Pastor Eric Chang | Efesus 5:33 |

Saya yakin bahwa Anda semua tahu bahwa di negara barat, yang menyebut diri mereka negara Kristen, orang pergi ke gereja hanya dua kali saja. Tahukah Anda dalam rangka apa mereka ke gereja? Yang pertama, tentu saja, adalah pernikahan, dan yang kedua adalah pemakaman. Nah, hal ini membuat saya merenung. Tentunya kedua peristiwa ini adalah yang terpenting dalam kehidupan manusia. Namun adakah hubungan di antara keduanya? Saya rasa, jika Anda merenungkannya, memang ada hubungannya.

Apakah pemakaman itu? Kita tentu tahu hal ini. Saat seseorang meninggal, dia sampai di penghujung sebuah jalan, yaitu penghujung jalan kehidupan di dunia ini. Jika dia mengenal Tuhan, maka dia akan masuk dalam kehidupan yang baru – kehidupan yang lebih baik, hal yang oleh rasul Paulus disebut sebagai “bersama dengan Kristus”. Jadi dia meninggalkan sesuatu di belakangnya, tetapi melanjutkan ke dalam sesuatu yang lebih baik.

marriage2Apakah pernikahan itu? Pernikahan adalah, atau seharusnya merupakan, langkah meninggalkan satu jenis kehidupan untuk masuk ke dalam jenis kehidupan yang lain. Dia meninggalkan jenis kehidupan bujangan dan memasuki jenis kehidupan dalam suatu persatuan dengan orang lain. Ini adalah satu jenis kehidupan yang sangat berbeda dengan yang selama ini dia jalani, dan semoga, merupakan jenis kehidupan yang lebih baik. Nah, kadang kala, jalan ceritanya berbeda. Mereka yang melayani sebagai gembala sangat tahu persis bahwa seringkali kehidupan setelah pernikahan bukanlah kehidupan yang lebih baik.

Nah, tentu saja, jawabannya adalah karena ketika mereka memasuki jenjang pernikahan, mereka tidak meninggalkan cara hidup mereka yang lama. Ini adalah hal yang sangat penting. Mereka bawa cara hidup mereka yang lama ke dalam pernikahan, terutama gaya hidup individualistis atau kebiasaan mementingkan diri sendiri. Pernahkah Anda perhatikan sering sekali, setelah menikah, saat mereka diminta untuk berbicara, mereka belum terbiasa mengatakan, “Kami ucapkan terima kasih,” mereka cenderung memulai dengan, “Saya ucapkan terima kasih. Oh, maaf. Maksud saya, kami ucapkan terima kasih.” Anda lihat, mereka masih terbiasa berpikir dengan cara lama. Dan kita semua seringkali tersenyum melihat betapa canggung mereka memilah kata “saya” dan “kami”. Namun itulah pokok persoalan paling utama di dalam sebuah rumah tangga. Kita masih tidak dapat mengubah pola pikir kita saat memasuki jenjang pernikahan. Dan perubahan itu memakan waktu yang sangat lama.


Pemakaman dan Pernikahan

bedead2Kita cenderung memikirkan “pernikahan dan pemakaman”, dalam urutan itu. Inilah urutan yang terlihat alami. Saya ingin membuat sebuah pernyaaan yang sangat penting sekarang. Jika kita tidak memahami bahwa kita perlu mengubah urutan ini di dalam kehidupan Kristen kita, maka kita tak akan pernah memiliki pernikahan yang sukses. Dalam ajaran yang alkitabiah, pemakaman muncul terlebih dahulu sebelum pernikahan. Harus ada kematian sebelum ada hidup yang baru.

Perhatikan Yesus sebagai contoh. Pertama, dia mati bagi jemaat. Pertama-tama, dia menyerahkan dirinya bagi jemaat. Bukan pernikahan yang terjadi duluan. Lalu kapan pernikahannya? Pernikahan itu terjadi di bagian akhir Alkitab. Anda dapat baca hal itu di Wahyu 21:2. Dan di sana, rasul Yohanes berkata,

“Dan aku melihat kota yang kudus, Yerusalem yang baru, turun dari surga, dari Allah, yang berhias bagaikan pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya.”

Yang pertama adalah Kalvari, yang pertama adalah kematian, dan pemakaman. Dapat dikatakan bahwa yang terjadi adalah pemakaman, dan selanjutnya diikuti pernikahan Kristus, pernikahan Anak Domba yang terjadi lama sesudahnya.

Atau, lihatlah baptisan. Baptisan adalah sebuah peristiwa di dalam kehidupan Kristen sama seperti pernikahan. Jika Anda akan dibaptis, hal apakah yang terjadi? Pertama Anda mati bersama Kristus. Anda dikuburkan bersama dia. Dan kemudian, hanya setelah itu, ketika Anda bangkit lagi, baru terjadi persatuan dengan Kristus. Itulah urutannya. Banyak orang Kristen menjalani kehidupan Kristen yang kalah karena mereka menjalani baptisan tanpa pernah benar-benar mati. Sama seperti  pernikahan, mereka membawa kebiasaan kehidupan non-Kristen yang lama ke dalam kehidupan Kristen, membuat kehidupan Kristen mereka berantakan.

Ayat yang sangat akrab bagi orang Kristen dalam urusan pernikahan adalah Efesus 5:25. Di sana tertulis,

“Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya.”

Demikianlah, di sana disebutkan bagaimana suami harus mengikuti Yesus dalam mengasihi istrinya. Tadinya saya tidak memahami ayat ini. Bagaimana kita akan menjalankannya? Saya sempat mengira bahwa mungkin, misalnya, suatu hari rumah kami kebakaran. Dan istri saya ada di dalam, maka saya akan menerobos masuk, menerjang api untuk menyelamatkan dia. Mungkin saya rela melakukan itu. Saat itu saya berpikir, “Baiklah, Kristus menyerahkan dirinya bagi jemaat. Suatu hari nanti, mungkin saya akan melakukan hal yang sama.” Nah, saya sampaikan kepada Anda, “Bukan itu maksudnya.” Kapankah Anda menyerahkan diri Anda? Untuk pertama kalinya, saya menyadari bahwa hal itulah yang terjadi di dalam acara pernikahan, yaitu kita menyerahkan diri kita. Menyerahkan diri berarti menyerahkan seluruh kehidupan, meninggalkan segenap cara hidup Anda yang lama. Saat Anda menandatangani ikrar pernikahan, Anda telah meninggalkan hidup lama Anda. Anda sudah dikuburkan. Anda mungkin protes, “Tidak adil! Anda tidak memberitahu saya sebelumnya. Mungkin saya tidak akan mau menandatanganinya. Bolehkah saya menghapus tanda tangan saya?” Kita harus memahami ajaran Perjanjian Baru mengenai pernikahan. Inilah hal yang ingin saya sampaikan kepada Anda dalam waktu yang singkat ini.

Di dalam ajaran Perjanjian Baru tentang pernikahan, harus terjadi peristiwa kematian sebelum pernikahan. Atau sebaiknya, seperti baptisan, pemakaman dan pernikahan menjadi satu. Namun yang satu datang sebelum yang lain. Jika Anda memasuki jenjang pernikahan tanpa tekad di dalam hati bahwa Anda sudah mengakhiri cara hidup lama Anda yang individualistis, maka sebaiknya Anda tidak menikah. Saya sampaikan hal ini kepada Anda semua yang berpikir ingin menikah. Jika Anda ingin menjalani pernikahan menurut Perjanjian Baru, menurut ajaran yang alkitabiah, inilah jalannya.

Anda lihat, banyak orang membayangkan pernikahan lebih seperti mendapatkan istri, seperti mendapatkan properti. Jadi, Anda memiliki rumah, Anda memiliki mobil, dan yang masih kurang adalah seorang istri. Kemudian Anda mulai berkeliling mencari istri. Dan saya kenal beberapa orang yang begitu kesepian karena mereka memiliki rumah, mereka memiliki mobil tetapi tidak memiliki istri. Sebagian dari mereka adalah kenalan yang berada di Kanada, yang begitu cemas karena tidak mendapatkan istri. Mungkin karena dia kurang menarik dari beberapa segi. Namun dia punya rumah dan mobil. Hal ini tidak cukup untuk ukuran Kanada untuk menarik seorang istri. Lalu apa yang dia perbuat? Dia pergi ke China. Lalu dia mengunjungi sebuah desa. Dan di sana, dia mendapatkan istri. Sekarang dia sudah punya rumah, mobil dan istri. Demikianlah cara berpikir orang non-Kristen pada umumnya.

Sebenarnya, justru hal inilah yang disebut Yesus di dalam sebuah perumpamaan. Di Lukas pasal 14, ada sebuah perumpamaan tentang pesta besar. Dan Anda ingat bahwa di sana, Yesus mengisahkan tentang seseorang yang mengundang banyak orang untuk sebuah pesta besar, serupa dengan acara malam ini. Dan, karena beberapa alasan, mereka yang diundang menolak hadir. Ada yang berkata, “Aku mau memeriksa lima pasang lembu yang baru kubeli.” Ada lagi yang berkata, “Aku mau memeriksa tanah yang baru kubeli.” Sungguh aneh. Orang ini tidak tahu seluk beluk pembelian tanah. Tentunya, Anda harus memeriksa dahulu baru membeli. Hal yang sama terjadi dengan pembeli lembu. Anda harus melihatnya dulu sebelum membeli. Namun ada satu lagi yang memberi alasan, “Aku baru menikah.” Anda lihat, seperti itulah pola pikir orang. Perkara pernikahan disamakan dengan urusan membeli tanah dan membeli lembu. Tentu saja, itu hanya alasan untuk tidak menghadiri pesta. Sungguh konyol karena tidak ada aturan yang melarang Anda untuk membawa istri Anda ke pesta itu.

Namun Anda dapat melihat pola pikir yang beranggapan bahwa menikah berarti menaikkan status. Jika Anda masih membujang, maka orang akan berpikir bahwa ada sesuatu yang salah dengan diri Anda. Lalu setelah Anda menikah, orang mulai menghormati Anda. Anda menjadi layak dihormati.

Nah, Yesus juga menyampaikan hal yang sama. Lukas 17:27. Hari-hari di zaman Nuh, apa yang mereka lakukan? Sungguh menarik cara Yesus menguraikannya. Orang-orang makan dan minum, kawin dan dikawinkan. Ada kedalaman makna di dalam ucapan Yesus itu. Sungguh menarik. Dia menguraikan makna yang mendalam lewat ungkapan yang sangat sederhana. Persoalan yang melanda di zaman Nuh sangat mirip dengan persoalan zaman sekarang. Pernikahan disamakan dengan urusan makan dan minum. Pernikahan menjadi urusan kepuasan pribadi, menjadi sama seperti urusan sehari-hari yang umum. Dan jika Anda jemu dengan istri Anda, ceraikan saja. Silakan cari orang lain. Itulah sebabnya mengapa zaman Nuh menjadi sangat jahat. Dan datanglah air bah.

Akan tetapi kita masih tak dapat membebaskan diri dari pola pikir ini. Saat orang menikah, mereka tak tahu bagaimana harus bersikap terhadap pasangan mereka. Anggaplah bahwa saya tidak memandang dia sebagai sebuah properti. Anggaplah saya memandang dia sebagai teman. Bagaimana kalau sebagai rekan? Itu masih kurang cukup. Masih kurang cukup? Saya tidak tahu bagaimana menganggap seseorang lebih dari seorang teman atau rekan. Mulanya saya sendirian, sekarang, saya mendapatkan seorang teman. Lantas bagaimana lagi saya harus memandang istri saya? Bagaimana ajaran yang alkitabiah untuk urusan ini? Selama kita tidak tahu apa ajaran yang alkitabiah, maka kita akan selalu berada dalam masalah. Pernikahan kita akan selalu dilanda masalah.

Ada banyak jemaat yang sudah menikah di sini. Silakan kilas balik pernikahan Anda. Seperti apa rupanya? Mari kita jujur saja. Sangat sedikit pernikahan yang bahagia. Bahkan mungkin sangat langka. Kadang kala, saya bertanya-tanya apa gunanya menikah jika kita harus menghabiskan sisa waktu dan hidup kita untuk membenahi perkara rumah tangga. Itu sebabnya mengapa saya sangat menekankan pentingnya memahami rahasia vital pernikahan sebagaimana yang diajarkan dalam Alkitab.


Tragedi: Pernikahan tanpa Komunikasi

Izinkan saya menyampaikan sebuah kisah nyata buat Anda. Kisah ini terdapat di dalam surat kabar yang diterbitkan tahun ini, yakni Hong Kong Standard tanggal 15 Mei. Dan kisah nyata ini mengilustrasikan pokok yang kita bahas. Ada orang yang menikah, tinggal bersama, tetapi tidak ada makna pernikahan di sana. Tak ada kesatuan di sana. Tidak ada komunikasi di dalam rumah tangga. Pada akhirnya, terjadi bencana. Kisah ini mengenai seorang muda  berusia 24 tahun, dan saya merenungkannya berulang-ulang setelah membacanya. Dia adalah seorang pemuda berusia 24 tahun di Bangladesh. Dia belum lama menikah. Dan dia adalah seorang pekerja di penggergajian kayu. Penghasilannya sekitar 700 tacker sebulan, atau 700 dolar Bangladesh, yaitu setara sekitar 140 dolar Hong Kong, atau kurang dari 20 dolar AS. Nah, ini adalah tingkat gaji yang lazim di sana. Ketika baru-baru ini, saat saya mengunjungi India dan Nepal, saya dapati bahwa gaji 140-150 dolar Hong Kong sebulan sangatlah umum di sana. Jadi dia bermimpi untuk mendapatkan kekayaan. Menjadi orang kaya! Bagaimana supaya bisa menjadi kaya? Dia memperhatikan uang gajinya. Setelah menghitung, lalu dia memutuskan bahwa jalan untuk menjadi kaya adalah dengan membeli lotere! Lotere? Itulah jalannya! Satu kali tembak dan Anda jadi kaya! Lalu dia beli lima lembar tiket lotere. Namun dia lalu ketakutan. Takut akan apa? Dia takut akan istrinya. Saat dia pulang dengan lima tiket lotere itu, istrinya pasti akan menjerit, “Apa? Kamu habiskan uang untuk lotere? Kita tidak punya uang untuk makan, tapi kamu beli lotere?” Demikianlah, dia tidak tahu di mana harus menyembunyikan tiket loterenya. Lalu dia simpan kelima tiket itu di bawah kasur. Tentunya tempat ini cukup aman. Dan dia juga tidak bodoh, karena dia tidak mungkin mengecek nomor tiket setiap satu dua hari. Jadi dia tulis nomor tiketnya, dan kertas berisi nomor itulah yang selalu dia bawa.

Dan ketika hari pengumuman tiba, nomor miliknya menang! Tentu saja, dia tidak menontonnya dari TV, dia tak punya TV. Dia harus pergi ke papan pengumuman di suatu tempat untuk melihat hasilnya. Dia tidak mempercayai matanya! Dia menang! Dia menang jackpot! Tiga ratus ribu dolar Hong Kong nilainya. Itu berarti satu setengah juta dolar Bangladesh! Dalam satu kali beli, dia langsung menjadi jutawan. Dia mulai bermimpi mobil jenis apa yang akan dia beli! Tadinya dia tak mampu membeli TV, tapi sekarang dia punya kemampuan untuk membeli mobil. Rumah macam apa yang akan dia beli? Benar, dia dapat membeli rumah di Bangladesh. Pakaian jenis apa yang akan dia kenakan? Sekarang dia akan mampu membeli arloji bermerek mahal. Dia akan menjadi orang besar di desanya!

Dia bergegas pulang untuk mengambil tiket loterenya, untuk mengklaim uang satu setengah juta itu. Lalu dia mengangkat kasurnya dan mencari tiketnya. Di mana tiketnya? Dia memiliki istri yang luar biasa. Mengapa luar biasa? Karena istrinya rajin membersihkan rumah dengan sangat teliti. Dia membersihkan seisi rumah sampai ke bawah kasur, semuanya bersih. Lalu dia menemukan lima lembar tiket itu. Tentu saja, dia buta huruf. Ada berapa banyak penduduk Bangladesh yang mampu baca-tulis? Demikianlah, dia menemukan kertas-kertas itu. Sampah apa ini? Dan dia membuang semuanya. Saat sang suami pulang ke rumah, tiketnya sudah hilang! Dia bahkan tak berani bertanya kepada istrinya, karena semua itu dia rahasiakan. Tidak ada komunikasi sama sekali di antara mereka.

Anda lihat, seorang istri di Bangladesh sangatlah penting, karena merupakan properti yang sangat berharga dan juga produktif. Bukan sekedar demi melahirkan anak, istri juga seorang hamba. Dia menyapu lantai, masak makanan, mencuci pakaian, dan tentu saja, membersihkan rumah. Demikianlah, Anda perlakukan istri Anda seperti sebuah properti. Kadang kala sebagai teman juga, jika suasana hati lagi baik.  Jika tidak, Anda bisa meneriakinya. Untuk apa punya istri? Untuk diteriaki? Namun kali ini, dia bahkan tak mampu bersuara. Surat kabar itu menceritakan bahwa dia begitu kesal sampai jatuh sakit. Nah, dia bahkan tak dapat berangkat kerja; dia kehilangan penghasilan normalnya. Dia begitu kesal dan sakit hati sehingga tak punya kekuatan lagi untuk memarahi istrinya.

Dapatkah Anda bayangkan bagaimana perasaannya? Anda memenangkan jackpot, tetapi istri Anda membuang tiketnya. Lantas mengapa dia tidak memberitahu istrinya sejak semula? Anda lihat, inilah pernikahan tanpa komunikasi. Dan akibatnya adalah tragedi. Tragedi ini kemudian berlanjut dengan beragam bencana dalam rumah tangga. Dapatkah Anda bayangkan bagaimana rumah tangga ini berlanjut? Setiap kali ketika mereka mengunyah roti kering, dia akan berkata kepada istrinya, “Ini semua gara-gara kamu!” Dan istrinya akan menjawab, “Kalau kamu ngomong, tidak mungkin tiket itu kubuang.” Dan dia akan menyahut, “Andai kamu tidak selalu memarahi aku, mungkin aku tidak akan menyembunyikan tiket itu.” Demikianlah, sampai dengan lanjut usia, mereka mungkin masih akan saling menyalahkan. Sungguh celaka!


“Siapa yang Mengasihi Isterinya Mengasihi Dirinya Sendiri”

serveNah, saya akan menutup dengan satu pokok. Jika cara hidup yang lama tidak diakhiri, kita tidak akan dapat masuk ke dalam pernikahan. Anda dapat melihat bahwa kedua orang ini bertingkah seperti mereka belum bernikah. Mereka tidak tahu bagaimana membina hubungan satu sama lain. Dan seperti itulah kejadian yang berlangsung dalam banyak rumah tangga, dengan hanya sedikit pengecualian. Ayat yang ingin saya bagikan kepada kalian berdua adalah Efesus 5:28, yang demikian pentingnya sehingga Paulus mengulanginya lagi di ayat 33 – “Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri”. Pernahkah Anda mendengar ayat ini sebelumnya? Tentu saja, sudah pernah! Tahukah Anda apa artinya? Ingatlah ayat ini di sepanjang hidup Anda dan jalankan dalam kehidupan Anda. Dan rumah tangga Anda akan bertumbuh semakin kuat.

“Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri.” Apakah artinya? Kita hanya dapat membahasnya secara singkat kali ini. Secara sangat ringkas, di dalam hidup yang baru, dalam pernikahan sesuai Perjanjian Baru, istri bukanlah sebuah properti. Istri juga bukan sekedar teman, bahkan bukan teman yang spesial. Istri juga bukan rekan. Istri adalah diri Anda sendiri. Istri adalah bagian dari diri Anda, dari tubuh Anda, daging Anda, segenap keberadaan Anda. Saat Anda menikah, Anda mendapatkan sebuah alter ego, atau “aku yang lain”. Ketika Anda menatap pribadi tersebut, Anda sedang menatap diri Anda sendiri. Dia adalah bagian dari diri Anda. Dan Paulus melanjutkan dengan sebuah pernyataan di ayat 29, “Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri.”

Mungkin Paulus salah. Mungkin memang ada orang yang membenci dirinya, membenci tubuhnya. Saya sempat memikirkan hal ini, dan saya rasa tidak demikian halnya. Pernahkah Anda temukan orang yang hilang kesabaran pada diri sendiri? Dia bisa saja merasa agak jengkel dengan dirinya, tetapi tidak pernah ada orang yang hilang kesabaran pada diri sendiri, yakni, dia pasti akan membatasi tindakannya jika menyangkut diri sendiri.

Mungkin ada yang akan berkata, “Bagaimana dengan orang yang bunuh diri?” Tidak juga. Jika Anda pelajari psikologi kasus bunuh diri, orang yang melakukannya ternyata bertindak karena terlalu menyayangi diri secara menyimpang. Apakah artinya? Artinya orang itu membatasi jumlah penderitaan yang ditanggungnya. Sebagai contoh, jika ada orang yang jatuh cinta, dan cintanya ditolak, penderitaannya mungkin terlalu berat buat orang ini dan dia memilih untuk bunuh diri daripada menghadapi penolakan itu. Kita tidak begitu menahan diri jika sedang menimpakan penderitaan ke orang lain. Namun kita mungkin tidak mau menanggung penderitaan jika melebihi batas yang sanggup kita tanggung, dan memilih bunuh diri untuk lari dari penderitaan. Perwira Jepang yang melakukan hara-kiri, bunuh diri, melakukan hal itu karena dia tak sanggup menanggung malu dan sebagainya. Orang yang bunuh diri ternyata melakukan hal itu sebagai ungkapan dari cinta pada diri sendiri.


Belajar untuk Melihat Sesama dan Berkata, “Itulah Saya.”

communicateKita hilang kesabaran terhadap orang lain; kita tidak takut menimpakan penderitaan kepada orang lain karena mereka bukan diri kita. Akan tetapi kita tidak akan berbuat demikian pada diri kita sendiri. Ini sungguh luar biasa! Jadi camkanlah pokok berikut: saat melangkah masuk ke dalam pernikahan, sebenarnya Anda sedang mendapatkan “aku yang lain”. Dapat dikatakan bahwa Anda telah memperluas diri Anda ke orang lain. Saat Anda menikah, belajarlah untuk melihat sesama dan berkata, “Itulah saya.” Anda akan merasa hal ini aneh pada mulanya. “Dia bukan saya, akulah saya.” Namun Anda harus menerapkan hal itu jika ingin menjalankan ajaran Perjanjian Baru. “Dia adalah saya.” Dan sukses pernikahan Anda bergantung pada keberhasilan Anda memandang orang lain seperti diri sendiri. Inilah rahasia pernikahan. Pelajari dengan baik, dan Anda akan berhasil mempelajari Firman Allah. Lakukanlah dan Anda akan mengalami kuasa Allah.

 

Berikan Komentar Anda: