Pastor Eric Chang | Manusia Baru (18) |

Pada pesan yang lalu, kita membahas suatu persoalan yang sentral bagi kehidupan Kristen, yaitu melakukan kehendak Allah. Akan tetapi, hal ini memunculkan persoalan lain yang berkaitan dengannya: Persekutuan dengan Allah. Untuk dapat melakukan kehendak Allah, kita perlu tahu apa itu kehendak Allah; dan bagaimana kita dapat mengetahui kehendak-Nya kecuali kita berada dalam suatu hubungan di mana Ia dapat menyatakan kehendak-Nya kepada kita?

Lagi pula, kehidupan Kristen bukan sekadar perkara melakukan kehendak Allah dari waktu ke waktu, tetapi secara terus menerus, tanpa terputus, hari demi hari dan saat demi saat. Kehendak-Nya menjadi makanan penunjang kehidupan yang kita makan, udara spiritual yang kita hirup. Jika demikian halnya, kita tak bisa sekadar berkomunikasi dengan Allah dari waktu ke waktu. Kita perlu berkomunikasi dengan-Nya secara terus menerus, kita butuh kehadiran-Nya selalu dalam hidup kita. Sekarang kita dapat memahami mengapa Yesus menenteramkan hati kita dengan kata–kata, “Aku menyertai kamu senantiasa” (Mat 28:20); karena kita perlu hidup bersama-sama dengan Kristus jika kita benar–benar ingin melakukan kehendak-Nya.


Hilangnya Hadirat Allah

Saya pernah terbangun pada suatu malam dan tiba–tiba, untuk beberapa saat, tampaknya hadirat Allah telah hilang. Rasanya seperti penggelapan rohani yang mematikan semua cahaya. Di tengah–tengah kegelapan tersebut, muncul rasa kekosongan dan ditinggalkan Tuhan yang sangat menakutkan.

Kejadian itu merupakan suatu pengalaman baru buat saya. Walau hanya berlangsung beberapa menit, kesan yang ditimbulkannya sangat kuat, yaitu jika Allah menarik kehadiran-Nya dari kita, atau jika kita kehilangan persekutuan dengan-Nya, hidup akan kehilangan segala makna.

Tentu saja, jika saya belum pernah mengalami manisnya hadirat Allah, saya tidak akan dapat merasakan perbedaannya. Namun, di dalam beberapa saat ketika hadirat-Nya tidak terasa, saya terbangun dan berseru, “Di mana Engkau? Apa sudah terjadi dengan jalur komunikasi saya?” Tiba-tiba kehampaan dan kekosongan yang luar biasa menguasai hati saya.

Allah memberi saya pengalaman seperti ini demi kepentingan Anda juga, karena sekalipun saya sudah merenungkan subjek ini cukup lama, tanpa pengalaman ini saya tidak akan dapat menyampaikan pesan ini dengan tingkat kepastian seperti yang saya miliki sekarang.

Ini mengingatkan saya pada kejadian pada masa kecil dulu (saat saya berusia sekitar empat tahun) ketika bermain petak umpet dengan ayah saya. Ia bersembunyi sedemikian rupa sehingga sia–sia saya mencarinya, dan saya mengira ia sudah meninggalkan saya. Selama itu, sebenarnya ia bersembunyi di suatu tempat di belakang saya, tetapi gerakannya begitu cepat dan tangkas sehingga saya, sebagai anak kecil, tidak cukup cepat untuk berbalik dan melihatnya. Ketika ia melihat bahwa saya mulai menjadi remuk, ia keluar dari persembunyian dengan senyum yang melegakan: “Lihat, saya ada bersamamu selama ini.”

Pengalaman ditinggalkan Allah yang mengerikan itu (bdk. Mzm.22.) kemudiannya memampukan saya untuk lebih menghargai kehadiran dan pemeliharaan-Nya. Ia menunjukkan kepada saya betapa pentingnya kehadiran-Nya bagi hidup saya. Kita cenderung menganggap pasti sesuatu sampai kita kehilangannya. Mungkin saya dengan ceroboh telah menganggap pasti kehadiran Allah.


Mengalami Tuhan

Saudara–saudaraku, tidak ada hal di dalam kehidupan yang lebih penting daripada persekutuan dengan Allah. Tak dapat dibayangkan bagaimana seseorang dapat menjalani kehidupan Kristen secara berarti tanpa bersekutu dengan-Nya.

Bagaimana persekutuan Anda dengan Tuhan? Apakah hidup Anda akan terasa berbeda jika Anda tak dapat berhubungan dengan-Nya?

Sewaktu saya bersaksi tentang pengalaman–pengalaman saya dengan Allah, atau bagaimana Ia berbicara kepada saya atau melakukan sesuatu bagi saya atau melalui saya, orang biasanya heran seolah–olah hal-hal seperti ini di luar kebiasaan. Ini membuat saya merasa seperti makhluk aneh yang baru keluar dari kebun binatang. Banyak orang Kristen yang terkejut mendengar bahwa segala keajaiban itu terjadi pada zaman sekarang ini, dan bahwa Allah masih berbicara secara langsung kepada manusia.

Saya sempat bertanya–tanya apakah saya ini mahluk rohani yang aneh, peninggalan atau leluhur masa lampau yang tersesat ke zaman ini. Bukankah seharusnya pengalaman–pengalaman tersebut merupakan hal yang normal di dalam kehidupan Kristen? Mengapa semua mukjizat, atau komunikasi dengan Allah, dipandang luar biasa sekarang ini? Dalam memberikan kesaksian, saya dapati hanya sedikit orang yang pernah mengalami apa yang saya alami bersama Tuhan.

Ketika saya baru saja menjadi orang Kristen, saya mencari kehendak Allah bagi hidup saya. Sekarang saya sudah menjadi milik-Nya, apa yang Ia ingin saya lakukan? Ke mana Ia mau saya pergi? Saat saya berlutut di hadapan-Nya dalam doa, Allah berkata kepada saya dengan suara yang jelas, “Aku akan membawamu keluar dari China”. Suara itu begitu jelas sehingga saya terbelalak dan, karena suara itu terdengar dari arah belakang, saya berbalik untuk melihat siapa yang sedang berbicara kepada saya, tetapi tidak ada orang lain di ruangan itu. Saya masih belum lama menjadi orang percaya pada waktu itu, dan itu merupakan pertama kali Ia berbicara kepada saya.

Yesaya 30:21 berkata,

Telingamu akan mendengar perkataan di belakangmu, “Inilah jalannya, berjalanlah di atasnya”…

Jika orang–orang kudus pada masa Perjanjian Lama dapat mengalami hal seperti ini, apatah lagi kita yang ada pada masa Perjanjian Baru. Sekarang ini adalah zaman di mana Roh Kudus telah dicurahkan ke atas semua manusia, suatu masa pencurahan nubuatan-nubuatan, penglihatan-penglihatan, mimpi-mimpi dan komunikasi dengan Tuhan (Kis 2:16-18).

Selama saya berjalan bersama Allah, Ia berbicara kepada saya dengan berbagai macam cara, kadang melalui suara yang terdengar oleh telinga saya, dan kadang di dalam batin saya. Ini merupakan hal yang lazim terjadi di dalam Alkitab, dari Kejadian sampai Wahyu.

Jika hal ini merupakan hal yang umum di dalam Kitab Suci, apakah itu berarti kita orang-orang Kristen tidak hidup sebagaimana seharusnya? Ketika membaca Kitab Suci, saya tidak melihat bahwa hubungan saya dengan Tuhan merupakan hal yang unik. Hal yang serupa tertulis di dalam Kitab Suci, halaman demi halaman, bermula dengan Adam di awal Kejadian sampai ke Yohanes di Kitab Wahyu. Saya bahkan tidak mengerti bagaimana Anda dapat bertahan sebagai orang Kristen, atau mengalami sukacita di dalam kehidupan Kristen, kecuali jika Anda memiliki jalur komunikasi dengan Allah.


Allah Berkomunikasi dengan Manusia

Kita dapat menjernihkan persoalan ini dalam bentuk suatu pertanyaan yang mendasar, ‘Mengapa Allah menciptakan kita sejak semula?’ Jawabannya ada di dalam Kitab Suci. Sejak awal mulanya, di Kejadian 3, Allah berbicara dengan manusia. Mengapa Allah berjalan–jalan di taman Eden jika bukan untuk menjalin persekutuan dengan Adam dan Hawa? Mengapa Ia menciptakan manusia jika bukan untuk bersekutu dengannya?

Kita diciptakan di dalam gambar Allah agar Allah dapat berkomunikasi dengan kita. Komunikasi yang mendalam dapat terjalin hanya jika kita membagi gambaran yang sama. Kita tidak dapat berkomunikasi secara mendalam dengan seekor anjing karena anjing tidak segambar dengan manusia. Akan tetapi, Allah telah menciptakan kita segambar dengan-Nya agar Ia dapat berkomunikasi dengan kita pada tingkat yang paling dalam. Seluruh isi Kitab Suci menyatakan suatu Allah yang ingin berkomunikasi dengan kita—dalam kenyataannya, jauh lebih besar daripada keinginan kita untuk berkomunikasi dengan-Nya; hanya sedikit orang Kristen yang mengetahui kerinduan hati-Nya untuk bersekutu dengan kita.

Pada pesan yang lalu, kita sampai pada kesimpulan yang mengejutkan bahwa kita dapat mengenal Allah lebih daripada siapa pun di dunia ini. Alkitab memiliki lebih dari seribu halaman, dan setiap halaman mengungkapkan sesuatu tentang Dia. Anda dapat menulis tentang Allah jauh lebih panjang ketimbang data biografi istri Anda. Allah menyatakan diri-Nya di dalam setiap halaman Kitab Suci. Kita dapat mengenal-Nya, dan harus mengenal-Nya, lebih baik daripada siapa pun di dunia ini.

Di seluruh isi Kitab Suci, kita melihat Allah bersekutu dengan manusia. Kejadian 3.9 dst merupakan catatan pertama percakapan antara Allah dan manusia (tanpa menghitung Kejadian 2:16-17, di mana Allah berbicara kepada Adam, tetapi tidak dalam suatu dialog dua arah). Sayang sekali, manusia jatuh dalam dosa dan kehilangan hak istimewa persekutuan yang akrab dengan Allah. Namun kata “kehilangan” perlu dikualifikasikan karena komunikasi yang hilang tersebut dapat diperoleh kembali melalui pertobatan. Dalam kenyataannya, Allah terus berkomunikasi dengan banyak orang di Israel sepanjang masa Perjanjian Lama.


Hidup Bersama-sama Dengan Yesus

Jika Allah berkomunikasi dengan manusia pada masa Perjanjian Lama, maka betapa lebih lagi seharusnya peristiwa itu terjadi pada masa Perjanjian Baru. 1 Tesalonika 5:10 memberi sekilas pandangan tentang isi hati Yesus:

(Ia) yang sudah mati untuk kita, supaya entah kita berjaga-jaga, entah kita tidur, kita hidup bersama-sama dengan dia.

Bagaimana kita dapat hidup bersama-sama dengan Dia tanpa berkomunikasi dengannya? Yesus mati bagi kita supaya kita dapat hidup bersama–sama dengan dia, bukan sekadar untuk dia. Jika kita hidup untuk dia, apakah kita juga hidup bersama–sama dengan dia? Ia telah mati bagi Anda dan saya, bukan saja supaya kita dapat menerima pengampunan dosa, tetapi untuk menyingkirkan penghalang komunikasi antara Allah dan manusia, supaya kita dapat hidup bersama-sama dengan Dia dan memiliki persekutuan dengan-Nya.

Pernyataan “hidup bersama–sama dengan dia” sangatlah signifikan. Yesus memilih dua belas murid “supaya mereka bisa bersama-sama dengan dia” (Mrk 3:14). Seperti yang kita lihat di 1Tesalonika 5.10, hal ini berlaku juga bagi kita, karena Yesus mati bagi kita dengan tujuan supaya kita dapat hidup bersama–sama dengan dia.

Yesus mengundang setiap orang untuk “marilah kepadaku” (Mat 11:28). Dapatkah kita melihat sifat dari undangan ini, dan kerinduannya kepada kita? Ia meratapi kurangnya tanggapan manusia di dalam kata–kata yang menyedihkan berikut, “Berkali-kali aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau” (Mat 23:37). Dapatkah kita mendengar kerinduan hati-Nya? Dapatkah kita merasakan kerinduan-Nya untuk bersekutu dengan kita, yang merupakan maksud awal dari penciptaan kita? Atau apakah kita membayangkan bahwa Allah senang memalingkan wajah-Nya dari kita?


Suam-suam Kuku: Penghalang bagi Persekutuan dengan Allah

Yesus berkata di Wahyu 3:20:

Lihatlah! Aku berdiri di depan pintu dan mengetuk. Jika ada orang mendengar suaraku dan membukakan pintu, aku akan masuk kepadanya dan makan bersamanya, dan dia bersamaku.

Ini merupakan ayat yang sangat berharga, tetapi seringkali dikutip oleh para penginjil seolah–olah ayat itu ditulis untuk orang–orang non-Kristen. Sebaliknya, ayat tersebut ditujukan kepada orang–orang Kristen, bukannya kepada mereka yang non-Kristen. Secara khusus, ayat ini ditujukan kepada jemaat di Laodikia, yang tenggelam dalam bahaya suam–suam kuku.

Saudara–saudaraku, keadaan suam–suam kuku tak diragukan lagi merupakan alasan mengapa begitu sedikit orang Kristen memiliki persekutuan dengan Allah. Kita menghendaki hidup yang kekal, tetapi tidak mau membayar harganya. Kita ingin bersekutu dengan-Nya, tetapi hanya jika kita punya waktu yang sempat, atau hanya jika kita membutuhkan-Nya. Akan tetapi, pada saat kita tidak memerlukan-Nya, kita tidak mau berbicara dengan-Nya. Nah, Allah tidak akan berkomunikasi dengan cara seperti itu, karena keberadaan-Nya bukan untuk dieksploitasi. Ia bersekutu dengan mereka yang mencari-Nya dengan segenap hatinya:

Kamu akan mencari Aku dan menemukan Aku apabila kamu mencari Aku dengan segenap hatimu (Yer 29:13).

Tidak ada orang yang suam–suam kuku yang dapat bersekutu dengan-Nya. Orang tidak dapat bermain–main dengan Allah sambil bermain-main dengan dunia, atau iseng-iseng dalam agama dan berharap dapat bertemu dengan Allah lewat cara seperti ini. Saya bertanya-tanya apakah ini penyakit yang menjangkiti sebagian besar orang di gereja pada zaman sekarang ini: kurangnya keseriusan terhadap perkara–perkara yang kekal.

Bahkan orang Kristen yang mengaku memiliki komitmen kepada Allah sering mendapati, ketika berhadapan dengan situasi yang menantang atau godaan, bahwa mereka tidak begitu berkomitmen pada akhirnya. Ada tempat yang luas di dalam hati mereka yang dicadangkan bagi dunia, daging, uang, kedudukan dan status akademik. Jika ada hal lain di luar Allah yang sangat Anda sayangi, itu akan menghambat persekutuan Anda dengan-Nya.


Mendengar Suara Allah

Allah berbicara kepada saya ketika saya masih baru menjadi Kristen, dan Ia masih terus berbicara kepada saya sampai sekarang ini. Sebagai contoh, saya dapat ceritakan kejadian yang berlangsung belum lama ini di suatu persimpangan dekat rumah saya. Di Kanada, jika Anda menjumpai tanda berhenti, Anda harus benar–benar menghentikan kendaraan Anda. Siapa yang berhenti dulu, berhak untuk menyeberang dulu. Sesudah menghentikan mobil, saya bermaksud untuk menginjak pedal gas, dan tiba–tiba Tuhan berkata dengan jelas kepada saya, “Stop, jangan injak pedal gas!” Jadi, saya tetap diam. Sesaat kemudian sebuah bus besar melintasi persimpangan. Si pengemudi bus, tanpa alasan yang jelas, tidak menghentikan kendaraannya baik di halte bus sebelum persimpangan maupun di persimpangan itu sendiri. Jika saya ngotot menjalankan kendaraan saat itu, bus tersebut akan menghantam sisi kanan kendaraan saya.

Tidak sulit membayangkan apa akan terjadi jika ditabrak oleh bus besar yang melaju dengan kecepatan sekitar 50 km/jam. Segera sesudah melintasi persimpangan tanpa berhenti, si pengemudi bus rupanya tersadar dan mendadak menginjak rem. Saya duduk di dalam mobil menyaksikan semua itu dengan terpana. Mendengarkan suara Tuhan bisa menjadi masalah hidup atau mati.

Dalam Kitab Suci, tidak ada yang luar biasa dengan pengalaman seperti ini. Suara Tuhan adalah bagian yang normal dalam kehidupan orang Kristen. Jika kita mendengarkan suara-Nya dan membuka pintu hati kita kepada-Nya, maka Ia akan masuk untuk bersekutu dengan kita.

“Sesungguhnya, persekutuan kami itu adalah bersama Allah Bapa dan anak-Nya, Kristus Yesus. (1Yoh 1:3).


Tujuh Prinsip Untuk Mendengarkan Suara Allah

(1) Kesucian Hati

Prinsip pertama yang perlu kita tangkap, jika kita ingin mendengarkan suara Allah ialah kesucian hati. Jika hati kita tidak suci, kita tidak akan dapat mengenali suara-Nya.

Pada waktu saya melayani sebagai gembala di sebuah gereja di Liverpool, ada suatu masa di mana seorang wanita di gereja yang bernubuat dalam nama Tuhan dalam keadaan tak sadar diri. Ia bernubuat dengan kuasa yang menakutkan mereka yang mendengarkannya. Dalam keadaan tak sadar diri itu, ia akan berkata, “Demikianlah firman Tuhan…” Dalam kondisinya yang ekstatik itu, ia dapat mengutip ayat–ayat Kitab Suci yang, jika dalam keadaan normal, tidak dapat diingat atau diketahuinya ada di dalam Alkitab. Kenyataannya, wanita ini nyaris tidak dapat membaca, karena tidak mempunyai kesempatan untuk menempuh bahkan pendidikan dasar. Sesudah kembali sadar, ia tidak dapat mengingat suatu apa pun yang sudah dikatakannya.

Hal ini berlangsung selama beberapa minggu, dan saya mencari wajah Tuhan untuk mengetahui apakah nubuatan ini berasal dari-Nya atau tidak. Dalam kasus yang khusus ini, memang tidak mungkin untuk membedakan berdasarkan substansi nubuatannya. Tidak ada pernyataan yang dibuatnya memberi suatu tanda atau yang lain. Namun suatu hari, seraya saya menanti-nanti di hadapan Tuhan, Ia menjelaskan kepada saya bahwa hal itu tidak berasal dari-Nya.

Jadi, saya mendatangi wanita itu dan berkata, “Saudari, saya perlu menyampaikan sesuatu kepada Anda. Nubuatan yang Anda sampaikan demi nama Tuhan itu tidak berasal dari Dia.” Selesai mendengar perkataan ini, ia jatuh tersungkur dari tempat duduknya—dengan wajahnya di atas lantai. Dengan bercucuran air mata, ia bertanya, “Jika ini tidak berasal dari Tuhan, mengapa saya bernubuat seperti itu?” Saya katakan, “Saudariku, Iblis dapat memakai Anda karena ada dosa yang tersembunyi di dalam hatimu. Selidikilah hatimu di hadapan Tuhan, dan katakan kepada saya dosa apa yang sudah engkau perbuat.”

Ia berpikir cukup lama, tetapi tidak mendapat jawaban. Lalu ia berkata, “Dengan sejujurnya, saya tidak tahu dosa apakah yang sudah saya lakukan yang belum saya pertobatkan.” Lalu saya memandang kepada Tuhan untuk mendapatkan petunjuk, dan Ia menyatakan dosa itu kepada saya. Saya lalu berkata kepadanya, “Kalau begitu, izinkan saya yang memberi tahu Anda. Hatimu tidak suci karena jauh di dalam hatimu, tersimpan kebencian terhadap suamimu.”

Ini seolah-olah membangunkannya dari tidurnya selama ini, dan ia mengakui bahwa ia membenci suaminya karena sang suami telah menganiaya dia dan memperlakukannya seperti seorang budak. Jauh di dalam hatinya, ia membenci suaminya karena si suami ini telah mempermalukannya, menghinanya, dan sering kali memperlakukannya seperti barang ketimbang sebagai manusia. Ia tahu bahwa kebencian itu salah, tetapi daripada  menangani kebencian tersebut, ia malah mengubur perasaan itu semakin dalam sampai akhirnya ia tidak lagi menyadari akan hal itu. Akan tetapi, selama itu pula akar kebencian itu meracuni seluruh kepribadiannya. Kepahitan, kebencian dan dosa yang tersembunyi di dalam diri seseorang, sekalipun ia tidak menyadarinya lagi, adalah seperti racun yang meresap keluar dan pelan–pelan mencemari hidup seseorang.

Ia bertobat, dan memohon anugerah Allah untuk mengampuni suaminya dan untuk menjalani hidup baru di dalam Kristus. Dalam waktu dua tahun, suaminya, yang mulanya seorang Kristen nominal, juga menjadi seorang yang telah berubah.

Jika kita ingin mendengar suara Allah dan tidak dibingungkan oleh suara Iblis, kita harus memiliki hati yang suci. Darah Yesus harus membersihkan segala dosa kita, khususnya yang tersembunyi. Kita membutuhkan Roh Allah untuk menyatakannya kepada kita, karena dosa yang diketahui ataupun yang tidak, memutuskan persekutuan kita dengan Allah yang benar dan kudus.

Kebanyakan orang Kristen mengira bahwa pertobatan itu hanya untuk orang-orang non-kristen, tetapi itu merupakan kekeliruan yang serius. Bahkan ayat yang sedang kita telaah, Wahyu 3:20, diawali dengan panggilan untuk bertobat: “relakanlah hatimu dan bertobatlah” (ay.19). Kata–kata ini ditujukan kepada orang-orang Kristen di Laodikia, bukan kepada orang yang tidak percaya. Pertobatan bukan peristiwa yang berlaku sekali seumur hidup. Kita belum mencapai tahap di mana kita tidak perlu bertobat lagi. Pertobatan yang terus menerus adalah sangat penting, karena pertobatan dan penyesalan diperlukan untuk mendekati Allah yang kudus yang bergirang atas hati yang patah dan remuk:

“Sebab, beginilah firman Dia yang tinggi dan dimuliakan, yang mendiami kekekalan, yang nama-Nya adalah Kudus, “Aku bersemayam di tempat yang tinggi dan kudus, tetapi juga bersemayam bersama orang yang hancur hati dan rendah hati; untuk membangkitkan kembali semangat orang yang rendah hati, dan untuk membangkitkan kembali hati orang yang remuk hatinya.” (Yes 57:15)

“Akan tetapi, kepada orang inilah Aku memandang: kepada orang yang tertindas, yang menyesal dalam roh, dan yang gemetar terhadap firman-Ku.” (Yes 66:2)

Kita jangan mengizinkan dosa menjauhkan kita dari Allah. Sebaliknya, kesadaran akan keberdosaan kita seharusnya menarik kita lebih dekat kepada Allah. Di dalam kemelaratan dan kebangkrutan rohani ini, kepada siapa lagi kita dapat berpaling selain kepada Dia yang mampu menolong dan menyelamatkan kita? Kita datang ke hadirat-Nya dengan kerendahan dan hati yang remuk redam. Dengan sikap seperti itu, kita dapat diam di dalam hadirat-Nya sekalipun kita merasa diri kita masih najis.

Jika saya berani berkata demikian, dan dengan kwalifikasi yang hati–hati, keberdosaan kita dapat menjadi berkat jika hal itu mendorong kita kepada kerendahan hati yang tulus dan yang remuk redam: “Ya Tuhan, kasihanilah saya, orang berdosa ini. Perkenankanlah saya datang ke hadirat-Mu, supaya Engkau dapat membersihkan saya dari ketidaksucian ini dan mengubah saya menjadi manusia yang baru.” Keberdosaan kita menjadi alasan untuk datang kepada-Nya, bukannya untuk lari dari-Nya; dan karena hati yang remuk redam ini kita akan mendapati diri kita diterima untuk tinggal dalam hadirat-Nya.


(2) Komitmen yang Absolut kepada Kebenaran

Hal kedua yang perlu kita miliki, jika kita ingin mendengar suara-Nya, adalah komitmen yang absolut pada kebenaran. “Kebenaran” di sini merujuk kepada kebenaran firman Allah, bukan kebenaran teologis ataupun doktrin kesayangan kita. Beberapa kali di dalam kehidupan Kristen saya, saya mengalami pengalaman pahit karena mendapati doktrin yang saya yakini ternyata tidak sesuai dengan firman Allah. Ini biasanya terjadi ketika saya mendapati secara mengejutkan bahwa doktrin tersebut tidak didukung oleh firman Allah secara keseluruhan, tetapi hanya oleh beberapa ayat atau pernyataan dari Alkitab yang ditarik keluar dari konteksnya. Apabila penyelidikan lebih lanjut membuktikan bahwa doktrin tersebut mengandung hal–hal yang tidak alkitabiah, saya tidak memiliki pilihan lain kecuali membuangnya karena komitmen pada kebenaran.

Yesus berkata kepada Pilatus, “Setiap orang yang berasal dari kebenaran akan mendengarkan suaraku.” (Yoh 18:37). Mereka yang berkomitmen sepenuhnya pada kebenaran akan mendengarkan suara Tuhan dan akan dilepaskan dari kegelapan.


(3) Hati yang Tunggal

Yang ketiga, kita harus memiliki ketunggalan hati. Banyak Kristen tidak dapat bersekutu dengan Tuhan karena hati mereka terbagi–bagi pada banyak hal di dalam hidup mereka yang berteriak-teriak menuntut perhatian mereka. Mereka dihisap ke dalam pusaran kesibukan. Kita berbuat baik untuk mendengarkan perkataan Yesus kepada seorang hingar-bingar semacam itu,

“Marta, Marta, kamu khawatir dan memusingkan diri dengan banyak hal. Hanya satu hal yang penting. Maria sudah memilih bagian yang lebih baik, dan bagiannya itu takkan pernah diambil darinya.” (Lukas 10:41-42).

Marta tidak diganggu oleh hal–hal yang buruk, tetapi oleh kegiatan–kegiatan yang baik dan sah; tetapi saudarinya, Maria, memilih untuk, “duduk dekat kaki Yesus dan terus mendengarkan perkataannya” (ay.39).

Banyak juga orang Kristen, yang begitu sibuknya dengan hal–hal yang baik sampai-sampai hal-hal yang baik justru menjadi musuh bagi yang terbaik. Akibatnya mereka tidak dapat mendengarkan suara Allah karena telinga mereka telah ditulikan oleh kebisingan yang dihasilkan oleh beragam kegiatan tersebut.

Kurangnya iman atau ketidak-percayaan juga mengakibatkan hati yang tidak murni dan terbagi-bagi, suatu ketidakmampuan untuk membuat keputusan yang menentukan tentang perkara-perkara rohani; inilah yang digambarkan sebagai “mendua hati” di Yakobus. Dalam kondisi ini tidaklah mungkin untuk bersekutu dengan Tuhan atau menerima apa pun dari Dia sebagaimana yang ditegaskan oleh Yakobus,

“Namun, ia harus memintanya dengan iman dan tidak bimbang karena orang yang bimbang adalah seperti gelombang laut, ditiup angin ke sana kemari. Orang seperti itu janganlah mengira akan menerima sesuatu dari Tuhan. Orang yang mendua hati tidak akan tenang dalam semua jalan hidupnya.” (Yak 1:6-8).

Mendekatlah kepada Allah, dan Ia akan mendekat kepadamu. Bersihkanlah tanganmu, hai orang-orang berdosa, dan murnikanlah hatimu, hai orang-orang yang mendua hati. (Yak 4:8)


(4) Ketenangan Batin

Keempat, kita perlu memiliki ketenangan batin. Pada zaman yang serba cepat dan berteknologi tinggi ini, hanya sedikit orang yang tahu bagaimana untuk mengalami ketenangan. Ketenangan batin penting karena Allah tidak menjerit–jerit kepada kita. Ia berbicara dengan suara yang tenang, dan kita harus berdiam diri untuk dapat mendengarkan suara itu.

Allah menyuruh Elia untuk berdiri di atas gunung, dan menunggu Dia berlalu. Angin besar datang, tetapi Tuhan tidak ada di tengah angin besar itu. Lalu ada gempa yang dahsyat, tetapi Tuhan tidak ada di dalam gempa itu. Kemudian datanglah api yang menyala–nyala yang menghanguskan tempat itu, tetapi Tuhan tidak ada di dalam api itu. Akhirnya datanglah bunyi angin yang sepoi–sepoi basa—suara lembut dari Tuhan—berkata, “Apakah kerjamu di sini, hai Elia?” (1Raj 19:11-13)

Jika kita tidak dapat duduk diam, atau jika kita membiarkan segala kebisingan dan hiruk pikuk dunia di sekitar kita untuk menyerbu ketenangan batin kita, kita tidak akan dapat mendengar suara-Nya. Yang kita perlukan adalah ketenangan di dalam batin kita. Saat kita mendekati seorang manusia Allah, kita dapat merasakan ketenangan batinnya. Ini menjadi bagian dari dirinya karena itulah caranya ia mendengarkan suara Allah. Elia belajar bahwa Allah tidak berbicara dalam keriuhan angin kencang, gempa bumi ataupun api, melainkan dalam suara Roh yang tenang.


(5) Tidak Takut akan Kematian

Kelima, dan mungkin yang mengejutkan, kita harus bebas dari rasa takut akan kematian. Ibrani 2:15 berkata bahwa Iblis telah memperhambakan manusia seumur hidupnya oleh karena takutnya kepada maut. Rasa takutlah yang membuat manusia berpegang erat pada dunia; akan tetapi, orang yang sudah lepas dari dunia tidak takut untuk mati. Takut akan maut adalah tanda yang nyata bahwa seseorang masih belum terlepas dari dunia. Rasa takut akan maut itulah yang mendorong orang Israel berkata kepada Musa,

“Lebih baik kamu saja yang berbicara kepada kami dan kami akan mendengarkan. Jangan Allah berbicara langsung kepada kami. Jika tidak begitu, kami akan mati.” (Kel 20:19).

Dari gunung yang diliputi oleh api, Allah berbicara kepada bangsa Israel. Namun, orang Israel memohon kepada Musa agar Allah tidak berbicara langsung kepada mereka. Mengapa mereka takut mendengar suara-Nya? Karena mereka takut mati.

Apakah Anda melarikan diri dari suara Allah karena Anda takut bahwa hal itu mungkin membuat Anda mengorbankan hidup Anda di dunia ini? Anda ditarik ke dua arah: Anda ingin mendengar suara-Nya, tetapi Anda takut kalau–kalau Allah akan menyuruh Anda untuk melakukan sesuatu yang membuat Anda harus mengorbankan tempat Anda di dunia ini.

“Janganlah Allah berbicara kepada kami, nanti kami mati,” teriak mereka. Mengapa mereka takut mati? Bukankah mendengar suara Allah suatu penghargaan yang lebih berharga daripada nyawa kita? Lagi pula, apakah suara Allah membawa kematian, atau sebaliknya membawa kehidupan kepada mereka yang bersedia menerimanya? Yesus menyatakan,

Sesungguhnya aku berkata kepadamu, waktunya akan tiba dan telah tiba sekarang, ketika orang-orang mati akan mendengar suara Anak Allah dan mereka yang mendengar itu akan hidup. (Yoh 5:25).

Orang–orang Israel tersebut takut mati, dan mereka lari dari suara-Nya. Perhatikan apa yang mereka katakan kepada Musa,

Mereka berkata, ‘YAHWEH, Allah kita telah menunjukkan kemuliaan dan kebesaran-Nya! Kami mendengar suara-Nya dari api. Kami telah melihat pada hari ini bahwa Allah berbicara dengan manusia dan manusia itu tetap hidup. (Ul 5:24)

Perhatikan bahwa mereka mengakui kenyataan bahwa mereka tidak mati sebagai akibat dari mendengar suara Allah. Akan tetapi, di ayat yang berikutnya kita mendengar mereka berkata, “Namun, jika kami mendengar suara YAHWEH, Allah, kami pasti mati! Api yang mengerikan itu akan membinasakan kami. Kami tidak ingin mati.” (ay.25)

Alasan untuk tidak mau “lebih lama lagi mendengar suara Yahweh, Allah kita” adalah “kami tidak ingin mati. Pernahkah ada orang yang pernah mendengar suara Allah dan tetap hidup??” (ay.26)

Apa logika dari penalaran mereka? Tampaknya begini: Ya, kami sudah mendengarkan suara Allah sekali dan selamat; tetapi jika kami mendengarkan suara-Nya lagi, kami mungkin tidak akan selamat kali ini! Memang menakjubkan mendengar suara Allah berbicara kepada kami, tetapi kami tidak siap untuk mempertaruhkan nyawa kami untuk mendengar suara-Nya berbicara lagi kepada kami!

Tanggapan Allah yang bersedih hati-Nya atas sikap seperti ini adalah, “Kiranya hati mereka tetap seperti itu, yaitu takut akan Aku dan memegang teguh segala perintah-Ku. Dengan demikian, mereka dan anak-anaknya bahagia untuk selamanya.” (ay.29). Firman ini menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki hati yang takut dan mengasihi Allah, seperti yang kemudian terbukti dalam perilaku mereka yang tercatat dalam Alkitab.

Kemudian Allah menyuruh mereka pulang dengan firman berikut kepada Musa, “Pergilah, katakanlah kepada mereka: Kembalilah ke kemahmu.” Namun, kepada Musa yang setia Ia berkata, “Akan tetapi, berdirilah kamu di dekat-Ku. Aku akan menyampaikan kepadamu ” (ay.30,31).

Banyak orang takut untuk mati terhadap dunia. Namun, kita sudah mati bersama-sama dengan Kristus pada baptisan—jika baptisan kita memang memiliki arti. Baptisan bukanlah suatu upacara di mana kita berpura–pura mati. Sangatlah berbahaya untuk bermain–main dengan kehidupan rohani. Entah kita sudah benar–benar mati bersama-sama dengan Kristus bagi dosa dan dunia, atau kita sudah merampok makna dari baptisan kita itu. Namun, jika kita sudah mati dengan Kristus dan memiliki hidup yang kekal, mengapa kita masih takut mati?


(6) Terlibat dalam Pelayanan-Nya

Keenam, kita harus terlibat sepenuhnya di dalam pelayanan Tuhan. Hal ini berlaku bagi setiap orang Kristen. Kita semua adalah milik Allah karena kita sudah ditebus oleh darah Yesus; kita sudah dibeli-Nya dengan harga yang sangat mahal. Kita adalah pelayan-pelayan-Nya, hamba-hamba-Nya. Tidak ada yang namanya hamba penggal waktu (part-time), jadi kita harus bekerja purna waktu bagi Dia, tidak peduli apa pun pekerjaan kita di dunia.

Jika Anda tidak hidup untuk Allah, bagaimana mungkin Anda dapat mendengar suara-Nya? Di dalam setiap contoh dari Kisah Para Rasul, kita melihat bahwa Ia selalu berbicara kepada para hamba-Nya yang terlibat sepenuhnya di dalam pelayanan-Nya. Allah berbicara bukan untuk memuaskan rasa ingin tahu mereka, melainkan untuk memberi perintah atau untuk membangkitkan semangat mereka di dalam pekerjaan membangun jemaat-Nya.


(7) Setia Sampai Mati

Ketujuh, Allah berbicara kepada mereka yang bersedia untuk setia sampai mati. Pernyataan, “orang yang bertahan sampai akhir akan diselamatkan” muncul dua kali dalam Injil Matius (10:22 dan 24:13). Tuhan mencari orang yang bersedia untuk mengikut Dia sampai mati. Banyak orang sekarang ini mengaku sebagai orang Kristen, tetapi saya bertanya-tanya berapa banyak yang akan bertahan setia menghadapi ancaman maut.

Tentu saja, sekalipun didukung niat yang paling tulus, masih terdapat kemungkinan terjadinya kegagalan pada saat–saat terakhir. Namun, anugerah Tuhan cukup untuk memampukan kita untuk bertahan! Paling tidak, kita harus memiliki hasrat yang tulus untuk setia sampai mati. Namun, banyak yang tidak memiliki hasrat seperti itu. Allah melihat ke dalam hati kita, dan mengetahui apakah niat kita tulus atau tidak. Jika Ia melihat hasrat yang tulus untuk setia sampai mati di dalam hati Anda, Ia akan berbicara kepada Anda.

Abraham setia bukan sekadar sampai mati saja, tetapi bahkan sampai pada kematian seseorang yang jauh lebih berharga daripada dirinya sendiri: Ishak, anaknya yang terkasih.

Musa juga setia sampai mati, yang terlihat dalam doanya,

“Kiranya Engkau berkenan mengampuni mereka atas dosa ini. Jika Engkau tidak berkenan mengampuni mereka, hapuskanlah namaku dari buku yang Kautulis” (Kel 32:32).

Elia juga, setia sampai mati. Pada suatu peristiwa, ia menjadi ketakutan menghadapi keadaan yang mengancam nyawanya. Namun, oleh anugerah Allah, ia dapat segera mengatasi ketakutannya dan menghadapi Ahab dengan resiko kehilangan nyawa (1Raj 19:3; 21:20 dst). Elia siap untuk mati bagi Allah, tetapi pada akhirnya ia diangkat ke surga (2Raj 2:11).

Para nabi memiliki tekad untuk setia sampai mati, dan mereka diakui karenanya. Yesus berbicara tentang darah para nabi (Mat 23:30; Luk 11:50). Di Kisah Para Rasul 7:52, Stefanus berkata kepada orang–orang Yahudi, “Siapakah dari nabi-nabi yang tidak dianiaya oleh nenek moyangmu?” Para nabi memeteraikan kesaksian mereka dengan darah mereka, demikian pula halnya dengan para rasul. Kepada orang–orang seperti inilah—orang-orang yang setia sampai mati—Tuhan berbicara.

Pada saat–saat terakhirnya, ketika kerumunan orang yang marah itu sedang melemparinya, Stefanus bertahan setia, bahkan tabah bersekutu dengan Tuhan. Seraya orang banyak melepaskan kemarahan mereka ke atas dia, pandangannya tertuju ke surga, dan ia berseru, “Lihat, saya melihat surga terbuka dan Anak Manusia berdiri di sebelah kanan Bapa.” Di tengah-tengah rejaman batu ia berdoa, “Yesus, terimalah rohku”. Lalu, ia melanjutkan, dalam kata-kata terakhirnya, untuk bersyafaat bagi musuh-musuhnya, “Tuhan, jangan tanggungkan dosa ini kepada mereka.” Tidak ada ketakutan akan maut yang mengaburi hati Stefanus; sampai ke akhir perjalanannya di bumi ini, ia tetap tinggal di dalam terang persekutuan yang intim bersama Tuan-Nya.

“Jikalau ada orang yang mendengar suaraku dan membukakan pintu, aku akan masuk mendapatkannya dan aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan aku.”

Makan bersama–sama dengan Yesus adalah suatu persekutuan yang indah yang tak terucapkan. Keakraban yang penuh kedamaian, dan seringkali tanpa kata–kata, merupakan persekutuan tingkat tertinggi.

 

Berikan Komentar Anda: