Pastor Eric Chang | Manusia Baru (6) |

Pembaruan merupakan konsep penting di dalam Perjanjian Baru. Sebagai contoh, di Kolose 3:9-10 kita membaca,

9 Jangan saling membohongi karena kamu telah menanggalkan manusia lamamu bersama dengan perbuatan-perbuatannya. 10 Kenakanlah manusia baru, yang terus-menerus diperbarui dalam pengetahuan sesuai dengan gambar dari Penciptanya.”

“Jangan saling membohongi”. Bagi orang dunia, berbohong adalah hal yang sudah umum dan menjadi kebiasaan mereka. Orang berdusta kalau ada keuntungan yang bisa diraih dengan dusta itu. Apabila kita menjadi manusia baru di dalam Kristus, berbohong merupakan salah satu kebiasaan jahat yang harus dihapuskan dalam proses pembaruan. Orang Kristen kadang–kadang tergoda untuk berdusta karena mereka ingin orang lain memandang mereka lebih baik daripada keadaan mereka yang sesungguhnya.

Di mata Allah, dusta bukanlah kesalahan kecil atau perbuatan jahat yang minor. Keseriusan Allah terhadap masalah kebohongan terlihat dari fakta bahwa tidak ada pendusta yang boleh masuk kota surgawi, Yerusalem Baru, karena “tak sesuatu pun yang najis akan masuk ke dalam kota itu, juga orang yang melakukan hal-hal keji atau melakukan kebohongan” (Why 21:27). Perhatikan bahwa “hal-hal keji” (kata yang umumnya dikaitkan dengan penyembahan berhala, yang sangat dibenci Allah) dan “bohong” berada di level yang sama. Berdusta bukanlah dosa kecil yang tidak berbahaya. Ketidakjujuran atau kebohongan dapat merampok tempat kita di Yerusalem Baru.


Pemahaman yang Keliru tentang Dosa

Dalam membahas hal–hal penting yang berkaitan dengan dosa, kita perlu memiliki pemahaman yang akurat tentang dosa. Oleh sebab itu, kita perlu melandaskan semua pembahasan tentang dosa menurut pengertian yang tertuang di dalam Kitab Suci, bukan berdasarkan definisi yang berasal dari ajaran moral atau tradisi Kristen. Kalau tidak, orang akan dibebani dengan rasa bersalah atas sesuatu hal yang sebetulnya tidak diartikan sebagai dosa oleh Kitab Suci. Sering muncul perbedaan yang jauh antara penjelasan Alkitab akan dosa dan pemahaman tentang dosa yang dianuti oleh banyak orang Kristen.

Sebagai contoh, di beberapa kalangan Kristen, meminum segelas anggur dipandang sebagai dosa. Definisi ini tidak alkitabiah. Walaupun kita tidak menganjurkan orang untuk meminum minuman keras, kita juga harus setia dengan firman Allah. Tidak disebutkan di mana pun dalam Kitab Suci bahwa meminum segelas anggur itu dosa. Pernyataan Yohanes, “Setiap orang yang lahir dari Allah tidak berbuat dosa lagi” (1Yoh 3:9) jangan dibelokkan artinya menjadi “Setiap orang yang lahir dari Allah tidak minum anggur lagi”. Kedua pernyataan itu tidak sejajar, kecuali di benak beberapa orang Kristen yang legalistik.

Beberapa orang Kristen memandang bahwa wanita yang mengenakan rok pendek telah berbuat dosa, seolah–olah Yohanes berkata, “Setiap orang yang lahir dari Allah tidak memakai rok pendek lagi.” Walaupun kita tidak menganjurkan orang memakai rok pendek, kita juga harus jujur terhadap firman Allah. Seorang mungkin berkata bahwa mengenakan rok pendek itu tidak sopan. Boleh jadi. Akan tetapi, apakah alkitabiah kalau kita melarang semua pakaian renang dengan alasan yang sama?

Sedihnya, orang yang sama, yang mengecam pakaian yang tidak sopan, tampaknya memandang sifat kasar, sombong, tidak bertenggang rasa, sikap suka mencela dan menyalahkan orang lain, pemarah, atau bahkan ucapan fitnah bukan sebagai dosa! Beberapa orang sangat cerewet tentang perkara-perkara yang tampak dari luar, tetapi tidak memiliki kepekaan yang sama terhadap kondisi hatinya.

Semua ini mengingatkan kita pada kata–kata Yesus,

“Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, orang-orang munafik! Kamu memberi persepuluhanmu dari selasih, adas manis, dan jintan, tetapi telah mengabaikan hal-hal yang lebih berat dari Hukum Taurat, yaitu keadilan, belas kasihan, dan iman. Hal-hal inilah yang seharusnya sudah kamu lakukan tanpa mengabaikan hal-hal yang lain.” (Mat 23:23).

Bermacam–macam peraturan dan definisi tentang dosa buatan manusia telah membebankan rasa bersalah kepada banyak orang. Saya pernah bertemu dengan orang yang menganggap bahwa minum teh atau kopi itu perbuatan dosa! Beberapa orang merasa bersalah atas hal–hal yang tidak dinyatakan sebagai dosa di dalam Kitab Suci.


Kekeliruan dalam Memahami Urusan Seks

Beberapa orang Kristen, sebagai contoh, merasa bersalah dengan berahi mereka. Apakah berahi itu salah atau benar, tergantung dari cara penanganan dan pengungkapannya. Studi yang saya lakukan terhadap Kitab Suci tidak menemukan apa pun yang menyatakan bahwa berahi itu pada hakikinya dosa. Augustinus, di sisi lain, memandang berahi sebagai hal yang buruk atau bahkan jahat. Dengan cara pikir seperti ini, seorang muda yang sehat sudah tentu akan dipandang jahat karena dia tentunya memiliki berahi.

Mari kita berbicara terus-terang tentang urusan seks, kalau tidak kita hanya akan memperumit masalah. Wajar bagi seorang muda dan sehat untuk sewaktu-waktu berpikir tentang seks, atau boleh jadi, bahkan agak sering. Menyangkal hal ini sangatlah tidak wajar. Sama tidak wajarnya jika kita berkata bahwa Kitab Suci menyamaratakan semua pikiran tentang seks sebagai dosa. Kita tidak menemukan hal semacam itu di mana pun di dalam Kitab Suci.

Berahi yang tak terkendali, tentu saja, adalah dosa. Akan tetapi, berahi tersendiri bukanlah dosa. Dari permulaan di kitab Kejadian, Allah menciptakan manusia laki–laki dan perempuan, dan mengarahkan mereka untuk menikah dan disatukan menjadi satu daging. Bagaimana hal itu bisa dilakukan kalau mereka tidak memiliki berahi atau jika berahi dipandang sebagai dosa? Bukan saja berahi tidak dipandang sebagai dosa di dalam Kitab Suci, Paulus bahkan berkata kepada suami dan istri untuk tidak saling menjauhi kecuali atas persetujuan bersama untuk sementara waktu untuk tujuan doa (1Kor 7:5).

Pemikiran bahwa berahi itu salah atau bahkan jahat telah membawa kepada pemahaman bahwa tidak menikah itu lebih suci daripada menikah. Cara pikir yang berbahaya seperti ini telah memasuki banyak kalangan dalam gereja. Pikiran ini tidak boleh dibiarkan bercokol dalam gereja, karena itu hanya akan membuat orang merasa bersalah atas hal yang tidak perlu yang malah menghambat kehidupan rohaninya. Kita tidak perlu merasa bersalah karena adanya pikiran tentang seks, dalam cara yang pantas, dan di bawah kendali Roh.

Mungkin Anda terkejut mendengar adanya pemikiran tentang seks yang dikendali oleh Roh, tetapi itu memang dapat dilakukan. Renungkan penciptaan manusia dan maksud Allah dalam hal hubungan seks, dan jika Anda tahu bagaimana untuk berpikir di tingkat rohani, itu dapat mendekatkan hati Anda kepada Allah. Perhatikan berapa banyak buku rohani yang membahas Kidung Agung. Merenungkan tujuan Allah dalam menciptakan laki–laki dan perempuan dapat memberikan penyegaran rohani. Tidak ada suatu pun yang dilakukan oleh Allah boleh dianggap tidak pantas. Jangan biarkan Iblis mengeklaim seks menjadi wilayahnya padahal Allah yang menciptakannya sejak semula.

Setelah mengatakan semua ini, perlu ditekankan bahwa setiap pikiran tentang seks yang tidak suci, tak terkendali, porno atau hanya mengejar kepuasan adalah dosa. Seks tidak boleh dipisahkan dari kasih (ini membedakannya dari nafsu). Apabila berahi dan kasih dipisahkan, ia akan bergeser menjadi nafsu berahi yang hanya ingin memuaskan diri sendiri.

Kita harus belajar meninggalkan cara pikir pseudo-religius buatan manusia, dan belajar untuk menghargai hal–hal yang Allah sertakan dalam ciptaan-Nya. Pikirkanlah tentang seks dengan cara yang murni dan kudus. Sebagaimana tertulis dalam Kitab Suci,

“Bagi yang murni, semua adalah murni. Namun, bagi mereka yang najis dan tidak percaya, tidak ada satu pun yang murni karena baik pikiran maupun hati nurani mereka adalah najis.” (Tit 1:15).

Saya mengatakan semua ini karena banyaknya orang muda yang datang kepada saya dengan rasa bersalah yang mendalam karena memiliki pikiran tentang hubungan seksual. Mereka bertanya-tanya apakah mereka sudah dilahirkan kembali karena 1 Yohanes 3:9 berkata, “Setiap orang yang lahir dari Allah tidak berbuat dosa lagi…ia tidak dapat berbuat dosa, karena ia lahir dari Allah.”

Saudara, jika Anda berpikir tentang seks dalam kendali Roh, dan merenungkan tujuan mulia Allah bagi umat manusia, Anda belum berbuat dosa; pikiran Anda masih di bawah kendali. Tidak semua pikiran tentang seks dan berahi adalah dosa. Tentu saja, jika Anda berpikir tentang perzinahan atau fornikasi atau hubungan seks yang cabul, sebelum nikah atau di luar nikah, Anda jelas berbuat dosa.

Ada banyak orang muda di dalam gereja, jadi kita harus berbicara terus terang mengenai subjek ini karena ini berkaitan dengan kelahiran kembali dan pembaruan. Tidak seorang pun harus menganggap bahwa ia belum dilahirkan kembali karena adanya pikiran tentang seks, kalau dalam kenyataannya ia sudah dilahirkan kembali dan sekadar melakukan hal yang normal sebagai orang yang sehat.

Pandangan tradisional tentang dosa seringkali berbeda dari definisi Kitab Suci. Bahkan semenjak sekitar abad kedua dan ketiga, ada kecenderungan kuat mulai berkembang dalam pemikiran Kristen yang memandang hubungan seks sebagai hal yang buruk atau bahkan jahat, karena seks dipandang tak dapat dipisahkan dari dosa. Augustine (354-430M), yang pandangan buruknya tentang seks berasal dari pergumulan pribadinya dengan nafsu seksnya yang kuat, dengan gigih menyokong pandangan ini dan menjadikannya pandangan resmi. Ia adalah seorang pengajar yang berpengaruh, dan merupakan pemimpin gereja di kota Hippo di Afrika Utara. Pandangannya diterima oleh sebagian besar gereja di Barat.

Seperti Augustine, banyak orang mendapati bahwa dorongan seksualnya menjadi ancaman yang mematikan bagi kehidupan rohaninya. Di sisi lain, ada juga banyak orang yang dorongan seksualnya tidak merupakan ancaman bagi mereka. Pengalaman pribadi kita akan mempengaruhi cara pandang kita terhadap suatu persoalan, tetapi apa yang benar buat kita tidak dapat disamaratakan secara umum menjadi suatu kebenaran yang universal. Kitab Suci, bukan pengalaman pribadi, yang menjadi faktor penentu bagaimana kita harus berpikir dan bertindak atas segala hal.

Kita wajib menolak pandangan negatif tentang hubungan seks karena hal itu bertentangan dengan Firman Allah. Jangan terjebak di dalam rasa bersalah yang tidak berdasar, yang memperbudak Anda dan membuat Anda bertanya-tanya apakah Anda sudah lahir kembali atau belum.

Kembalilah kepada Firman Allah setiap waktu, dan periksalah dalam terang Firman-Nya apakah kata–kata atau perbuatan Anda itu dosa atau bukan. Jangan terpengaruh oleh pendapat ataupun tradisi manusia. Inilah hal yang perlu kita pegang apabila membahas tentang pembaruan.


Paulus Berbicara tentang “Pembaruan” dalam Cara yang Mengherankan

Ketika berbicara tentang kehidupan Kristen, Paulus berbicara tentang suatu permulaan yang baru, dan juga tentang pembaruan. Sebagaimana yang telah kita lihat, ia berbicara tentang “pembasuhan kelahiran kembali dan pembaruan Roh Kudus” (Tit 3:5). Kita juga sudah melihat bahwa kelahiran kembali adalah kejadian inisial di dalam kehidupan Kristen, sedangkan pembaruan adalah proses yang mengikutinya. Dengan kata lain, kelahiran kembali adalah titik awal dari pembaruan.

Banyak orang Kristen sedikit banyak mempunyai keakraban dengan konsep kelahiran kembali (walaupun kadangkala dengan pemahaman yang keliru). Sedangkan konsep pembaruan merupakan konsep asing bagi kebanyakan orang. Hal ini terjadi meskipun pembaruan adalah konsep yang penting dalam pengajaran Alkitab.

Paulus menggunakan dua kata yang berkaitan dalam Bahasa Yunani untuk pembaruan: kata kerja anakainoō  (memperbarui) dan kata benda anakainōsis  (pembaruan). Ada sesuatu yang luar biasa yang sangat perlu untuk diperhatikan di sini: kedua kata ini belum pernah digunakan sama sekali dalam semua literatur Yunani yang ada sebelum Paulus!  Dan literatur Yunani sangatlah banyak.

Hal yang sama mengherankan juga adalah fakta bahwa literatur Yunani sebelum Paulus sebetulnya memiliki kata yang baku untuk “memperbarui” (anakainizō), tetapi Paulus tidak menggunakan kata ini sama sekali!

Bagaimana kita menjelaskan hal ini? Mengapa Paulus tidak menggunakan kata yang baku untuk “memperbarui”? Mengapa ia memilih dua kata yang baru yang belum pernah digunakan dalam literatur Yunani? Pemilihan kata yang tidak lazim ini tentunya dilakukan dengan maksud tertentu karena Paulus  memahami bahasa Yunani dengan baik.

Beberapa sarjana bahasa Yunani (misalnya Moulton dan Milligan) percaya bahwa kedua kata ini, kata kerja anakainoō  dan kata benda anakainōsis, dicipta oleh Paulus  sendiri. Tentu saja ini memang masuk akal, dan ini menunjukkan bahwa konsep pembaruan adalah sangat penting bagi Paulus.

Hal ini membuat saya penasaran. Lalu saya meneliti kata baku (anakainizō) yang tidak digunakan Paulus. Saya mendapati kata ini muncul tiga kali dalam Septuaginta (Perjanjian Lama berbahasa Yunani). Ketika kita mengamati pemakaiannya, kita melihat bahwa kata anakainizō pada dasarnya berarti kembali pada keadaan semula dari mana sesuatu mengalami perubahan. Ini menyatakan secara tidak langsung suatu restorasi kepada keadaan yang semula, keadaan yang lebih baik, yang telah berubah, hilang, rusak atau musnah. Paulus memilih untuk tidak memakai kata ini.

Mari kita lihat satu contoh. Di Ratapan 5:21, Yeremia berdoa kepada Allah, “Bawalah kami kembali kepada-Mu, ya TUHAN, maka kami akan kembali, baruilah (anakainizō) hari–hari kami seperti dahulu kala! ”  “Baruilah hari–hari kami seperti dahulu kala”, merupakan suatu permintaan untuk kembali kepada keadaan yang sebelumnya yang jauh lebih baik daripada sekarang. Sebenarnya Yeremia sedang mendoakan, “Kembalikanlah keadaan kami seperti sebelum dihancurkan oleh musuh–musuh kami dan diasingkan oleh bangsa Asyur dan Babel. Perbaruilah kami, ya TUHAN, ke hari–hari di mana kami diam dengan aman di Israel sebelum Yerusalem dihancurkan. Pulihkan kami supaya Bait Allah dapat dibangun kembali.”


(1) Pembaruan Bukanlah Kembali Kepada Keadaan Adam yang Semula

Rasul Paulus tidak menggunakan kata baku ana­kainizō, tetapi malah menggunakan dua kata yang baru. Tentu ada alasan yang mendorongnya untuk berbuat demikian, dan ini akan membantu kita memahami apa yang dimaksudkan Paulus  dengan pembaruan.

Keengganan Paulus untuk menggunakan kata ana­kainizō menyatakan dengan jelas bahwa pembaruan yang diajarkannya bukanlah suatu restorasi kepada keadaan semula, bahkan bukan kepada keadaan sebelum kejatuhan manusia, sebelum Adam berdosa. Pembaruan yang dibicarakan oleh Paulus adalah sesuatu yang benar–benar baru. Bukannya restorasi dari sesuatu yang lama, bahkan bukan restorasi dari taman Firdaus. Yang Paulus maksudkan adalah pembaruan yang komplet: kelahiran yang baru, manusia yang baru, ciptaan yang baru, yang tentunya mencakup langit dan bumi yang baru.

Dalam mengerjakan keselamatan, Tuhan tidak mengembalikan kita kepada kondisi Adam yang semula, yaitu keadaan sebelum ia jatuh, tetapi kepada keberadaan spiritual yang baru yang tidak diketahui Adam.

Cobalah menangkap visi yang diberikan Allah kepada Paulus. Banyak orang Kristen dan teolog berbicara tentang suatu pengembalian kepada keadaan Adam yang semula seolah–olah itulah harapan dan substansi dari keselamatan kita. Akan tetapi, Paulus berkata kepada kita, “Sobatku, visi Anda terlalu kecil. Allah melalui Kristus telah mengerjakan sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar pengampunan dan kembali kepada kondisi Adam sebelum kejatuhan. Tidak, Allah menyediakan sesuatu yang jauh lebih baik untuk Anda. Anda sebelumnya berada di dalam Adam, itu sebabnya Anda seperti dia, tetapi Kristus telah menebus Anda supaya Anda sekarang dapat menjadi seperti Dia, dan bukannya seperti Adam.”

Sudahkah kita menangkap visinya? Dapatkah kita melihat mengapa hati Paulus terbakar dengan hasrat untuk menyebarkan Injil ke tempat di mana Injil belum dikabarkan, apakah Spanyol ataupun tempat lainnya? Kita kekurangan api kalau kita kekurangan visi. Visi kita begitu terbatas sehingga kita cukup puas hanya sekadar dikembalikan kepada keadaan Adam yang semula, padahal rencana Allah jauh lebih agung daripada itu.


(2) “Diperbarui” adalah Kata Kerja Suara Pasif

Mari kita perhatikan beberapa hal yang berkaitan dengan kedua kata yang digunakan oleh Paulus, anakainoō dan anakainōsis. Kita sudah melihat bahwa kedua kata ini bisa jadi merupakan kata–kata yang diciptakan sendiri oleh Paulus, dan itu menunjukkan bahwa pembaruan adalah hal yang penting di dalam ajarannya.

Hasil pengamatan kedua adalah bahwa Paulus selalu menggunakan kata kerja anakainoō dalam suara pasif (2Kor 4:16; Kol 3:10), tidak pernah dalam suara aktif ataupun medium. Kenyataan bahwa Paulus menggunakan hanya bentuk pasif untuk kata “diperbarui” menunjukkan bahwa pembaruan merupakan sesuatu yang dikerjakan Allah di dalam diri kita. Kita tidak dapat memperbarui diri kita sendiri. Itu sebabnya mengapa Paulus berbicara tentang “diselamatkan oleh anugerah”. Anugerah adalah kuasa pembaruan dari Allah yang masuk ke dalam hidup kita menjadikan kita manusia baru. Oleh karena itu, setiap ajaran tentang keselamatan berdasarkan perbuatan harus ditolak. Benar, kita dapat memperbaiki diri kita, tetapi kita tak akan pernah dapat memperbarui diri kita. Kita jangan keliru dalam membedakan perbaikan dan pembaruan. Perbaikan diri tidak lebih dari sekadar melakukan pembenahan di sana–sini, yang tidak lebih berarti dari azam-azam Tahun Baru.

Alkitab berbicara tentang pembaruan, bukan perbaikan. Ia berbicara tentang penciptaan kembali di mana Allah mencipta-ulang dan membuat-ulang diri kita. Hanya kuasa Allah di dalam segala hikmat, kemuliaan dan kebesarannya yang dapat melaksanakan hal ini. Kuasa penciptaan Allah secara luar biasa telah diperlihatkan di seluruh alam semesta. Namun, Paulus  akan berkata  kepada kita, “Benar, kuasa tersebut memang luar biasa, tetapi masih ada kuasa yang lebih mulia: kuasa Allah untuk mencipta ulang dan memperbarui—membuat seseorang menjadi manusia baru”.

Sekarang kita dapat melihat mengapa Paulus menggunakan kata anakainoō dalam suara pasif. Pembaruan dilakukan Allah melalui Roh Kudus-Nya. Titus 3:5 berbicara tentang “pembaruan yang dikerjakan oleh Roh Kudus”. Kita tak dapat dilahirkan kembali atau diperbarui kecuali oleh Roh Allah.


(3) “Pembaruan” Memakai Bentuk Present Tense

Hasil pengamatan ketiga menunjukkan bahwa Paulus selalu menuliskan kata anakainoō dalam bentuk present tense. Jika digabungkan dengan hasil pengamatan yang kedua, maka kita dapat menyimpulkan bahwa kata kerjanya selalu ditulis dalam bentuk present passive.

Kata kerja ini ditulis dalam bentuk present tense menunjukkan bahwa pembaruan adalah peristiwa yang sedang berlangsung sekarang ini, bukannya suatu peristiwa pada masa lalu atau peristiwa yang hanya berlangsung pada masa depan. Pada saat ini, yaitu sekarang, kita sedang diperbarui dan dalam proses diselamatkan. Dalam pengajaran alkitabiah, keselamatan bukanlah suatu peristiwa yang terjadi satu kali dan untuk selama-lamanya, tetapi merupakan suatu proses yang berterusan. Itu sebabnya Paulus berbicara tentang keselamatan dalam berbagai bentuk tense: perfect tense (kita sudah diselamatkan), present tense (kita sedang diselamatkan), dan future tense (kita akan diselamatkan). Pada masa lalu, kita diselamatkan saat kelahiran kembali, dan sekarang kita dalam proses diselamatkan (pembaruan), dan kita sedang menuju penyelesaian keselamatan pada masa depan.

Paulus berbicara tentang keselamatan dalam ketiga tense. Satu contoh dari perfect tense, “Sebab oleh anugerah, kamu telah diselamatkan (have been saved) melalui iman” (Ef 2:8). Contoh penggunaan present tense adalah, “tetapi bagi kita yang diselamatkan (being saved) pemberitaan itu adalah kekuatan Allah” (1Kor 1:18), dan “Sebab bagi Allah kami adalah bau yang harum dari Kristus di tengah–tengah mereka yang diselamatkan (being saved)” (2Kor 2:15). Contoh penggunaan future tense adalah, “lebih–lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan (shall be saved) oleh hidupnya!” (Rm 5:10). Pernyataan “Sebab sekarang keselamatan sudah lebih dekat bagi kita daripada waktu kita menjadi percaya” (Rm13:11) menunjukkan bahwa keselamatan adalah suatu proses yang memiliki akhirnya di suatu saat di masa depan.


Kelahiran Kembali, Kemudian Pembaruan

Gereja–gereja masa kini cenderung menekankan pada kelahiran kembali lebih daripada yang lainnya. Banyak orang Kristen berpikir bahwa keselamatan sudah selesai saat terjadinya kelahiran kembali. Betapa terbatasnya pandangan kita tentang keselamatan! Paulus memandang kelahiran kembali sebagai titik permulaan dari keselamatan. Orang yang baru dilahirkan kembali adalah bayi yang baru lahir dan harus bertumbuh melalui proses yang disebut pembaruan. Keselamatan bukan sekadar masalah kelahiran kembali, tetapi juga mencakup pembaruan, sebagaimana kehidupan manusia bukan hanya tentang kelahiran, tetapi juga tentang mengalami pertumbuhan menuju kedewasaan.

Jika Anda sudah lahir baru, sekarang Anda seharusnya berada dalam proses pembaruan. Bayangkan kehidupan  Kristen sebagai garis waktu yang dimulai dari titik kelahiran kembali. Apabila Anda melewati titik itu, Anda menyeberang dari maut ke dalam hidup, dan menjadi orang Kristen. Akan tetapi, kelahiran kembali hanyalah titik permulaan. Anda adalah bayi yang baru lahir. Sekarang saatnya proses pembaruan bermula dari tahap bayi menuju kedewasaan. Efesus 4:13 berkata,

“sampai kita semua mencapai kesatuan iman dan pengetahuan akan Anak Allah, yaitu manusia dewasa, menurut ukuran tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus.”

Gereja kami tidak menerbitkan sertifikat baptisan (kecuali diminta untuk keperluan tertentu) karena lahir baru adalah titik permulaan dan bukannya penyelesaian dari hidup baru. Pernah saya menghadiri sebuah gereja yang menerbitkan sertifikat baptisan dengan pita merah mirip ijazah tanda tamat sekolah. Sang pendeta memanggil nama dan seseorang maju ke depan menerima sertifikat dan ucapan selamat. Saya bertanya dalam hati, “Apakah ini upacara wisuda?” Tentu saja, kita bersukacita bersama orang yang baru percaya, tetapi untuk apa sertifikat itu?


Pembaruan itu Vital demi Kelangsungan Hidup

Lahir baru adalah titik permulaan dari suatu perjalanan jauh menuju kedewasaan rohani. Seberapa penting pertumbuhan menuju kedewasaan itu? Ini sama seperti menanyakan, “Apakah perlu bagi seorang bayi untuk tumbuh dewasa?”

Harap diperhatikan kenyataan penting ini: Kecuali Anda bertumbuh, Anda tidak akan dapat berlangsung hidup. Kitab Suci menunjukkan bahwa kita perlu terus bertumbuh menuju kedewasaan agar kita dapat berlangsung hidup secara rohani. Banyak orang telah mengangkat tangannya dan menerima Yesus dan beberapa dari antara mereka memberi diri dibaptis, tetapi banyak dari orang–orang ini yang tidak dapat bertahan karena mereka tidak bertumbuh.

Dalam beberapa kasus, mereka bahkan belum menerima hidup itu sendiri. Tanpa memiliki hidup, tentunya tidak ada pertumbuhan yang dapat dibicarakan. Kita semua tahu bahwa benda mati seperti batu tidak dapat bertumbuh, tetapi benih tanaman dapat bertumbuh karena memiliki hidup di dalamnya. Jika Anda tidak bertumbuh, itu bisa terjadi karena Anda belum memiliki hidup itu, atau Anda tidak tahu apa artinya hidup sebagai orang Kristen.

Bahan pembicaraan kita, Efesus 4:13, membahas tentang menjadi “manusia dewasa” dan tentang “tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus”. Apa yang akan terjadi kalau kita tidak bergerak ke arah kedewasaan? Jawabannya ada di ayat selanjutnya (ay.14),

“Dengan demikian, kita bukan lagi anak-anak yang diombang-ambingkan oleh ombak dan dibawa ke sana kemari oleh berbagai angin pengajaran, oleh tipu daya manusia, oleh kecerdikan dari penipuan yang licik.”

Pesan yang disampaikan di sini jelas. Mereka yang tetap bayi secara rohani akan menghadapi kesulitan besar untuk bertahan hidup. Paulus mengharapkan agar kita “bukan lagi anak-anak”, dan agar kita bertumbuh menuju kedewasaan. Anak–anak akan diombang–ambingkan oleh berbagai angin pengajaran, tidak dapat membedakan mana yang benar dan mana yang palsu. Seseorang mengajarkan suatu hal kepada mereka dan mereka menerimanya. Namun, apabila mendengarkan pengajaran yang berbeda, mereka menjadi bingung. Banyak orang Kristen mengeluh, “Kami bingung. Yang seorang berkata begini, sedangkan yang lain berkata begitu. Siapa yang benar?” Mereka tidak berdaya dan diombang-ambingkan oleh ajaran–ajaran yang berbeda.

Kata “diombang–ambingkan” berasal dari kata Yunani kludōnizomai yang berarti dilambungkan ke atas ke bawah oleh ombak laut. Ombak mendorong Anda ke sana ke mari, melemparkan Anda ke segala arah. Anda berada dalam keadaan yang sangat berbahaya, mencoba berpegang pada sesuatu untuk menyelamatkan diri.

Paulus memilih kata “diombang–ambingkan” karena ia sudah akrab dengan kejadian kapal karam (2Kor 11:25). Ia tahu bagaimana rasanya terombang–ambing oleh amukan gelombang laut. Ia pernah menyaksikan kapal yang dihantam ombak hingga berkeping–keping. Kemungkinan besar ia adalah orang yang mahir berenang; kalau tidak, ia tidak mungkin dapat bertahan hidup dalam berbagai musibah di laut. Tidak ada pelampung pada zaman itu, jadi kemungkinan besar ia harus berenang atau berpegang pada potongan kayu. Paulus tentunya sangat memahami bagaimana rasanya dipermainkan oleh ombak laut yang sedang bergelora. Berkat anugerah Allah, ia selamat dari peristiwa–peristiwa kapal karam tersebut. Barangkali mereka yang ingin mengabarkan Injil harus belajar berenang!

Pengalaman-pengalaman Paulus akan kecelakaan kapal begitu membekaskan kesan yang mendalam pada diri Paulus  sehingga dia berbicara tentang “iman yang kandas” (1Tim 1:19). Ia mengharapkan agar mereka yang lahir baru di dalam Kristus dapat bertumbuh dan dengan demikian dapat menghindari bahaya kandasnya kerohanian mereka.


Pertumbuhan Rohani

Pada kelahiran kembali—titik permulaan kehidupan Kristen—Anda menjadi bayi di dalam Kristus. Namun, jika Anda terus menerus menjadi bayi rohani, Anda akan masuk ke dalam situasi yang berbahaya. Seorang bayi bergantung pada orang–orang di sekitarnya. Ibunya merawat dia, ayahnya merawat dia, saudara–saudaranya merawat dia. Namun, apa yang akan terjadi padanya jika mereka yang ada di sekitarnya diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran? Orang itu (si bayi) berada dalam keadaan yang sangat berbahaya.

Perhatian Paulus terhadap pertumbuhan rohani terlihat dari surat–suratnya kepada gereja. Di Kolose 1:28-29, ia berkata:

28  Dialah yang kami beritakan bilamana tiap-tiap orang kami nasihati dan tiap-tiap orang kami ajari dalam segala hikmat, untuk memimpin tiap-tiap orang kepada kesempurnaan dalam Kristus. 29 Itulah yang kuusahakan dan kupergumulkan dengan segenap tenaga sesuai dengan kuasa-Nya yang bekerja dengan kuat di dalam aku.”

Mengapa Paulus berusaha begitu keras agar setiap orang menjadi dewasa dan sempurna dalam Kristus? Belakangan ini, kita lebih memusatkan perhatian untuk mempertobatkan seseorang, lalu kita meningalkan mereka tanpa tindak lanjut. Dalam banyak kasus, jika orang yang baru bertobat mendapat satu sesi bimbingan, orang itu dapat dianggap beruntung. Dalam sebagian besar kejadian, orang yang baru bertobat tidak mendapatkan pengajaran yang cukup untuk membantu mereka bertumbuh.

Ini sangat berlawanan dengan sang rasul, yang berjuang sekuat tenaga atas dorongan kuasa Allah yang bekerja kuat di dalamnya, untuk mempersembahkan orang yang sudah bertumbuh sepenuhnya dalam Kristus kepada Allah. Ia tahu bahwa pertumbuhan adalah penting untuk dapat bertahan dan bahwa kematian bayi–bayi rohani akan berada pada tingkat yang mengkhawatirkan jika tidak terjadi pertumbuhan.

Banyak orang merasa tidak nyaman mendengar kenyataan bahwa Alkitab mengatakan secara eksplisit bahwa kedewasaan merupakan hal yang sangat menentukan di dalam keselamatan. Tidak ada jaminan keselamatan akan diberikan kepada mereka yang tidak ingin bertumbuh dalam Kristus, yang puas sekadar menjadi bayi rohani. Itu sebabnya 1 Petrus 2:2 berkata,

“Dan jadilah sama seperti bayi yang baru lahir, yang selalu ingin akan air susu yang murni dan yang rohani, supaya olehnya kamu bertumbuh *dan beroleh keselamatan.”

* Bahasa Yunaninya berbunyi “kamu bertumbuh menuju keselamatan”.

Keselamatan adalah tujuan dari pertumbuhan kita. Dengan kata lain, kita perlu bertumbuh secara rohani untuk mencapai keselamatan kita yang terakhir dan lengkap. Pokok ini menemukan gemanya di Efesus 4:13 yang menyatakan bahwa kita harus bertumbuh di dalam tubuh Kristus “sehingga kita….menjadi sempurna (teleios), dan mencapai tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus.

Pernyataan di 1 Petrus 2:2 tentang pertumbuhan dan hubungannya dengan keselamatan sangatlah jelas. Hanya mereka yang mengejar kedewasaan yang akan diselamatkan.

Paulus menyatakan bahwa tujuan pemberitaannya adalah, “untuk memimpin tiap–tiap orang kepada kesempurnaan dalam Kristus” (Kol 1:28). Di sini Paulus secara sederhana, tetapi dengan sekuat tenaga dan tekad, menerapkan perintah Yesus yang tertuang di Matius 5:48,

“kamu harus menjadi sempurna, seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna.”

“Kamu harus menjadi sempurna” merupakan suatu imperatif. Kesempurnaan atau kedewasaan bukanlah suatu pilihan. Anda tidak dapat berkata, “Saya puas sudah diselamatkan, jadi saya tidak perlu seperti orang Kristen lainnya yang kelebihan semangat. Orang–orang itu belajar Alkitab dari pagi hingga malam. Lebih baik menjadi orang Kristen yang biasa–biasa saja karena jika saya terlalu banyak membaca Alkitab, saya tidak dapat melihat dengan lurus!” Setiap orang yang memiliki sikap seperti itu belum memahami persoalan yang sebenarnya.


Bagaimana Bertumbuh?

Agar dapat bertumbuh, kita harus “selalu ingin akan air susu yang murni dan yang rohani” (1Pet 2:2), yaitu Firman Allah. Kita harus rajin mempelajari Alkitab dengan hati kita, tidak sekadar dengan pikiran saja. Dengan demikian kita dapat bertumbuh menuju kedewasaan.

Ada dua alasan mengapa kita harus selalu merindukan susu Firman Allah. Pertama, Firman Allah mengajarkan kita untuk membedakan yang benar dari yang salah, dan kebenaran dari dosa. Kedua, Firman Allah menunjukkan kepada kita seperti apa Kristus itu. Kita tak dapat bertumbuh ke “tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus” (Ef 4:13) kalau kita tidak tahu seperti apa Kristus itu. Bagaimana kita bertumbuh ke tingkat pertumbuhannya kalau kita tidak tahu seperti apa tingkat pertumbuhannya? Dapatkah kita melangkah di jalur yang benar kalau kita tidak mencocokkan arah kita dengan peta dan kompas rohani yang tersedia, yaitu Firman Allah? Lagi pula, Firman Allahlah yang menyalakan suatu visi rohani dalam hati kita.

Aspek lain dari pertumbuhan dapat dilihat di Efesus 4:12-16: Kita bertumbuh lewat gereja. Kenyataannya, seluruh pesan dalam kutipan ini berbicara tentang pembangunan tubuh Kristus, yaitu gereja. Pernyataan–pernyataan yang berkaitan termasuk, “pembangunan tubuh Kristus” (ay.12); “kepenuhan Kristus” (ay.13); “kita bukan lagi anak–anak” (ay.14); “kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia” (ay.15); “seluruh tubuh…menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih” (ay.16).

Dalam pengajaran Paulus, gereja adalah sarana utama bagi pertumbuhan. Setiap orang yang tidak tahu bagaimana bersekutu dengan saudara–saudarinya di dalam Kristus, atau yang menjauhkan diri dari persekutuan, akan mengalami kesulitan besar dalam pertumbuhan. Anggota-anggota jemaat yang bersama–sama membentuk gereja, sama seperti anggota-anggota tubuh manusia bertumbuh bersama–sama. Di dalam proses itu kita saling membangun satu dengan yang lainnya: saya membangun Anda, dan Anda membangun saya. Itu sebabnya hidup dan bekerja bersama sebagai satu tim sangat efektif bagi pertumbuhan. Jika kita tidak dapat berkomitmen satu sama lain di dalam gereja, atau di dalam tim pada sebuah gereja, kita tidak akan pernah belajar untuk berkomitmen. Tanpa komitmen bersama, kita tidak akan bertumbuh dalam kehidupan Kristen, dan masa depan rohani kita menjadi suram.

Efesus 4:16 berkata,

“Dari pada-Nya seluruh tubuh tersusun dan diikat bersama-sama menjadi satu melalui topangan setiap sendi. Jika masing-masing melakukan bagiannya, tubuh akan bertumbuh sehingga membangun dirinya sendiri dalam kasih.”

“Tubuh” di sini ialah tubuh Kristus, yaitu gereja. Gereja tumbuh bersama-sama, membangun dirinya dalam kasih, dan dengan demikian mencapai tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus.

 

Berikan Komentar Anda: