Sung berdoa di dalam acara KKR, ada orang buta yang disembuhkan. Saya membaca buku hariannya, dan berulang kali dia menulis hal-hal seperti, “Hari ini, ada empat orang buta yang melihat kembali. Allah telah menyembuhkan mereka.” “Hari ini, ada beberapa orang tuli yang bisa mendengar kembali. Orang lumpuh berjalan lagi.” Hal-hal tersebut sangat sering terjadi. Ia mencatat semua itu bagi kemuliaan Allah. Padahal, ia sendiri terus dalam keadaan sakit. Saya juga memperhatikan bagian-bagian dalam buku hariannya yang menyebutkan, “Hari ini, gigiku sakit sekali.” “Hari ini, kepalaku sakit sekali.” Ia mengidap ambien yang parah, sehingga ia selalu merasa kesakitan, dan juga mengalami pendarahan bahkan ketika sedang berkhotbah. Belakangan, ia bahkan tidak sanggup lagi untuk berkhotbah sambil berdiri. Ia harus berkhotbah sambil duduk
Kemudian, ia menulis dalam buku hariannya mengenai duri di dalam dagingnya, dan ia berkata, “Aku tahu – aku harus belajar lebih banyak lagi mengenai kerendahan hati, bahwa Allah perlu merendahkan aku semakin turun, melalui rasa sakit yang tak terkatakan ini.” Ia berada dalam kesakitan yang amat sangat, sampai bercucuran air mata. Ia juga menjalani serangkaian operasi. Dan banyak orang yang berkata, “Hei! Engkau telah menyembuhkan begitu banyak orang. Namun dirimu sendiri – ada apa denganmu? Mengapa engkau sendiri tidak disembuhkan?” Dan ia menjawab, “Saat mendengar kata-kata seperti itu. Hatiku serasa terbakar api, tapi aku bersyukur kepada Allah akan hal itu. Aku perlu menjadi lebih rendah hati, sehingga mereka tahu bahwa kesembuhan itu tidak berasal dariku, tetapi Allahlah yang memberi kesembuhan.” Ada satu hal yang ia pelajari terus, sampai dengan halaman terakhir dari buku hariannya, yaitu, “Aku berterima kasih kepada Allah atas rasa sakit yang tak tertahankan ini, karena Allah ingin membawaku menjadi serupa dengan Yesus, untuk belajar darinya. Karena aku lemah lembut dan rendah hati.” Itulah rahasia dari kuasa dalam dirinya! Jika kita ingin dipakai oleh Allah, maka tekunilah pelajaran ini: pemuridan berarti memikul salib dan mengikut Yesus. Dan itu berarti kesediaan untuk menjadi sampah dunia. Marilah kita, dengan anugerah Allah, menjadi peniru-peniru Paulus, sebagaimana ia menjadi peniru Kristus, supaya kuasa Allah dapat terwujud di dalam diri kita sepenuhnya.