Eric Chang | Matius 13:6 |


Pernikahan Adalah Sebuah Perjanjian

Pasangan yang terkasih ini meminta saya untuk menyampaikan khotbah hari ini, dan sesuai dengan lazimnya khotbah dalam pernikahan, khotbah yang disampaikan akan singkat. Namun saya percaya bahwa maknanya tidak berkurang walaupun disampaikan secara singkat.

Fakta menarik dari Kitab Suci adalah, Alkitab diawali dengan kisah tentang sepasang manusia –  Adam dan Hawa – atau dapat kita katakan, kisah pernikahan berada tepat di awal Alkitab. Di bagian akhir Alkitab, hal apa yang Anda temukan di sana? Anda akan menemukan bahwa Alkitab ditutup dengan kisah pernikahan juga – pernikahan jemaat dengan Kristus, pernikahan Yerusalem Baru. Bahkan salah satu ucapan terakhir dalam Alkitab adalah kata-kata, “Roh dan pengantin perempuan itu berkata: ‘Marilah!’” Jadi, tepat di bagian awal Alkitab, terdapat rujukan tentang pernikahan, dan di bagian akhirnya, Alkitab ditutup dengan rujukan mengenai pernikahan juga.

Ketika Yesus memulai pelayanannya, cukup mengejutkan, tanda ‘yang pertama dari tanda-tandanya’ dibuat di sebuah pesta nikah. Di sebuah pesta perkawinan di Kana, Yesus mengubah air menjadi anggur ketika pihak tuan rumah kehabisan anggur. Artinya, dia mengubah apa yang biasa saja menjadi sukacita. Anggur adalah lambang dari sukacita. Sangat besar hasrat Yesus untuk memberi sukacita ke dalam kehidupan umat manusia; memberi sukacita dalam kehidupan semua orang. Seandainya Anda mau memahaminya, Allah bukanlah Tuhan yang ingin agar kita menjalani kehidupan yang suram dan membosankan, tetapi Dia ingin agar kehidupan kita menjadi penuh makna dan sukacita. Karena tanpa menjalani kehidupan yang penuh makna, bagaimana mungkin Anda memperoleh sukacita? Merupakan kejutan juga karena Yesus mengakhiri pelayanannya dengan sebuah perjamuan saat dia meneguhkan Perjanjian Baru. Perjamuan makan itu disebut Perjamuan Kudus sekarang. Akan tetapi di dalam perjamuan makan itu, Yesus menetapkan sebuah perjanjian baru. Lalu, apa hubungan hal ini dengan pernikahan? Hubungannya sangat erat karena pernikahan adalah sebuah perjanjian. Apalah arti pernikahan jika bukan sebuah perjanjian? Di sini kita dapat melihat mengapa Alkitab diawali dengan kisah pernikahan, diakhiri dengan kisah pernikahan, dan Yesus mengadakan mujizatnya yang pertama di sebuah pesta pernikahan dan mengakhiri pelayanannya dengan melakukan sebuah perjanjian. Demikianlah, Anda dapat melihat bahwa seluruh makna pernikahan sangat berkaitan dengan perjanjian.

Jadi untuk memahami makna penting dari semua ini, kita harus memahami makna “perjanjian” atau “kovenan”. Kata “kovenan” tidak banyak dipakai di zaman sekarang ini. Kita mungkin sering memakai kata kontrak, tetapi kata “kontrak” lebih terkait dengan urusan bisnis, atau bidang hukum. Jika Anda membuat kontrak, katakanlah antara perusahaan Anda dengan perusahaan lain, dan biasanya kontrak dibuat dalam bentuk tertulis, maka Anda membuat suatu kesepakatan yang mengikat secara hukum antar dua badan usaha, tetapi terbatas dalam urusan tertentu, peraturan tertentu, atau jenis usaha tertentu.

Namun “kovenan” mencakup urusan yang lebih mendalam. “Kovenan” atau “Perjanjian”, sebagaimana yang dimaksudkan dalam Kitab Suci adalah sesuatu yang mengikat antara dua orang. Ini sangatlah penting, dan dalam hal inilah pernikahan melambangkan kovenan dan mengungkapkan makna perjanjian dalam cara yang tak dapat diungkapkan secara penuh oleh bentuk perjanjian yang lain, entah itu kontrak atau yang lainnya. Karena di dalam perjanjian ini, Allah menyatakan tujuan-Nya. Tujuan-Nya melalui lambang kovenan adalah bahwa Dia sendiri tidak sekedar menghendaki agar umat-Nya saling mengikatkan diri di dalam perjanjian itu, tetapi Dia juga ingin mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian dengan setiap dari kita, artinya, dengan Anda dan saya.


Seorang Kristen Berada dalam Hubungan Perjanjian dengan Allah

Hal ini perlu kita renungkan. Kekristenan bukan untuk orang yang tidak mau berpikir, bukan untuk orang yang menjadi Kristen karena orangtuanya atau kakek dan neneknya pernah bergereja, lalu mereka beribadah ke gereja tanpa berpikir. Anda tidak akan pernah menjadi seorang Kristen yang memiliki komitmen jika Anda tidak mau merenungkan secara mendalam tentang apa makna menjadi seorang Kristen. Dan untuk dapat merenungkan hal itu, maka Anda harus mempelajari makna perjanjian. Anda bukan seorang Kristen jika Anda tidak berada dalam perjanjian dengan Allah. Anda bukan seorang Kristen, izinkan saya menekanan hal ini, jika saat ini Anda tidak pernah mengikat hubungan perjanjian dengan Allah. Dan arti dari perjanjian dengan Allah, secara utuh diungkapkan di depan mata kita oleh peristiwa pernikahan ini karena jika kita renungkan makna pernikahan, maka kita akan memahami makna perjanjian. Dan kita akan mulai memahami apa tujuan Allah bagi Anda dan saya.


Iman Adalah Ikrar Komitmen antara Mempelai Perempuan dan Laki-laki

Tanpa memahami makna perjanjian, maka semua istilah penting di dalam lingkungan ajaran Kristen menjadi tidak bermakna. Iman tidak akan memiliki makna jika tidak berada di dalam konteks perjanjian. Apakah iman itu? Iman adalah janji yang baru saja mereka ucapkan tadi. Mereka mengikrarkan iman. Dengan kata lain, mereka mengikatkan diri mereka melalui ikrar yang mereka ucapkan satu kepada yang lain. Ikrar tersebut adalah iman. Saat saya mengatakan bahwa saya beriman kepada Allah, saya tidak sedang mengatakan bahwa saya sekedar mengakui bahwa Yesus pernah ada sekitar dua ribu tahun yang lalu, bahwa dia sudah mati di kayu salib, dan bahwa dia sudah mati bagi saya. Semua ini benar, tetapi itu bukanlah iman dalam konteks keselamatan, yang tidak melibatkan perjanjian. Jadi, iman yang menyelamatkan adalah iman di mana saya membuat komitmen kepada Allah, dengan wujud yang serupa seperti kedua mempelai terkasih ini menyatakan komitmen satu kepada yang lain.


Baptisan: Penyerahan Diri Total kepada Allah, Tanpa Mempertahankan Apa Pun

Baptisan tidak akan memiliki makna apa pun jika Anda tidak memahaminya dalam konteks perjanjian. Hal apa yang Anda lakukan saat dibaptis? Anda menyerahkan diri Anda kepada Allah, akan tetapi Allah sudah terlebih dahulu memberikan segalanya kepada kita di dalam Kristus. Di kayu salib, tidak ada yang dipertahankan dari kita. Itulah makna dari salib. Kayu salib tidak akan memiliki makna apa pun jika tidak berada dalam konteks perjanjian. Namun di dalam konteks perjanjian, makna salib akan terwujud sepenuhnya. Artinya, di kayu salib, Allah telah menunjukkan komitmen cinta kasih-Nya kepada kita. Tidak ada hal yang terlalu berharga untuk ditahan. Itulah makna salib. Kita merespon dengan menyerahkan diri kita kepada Dia dengan cara yang sama, tanpa ada yang ditahan. Inilah arti dari memikul salib untuk mengikut Yesus. Artinya, seiring dengan dia memberi diri kepada kita, kita juga memberi diri kita kepada dia, sama seperti Calvin memberi dirinya kepada Helen, Helen juga memberi dirinya kepada Calvin. Dan penyerahan diri ini berlangsung tanpa ada yang ditahan, penyerahan diri total. Mulai saat ini, segala sesuatu mereka miliki bersama – ketika memberi diri, berarti mereka menyerahkan segala keberadaan mereka, bukan sekedar harta milik, tetapi juga kasih, hati, perasaan, dan tubuh. Mereka memberikan segalanya satu kepada yang lain. Seperti yang disampaikan oleh Alkitab, sekarang Calvin tidak memiliki otoritas atas tubuhnya, otoritas itu milik Helen, dan Helen juga tidak memiliki otoritas atas tubuhnya, karena sudah menjadi milik Calvin. Mereka sudah saling menyerahkan diri sepenuhnya di dalam sebuah perjanjian, sebuah perjanjian pernikahan.

Demikian pula halnya ketika Anda menjadi Kristen, Anda tidak sekadar berkata, “Aku percaya kepada Yesus,” karena ucapan itu tidak ada artinya sebelum Anda memahami bahwa mengucapkan, “Aku percaya kepada Yesus,” harus selaras dengan makna iman keselamatan menurut Kitab Suci. Anda menyerahkan diri, dalam arti tubuh dan roh Anda. Itulah yang dimaksudkan oleh Alkitab. Paulus berkata, “Tubuhmu bukan milikmu lagi. Kamu sudah dibeli dengan harga yang mahal.” Tubuh Anda menjadi milik Allah, sama seperti pengantin yang saling memiliki tubuh pasangannya. Namun urusannya tidak sebatas tubuh, karena ketika saya berkata, “Tubuh saya menjadi milik Allah,” maka tubuh saya menjadi milik Allah, dan hal itu mencakup segala sesuatu yang terkait dengan tubuh – mencakup keberadaan materi saya. Saya tidak menyerahkan tubuh sambil mempertahankan pakaian saya; pakaian pergi bersama tubuh saya. Saya serahkan segenap keberadaan saya kepada Allah.

Sekarang Anda mengerti mengapa Alkitab diawali dengan kisah pernikahan dan diakhiri dengan kisah pernikahan juga. Bukankah hal ini sangat indah?


Komitmen di antara Dua Orang Menegakkan Perjanjian

marriage covenant 2Namun kedua mempelai ini tidak sekadar meminta saya untuk menyampaikan khotbah pernikahan yang umum. Mungkin sekarang Calvin sedang membatin, “Bagaimana dengan ayat yang saya minta untuk dibahas?” Hal apakah yang dia minta untuk saya bahas? Dia meminta saya untuk mengklarifikasi firman yang sebentar lagi akan saya bacakan untuk Anda. Firman ini bersumber dari kitab Kejadian, tetapi saya akan bacakan yang disampaikan oleh Yesus di Matius 19:3-6.

Maka datanglah orang-orang Farisi kepadanya untuk mencobai dia. Mereka bertanya: “Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?” Jawab Yesus: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu.”

Bagaimana caranya dua orang menjadi satu? Bagaimana kesatuan ini terwujud? Dasar pemahamannya sudah saya uraikan. Kesatuan antara dua orang terwujud melalui komitmen yang menegakkan perjanjian di antara mereka. Di dalam Alkitab, pernikahan diuraikan sebagai ikatan perjanjian.

Izinkan saya bacakan kutipan yang sangat penting bagi Anda. Di Maleakhi 2:13-16, bagian ini memberi tahu kita mengapa kehidupan rohani umat Allah sangat lemah dan kalah. Mengapa? Karena mereka tidak setia pada perjanjian. Dan dalam hal ini, mereka tidak setia pada perjanjian satu sama lain. Ini adalah prinsip yang mendasar di dalam kehidupan rohani: Anda tidak dapat berkata bahwa Anda memiliki hubungan dengan Allah tanpa memiliki hubungan dengan orang lain. Barangsiapa berkata bahwa dia memiliki komitmen kepada Allah, tetapi tidak memiliki komitmen kepada saudaranya adalah pendusta. Itulah hal yang dikatakan oleh Rasul Yohanes. Barangsiapa berkata, “Aku mengasihi Allah tetapi aku benci saudaraku, atau tidak mengasihi saudaraku,” maka orang itu adalah pendusta karena hubungan dengan Allah memiliki kaitan yang tak terpisahkan dengan hubungan antara sesama manusia. Dan orang itu bertanya-tanya, “Mengapa doa saya tidak dijawab oleh Allah? Mengapa doa kita tidak didengarkan oleh Allah?” Pahamilah perkara ini dengan baik. Maleakhi 2:13 berbunyi sebagai berikut:

“Dan inilah yang kedua yang kamu lakukan: Kamu menutupi mezbah TUHAN dengan air mata, dengan tangisan dan rintihan, oleh karena Ia tidak lagi berpaling kepada persembahan dan tidak berkenan menerimanya dari tanganmu.”

Perhatikan baik-baik, kehidupan mereka sangatlah religius; mereka datang ke altar Allah; mereka berdoa; mereka memohon berkat dari Allah; mereka memohon ini dan itu, hal yang juga dilakukan oleh orang Kristen zaman sekarang, dan ketika mereka tidak memperoleh hal yang mereka minta, mereka menangis dan meratap, mereka memohon kepada Allah. Apakah hal ini menjadi pengalaman Anda? Anda berdoa dan merasa, “Mengapa Allah tidak menjawab doaku?” Jawabannya mungkin terdapat di dalam kehidupan Anda.

Kemudian Maleakhi melanjutkan,

“Dan kamu bertanya: “Oleh karena apa?” Oleh sebab TUHAN telah menjadi saksi antara engkau dan isteri masa mudamu yang kepadanya engkau telah tidak setia, padahal dialah teman sekutumu dan isteri seperjanjianmu.” Bagaimana dua orang menjadi satu? Melalui perjanjian. “Bukankah Allah yang Esa menjadikan mereka daging dan roh? Dan apakah yang dikehendaki kesatuan itu? Keturunan ilahi! Jadi jagalah dirimu! Dan janganlah orang tidak setia terhadap isteri dari masa mudanya. Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN…”

Aku membenci perceraian – lalu bagaimana kutipan dari Matius 19 itu diawali? “Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya?” Yesus berkata, “Apakah hal yang disampaikan dalam kitab Kejadian? Yang dua orang itu akan menjadi satu. Mereka akan meninggalkan orangtuanya. Mereka akan mengikatkan diri dalam ikrar, dalam ikrar yang akan menyatukan keduanya, seumur hidup.”


Bagaimana Dua Orang Menjadi Satu?

Lalu bagaimana kesatuan ini diwujudkan? Saya akan sampaikan tiga hal secara ringkas. Anda akan melihat bahwa di Matius 19 bahwa Allah berkata, “Keduanya itu menjadi satu,” kemudian dilanjutkan dengan, “Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Janganlah ada yang memisahkan keduanya. Bagian ini telah menimbulkan kesalahpahaman bagi sebagian orang. Allah sudah menyatukan, tidak boleh diceraikan oleh manusia. Pertanyannya adalah, “Siapa yang disatukan oleh Allah?” Bagaimana jika Anda menikahi orang non-Kristen yang belakangan menjadi Kristen? Apakah pernikahan Anda tetap diteguhkan oleh Allah? Ada lagi orang yang membahas tentang pernikahan yang ditentukan di Surga. Bagaimana Anda bisa tahu bahwa pernikahan Anda ditakdirkan dari Surga? Mungkin Anda sudah memilih pasangan yang salah, lalu Anda mulai merasa ragu sampai seumur hidup. Saat istri Anda memanggang roti gosong buat Anda, Anda mulai ragu, “Apakah pernikahan ini memang takdir saya atau bukan? Mengapa saya mendapat istri seperti ini? Dia bahkan tak tahu cara memanggang roti. Akhirnya saya yang hanya tahu sedikit urusan masakan terpaksa harus mengajari dia cara memasak nasi.” Dapatkah Anda membayangannya? Saat Anda memperhatikan hal-hal berikut: ketika Anda mengunyah nasi yang belum matang, Anda mulai ragu apakah pernikahan Anda memang merupakan takdir dari Tuhan. Dan ketika berbagai masalah yang lebih serius muncul, Anda mulai bertanya-tanya, “Tadinya kukira Allah akan mencarikanku seorang pendamping yang mampu membantu, ternyata aku harus memasak sendiri nasi untukku! Pernikahan macam apa ini?”

Demikianlah, di dalam pernyataan, “Apa yang sudah disatukan oleh Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia,” terkandung pertanyaan, “Bagaimana Anda bisa tahu bahwa Anda memang disatukan oleh Allah?” Dan jika pernikahan Anda bukan yang disatukan oleh Allah, apakah perceraian diizinkan? Jadi, orang non-Kristen tentunya diperkenankan bercerai, karena bagaimana mungkin ada keyakinan bahwa pernikahan ini memang disatukan oleh Allah? Sebagian orang Kristen mungkin akan memandang pernikahan mereka memang sudah ditadirkan, selama segala sesuatunya berjalan lancar. Namun bagaimana dengan mereka yang berasal dari lingkungan lain? Bagaimana dengan mereka yang menikah sebelum menjadi Kristen, lalu belakangan menjadi Kristen? Haruskah mereka beranggapan, “Mungkin pernikahan kita tidak diteguhkan oleh Tuhan. Mungkin kita perlu mencari pasangan lain?” Demikianlah, perkara ini harus dipahami dengan benar. Sekali lagi, perkara ini harus dipahami dalam konteks perjanjian.


Allah Adalah Saksi Persatuan Melalui Perjanjian

Lalu bagaimana Allah menyatukan dua orang? Pertama, saya harap Anda perhatikan isi ayat dari Maleakhi, kutipan yang baru saja dibacakan, Allah berkata, “TUHAN telah menjadi saksi antara engkau dan isteri masa mudamu.” Ungkapan “TUHAN telah menjadi saksi,” bermakna sama seperti yang sedang saya lakukan hari ini, menjadi saksi pernikahan mereka. Saya menyatukan mereka, di bawah wewenang Allah, sebagai suami dan istri. Bagaimana hal ini dijalankan? Dengan menjadi saksi perjanjian pernikahan yang mereka buat satu sama lain. Dengan menguduskan perjanjian ini, saya sebagai hamba Allah, wakil Allah, telah menyatukan mereka. Dengan kata lain, dengan meneguhkan dan menjadi saksi atas perjanjian antara mereka berdua, saya sudah menyatukan mereka di dalam nama Allah. Artinya, Allah sudah menyatukan mereka melalui perjanjian tersebut. Dia sendiri hadir di hari ini, di gereja ini, sebagai saksi atas perjanjian yang mereka buat. Jadi, mereka akan menghadapi akibat yang berat di hadapan Allah, yang menjadi saksi pernikahan ini, jika mereka membatalkan persatuan yang telah dibuat melalui perjanjian mereka.


Allah Selalu Menyatukan

Hal yang kedua adalah: Allah selalu menyatukan. Saya harap Anda dapat segera memahami pokok ini. Tujuan Allah selalu menyatukan. Tahukah Anda? “Aku membenci perceraian. Aku membenci perpisahan. Aku membenci pembatalan komitmen yang sudah dibuat.” Allah adalah Allah yang selalu menghendaki persatuan, menyatukan, mendamaikan, menciptakan kerukunan. Izinkan saya bacakan buat Anda satu ayat yang sangat menyentuh hati saya di Efesus 1:10. Inilah yang Paulus sampaikan mengenai rencana kekal Allah melalui penyatuan. Efesus 1:9-10,

“Sebab Ia telah menyatakan rahasia kehendak-Nya kepada kita, sesuai dengan rencana kerelaan-Nya, yaitu rencana kerelaan yang dari semula telah ditetapkan-Nya di dalam Kristus sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi.”

Rencana Allah, tujuan Allah ialah menyatukan segalanya, menyatukan segalanya dalam Kristus.

Manusia memisahkan. Namun Allah menyatukan. Umat manusia menghancurkan, mencemari, merusak, memisahkan, tetapi Allah menyatukan. Inilah makna dari Khotbah di Bukit: “Berbahagialah orang yang membawa damai”, yaitu orang-orang yang mendamaikan, yang menyatukan hal-hal yang terpisah, termasuk hubungan yang hancur, disatukan kembali. Rasul Paulus berkata bahwa pelayanan kita adalah pelayanan pendamaian. Tugas gereja adalah mendamaikan; memulihkan hati yang hancur; menyatukan hubungan yang rusak; mengembalikan mereka yang murtad. Rencana Allah ialah menyatukan segala sesuatu di dalam Kristus. Jika Anda telusuri di dalam Alkitab, sungguh luar biasa kata ‘satu’ dan ‘persatuan/kesatuan’ ini.


Dosa Kekerasan Hati – Keegoisan menghalangi Kesatuan

Dosa memisahkan. Dosa membinasakan. Di bagian yang kita baca di  Matius 19, disebutkan, “Perceraian diizinkan dalam Perjanjian Lama”. Mengapa? Karena kekerasan hati. Kekerasan hatilah yang menghancurkan segala hubungan, hal yang akan dialami oleh kedua pasangan ini. Jika suatu saat, salah satu dari Anda mengeraskan hati, dalam hubungan dengan Allah, sesama saudara seiman, atau dengan sesama manusia, komitmen yang sudah Anda buat hari ini, akan menghadapi tekanan berat, tekanan yang berat dan menyakitkan. Saya harap Anda mengerti bahwa hal yang memberatkan, yang menghalangi persatuan adalah kekerasan hati.

Apakah kekerasan hati itu? Ketiadaan iman. Apakah ketiadaan iman? Keegoisan, kepentingan pribadi yang merusakan segala hubungan. Mengapa ada masalah dalam keluarga? Karena kepentingan pribadi. “Aku mau ini, aku mau itu.” Orangtua ingin menguasai anak-anak. Anak-anak ingin membangun sendiri masa depan mereka. Semua karena keegoisan. Orangtua ingin mengatur kehidupan anak mereka, dan para anak ingin memiliki kehidupan mereka sendiri tanpa dicampuri oleh orang lain. “Kesatuan” tak akan terwujud selama masih ada kekerasan hati. Persatuan atas dasar perjanjian ini tak akan bertahan selagi masih ada kekerasan hati.

Itu sebabnya mengapa perkara menjadi seorang Kristen adalah urusan perubahan hati. Harus ada hati yang baru, sikap yang baru, cara pandang yang baru terhadap segala hal. Saat Anda membawa hidup Anda yang lama, hati Anda yang lama  ke dalam hubungan perjanjian ini, maka Anda tidak akan bertahan lama sebagai orang Kristen. Dan banyak orang yang sudah mengalaminya. Pada hakekatnya kita egois, karena itu harus terjadi perubahan yang mendasar, transformasi yang datang melalui kuasa Allah. Itulah alasan mengapa banyak pernikahan sering terkena masalah. Tingkat perceraian zaman sekarang sangatlah tinggi. Banyak yang menghindari perceraian hanya karena anak-anak, tidak ingin menghadapi rasa malu di sidang perceraian dan sebagainya. Itu yang membuat mereka tetap bertahan dalam kondisi pernikahan yang sangat pahit. Mengapa? Kekerasan hati. Hati kita harus berubah jika ingin memiliki pernikahan yang bermakna, jika menginginkan pernikahan yang awet, jika menginginkan pernikahan yang penuh bahagia.


Kasih Allah melalui Roh-Nya Mewujudkan Perjanjian

 Pembahasan ini membawa kita pada pokok ketiga tentang bagaimana Allah menyatukan dua orang dalam sebuah perjanjian. Kasih yang murni dan mendalam ini harus berasal dari Allah. Hati manusia terlalu mementingkan diri sendiri, tak mampu menghasilkan kasih yang semacam ini, yang dibutuhkan untuk mempertahankan perjanjian. Kasih ini harus datang melalui Roh Kudus ke dalam hidup kita untuk mewujudkan perjanjian tersebut.


Masyarakat Baru: Setiap Orang dalam Perjanjian dengan Allah dan Sesama

Saya akan merangkum secara ringkas dengan sebuah ilustrasi. Dan ilustrasi ini berasal dari 1 Samuel 18:1-5

Ketika Daud habis berbicara dengan Saul, berpadulah jiwa Yonatan dengan jiwa Daud; dan Yonatan mengasihi dia seperti jiwanya sendiri. Pada hari itu Saul membawa dia dan tidak membiarkannya pulang ke rumah ayahnya. Yonatan mengikat perjanjian dengan Daud, karena ia mengasihi dia seperti dirinya sendiri.  Yonatan menanggalkan jubah yang dipakainya, dan memberikannya kepada Daud, juga baju perangnya, sampai pedangnya, panahnya dan ikat pinggangnya. Daud maju berperang dan selalu berhasil ke mana juga Saul menyuruhnya, sehingga Saul mengangkat dia mengepalai para prajurit. Hal ini dipandang baik oleh seluruh rakyat dan juga oleh pegawai-pegawai Saul.

Di sini kita melihat sebuah perjanjian yang dibuat berdasarkan kasih, kasih yang mengorbankan diri, yang murni dan kudus antara mereka berdua. Kasih antara Yonatan dan Daud adalah kasih yang menjadi teladan sepanjang masa. Hal yang tidak dipahami oleh banyak orang adalah bahwa ketika mereka meneguhkan sebuah perjanjian, maka hidup dan jiwa mereka akan terhubung satu sama lain. Sedemikian erat kaitan itu sehingga ketika Yonatan meninggal, Daud mengalami kesedihan yang luar biasa. Demikian kuatnya komitmen mereka satu kepada yang lain sehingga hubugan mereka dijadikan lambang bagi perjanjian. Ilustrasi dari 1 Samuel 18 ini menunjukkan bahwa perjanjian ini tidak sekadar berlaku antara laki-laki dan perempuan, perjanjian semacam ini dapat berlaku juga dalam semua hubungan antar manusia, karena Allah ingin agar semua orang bersatu di dalam Dia.

Dalam ayat di Efesus 1:10 – Allah ingin “mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu”, di sini ada sebuah kata yang khusus yang diterjemahkan sebagai “mempersatukan”, yang berarti bahwa Kristus akan menjadi kepala. Kata ‘kepala’, anakephaleioo, menunjukkan bahwa Allah menjadikan Yesus sebagai kepala bagi umat manusia yang baru, masyarakat baru di mana semua saudara seiman menjadi satu dalam gambaran seperti suami-istri atau seperti persahabatan antara Daud-Yonatan.

Renungkanlah makna Kerajaan Allah yang alkitabiah seiring dengan berjalannya upacara pernikahan ini. Kerajaan Allah di mana Allah menjadi Raja, dan seluruh umat bersatu dalam hubungan seperti Daud dan Yonatan, seperti pasangan pengantin ini. Dapatkah Anda bayangkan hubungan antar umat di dalam Kerajaan Allah jika Anda dan saya, kita semua saling terkait di dalam perjanjian kasih? Mengapa? Karena rencana Allah ialah membentuk sebuah masyarakat baru di mana semua bersatu di dalam Dia.

Apakah isi dari doa Yesus untuk murid-muridnya di Yohanes 17? Yesus, berulang kali mengucapkan di dalam doanya, agar mereka menjadi satu, agar hati mereka menyatu, sama seperti pasangan pengantin ini sekarang, menyatu dalam sebuah perjanjian. Jadi maknanya adalah: jika Anda berada dalam perjanjian dengan Allah, dan saya berada di dalam perjanjian dengan Allah, maka kita berada dalam perjanjian satu sama lain. Hal ini tak terhindarkan. Selanjutnya, kita akan membangun sebuah masyarakat baru di mana kasih bergulung-gulung di dalamnya, hal yang mulai kita alami sekarang ini. Masih jauh jalan yang harus kita tempuh, tetapi kita sudah mulai mengalaminya. Hal itulah yang kita pelajari dari 2 Korintus 7:3.  Apakah yang disampaikan oleh Paulus di sana? “Kamu telah beroleh tempat di dalam hati kami, sehingga kita sehidup semati.” Tahukah Anda apa artinya? Bukankah hal ini juga ikrar pernikahan tadi? “Selama kita masih bersama, dalam kelemahan, sakit, kemiskinan, kelimpahan, kita tetap bersama.” Itulah ikrar pernikahan yang baru saja kita dengar dari mereka. Di sini ada kata “bersama” (terikat), suatu ungkapan yang menggambarkan hubungan yang juga dialami oleh Daud dan Yonatan, di mana hati mereka terjalin menjadi satu; hal yang kita temukan juga di Kejadian 4:30, di mana jiwa Yusuf dan bapanya menyatu menjadi satu.


Kehidupan yang  Berarti: Berada dalam Hubungan Perjanjian dengan Allah

Demikianlah, uraian ini kita tutup. Kita mulai melihat mengapa kita menemukan referensi tentang perkawinan tepat di awal dan akhir Alkitab. Kita mulai memahami bahwa Allah, dalam rencana kekal-Nya, ingin mengingatkan kita tentang tujuan-Nya bagi umat manusia melalui peristiwa pernikahan. Rencana penebusan-Nya, melalui kematian Kristus, adalah pendamaian bagi segala sesuatu kepada Allah, membawa semua orang menjadi satu dalam masyarakat baru bernama Kerajaan Allah, di mana gereja menjadi bagiannya. Dan masyarakat baru ini adalah masyarakat di mana anggotanya berkomitmen satu sama lain seperti komitmen antara suami-istri. Sebuah masyarakat baru di mana Yesus berkata, “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-muridku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” Apakah Anda berada dalam hubungan perjanjian dengan Allah? Jika tidak, maka Anda akan kehilangan tujuan hidup Anda. Kiranya Allah berkenan menolong Anda memahami seluruh arti kehidupan melalui peristiwa pernikahan ini.

 

Berikan Komentar Anda: