Pastor Mark Lee | Pembaruan Akal Budi (4) |

Hari ini kita akan lanjutkan seri “Pembaruan Akal Budi”, yang berpusat pada konsep “berubahlah oleh pembaharuan budimu,” yang disebutkan di Roma 12:2. Kitab Suci menunjukkan bahwa unsur paling dasar dan penting dalam perubahan hidup seseorang adalah “pembaruan akal budinya”. Jika akal budi anda tidak diperbarui, tidak akan ada perubahan yang nyata di dalam hidup anda; karena semua perubahan berawal dari pikiran anda.

Apakah “pembaruan akal budi” itu? Saya sudah menyampaikan pokok ini beberapa kali, tetapi saya menyadari bahwa ajaran ini memang tidak mudah untuk dipahami. Saya menyadarinya saat mendengar para saudara-saudari seiman membagikan proses pembelajaran dan tanggapan mereka terhadap hal ini. Saya sangat menghargai kesaksian dan keterbukaan mereka membagikan proses pembaruan akal budi yang sedang mereka gumuli. Walaupun ada beberapa kesalahan yang terjadi, tetapi tidak perlu berkecil hati. Dalam proses mempelajari sesuatu, seringkali bisa terjadi kesalahan. Hal ini normal dan memang diperlukan waktu untuk mengalami peningkatan secara bertahap. Memang sangat perlu saudara-saudari membagikan kesaksian tentang pengalaman dalam proses pembaruan ini. Dari kesaksian itu saya dapat membantu memperbaiki kesalahan-kesalahan yang terjadi. Ini bukan hanya membantu orang-orang tertentu saja, tetapi semua anggota jemaat akan ikut merasakan manfaatnya.

Di bagian berikutnya nanti, saya akan memakai beberapa contoh nyata dari para saudara-saudari seiman untuk menjelaskan konsep ini. Ada dua keuntungan dari pemakaian contoh ini: di satu sisi, urusannya tidak menjadi abstrak; di sisi lain, saya yakin bahwa beberapa contoh ini akan mirip dengan pengalaman anggota jemaat lainnya; jadi saya akan memakai contoh-contoh tersebut untuk menganalisa apa makna “pembaruan akal budi”.


“Memikirkan hal-hal surgawi” tidak semestinya memperbarui akal budi 

Dalam contoh yang pertama, ada jemaat yang menyebutkan sebuah ayat dalam kesaksiannya. Kolose 3:2, “Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi.” Kitab Suci mengatakan, arahkanlah pikiran anda ke perkara yang di atas. Anda akan melihat ungkapan “arahkan pikiran” yang berarti “memikirkan”, yang juga berkaitan dengan konsep “pembaruan akal budi” di Roma 12:2. Kata “pikiran” dan “pikirkan” membawa makna dasar yang sama, yang satu berbentuk kata benda dan yang satu lagi berbentuk kata kerja.

Jemaat ini menjelaskan tentang rencananya untuk belajar “memikirkan hal-hal surgawi” supaya akal budinya senantiasa diperbarui. Saya rasa logika saudara ini adalah: jika seseorang selalu memikirkan tentang perkara-perkara surgawi, akal budinya akan selalu diperbarui dan diubah. Kesimpulan ini perlu kita analisa dengan lebih cermat—apakah benar jika kita lebih sering memikirkan perkara-perkara surgawi, otak atau pikiran kita akan lebih mampu memahaminya, sehingga akal budi kita bisa diperbarui dengan lebih cepat dan lebih menyeluruh?

Ini adalah ide yang tampaknya disederhanakan. Sebenarnya, kita sering keliru memahami sesuatu dan terlalu cepat menilai urusan rohani secara dangkal. Di permukaannya, logika ini tampaknya benar. Jika anda lebih banyak membaca Alkitab dan lebih banyak memikirkan hal-hal yang diajarkan dalam Alkitab, secara alami anda akan mengumpulkan lebih banyak isi Alkitab di dalam otak anda; dengan kata lain, anda akan hafal lebih banyak isinya. Akan tetapi, apakah ini berarti anda sudah banyak mencernanya? Tidak selalu. Orang yang banyak makan belum tentu bisa mencerna semua makanan yang dia telan. Ini adalah prinsip penting untuk dipahami.

Sebagian dari anda sudah menjadi jemaat selama lebih dari sepuluh tahun, dan banyak saudara seiman yang sangat rajin membaca Alkitab dan menjadi sangat berpengetahuan akan isinya. Jika ada orang yang mengutip sebuah ayat, mereka cepat tahu dari mana ayat itu dikutip. Mereka ingat akan ajaran Yesus dan isi dari surat-surat yang ditulis para rasul, dan sebagainya. Memang benar semakin rajin anda, semakin banyak anda baca Alkitab, maka pengetahuan anda akan isi Alkitab menjadi semakin banyak dan kaya. Akan tetapi, ketika saya mencoba berkomunikasi dengan mereka secara lebih mendalam, atau mengamati cara hidup mereka serta cara mereka mengambil keputusan, saya dapati bahwa tidak ada banyak perbedaan antara mereka dengan jemaat lain yang masih baru. Mereka memiliki pikiran yang mirip; satu-satunya perbedaan adalah pada sisi “pengetahuan”. Jemaat yang sudah lama bergereja tahu ayatnya dikutip dari kitab yang mana; tetapi dari cara pandang mereka, dari pola pengambilan keputusan mereka, tidak jauh berbeda dengan jemaat yang masih baru. Jelaslah bahwa peningkatan pengetahuan bukan berarti peningkatan pemahaman rohani. Kedua hal ini tidaklah sama.

Memang baik jika anda memikirkan hal-hal yang surgawi; tetapi anda harus menanyakan lebih jauh: “Bagaimana” cara anda memikirkan hal-hal yang surgawi? Ini bukanlah pertanyaan sederhana. Hal apakah yang anda pikirkan, suatu ide teoritis, atau sesuatu hal yang memang membawa kita pada pembaruan akal budi? “Perubahan pikiran” dan “memperkaya pengetahuan” merupakan dua hal yang berbeda. Saya harap anda bisa membedakan keduanya. Perkara rohani perlu ditangani dengan hati-hati, karena ia selalu berbeda dengan kesan yang ditampilkan. Bahkan hal-hal duniawi juga banyak terlihat serupa di permukaannya, tetapi sangatlah berbeda di bagian intinya; apalagi hal-hal rohani. Sangatlah lazim untuk orang tertipu: karena ada banyak orang yang gemar menipu orang lain di dunia ini. Tidakkah anda tahu bahwa setan dan roh-roh jahat di alam roh juga melakukan berbagai bentuk penyesatan? Jadi, anda jangan mengira bahwa hal-hal rohani itu gampang dan sederhana. Ada banyak penyesatan dan penyelewengan kebenaran di sana, hal-hal yang bersumber dari roh-roh jahat.

Itu sebabnya, jika anda memikirkan hal-hal yang di atas, ini bukan berarti secara otomatis akal budi anda akan diperbarui. Lalu, apa perbedaan antara memikirkan dan pembaharuan itu, apa yang hilang di sini? Inilah aspek yang ingin saya uraikan pada hari ini. Namun, izinkan saya untuk memberi anda beberapa contoh lagi.


Hal yang direncanakan oleh akal budi yang lama hanya akan menghasilkan metode lama

Ada jemaat lain yang memakai cara menetapkan tujuan untuk mengejar suatu kualitas rohani. Masalah kualitas apa yang ingin dikejar tidak menjadi persoalan. Jemaat ini berkata apa pun tujuan yang ingin dikejar, tindakan saja tidaklah cukup; dia perlu bermula dengan pembaruan akal budi, yakni dengan saksama menangani pikirannya untuk bisa berpikir dengan benar. Lalu, bagaimana dia akan melakukannya? Dia berkata, “Saya perlu berpikir jernih dan memiliki rencana yang menyeluruh untuk mencapai hal-hal yang saya tetapkan supaya saya bisa menerapkannya dengan benar di dalam wujud tindakan. Saya harus mempertimbangkan dengan cermat sebelum melangkah ke tindakan.” Dia bahkan memperhitungkan berbagai kesukaran yang mungkin muncul di jalur pencapaian kualitas rohani yang dia tuju itu. Anda lihat betapa lengkap perencanaannya, seolah-olah dia sedang menggarap suatu proyek besar dan harus memperhitungkan segala kemungkinan terjadinya hambatan di tengah jalan. Perhitungannya memang sangat cermat, ini akan mengingatkan kita pada sebuah perumpamaan yang diajarkan oleh Yesus tentang pembangunan rumah. Dia menyuruh  kita membuat perhitungan yang matang sebelum mulai membangun, supaya kita tidak kehabisan modal di tengah pembangunan, lalu menjadi tertawaan orang banyak. Yesus berkata, “Kalau kamu memulai pekerjaan, tetapi tidak mampu menyelesaikannya, lebih baik jangan melakukannya, daripada kamu membuang-buang waktu dan menjadi tertawaan orang lain.” Demikianlah, perencanaan saudara ini sejalan dengan ajaran Yesus, bahwa kita harus memperhitungkan ongkosnya sebelum mengambil suatu tindakan.

Akan tetapi, inikah pembaruan akal budi? Tidak selalu. Memang benar anda perlu memakai pikiran anda untuk membuat rencana; tetapi perencanaan itu tidak harus diartikan sebagai pembaruan akal budi. Jika anda memakai akal budi yang lama dan metode yang lama untuk membuat rencana, tak peduli seberapa lengkap perencanaan anda, akal budi anda masih saja merupakan akal budi yang lama, dan sama sekali tidak ada unsur pembaruan akal budi yang dilibatkan di sini. Demikianlah, saya mendapati sangat sedikit orang yang benar-benar memahami makna pembaruan akal budi, bahkan sesudah pokok ini diterangkan berulang kali. Memang benar, saya sendiri harus mengakui bahwa urusan pembaruan akal budi ini adalah pokok yang sukar dipahami. Itu sebabnya saya menguraikannya dengan sangat perlahan dan memakai banyak contoh untuk membantu anda memahami jalan mana yang harus diambil dan jalan mana yang harus dihindari.


“Pembaruan akal budi” bukanlah “peningkatan pengetahuan”

Contoh yang lain lagi, kali ini menyangkut sebuah kelompok yang beberapa anggotanya saling berbagi pemahaman tentang khotbah-khotbah yang telah disampaikan. Sejak kita mulai belajar topik “pembaruan akal budi”, para anggota grup ini membahasnya bersama-sama dan salah satu dari mereka berkata, “Kita perlu meningkatkan pemahaman kita tentang konsep ini, kita harus lebih banyak memakai pikiran kita, supaya kita bisa memperoleh lebih banyak pengetahuan.” Anggota kelompok yang lain menyetujuinya; “Ya, kita perlu mencapai kemajuan dalam pengetahuan kita.” Setelah ibadah kelompok itu selesai, seorang rekan sekerja memberitahu saya bahwa kelompok belajar ini sudah menyusun gambaran dan kesimpulan tentang konsep pembaruan akal budi, yakni bahwa mereka perlu mengejar tambahan pengetahuan; dan tidak ada keberatan yang diajukan oleh anggota lain dalam kelompok ini. Demikianlah, mereka ingin tahu apakah gambaran yang mereka susun itu benar atau salah.

Ketika saya mendengarnya, saya menyadari bahwa kebanyakan orang bahkan tidak tahu apa arti pembaruan akal budi, mereka seperti diselimuti oleh kabut tebal, kemana-mana hanya kabut yang terlihat, atau ibarat rombongan orang buta yang sedang memeriksa seekor gajah dari berbagai arah (kesimpulan mereka berbeda-beda, tergantung pada bentuk bagian tubuh yang sedang diraba oleh yang bersangkutan, dan mereka kebingungan hewan apakah ini). Ide utama dari kesimpulan kelompok belajar ini adalah agar lebih banyak berpikir dan meningkatkan pengetahuan mereka, sehingga akal budi mereka bisa diperbarui. Saya perlu sampaikan bahwa kesimpulan ini sangat keliru. “Perubahan akal budi” dan “penambahan pengetahuan” adalah dua hal yang sepenuhnya berbeda. Anda bisa saja meningkatkan pengetahuan anda sampai 10 kali lipat, tetapi akal budi anda masih sama saja! Yang terjadi hanya penambahan materi pengetahuan, tambahan data—karena pengetahuan adalah data.

Kenyataannya sederhana, anggaplah ada seorang percaya yang telah mempelajari Alkitab selama beberapa tahun, kemudian dia ingin melayani sebagai penginjil. Lalu, dia belajar teologi, memperoleh gelar sarjana, Master, dan bahkan Doktor. Upaya ini mungkin menyita waktunya sekitar  delapan atau sepuluh tahun, dan ada banyak pilihan kampus yang tersedia. Apakah akal budinya mengalami pembaruan setelah kuliah selama sepuluh tahun itu? Maaf, tidak ada jaminannya. Dia memang sudah menambah pengetahuannya, hal yang sudah pasti, jika tidak, dia tidak mungkin lulus. Jadi, pengetahuannya sudah bertambah, tidak perlu diragukan lagi. Namun, sangat menyedihkan melihat begitu banyak orang yang gagal mengenali perbedaan antara “tambahan pengetahuan” dengan “pembaruan akal budi”. Perbedaan kedua hal ini seperti perbedaan antara langit dan bumi. Oleh sebab itu, jika ada orang percaya yang mengira bahwa “pembaruan akal budi” berarti mencari tambahan pengetahuan, jelaslah dia tidak mengerti apa arti pembaruan akal budi.


Pembaruan: hal yang dulu dipandang berguna, sekarang dipandang berbahaya?

Selanjutnya, saya akan memakai sebuah ayat untuk menjelaskan kepada anda makna “pembaruan akal budi”. Filipi 3:7,

“Akan tetapi, segala sesuatu yang dahulu menguntungkan aku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus.”

Saya yakin anda sudah cukup akrab dengan ayat ini. Ia menjelaskan perubahan yang sangat besar: hal yang dulu saya anggap baik untuk saya, sekarang justru saya anggap berbahaya karena Yesus Kristus. Sekarang saya mengetahui bahwa hal tersebut bukan saja tidak berguna, justru sangat berbahaya bagi saya. Pola pikir yang baru ini membutuhkan terjadinya suatu perubahan akal budi yang sangat signifikan.

Sebagai contoh, hal-hal seperti apakah yang anda pandang perlu pada masa lalu? Bagi kebanyakan orang, promosi jabatan atau peningkatan gaji, atau menikmati kemakmuran yang semakin banyak. Semua ini merupakan hal yang lazimnya anda pandang sebagai bermanfaat. Sekarang anda tahu bahwa semua itu bisa membahayakan anda. Promosi jabatan dan tambahan gaji tidak selalu merupakan hal yang baik, lebih baik anda memenuhi kebutuhan secukupnya saja. Memiliki terlalu banyak uang bisa membawa banyak masalah, dan bisa sampai menyesatkan. Promosi dan tambahan gaji juga ada tuntutannya, seringkali berupa waktu dan upaya yang dipakai lebih banyak lagi, tidak ada hal gratis di dunia ini.

Selain itu, sebagian orang menganggap bermain video games, mengikuti medsos, menonton siaran pertandingan olah raga atau siaran TV lainnya sangat penting, karena berbagai hiburan itu sangat menarik bagi mereka. Sekarang anda tahu bahwa semua itu tidak bermanfaat, tidak ada gunanya menimbun semua itu ke dalam otak anda. Ada lagi yang memandang hubungan sosial mereka dengan berbagai orang sangat penting. Kita ingin lebih baik daripada orang lain; lebih berprestasi dan menang dalam segala hal? Saat berbicara dengan orang lain, anda ingin selalu mengendalikan pembicaraan, anda selalu membanggakan diri dan bersikap egois dalam hubungan anda dengan orang lain, anda menuntut orang lain untuk mendengarkan omongan anda. Sekarang anda tahu bahwa hal ini salah, tidak menyenangkan hati Allah, dan berbahaya bagi kehidupan rohani anda.

Jenis perubahan seperti inikah yang disebut pembaruan akal budi seperti yang dimaksudkan oleh Paulus di Filipi 3:7? Anda mungkin berkata, “Pastor, apakah anda mengira bahwa Rasul Paulus belum diperbarui akal budinya? Tidak masalah jika anda berkata bahwa kami semua belum mengalami pembaruan akal budi, tetapi apakah anda ingin berkata bahwa bahkan Paulus juga belum diperbarui akal budinya? Apakah anda sudah tidak waras?” Tentu saja, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa Paulus belum diperbarui akal budinya. Yang saya maksudkan adalah anda keliru memahami tulisan Paulus. Jika anda mengira bahwa beberapa contoh yang saya ajukan tadi sejalan dengan pembaruan akal budi, berarti anda sama sekali tidak tahu apa arti pembaruan akal budi. Apakah anda mengira bahwa pembaruan akal budi itu berarti bahwa apa yang tadinya dipandang benar, bagus dan berguna, sekarang anda melihatnya sebagai hal yang merusak dan salah?


Pembaruan akal budi: sama sekali bukan penambahan pengetahuan

Setelah anda membaca Alkitab, anda mulai mengerti bahwa apa yang dulu anda pandang baik dan berguna pada dasarnya berbahaya dan salah, lalu di mana persoalannya? Persoalannya adalah banyak orang percaya, bahkan hamba Tuhan, tidak mampu memperbaiki diri mereka sekalipun mereka sadar akan kesalahan mereka. Sanggupkah anda melakukan apa yang benar? Alkitab berkata: Jangan bandingkan dirimu dengan orang lain, jangan pamer, jangan egois, pertanyaannya adalah, “Bisakah anda melakukannya?”

Banyak orang percaya yang terpaksa mengaku, “Saya tidak mampu melakukannya.” Masalahnya adalah, mereka yakin mereka sudah mengalami pembaruan akal budi, mereka sekadar tidak mampu menerapkannya dalam tindakan. Demikianlah, banyak orang percaya yang merasa bersalah karena mereka tahu bahwa mereka sudah melakukan hal-hal yang seharusnya tidak mereka perbuat. Mereka menganggap bahwa “pembaruan akal budi” itu berarti mampu mengetahui bahwa mereka sudah berbuat salah, tanpa mengaitkannya dengan kemampuan untuk menghindari perbuatan salah di dalam tindakan. Oleh karena itu, mereka beranggapan bahwa akal budi mereka sudah diperbarui, hanya penerapannya yang belum bisa dicapai. Seperti yang dikatakan oleh Paulus di surat Roma, “Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat” (Rm 7:15). Seperti inilah kebanyakan orang percaya mengartikan konsep “pembaruan akal budi”: Hal yang saya inginkan dan yang saya benci sudah berubah, yang masih kurang adalah kuasa untuk menghasilkan perubahan perilaku. Itu sebabnya saya sering melakukan hal-hal yang saya benci tanpa saya sadari.

Pertama-tama, saya ingin sampaikan kepada anda bahwa yang diuraikan oleh Paulus itu maknanya berbeda dengan yang anda pikirkan. Ini bukan pembaruan akal budi yang dimaksudkan oleh Paulus. Mungkin anda tidak setuju: “Saya benar-benar sudah diperbarui. Dulu saya mengejar promosi jabatan, tetapi sekarang saya merasa bahwa promosi jabatan tidak selalu merupakan hal yang baik. Dulu saya selalu ingin merasa paling hebat, sekarang saya tahu hal itu tidak pantas. Sekalipun saya tidak mampu menolak hasrat-hasrat itu, setidaknya saya memiliki pengetahuan untuk memahaminya. Saya tahu persis apa yang harus dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan. Bukankah ini pembaruan akal budi?”

Ini adalah elemen yang paling penting. Anda perlu membedakan antara “pembaruan akal budi” dengan “tambahan pengetahuan”. Kedua hal ini perbedaannya seperti langit dan bumi. Banyak orang mengira bahwa pembaruan akal budi berarti menambah pengetahuan, jadi jika mereka belajar lebih banyak, akal budi mereka akan diperbarui. Apakah sesederhana itu? Apakah akal budi anda akan diperbarui jika anda belajar lebih banyak? Berarti mereka yang belajar di universitas dan mendapat gelar PhD akan menjadi orang-orang yang paling diperbarui akal budinya!

Anda harus mengerti bahwa pengetahuan hanya mewakili konsep atau teori tertentu. Bukan hanya orang Kristen, setiap orang yang tumbuh besar dari pendidikan normal tahu apa yang baik dan yang jahat. Apakah menurut anda orang duniawi akan setuju bahwa keegoisan itu baik? Kebanyakan akan tidak setuju, karena hal ini pasti sudah diajarkan oleh orang tua atau guru-guru mereka. Para tokoh sekuler tanpa latar belakang religius juga mengajari orang untuk tidak keras kepala, untuk tidak egois, bukankah begitu? Sebenarnya, anda tidak membutuhkan Alkitab untuk mengetahui semua itu. Selama anda bisa mendapatkan buku yang bagus di pasar, isi ajaran mereka sama saja: Jangan pamer, jangan iri hati… semua itu salah. Anda tidak perlu membaca Alkitab untuk mengetahui hal ini, tak pernah ada kekurangan ajaran moral di muka bumi.

Banyak orang non-Kristen yang setuju bahwa Alkitab membimbing orang ke arah baik, karena mengajarkan nilai-nilai moral yang juga diajarkan oleh banyak buku yang akan anda temukan di toko buku. Sebagai contoh: Aesop’s Fables, setiap dongeng yang disampaikan di buku itu mengajari orang untuk berbuat baik. Tolong beritahu saya, setelah orang-orang membaca berbagai dongeng dalam Aesop’s Fables, apakah akal budi mereka berubah? Mengapa anda mengira bahwa “pembaruan akal budi” itu berarti menambah pengetahuan? Di sinilah kebanyakan orang percaya melakukan kesalahannya. Sebenarnya, saya sudah berkali-kali membahas urusan ini, tetapi saya mendapati bahwa anda kesukaran untuk mencernanya, karena anda begitu terbiasa dengan pola pikir yang lama; tak peduli bagaimana cara saya menjelaskannya, pikiran anda masih belum bisa berubah.


Perbedaan antara “pembaruan akal budi” dan “tambahan pengetahuan”

Saya memakai contoh untuk menggambarkan hal berikut: pembaruan itu tidak berlangsung di tingkat pengetahuan. Namun, saya tidak mengerti mengapa para saudara dan saudari seiman masih begitu terikat dengan konsep penambahan pengetahuan. Tentu saja, mereka tidak sedang berbicara tentang pengetahuan duniawi, melainkan pengetahuan rohani. Mereka mengira bahwa dengan menambahkan kata “rohani” maka urusannya bisa berbeda. Pada dasarnya, “pengetahuan rohani” masih merupakan pengetahuan belaka, tak ada yang luar biasa di sana.

Seringkali kita memandang persoalan hanya di permukaannya saja, dan ini membuat pemahaman kita jadi keliru. Saya pernah berbagi kesaksian kepada anda tentang pengalaman saya: Dulu saya memiliki kecanduan bermain mahjong, tingkat kecanduan yang lebih parah daripada kecanduan orang zaman sekarang pada HP mereka. Mungkin tidak ada orang di gereja ini yang sanggup bermain dengan HP mereka semalaman; namun bagi saya, bermain mahjong sepanjang malam tanpa tidur sudah merupakan hal yang biasa. Sekalipun pada waktu itu masih belum ada HP, situasi yang ada tidak jauh berbeda. Akan tetapi, walaupun kecanduan saya sudah separah itu, pada akhirnya saya bisa berhenti juga. Bagaimana saya bisa melakukannya? Ini bukan masalah pengetahuan, bukan karena saya meyakini bermain mahjong itu salah atau bermain mahjong itu kriminal. Alkitab tidak pernah berkata bahwa bermain mahjong itu buruk, tentu saja tidak ada permainan mahjong pada masa ribuan tahun yang lalu, akan tetapi judi selalu ada di sepanjang zaman. Judi sudah berkembang sejak awal peradaban, ada orang-orang yang memiliki kebiasaan bertaruh balap kuda di Tiongkok pada zaman Warring States (lebih dari 2000 tahun yang lalu), bahkan jauh sebelum Yesus.

Saya berhenti bermain mahjong bukan karena pengetahuan, mengetahui bahwa hal itu buruk, atau bahwa Allah tidak berkenan, bukan karena itu. Setelah saya percaya kepada Tuhan, mendadak saja saya kehilangan minat pada permainan mahjong, sampai pada tingkat melupakannya. Jadi, saya mendadak tidak lagi kepingin untuk bermain mahjong. Saya tidak perlu berusaha mengendalikan diri saya untuk tidak bermain mahjong, sama sekali tidak perlu. Hanya satu kali saya sempat tergoda, karena mendapat telpon dari seorang teman lama. Di berkata, “Hei, kami tidak bisa main tanpa kamu. Kami perlu satu pemain lagi”; jawaban saya saat itu adalah bahwa saya tidak punya waktu untuk itu, ada hal lain yang harus saya kerjakan. Mereka lalu menelpon saya berkali-kali, dan saya mengerti kekecewaan mereka, dan karena merasa kasihan saya lalu berdoa kepada Allah, “Bolehkah saya menemani mereka bermain mahjong? Mungkin saya bisa memberitakan injil kepada mereka sambil ikut bermain?” Akan tetapi, Allah tidak menjawab saya, jadi saya putuskan untuk tidak menemani mereka.

Sebagaimana yang bisa anda lihat, saya tidak memandang bahwa permainan mahjong itu buruk, saya tidak akan berani memohon persetujuan Allah jika saya meyakini bahwa permainan mahjong itu buruk atau jahat. Saya hanya sekadar tidak ingin membuang-buang waktu dengan bermain mahjong. Belakangan saya benar-benar lupa pada kenikmatan permainan mahjong, dan permainan ini tidak lagi memikat hati saya. Sekarang saya bahkan memandang permainan ini membosankan dan memboroskan waktu saja, walau mungkin masih bisa dipandang baik jika bisa dipakai untuk menolong teman-teman saya melalui permainan ini, jika niatnya seperti itu, mungkin saya bersedia luangkan beberapa jam untuk mereka. Akan tetapi, Allah tidak menjawab doa saya, jadi saya tidak pergi.

Apakah anda mengerti perbedaannya? Bukan karena aturan atau pengetahuan yang mengatakan bermain mahjong itu buruk atau bahwa orang Kristen seharusnya tidak melakukannya. Sebagian orang mungkin rindu untuk bermain lagi, tetapi mereka tetap berhenti demi Tuhan, atau mereka beranggapan bahwa ini adalah hal yang harus dihindari oleh orang Kristen. Saya berhenti bukan karena alasan-alasan itu; saya berhenti bukan demi mengikuti aturan.

Ini juga bukan hal yang dimaksudkan oleh Paulus. Paulus tidak menyuruh anda untuk memaksa diri berhenti—atau melarang diri sendiri—melakukan hal-hal tertentu demi mengikuti kehendak Allah. Jika anda harus memaksa diri untuk meninggalkan hal-hal yang tidak baik, berarti akal budi anda masih belum berubah sama sekali. Semua hal yang anda tinggalkan itu sebenarnya masih sangat menarik hati anda, anda masih memandang semua itu sebagai hal yang bermanfaat bagi anda. Anda berjuang untuk menghentikannya hanya karena anda sekarang tahu akan isi perintah Allah, anda sekadar mengikuti aturan. Anda berhenti bukan karena niat anda, anda berhenti walaupun sebenarnya anda tidak ingin berhenti; anda menjalaninya hanya karena itu adalah aturan.


Pembaruan akal budi: Nilai-nilai di dalam diri sudah berubah

Pemahaman anda tentang “pembaruan akal budi” berbeda sepenuhnya dengan apa yang disampaikan oleh Paulus. Anda mungkin mengira bahwa mengetahui apa yang baik dan apa yang jahat berarti sudah mengalami “pembaruan akal budi”, tetapi Paulus bahkan tidak berbicara tentang “pengetahuan”. Mengapa saya menyatakan seperti ini? Filipi 3:8 menerangkan hal ini dengan jelas,

“Sungguh, segala sesuatu kuanggap rugi dibandingkan dengan pengenalan akan Yesus Kristus, Tuhanku, yang jauh lebih berharga dari apa pun. Demi Kristus, aku telah kehilangan semuanya — karena semua itu sekarang kuanggap sampah!  — supaya aku boleh mendapatkan Kristus.”

Paulus menganggap segala sesuatu sebagai “sampah”, sebagian Alkitab bahasa Inggris memakai terjemahan “dung (tinja atau kotoran)” Nah, siapa yang tertarik pada tinja? Yang bisa saya bayangkan hanyalah petani dan peneliti di laboratorium. Selain mereka, orang-orang yang tertarik pada tinja pastilah memiliki masalah mental. Apakah anda memahaminya? Ini bukan hanya masalah tindakan, keputusan anda untuk berhenti bermain mahjong atau tidak; ini persoalan apakah segenap mentalitas anda sudah berubah atau belum. Jika anda menganggap sesuatu sebagai kotoran, sudah pasti anda akan menghindarinya. Anda tidak membutuhkan tekad untuk menolak kotoran, kecuali jika anda benar-benar memiliki masalah mental. Anda bukan saja tidak tertarik pada kotoran, anda bahkan membencinya. Inilah perubahan yang terjadi di dalam batin, bukan hanya perubahan pengetahuan. Tak peduli seberapa banyak pengetahuan anda bertambah, tetap saja mustahil mengubah pandangan anda terhadap hal-hal yang anda cintai menjadi pandangan terhadap kotoran.

Perubahan itu ada di dalam diri anda. Jadi, bukan karena Alkitab memberitahu anda bahwa ini adalah kotoran, lalu anda setuju bahwa Alkitab itu benar, dan berkata, “Amen!” Bukan. Pikiran anda akan benar-benar berubah, anda sekarang memandang semua itu sebagai sampah yang menjijikkan. Perubahan semacam ini berbeda sepenuhnya dengan aturan yang berbunyi: “Jangan begini, jangan begitu; yang ini harus dibuang, yang itu merugikan.” Perubahan di dalam diri dan ketaatan yang terpaksa pada aturan adalah dua hal yang sepenuhnya berbeda. Jelas, kemampuan untuk mengenali kotoran tidak dipandang sebagai semacam pengetahuan. Anda akan langsung tahu apakah sesuatu itu kotoran atau bukan hanya dengan mengendusnya. Anda tidak perlu meneliti susunan kimianya. Apakah anda perlu melakukan analisa kimia untuk memastikan bahwa sesuatu itu tinja? Ini tidak ada kaitannya dengan pengetahuan. Pengetahuan bukanlah perasaan, pengetahuan adalah informasi, ibarat satu tambah satu adalah dua, itu hanya informasi eksternal, yang sama sekali berbeda dengan perubahan di dalam hati. Demikianlah perbedaan antara keduanya.

Saya rasa banyak orang percaya yang salah, mengira bahwa jika mereka menerima, mendukung dan menyetujui hal-hal yang dikatakan oleh Alkitab, berarti telah terjadi “pembaruan akal budi”. Keliru, ini hanya sekadar penalaran rasional saja. Yang utama bukanlah rasionalitas, melainkan hati anda. Bagaimana hati anda merasakan, apa isi hati anda? Apakah hati anda masih memandang berbagai hal tersebut sebagai hal-hal yang memikat dan menyenangkan? Sebagai contoh: uang, orang normal akan sangat tertarik pada uang, tetapi sebagai seorang Kristen anda tahu uraian Alkitab bahwa uang adalah akar dari segala kejahatan. Anda mungkin bisa menerima pengetahuan ini, tetapi hati anda belum berubah dan anda masih sangat terpikat pada uang. Akan tetapi, untuk bisa memasuki kerajaan surga, anda harus merelakan uang anda dan membuat kesepakatan dengan Allah, walaupun anda masih enggan merelakan uang anda.


Pembaruan akal budi itu ibarat mengganti otak anda

Bisakah anda membedakan keduanya sekarang? Pembaruan akal budi bukan urusan menambah pengetahuan, melainkan memiliki “otak yang baru”. Sebagian orang sudah membaca Alkitab sekian lama, tetapi masih juga belum mengerti perbedaannya, masih mengira bahwa mereka sedang berurusan dengan masalah pengetahuan. Mereka mengira yang diperlukan hanya lebih banyak membaca Alkitab dan menerima lebih banyak pengetahuan, selanjutnya akal budi mereka akan berubah sendiri. Sebenarnya, yang perlu anda lakukan adalah “mengganti otak anda”.

Saya yakin saudara pernah menggunakan komputer. Anggaplah anda memiliki sebuah komputer; komputer ini mirip dengan otak manusia. Komputer digunakan untuk menerima data, menghitung data, dan menampung informasi dalam jumlah besar. Anda juga bisa mendownload banyak informasi dari internet ke dalam komputer anda. Kapasitas hardisk atau memori komputer anda mungkin sangat besar. Tidak sukar bagi anda jika anda ingin mengunduh seluruh isi ensiklopedi ke dalam komputer anda. Akan tetapi, setelah anda mendownload semua informasi itu ke dalam hardisk anda, apakah ini berarti hardware (komponen alat-alat) dalam komputer anda sudah diperbarui? Tentu saja tidak. Sekalipun anda mungkin sudah melakukan update software (program, aplikasi), komputer anda masih tetap sama, masih yang lama itu juga. Jumlah data yang tersimpan dalam komputer mungkin sudah bertambah, tetapi kecepatan komputer, perangkat motherboard, prosesor (CPU), dan kapasitas memorinya masih tetap sama, tak ada yang berubah.

Apa yang anda update atau perbarui hanya data di dalam komputer. Berbeda dengan mengganti  komputer yang baru. Kedua tindakan ini jauh berbeda. Saya ingat ada seorang saudara seiman yang bercerita bahwa dia sedang belajar tentang animasi. Setiap pulang kursus, dia langsung pulang mengerjakan PR-nya. Animasi yang dia buat hanya sepanjang 10 detik. Setelah dia memasukkan semua setting di dalam program animasinya, komputer lalu mulai melakukan kalkulasi secara otomatis. Setelah itu, dia lalu pergi tidur dan komputernya akan melanjutkan kalkulasi itu sampai pagi. Mungkin komputernya agak ketinggalan zaman, ia membutuhkan waktu sekitar tujuh sampai delapan jam untuk menghasilkan animasi sepanjang 10 detik. Sekiranya dia memiliki uang untuk membeli super-komputer, saya yakin kalkulasi itu hanya memerlukan waktu beberapa menit saja. Inilah maksud dari hal “mengganti otak”, sama seperti mendapatkan komputer baru. Sedangkan data yang anda unduh, itu bukan tindakan “mengganti otak”, semakin banyak data disimpan mungkin justru memperlambat kerja komputer.

Bisakah anda membedakan keduanya sekarang? “Pengetahuan” dan “otak” anda bukanlah hal yang sama. Alkitab tidak menyuruh anda: “Perbarui ‘pengetahuanmu’, kamu harus banyak menerima data baru.” Walaupun kita sering dihadapkan dengan berbagai informasi baru, Alkitab tidak terlalu tertarik dengan informasi baru. Tentu saja, Alkitab tidak menentang informasi baru. Masalahnya, jika “otak” kita belum berubah, informasi baru tidak akan bisa menolong kita. Kita mungkin mengira memperoleh banyak pengetahuan sama dengan memiliki “otak yang baru”. Di sinilah letak persoalannya. Hal yang penting bukanlah “menambah pengetahuan atau informasi”, melainkan “mengganti otak anda”, menggantinya dengan yang baru, dan menjadi “otak yang baru”.

“Otak yang baru” ini sangat berbeda. Apanya yang berbeda? Perbedaannya pada berbagai hal yang dulu anda anggap menarik bagi anda, sekarang otak anda tidak lagi menganggap semua itu menarik. Hal-hal yang anda sukai sebelumnya, sekarang oleh otak yang baru (akal budi yang baru, mentalitas yang baru) menganggapnya menjijikkan. Inilah perubahan, perubahan dalam mentalitas, perubahan pandangan anda terhadap berbagai hal, bukan peningkatan data baru. Apakah anda mengerti sekarang? Saya harap khotbah hari ini bisa memberi perincian selengkap mungkin. Camkanlah: Ini bukan masalah pengetahuan, melainkan mentalitas, pikiran anda, dan sikap hati anda. Semoga hal ini jelas bagi anda.

Banyak orang mengira bahwa meningkatkan pengetahuan Alkitab berarti memperbarui akal budi mereka, sehingga mereka harus membaca Alkitab dengan rajin. Sebenarnya, anda sudah banyak membaca Alkitab di masa lalu. Anda mungkin sudah banyak mendengarkan khotbah dan belajar Alkitab sekali seminggu, artinya secara total sudah membaca Alkitab dua kali seminggu. Jika akan membaca Alkitab dua kali sehari, dalam setahun anda sudah menambahkan sekitar 700 pengetahuan baru ke otak anda dalam setahun. Anda bisa menjadi ensiklopedi Alkitab. Namun, apakah akal budi anda sudah berubah? Jika belum, anda hanya menjadi ensiklopedi berjalan. Sekalipun anda memiliki banyak data tersimpan di dalam otak anda, anda bisa mengutip ayat Alkitab dengan mudah, dan menyampaikan doktrin-doktrin Alkitab setiap saat dengan orang lain, tetapi apakah akal budi dan pikiran anda sudah berubah? Anda harus mengerti bahwa “tambahan pengetahuan” dan “pembaruan akal budi” adalah dua hal yang sama sekali berbeda.

Di sini saya ingin menghimbau saudara-saudara sekalian, yang perlu dikejar adalah: pembaharuan akal budi. Bukan lebih banyak data, bukan lebih banyak aturan. Jika Anda penuh dengan data, tetapi tanpa pola pikir baru yang berbeda dari dunia, itu sama sekali tidak berguna dan tidak akan membantu Anda sama sekali. Jika Anda tidak memiliki perubahan ini, Anda tidak memiliki pembaruan akal budi


Mengejar hal-hal rohani: harus didorong oleh hati yang sukacita

Terakhir, saya ingin membagikan sebuah kasus nyata, hal yang cukup menggugah inspirasi. Saya memiliki keponakan (putra dari kakak perempuan saya) yang sudah menikah dan memiliki seorang putra, bisa disebut sebagai cucu saya juga. Usianya sekitar sembilan tahun dan sekarang sudah di kelas IV sekolah dasar. Biasanya, setiap tahun baru saya akan membelikan dia hadiah tahun baru. Tahun ini saya membelikan dia sebuah buku khusus untuk anak-anak. Buku ini cukup tebal, lebih dari seratus halaman. Ukurannya sama dengan kertas A4, dengan sampul yang tebal. Ada banyak gambar berwarna di sana, banyak juga informasi yang disampaikan. Judul buku itu adalah One Hundred Whys (Seratus Pertanyaan Mengapa), yang membahas berbagai pertanyaan ringan mengenai makhluk hidup termasuk hewan dan manusia, dan buku ini cocok buat anak-anak. Saya memberikan buku ini kepada cucu saya pada hari tahun baru di mana ada banyak orang berkumpul untuk makan malam. Selama acara makan, dia terus saja membaca buku yang ditulis dalam bahasa Inggris itu.

Kosa kata buku itu juga tidak sederhana. Ketika saya membaca isinya, ada beberapa tempat saya tidak begitu mengerti uraiannya. Saya perlu membaca dengan perlahan atau membuka kamus untuk mencari maknanya. Begitu dia menerima buku tersebut, cucu saya langsung membacanya dengan penuh semangat. Anda mungkin berpikir, “Cucu anda pasti anak berbakat.” Sebenarnya dia hanya anak kecil biasa. Satu-satunya perbedaan adalah dia masuk di sekolah non-tradisional. Sekarang ada banyak sekolah non-tradisional di Hong Kong. Sekolah semacam ini memiliki kurikulum yang jauh berbeda dengan sekolah biasa. Mereka tidak menjejali para siswa dengan ulangan, ujian ataupun PR. Sebaliknya, mereka justru memakai cara-cara pengajaran yang membangkitkan minat siswa untuk mencari sendiri pengetahuan, sehingga para siswa mendapati bahwa proses belajar itu menyenangkan. Oleh karena itu, cucu saya sangat senang membaca buku dan dia bisa selesaikan membaca sebuah buku dengan cepat. Jika anda harus selalu membelikan dia buku baru, anda bisa bangkrut dengan cepat, karena hasratnya untuk mencari pengetahuan baru sangat kuat. Memang benar sebagian besar anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang besar akan hal-hal baru dan senang mencoba merasakannya. Sayangnya, sistem pendidikan sekarang ini sepenuhnya salah. Sekolah tidak menjelajahi potensi sejati dari anak-anak tersebut dengan cara merangsang rasa ingin tahu mereka lebih jauh lagi, tetapi justru menjejali mereka dengan berbagai PR dan ulangan. Bagi kebanyakan siswa, belajar di sekolah itu ibarat memikul beban yang sangat berat, tak heran jika mereka sangat ketakutan ketika melihat buku.

Cucu saya sangat berbeda, dia sangat menyukai buku. Tak peduli buku apa pun yang anda belikan buat dia, dia senang membacanya, dan dengan cepat dia akan menyelesaikan pembacaannya. Dia tidak sekadar membaca sambil lalu saja, lalu melupakan isinya setelah selesai, hal yang umumnya dilakukan oleh banyak orang. Dia akan mengingat isi buku tersebut. Sangat disayangkan melihat pola pendidikan sekarang yang hanya memperhitungkan nilai, tak ada kesenangan di sana. Satu-satunya kesenangan adalah ketika anda mendapat nilai tinggi dalam ujian. Pengetahuan kemudian menjadi beban bagi mereka, suatu hal yang sangat disayangkan.

Banyak orang menganggap urusan membaca Alkitab atau mengejar hal-hal rohani adalah suatu beban, bukan apa yang mereka benar-benar ingin lakukan. Akan tetapi, mereka tahu ada perintah untuk melakukannya, sama seperti para guru dan kepala sekolah yang selalu menyuruh siswa-siswa untuk tepat waktu mengerjakan PR dan pelajaran mereka. Para siswa harus melakukan segala yang diperintahkan oleh guru-guru mereka, jika tidak, bisa saja mereka dikeluarkan dari sekolah. Hal semacam ini sebenarnya justru mematikan hasrat anak-anak mencari pengetahuan. Tidak ada inspirasi, otak dan pikiran kreatif mereka dibelenggu; yang tersisa hanyalah urusan menaati berbagai macam aturan. Inilah persoalannya. Banyak orang Kristen yang belum diperbarui akal budi mereka, mereka hanya sekadar menuruti aturan. Mereka menjalankannya, tetapi tidak memiliki niatnya. Mereka tidak merasa merdeka, mereka tidak memandang urusan menjalankan ajaran sebagai hal yang menarik bagi mereka.

Ini merupakan perbedaan yang sangat penting, dan saya harap anda sudah bisa melihatnya dengan jelas. Transformasi yang sejati selalu dimulai dari dalam; jika batin anda belum berubah, tetapi anda memaksakan diri untuk berubah di sisi luarnya, anda tidak akan bisa bertahan lama.  Mungkin akan ada beberapa pencapaian kecil, karena anda memang bisa meraih prestasi dengan kekuatan manusia, tetapi anda tidak akan dapat melangkah jauh.  Anda akan menjadi biasa-biasa saja dan tidak stabil dalam kehidupan rohani serta pencapaiannya.


“Roh Anak” dan “Roh Hamba”

Mari kita telaah ayat-ayat terakhir berikut ini untuk membedakan dua macam roh sebelum kita tutup pembahasannya. Roma 8:14-15,

“Sebab, semua orang yang dipimpin oleh Roh Allah adalah anak-anak Allah. Sebab, kamu tidak menerima roh perbudakan lagi yang menyebabkan ketakutan, tetapi kamu telah menerima Roh yang telah mengangkat kamu menjadi anak-anak Allah, yang melalui Roh itu kita berseru, “Abba, Bapa!””

Ada dua jenis roh yang disebutkan di ayat-ayat ini, yang pertama adalah “roh anak”, yakni roh yang datang dari Allah. Bagi mereka yang memiliki “roh anak”, perkara-perkara rohani sangat menarik hati mereka, sangat mereka sukai; tetapi mereka akan memandang hal-hal duniawi sama sekali tidak berharga dan tidak berarti. Ini adalah perubahan yang dihasilkan oleh “roh yang baru”.

Jenis roh yang lain adalah “roh perbudakan”. Budak bisa merupakan seorang pekerja keras dan setia, karena mereka bekerja siang dan malam. Sebagian orang bisa giat belajar saat menghadapi ujian untuk memperoleh nilai yang bagus. Akan tetapi, ini bukanlah perubahan hidup, hanya sekadar penambahan pengetahuan dan mereka memaksa diri untuk menyerap banyak pengetahuan, sama seperti pola pendidikan modern. Sebagai akibatnya, seluruh proses belajar tidak terasa menyenangkan lagi, tidak ada kebebasan dan kemerdekaan, sebaliknya mereka merasa harus menanggung banyak beban. Inilah perbedaan di antara keduanya.

Pokok kunci yang kita bahas adalah pembaruan akal budi. Jika akal budi anda berubah, secara alami anda akan memiliki cara pandang yang berbeda, dan anda akan menjalaninya dengan sukacita, bukan karena dipaksa oleh aturan. Sebagian orang mengira bahwa mereka harus menekuni pekerjaan tertentu sekalipun mereka tidak menyukainya, jika tidak dijalani mereka mengira akan masuk neraka. Ini tidak benar. Yang penting bukanlah apa yang anda lakukan atau tidak anda lakukan, melainkan hal apa yang menarik hati anda. Jika anda sangat tertarik dengan hal-hal rohani dan memandang hal-hal duniawi seperti memandang kotoran, anda tidak perlu memaksa diri untuk menolak kotoran, kecuali jika anda memang memiliki masalah mental, bukankah begitu? Jika anda harus memaksa diri untuk menolak kotoran, itu berarti anda masih memandang hal-hal duniawi sebagai hal-hal yang berharga di mata anda, ibarat orang yang memandang mutiara. Jika memang demikian, tak peduli sekeras apa upaya anda, sekeras apa anda memaksa diri untuk menaati aturan dan mengejar pelaksanaannya, hal itu tidak akan berhasil. Anda harus mengalami perubahan dari dalam.

Demikianlah, Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa “pembaruan akal budi” berarti pembaruan di dalam batin seseorang. Jika anda tidak diperbarui, tak peduli sekeras apa anda berusaha, sebaik apa anda menjalankannya, anda tidak akan mendapatkan jalan keluarnya. Memang benar kerja keras bisa membuat seseorang mendapatkan prestasi yang bagus; namun ada juga orang yang bisa berprestasi bagus tanpa harus memaksa diri, mereka secara alamiah memang senang belajar. Mungkin mereka memang dianugerahi bakat untuk belajar dan mereka menikmati kegiatan belajar. Hal yang sama juga berlaku dalam hal rohani. Jika anda benar-benar tertarik dengan ajaran Allah serta perkara-perkara rohani, dan minat itu melampaui minat pada urusan duniawi, secara alami anda akan memilih hal-hal surgawi. Tidak perlu memaksa diri, semuanya alami dan merupakan ekspresi hati anda.

Perubahan internal ini sangatlah penting. Apakah anda memiliki perubahan ini? Jika tidak, anda hanya seorang budak, bahkan sekalipun anda sudah berusaha keras, anda tidak akan menjadi anak Allah. Hari ini saya ingin memastikan bahwa “makna” dari “pembaruan akal budi” menjadi jelas bagi anda. Dalam khotbah berikutnya, saya akan membahas tentang urusan “bagaimana”, bagaimana untuk memperbaharui pikiran anda. Hal pertama yang perlu anda pahami adalah “apa” itu pembaruan akal budi, dengan demikian selanjutnya saya bisa menjelaskan “bagaimana” memperbarui akal budi anda. Saya harap anda sungguh-sungguh menyimak isi khotbah ini, sehingga anda bisa menyerap kebenarannya dengan baik. Banyak orang yang mengira bahwa mereka sudah mengerti saat pertama kali mendengarkan uraian ini, tetapi jika anda tidak merenung ulang apa yang sudah disampaikan, merenungkan sampai anda bisa memahami dengan jelas, apa yang anda dengar hari ini akan segera pudar dalam beberapa minggu, dan anda tidak akan mendapatkan makna sejatinya sekalipun saya berulang kali menyampaikannya kepada anda. Apa yang anda terima sekarang ini hanyalah potongan-potongan konsep yang terpisah-pisah, anda perlu merenungkan dan mencernanya dengan saksama.

 

Berikan Komentar Anda: