Pastor Eric Chang | Lukas 14:12-24 |

Hari ini, kita akan melanjutkan pembahasan kita tentang pengajaran Yesus dari Lukas 14:12-24 mengenai Perumpamaan tentang Pesta Perjamuan. Seperti biasa, ini adalah perumpamaan Yesus yang sangat kaya makna dan relevan bagi kehidupan rohani kita. Yesus saat itu sedang berbicara dengan orang yang mengundangnya dalam perjamuan makan, seorang tokoh pimpinan dari kaum Farisi. Jadi, ia bukan hanya seorang Farisi, tetapi merupakan orang penting di pemerintahan atau di sinagoga. Kita akan membaca dari ayat 12:

12 Lalu, Yesus berkata kepada orang yang mengundang-Nya itu, “Bila kamu mengadakan jamuan makan siang atau makan malam, jangan mengundang teman-teman, saudara-saudara, kaum keluarga, atau tetanggamu yang kaya karena mereka akan membalasmu dengan mengundangmu untuk makan bersama mereka.
13 Akan tetapi, jika kamu mengadakan pesta, undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh, dan orang-orang buta.
14 Dan, kamu akan diberkati karena orang-orang ini tidak dapat membalasmu kembali; kamu akan mendapat balasannya pada waktu kebangkitan orang-orang benar.”
15  Ketika salah seorang yang makan bersama-Nya mendengar perkataan-perkataan ini, orang itu berkata kepada-Nya, “Diberkatilah orang yang akan makan roti di dalam Kerajaan Allah.”
16 Akan tetapi, kata Yesus kepada orang itu, “Ada seseorang yang mengadakan jamuan makan malam yang besar dan ia mengundang banyak orang,
17 dan ketika waktu makan malam sudah tiba, orang itu menyuruh hambanya untuk berkata kepada para tamu yang sudah diundang itu, ‘Datanglah, karena semuanya sudah siap.’
18 Namun, semua tamu undangan itu mulai membuat alasan-alasan. Orang pertama berkata, ‘Aku baru membeli sebuah ladang dan aku harus pergi melihatnya. Terimalah permintaan maafku.’
19 Yang lain berkata, ‘Aku baru membeli lima pasang sapi dan aku harus pergi untuk memeriksa sapi-sapi itu. Terimalah permintaan maafku.’
20 Sementara yang lain lagi berkata, ‘Aku baru saja menikah. Karena itu, itu aku tidak bisa datang.’
21 Lalu, pelayan itu pun kembali dan melaporkan semuanya kepada tuannya. Maka, majikannya itu menjadi marah, lalu berkata kepada pelayanannya, ‘Cepatlah! Pergi ke jalan-jalan dan setiap gang di kota ini. Bawalah kepadaku orang-orang miskin, orang-orang lumpuh, orang-orang pincang, dan orang-orang buta.’
22 Kemudian, pelayan itu berkata kepadanya, ‘Tuan, aku sudah melakukan apa yang engkau perintahkan, tetapi masih ada tempat kosong.’
23 Tuan itu berkata kepada pelayannya, ‘Pergilah ke jalan-jalan raya dan setiap gang. Ajaklah orang-orang di sana untuk datang kemari supaya rumahku menjadi penuh.
24 Aku berkata kepadamu, tidak seorang pun dari mereka yang aku undang sebelumnya itu akan menikmati makanan sajianku.’”

Ayat-ayat yang sejajar dengan perumpamaan ini ada di Matius 22:1-14. Perumpamaan yang tercatat di Matius sedikit berbeda daripada yang di Lukas, tetapi mengandung beberapa poin yang berhubungan satu dengan yang lainnya.

Orang-orang Farisi, secara umumnya, menolak Yesus, tetapi mereka sebenarnya juga merasa tertarik dan penasaran dengan Yesus. Belakangan ada di antara mereka yang akhirnya berpaling kepada Yesus. Rasul Paulus sendiri pada kenyataannya adalah seorang Farisi. Tampaknya orang Farisi yang mengundang Yesus ini adalah orang yang ingin mendengar apa yang Yesus ajarkan, dan ini merupakan sebuah awalan yang baik. Di acara perjamuan itu, Yesus menyampaikan perumpamaan ini.

Perumpamaan ini bercerita tentang sebuah perjamuan besar, yaitu Perjamuan Yesus sendiri. Di ayat 24, perjamuan ini disebut Yesus sebagai “perjamuanku”. Apa itu perjamuan? “Perjamuan ini”, di dalam pemahaman alkitabiah mengacu kepada Perjamuan Keselamatan, atau kadang-kadang disebut Perjamuan Mesianik, yaitu Perjamuan yang diadakan oleh Sang Mesias, sebuah pesta perjamuan di mana semua orang yang diselamatkan bersukacita bersama. Pesta diadakan untuk menyatakan rasa sukacita, atau karena ada sesuatu yang pantas untuk dirayakan. Pada pembahasan kali ini, Perjamuan Sang Mesias merupakan sebuah perayaan dari mereka yang telah ditebus; berarti pesta bagi mereka yang sedang merayakan keselamatan itu. Ini adalah sebuah gambaran yang sangat indah.


Yesus Mengajarkan Pola Pikir yang Berpusat kepada Allah

Sebelum Yesus menceritakan perumpamaan ini, ia berbicara tentang beberapa hal kepada si tuan rumah, yakni orang Farisi yang merupakan tokoh masyarakat ini. Dari ayat 12 dan seterusnya, Yesus berkata, “Kalau engkau mengadakan pesta perjamuan, jangan mengundang orang-orang yang pasti mampu untuk membalas jamuanmu.” Teguran yang sering kita langgar. Kita mengundang teman-teman, saudara, kerabat atau juga tetangga kita yang mampu, orang-orang yang ingin kita dekati demi menjalin hubungan yang saling menguntungkan, bukankah begitu? Ini merupakan praktek yang sudah umum dijalankan oleh orang dunia. Untuk apa Anda mengundang orang tertentu? Karena Anda ingin membangun hubungan yang baik dengan orang itu dan berharap dapat memperoleh manfaat dari hubungan ini. Mungkin dengan sering-sering mengundang bos Anda, suatu hari nanti Anda bisa memperoleh kenaikan gaji, atau bahkan promosi jabatan. Demikianlah, Anda mengundang orang-orang tertentu dengan tujuan untuk mendapatkan manfaat bagi diri Anda. Anda memberi dengan berharap agar dapat menuai hasil dari orang yang menerima pemberian Anda. Mengapa? Karena mata Anda tertuju pada urusan kehormatan atau keuntungan. Akan tetapi, Yesus berkata, “Jika engkau mengejar hasil langsung dari hidup ini dan dari orang-orang di sekitarmu, engkau tidak akan memperoleh upah dari Allah.” Ajaran Yesus terasa sulit karena kita tidak berpikir seperti dia. Cara kita berpikir condong kepada cara pemikiran dunia. Kita terikat dalam cara pikir dunia. Dalam benak kita, tindakan yang pantas dilakukan adalah tindakan yang memberi keuntungan bagi kita. Jika saya mengundang seseorang, saya perlu menghitung manfaat apa yang bisa saya dapatkan dengan mengundang orang itu. Jika orang ini tidak akan memberi manfaat apa-apa buat saya, saya tidak akan mengundang dia karena hanya akan memboroskan uang saja. Sekarang ini harga bahan makanan sudah semakin mahal, dan saya juga harus membuang waktu untuk menyiapkan hidangan. Jika tidak ada hasil yang memadai, undangan ini sia-sia. Beginilah cara kita berhitung, tetapi Yesus tidak berpikir seperti ini.

Bagaimana jalan pikiran Yesus? Ia memberitahukannya di ayat 13, “Tetapi apabila engkau mengadakan perjamuan,” bukan sekadar acara makan bersama, tetapi perjamuan, pesta makan yang tentunya perlu biaya besar, apa yang harus Anda lakukan? Ia berkata, “Undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta dan engkau akan berbahagia, karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya kepadamu.” Ingatlah ucapan Yesus yang tercatat di Kisah 20:35, “Lebih berbahagia memberi daripada menerima”. Cara berpikir seperti ini jelaslah bukan cara berpikir kita. Akan tetapi, inilah cara berpikir yang Yesus ingin kita pelajari. Di Israel kala itu, orang miskin, orang cacat, orang lumpuh dan orang buta tidak mendapat tunjangan sosial karena masalah tunjangan sosial memang belum terpikirkan oleh pemerintah zaman itu. Jadi, di tengah-tengah masyarakat zaman itu ada cukup banyak orang miskin yang terlantar. Mereka umumnya adalah orang-orang cacat yang tidak dapat bekerja, dan dengan demikian tidak memiliki penghasilan. Mereka biasanya bergantung pada sedekah untuk bisa bertahan hidup. Yesus, pada zaman itu, berkata, “Undanglah orang-orang miskin.” Mengapa? Karena mereka tidak akan mampu untuk balas menjamu Anda! Lalu, apa keuntungan buat saya dengan mengundang para gelandangan yang tidak akan mampu membalas jamuan saya? Seharusnya yang saya undang adalah mereka yang mampu untuk balik menjamu saya. Begitulah, cara Allah berpikir bertentangan dengan cara manusia berpikir. Jika Anda ingin tahu seperti apa cara berpikir Allah, balikkan saja cara berpikir Anda 180 derajat, Anda akan tahu seperti apa cara berpikir Allah. Ini merupakan cara sederhana untuk mengetahui cara berpikir Allah. Selalu bertentangan dengan kecenderungan kita dalam berpikir. Jika Anda tiba-tiba mendapatkan sebuah pemikiran yang menurut Anda sangat baik, seringkali ide yang berlawanan dengan ide awal Anda itulah yang lebih baik, karena ide awal Anda biasanya muncul dari dorongan kedagingan, mementingkan diri sendiri.

Sebagai contoh, jika ada orang yang memperlakukan Anda dengan tidak ramah, Anda langsung merasa tersinggung. Tenang saja. Seharusnya Anda bersyukur daripada tersinggung karena jika Anda mendapat perlakuan yang sewenang-wenang, ingatlah perkataan Yesus, Allah akan berpihak kepada Anda. Ia adalah Allah yang adil. Ia akan membersihkan nama Anda. Apakah ada yang lebih baik daripada Allah berada di pihak Anda? Jadi silakan saja, orang ingin memperlakukan Anda dengan sewenang-wenang? Orang lain ingin menginjak kaki Anda? Itulah bukti bahwa Allah berpihak kepada Anda. Akan tetapi, bagaimana kenyataannya? Orang Kristen masih belum juga mempelajari cara berpikir seperti ini. Setiap kali mendapat perlakuan yang tidak adil, kita menjadi sakit hati, sangat tersinggung. “Mereka tidak adil! Allah juga tidak adil! Mengapa Allah membiarkan hal ini terjadi pada saya?” Justru sebenarnya pada saat itu Ia sedang bersiap-siap untuk mencurahkan kasih karunia-Nya kepada Anda. Dapatkah Anda memahami hal itu? Susah sekali berpikir seperti itu. Alkitab adalah pernyataan tentang jalan pikiran Allah, bukan jalan pikiran manusia. Manusia tidak akan mampu menyusun kitab seperti ini. Untuk dapat memahaminya saja tidak bisa, apa lagi menyusunnya. Jangankan untuk menyainginya, berusaha memahami pengajaran Yesus saja kita tidak mampu. Fakta ini merupakan bukti bahwa seluruh yang diajarkan oleh Yesus itu berasal dari Allah. Cara Allah berpikir memang sangat berbeda. Kita tidak mampu menggapainya karena cara berpikir ini memang sangat revolusioner. Pusat perhatiannya adalah Allah.

Lain kali jika ada orang di kantor atau di sekolah berbuat yang sewenang-wenang terhadap Anda, bersyukurlah kepada Allah karena Anda tahu bahwa itu berarti Allah berpihak kepada Anda. Anda mendapat perlakuan yang sewenang-wenang, itu adalah buktinya. Jangan ngotot berusaha menyeimbangkan keadaan. Jika Anda melakukan hal itu, Anda akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan keberpihakan dari Allah bagi Anda. Jika ada orang yang menampar pipi Anda, lalu Anda membalasnya dengan tamparan juga, sumber pembelaan itu adalah diri Anda sendiri. Akan tetapi, jika ada orang menampar pipi Anda dan Anda tidak membalasnya, maka ia berhutang perkara kepada Anda dan Allah akan berpihak kepada Anda. Jika Anda tidak menyakini hal itu, Anda tentu akan bertanya, “Tidak adil! Mengapa saya harus diam berdiri dan ditampar?” Tentu saja Anda akan bertanya-tanya seperti itu, karena Anda tidak menghiraukan Allah. Jika hati Anda terpusat pada Allah, Anda akan berkata, “Haleluyah! Ini pipi yang satu lagi. Kalau ditampar juga, berarti dia berhutang dua perkara. Allah akan semakin berpihak padaku. Kalau dia terus menampari saya, Allah akan terus berpihak padaku!” Wah, sulit sekali berpikir seperti itu, karena cara berpikir seperti ini selalu menempatkan Allah sebagai pusat perhatian kita, bukankah begitu?

Dalam ayat-ayat yang kita bahas hari ini, Yesus berkata, “Jika kamu mengundang seseorang, tanyakanlah pada dirimu sendiri, apa yang engkau inginkan? Apakah engkau mengundangnya supaya nanti ia mengundangmu juga sebagai balasannya? Dengan cara berpikir seperti itu, engkau sudah mendapatkan upahmu. Upahmu langsung lunas terbayar. Akan tetapi, jika engkau mengundang orang yang tidak mampu untuk membalas jamuanmu, akan muncul suatu ketidakseimbangan. Engkau memberikan sesuatu dan tidak mendapatkan balasan langsung. Allah adalah Allah yang adil dan Ia akan bertindak untuk mengembalikan keseimbangan itu. Dengan demikian, Allahlah yang akan membalas tindakanmu. Balasan dari siapakah yang engkau inginkan?”

Ada cukup banyak saudara-saudara yang sangat kekurangan. Namun, Anda berkata, “Buat apa saya memberikan uang untuk orang-orang ini? Mereka masih punya orangtua yang seharusnya memperhatikan mereka. Mereka juga masih punya kerabat. Masalah mereka bukan urusan saya.” Baik, Anda boleh saja berpikir seperti itu. Jalan pikiran yang lain adalah, “Saudara-saudara ini sangat membutuhkan pertolongan, saya akan membantu mereka. Ini akan membebani kantong saya, tetapi saya tahu bahwa Allah akan membalasnya kepada saya. Baiklah, saya bantu saja.” Tidak ada orang yang memberi bagi pekerjaan Allah dengan dasar pikiran seperti ini jika ia tidak mengharapkan balasan dari Allah, bukannya dari manusia. Cara memberi seperti ini merupakan ekspresi nyata dari iman. Akan tetapi, untuk dapat melakukannya sangatlah berat, bukankah demikian?

Bersediakah kita melihat rumah kita yang nyaman dipenuhi oleh para gelandangan yang akan mengotori karpet serta perabotan lainnya? Tentunya akan banyak biaya keluar untuk membersihkan rumah sesudah mereka pergi, dan itu masih ditambah lagi dengan ongkos perjamuan. Bagaimana dengan penilaian para tetangga jika mereka melihat orang-orang yang jorok ini berkerumun di rumah kita? Yesus berkata, “Itu semua bergantung pada bagaimana cara berpikirmu dan balasan dari siapa yang engkau harapkan.”


Keselamatan Disediakan bagi Orang-orang Benar

Ada kata kunci yang perlu diperhatikan di bagian akhir dari ayat 14,

“…kamu akan mendapat balasannya pada waktu kebangkitan orang-orang benar.” 

Ini merupakan kalimat yang sangat penting untuk kita pegang. Yesus berbicara tentang kebangkitan orang-orang benar dalam ayat itu. Jika Anda ingin bangkit memasuki hidup, bersama-sama dengan mereka yang dibangkitkan saat itu, Anda harus juga berada di dalam golongan orang-orang benar. Jangan coba-coba membuat penegasan yang berbeda dengan ini. Kebangkitan menuju pesta perjamuan Sang Mesias, saat-saat yang penuh kebahagiaan itu, disiapkan bagi orang-orang benar. Ini adalah ucapan dari Yesus, bukan sekadar omongan saya. Jika Anda tidak termasuk orang benar, Anda tidak akan mendapat bagian di dalam kebangkitan ini.

Ada kecenderungan yang berbahaya di dalam pengajaran masa sekarang ini yang mengabaikan kebutuhan akan kebenaran aktual. Ini merupakan ajaran yang sangat berbahaya, dan jelas tidak alkitabiah. Ajaran ini berbicara tentang kebenaran legal yang diberikan atau ditetapkan atas kita hanya dengan berbekal pada pengakuan iman saja. Jadi, jika Anda mengakui Kristus, Anda sudah dibenarkan sekalipun tidak terjadi perubahan aktual di dalam hidup Anda. Ini adalah ajaran yang sangat merusak gereja. Ajaran ini akan menghasilkan gereja yang dipenuhi oleh orang-orang yang disebut sebagai “kaum religius munafik” oleh dunia, orang-orang yang tidak mengalami perubahan, yang belum menjadi ciptaan baru, yang hanya sekadar membuat sebuah pernyataan pengakuan iman dan kemudian diajari bahwa mereka sudah menerima pembenaran yang ditanamkan ke dalam diri mereka, yaitu kebenaran Kristus.


Kebenaran: Mengutamakan Allah di dalam Segala Hal

Di sini, Yesus berbicara tentang kebangkitan orang-orang benar yang berarti bahwa kebangkitan itu disediakan bagi orang-orang benar. Ada dua macam kebangkitan yang terdapat di dalam Alkitab: kebangkitan orang-orang benar menuju keselamatan, dan kebangkitan orang-orang berdosa menuju kebinasaan kekal. Dengan berbekal pengakuan iman di mulut saja, Anda hanya akan dibangkitkan untuk menuju kebinasaan kekal. Ketika Yesus berbicara tentang kebenaran, ia tidak sedang berbicara tentang kebenaran legal. Ia sedang berbicara tentang kebenaran yang dijalankan, definisi yang langsung dijabarkannya pada kesempatan itu juga. Kebenaran ini berkaitan dengan tindakan memberi kepada orang miskin tanpa mengharapkan balasan dari mereka. Ini bukanlah keselamatan berdasarkan perbuatan baik. Ini adalah keselamatan yang terjadi karena adanya perubahan mendasar di dalam seluruh cara berpikir Anda. Keselamatan seperti itulah yang sedang dibicarakan oleh Yesus. Anda tidak akan diselamatkan hanya karena sudah berbuat baik. Tindakan iman tidak akan dapat dijalankan oleh seorang yang masih dikuasai oleh daging. Memberi tanpa mengharapkan balasan apa pun dari pihak penerima merupakan tindakan yang bertentangan dengan kecenderungan alami kita. Kita baru bisa menjalankan hal itu jika cara berpikir kita sudah berubah, jika kita sudah menjadi ciptaan baru yang berubah sejalan dengan Roma 12:1-2. Saya harap Anda dapat memahami bahwa kebenaran yang Yesus bicarakan adalah kebenaran yang sangat nyata dan terlihat dalam kehidupan kita.

Kebenaran yang sedang kita bicarakan ini tidak boleh dipisahkan dari pengampunan. Pertama-tama, kita harus memperoleh pengampunan itu, dan Yesus sudah berbicara tentang pengampunan di awal pasal ini (Luk 14:7-11). Selanjutnya, Yesus menjelaskan bahwa sesudah kita diampuni, maka kita diberikan kebenaran yang nyata, yaitu sikap atau cara berpikir kita diubah. Apa arti perubahan cara berpikir ini? Anda lihat sendiri, tidak ada orang yang menjalankan apa yang diajarkan oleh Yesus ini. Cobalah keluar dan undanglah orang-orang miskin, lumpuh, cacat, atau cobalah memberi bantuan kepada saudara-saudara seiman yang kekurangan. Akan segera muncul pertanyaan di dalam pikiran Anda, “Buat apa saya melakukan ini? Ini bukan tanggung jawab saya.” Anda akan melihat betapa hati dan pikiran Anda akan segera menentang tindakan itu karena Anda tahu pasti bahwa tidak ada untungnya berbuat seperti itu. Kita sudah terbiasa bertumbuh dalam cara berpikir yang mengejar hasil dari setiap tindakan kita. Pendidikan yang kita jalani mengajarkan hal ini — menjadi cerdik dan mengejar setiap kesempatan untuk kepentingan diri sendiri. Memberi tanpa mengharapkan balasan tentu akan berakhir dalam kemiskinan. Begitulah cara kita berpikir. Tak seorang pun, yang belum meninggalkan dunia dan cara berpikir yang duniawi, akan mau mengundang orang-orang miskin.

Sekarang kita sampai pada definisi yang pertama dari kebenaran di dalam pengajaran Yesus. Definisi yang pertama dari “kebenaran” di dalam ajaran Yesus adalah berpaling dari dunia karena segenap cara berpikir kita sudah diubahkan. Orang yang benar akan berpegang pada seperangkat nilai-nilai yang baru, dan titik pusat dari nilai-nilai itu adalah Allah. Oleh karena cara berpikirnya sudah berubah, ia akan menjalani hidupnya bukan untuk dunia ini, bukan demi kehidupan yang sekarang, melainkan demi kehidupan yang akan datang. Manusia baru di dalam Kristus mampu memandang dunia sebagai hal yang sementara, hal yang akan segera berlalu. Percuma bergantung pada sesuatu yang akan segera berlalu.

Saya sering membayangkan orang yang berpegang pada dunia seperti orang yang sedang menggenggam pasir. Semakin kuat genggaman Anda, semakin cepat pasir itu keluar dari sela-sela jari Anda. Pernahkah Anda mencoba hal ini? Lain kali, jika Anda ke pantai, cobalah melakukannya. Ambillah segenggam pasir kering dan genggamlah seerat mungkin, seolah-olah Anda takut kehilangannya. Anda akan melihat bahwa semakin keras genggaman Anda, semakin cepat pula pasir itu keluar dari sela-sela jari Anda. Seorang manusia baru akan memahami bahwa upaya untuk menggenggam dunia adalah hal yang sia-sia. Paulus berkata,

Sebab, kita tidak membawa apa-apa ketika masuk ke dunia dan kita juga tidak bisa membawa apa-apa ketika keluar dari dunia ini. (1Tim 6:7)

Anda tidak akan dapat membawa serta hasil perjuangan Anda dalam mengejar kekayaan dunia. Uang, kehormatan ataupun ijazah — semua harus Anda tinggalkan. Seorang manusia baru akan memahami bahwa hidup yang akan datang itulah yang penting karena hidup yang sekarang ini hanya sementara. Hidup yang akan datang itulah yang harus diperjuangkan. Hidup itulah yang harus kita hargai sejak sekarang ini.

Jadi siapa itu orang-orang benar menurut definisi pertama dari Yesus? Orang yang benar adalah orang yang, sesudah berpaling dari dunia ini lalu berpegang pada nilai-nilai yang baru, dan karena ia memegang nilai-nilai yang baru, cara berpikirnya akan menjadi sangat berbeda, terlihat dari kesediaannya untuk memberi tanpa mengharapkan imbalan di dalam hidup yang sekarang ini. Malahan, ia cenderung menghindari imbalan di dalam hidup ini, karena jika ia mendapatkannya sekarang, ia kehilangan kesempatan untuk mendapatkan balasan dari Allah. Cara berpikirnya sangat revolusioner dalam artian ia hanya menghendaki balasan dari Allah saja — segala upah, hasil dan keuntungan. Dan dari sisi lain, jika ia menerima perlakuan yang sewenang-wenang, ia hanya mengharapkan pembelaan dari Allah saja, bukan dari manusia. Hanya Allah saja sumber pengharapannya.

Apakah cara berpikir Anda seperti itu? Apakah cara berpikir saya seperti itu? Sebagai orang Kristen, sudahkah cara berpikir kita diubahkan? Apakah kita bersemangat jika Allah menjadi pusat perhatian kita di dalam hati ini? Beranikah kita menempatkan segenap iman dan kepercayaan kita di dalam Allah? Membutuhkan segenap keberanian kita untuk dapat memiliki iman. Abraham segera berangkat mengikuti perintah, walaupun tak tahu hendak pergi ke mana. Tindakannya itu menuntut segenap keberanian yang ia miliki. Tidak ada orang yang tanpa keberanian akan mampu memiliki iman yang menempatkan kepercayaannya di dalam Allah dan melakukan hal seperti Abraham. Orang yang berani melangkah akan mendapati bahwa Allah selalu mendukung mereka dan bahwa Allah tidak pernah gagal. Akan tetapi, jika Anda tidak melangkah, Anda tidak akan melihat kemuliaan Allah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Yesus di Yohanes 11:40,

“Bukankah Aku sudah mengatakan kepadamu bahwa jika kamu percaya, kamu akan melihat kemuliaan Allah?”

Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, persoalan yang menjerat gereja sekarang ini adalah bahwa gereja dipenuhi oleh orang-orang yang tidak pernah melihat kemuliaan Allah. Mereka belum pernah melihat kemuliaan Allah karena mereka tidak memiliki keberanian untuk melangkah dalam iman dan menempatkan kepercayaan mereka di dalam Dia untuk dapat melakukan segala yang harus mereka lakukan.

Saya sudah membuktikan kepercayaan saya pada-Nya, dan Ia tidak pernah gagal dalam menjaga kepercayaan saya. Dalam hal perlakuan sewenang-wenang, saya sendiri sudah pernah mengalaminya, dan saya tidak memilih untuk menuntut balasan, sekalipun perlakuan tersebut saat itu sangat tidak adil. Sebenarnya saya dapat saja membalas perbuatan yang dilakukan terhadap saya, tetapi setiap kali saya bermaksud untuk melakukannya, saya berkata, “Tidak, Tuhan berkata, ‘Pembalasan itu adalah hak-Ku, Akulah yang akan menuntut pembalasan.’ Saya tidak akan menuntut balas. Biarlah segala upah saya berasal dari-Nya saja.  Biarlah Tuhan saja yang meluruskan perkara ini.” Di dalam hal materi, saya juga melakukan hal yang sama. Allah tidak pernah gagal. Saya mengembara dari Timur Jauh menuju Eropa nyaris tanpa uang, sebagaimana yang diketahui oleh beberapa orang dari Anda, dengan mengandalkan Allah sepenuhnya karena Ia berkata, “Pergilah,” maka saya pergi. Dan kesetiaan-Nya sungguh terbukti. Sepanjang masa pendidikan saya, Ia memenuhi segala kebutuhan saya. Saya menaruh seluruh kehidupan saya ke dalam tangan-Nya, dan Ia tidak pernah gagal. Jika Allah gagal saat itu, saya akan menjadi gelandangan di Inggris. Saya memandang ke arah-Nya dan saya dapat melihat kemuliaan-Nya. “Bukankah sudah Kukatakan kepadamu: Jikalau engkau percaya engkau akan melihat kemuliaan Allah?” Semoga bertumbuh gereja yang dapat melihat kemuliaan Allah. Dengan begitu maka tidak akan terlalu sulit lagi menjadi orang yang benar dengan kasih karunia-Nya.

Mari kita simpulkan definisi yang pertama ini dengan dua poin. Poin yang pertama adalah: orang benar adalah mereka yang pikirannya terpusat pada Allah, yang mempercayakan segala perkara yang dihadapinya kepada Allah. Poin yang kedua adalah, karena orang benar hanya mencari balasan dari Allah, maka mereka mau memberi kepada saudara-saudara seiman dan kepada orang-orang yang membutuhkan tanpa mengharapkan sesuatu dari orang-orang tersebut. Mungkin Anda akan berkata bahwa cara pikir seperti ini bertentangan dengan prinsip ekonomi. Namun anehnya, di dalam praktek bisa dijalankan. Masyarakat yang menjalankan prinsip ini akan mendapati bahwa mereka tidak pernah kekurangan. Tidak akan terdapat orang miskin di sana. Namun, sekalipun tinggal di tengah masyarakat yang tidak menjalankan prinsip ini, orang-orang yang percaya kepada Dia tidak akan pernah mengalami kekurangan. Sangat mengagumkan. Allah akan memelihara dan memenuhi bahkan sampai pada kebutuhan jasmani Anda. Seperti yang disampaikan di dalam Mazmur 34:11,

Singa-singa muda kekurangan dan kelaparan, tetapi orang-orang yang mencari YAHWEH, tidak kekurangan sesuatu pun yang baik.

Demikianlah, kesetiaan Allah menjangkau sampai pada urusan tersebut.

Jika Allah tidak dapat dipercayai untuk kehidupan yang sekarang ini, buat apa mempercayai-Nya untuk kehidupan yang akan datang? Kadang kala saya berpikir bahwa ucapan orang-orang non-Kristen mengandung beberapa kebenaran tentang kemunafikan orang Kristen. Saya rasa memang begitu. Orang Kristen akan menjalani hidupnya dengan cara yang sangat berbeda jika mereka benar-benar memperlakukan Allah sesuai dengan pengakuan mereka. Saya tidak pernah melupakan apa yang diucapkan oleh Bertrand Russell yang berkata,

“Jika orang-orang Kristen benar-benar mempercayai Allah tepat seperti pengakuan mereka, saya pikir mereka akan hidup dengan cara yang sangat berbeda dengan apa yang saya amati sekarang ini.”

Saya pikir ia benar. Allah macam apa yang Anda percayai? Apakah Anda mempercayai Allah yang membangkitkan orang-orang mati? Apakah Anda mempercayai Allah yang akan membangkitkan orang benar untuk ikut ambil bagian dalam Perjamuan, perayaan keselamatan? Allah yang ini adalah Allah yang mulia, agung, kudus dan adil. Allah yang ini sangat layak untuk menerima kepercayaan. Marilah kita jalani hidup ini sebagai orang yang memang benar-benar mempercayai-Nya. Biarlah dunia dapat melihat bahwa kita, sebagai orang-orang yang mengaku orang benar, memang mempercayai-Nya. Kebenaran berarti kita berpaling dari dunia karena kita sudah sepenuhnya berpihak kepada Allah; kita meletakkan kepercayaan sepenuhnya kepada Allah. Kita tidak membagi-bagi kepercayaan kita kepada Allah dan dunia. Kita tidak membagi kepercayaan terhadap Allah dan uang, seperti yang coba dilakukan oleh beberapa orang Kristen, dan mereka akhirnya menjadi orang-orang munafik. Anda hanya boleh memilih untuk mempercayakan hidup Anda sepenuhnya kepada Allah atau kepada dunia. Jika Anda mempercayai Allah, biarlah Dia saja yang menjadi sumber pengharapan Anda.


Kisah Nyata tentang Bar Mayan di dalam Talmud

Bagian kedua dari definisi tentang kebenaran ini dapat kita temukan di dalam perumpamaan yang sama, dan perumpamaan ini mengungkapkannya dengan sangat indah. Yesus menjelaskan di dalam perumpamaan ini, tentang seseorang yang mengundang berbagai macam orang ke pesta perjamuannya. Akan tetapi, orang-orang yang diundang itu mengelak dengan berbagai macam alasan. Mereka tidak mau hadir. Akhirnya orang ini mengalihkan perhatiannya kepada orang-orang miskin dan mengundang mereka. Dengan kata lain, perumpamaan ini, secara sederhana, menjadi penerapan dari ucapan sebelumnya dari Yesus kepada si orang Farisi, “Jika engkau ingin mengundang orang, jangan mengundang mereka yang mampu melainkan undanglah orang-orang miskin.” Perumpamaan ini disusun dengan indahnya, dan tampaknya kisah ini bersumber dari sebuah kisah di dalam Talmud Palestina (Talmud ini ditulis dalam bahasa Aram dan masa penulisannya adalah sekitar zaman Yesus atau mungkin sebelum itu). Jika demikian halnya, kisah yang Yesus sampaikan mungkin memang bersumber dari kisah nyata. Dari Talmud Palestina itu, kita dapat membaca kisah seperti ini:

Ada seseorang yang bernama Bar Mayan. Kata ‘Bar’ memiliki arti anak laki-laki dari seseorang, jadi Bar Mayan adalah anak laki-laki dari Tuan Mayan. Bar Mayan ini adalah seorang pemungut cukai yang sangat kaya. Dan, sebagaimana yang Anda ketahui, pemungut cukai pada zaman itu merupakan orang-orang yang dibenci oleh masyarakat karena mereka bekerja untuk kepentingan Roma. Ada juga orang yang baik di antara mereka, tetapi secara umum, mereka sangat dibenci karena dianggap tidak setia kepada bangsa Israel. Pada suatu hari (harap diingat bahwa ini adalah kisah nyata), pemungut cukai yang kaya ini mengundang para anggota dewan kota dalam sebuah pesta perjamuan, karena ia berharap untuk dapat membina hubungan baik dengan mereka. Ia berharap mereka mau mengerti mengapa ia menjalankan pekerjaan itu, dan agar mereka mau menerimanya sebagai sahabat. Ia merasa tidak nyaman berada di dalam keadaan dimusuhi oleh masyarakat; ia ingin membuat semacam acara rujuk.

Akan tetapi, para anggota dewan kota tidak mempedulikannya karena ia adalah seorang pemungut pajak. Mereka mengucilkan dia dan menolak undangannya. Namun, karena ia adalah orang dengan jabatan cukup tinggi dan kaya raya, mereka harus memikirkan cara yang sopan untuk menolak undangannya. Apa pun alasannya, penolakan adalah sebuah penolakan, dan Bar Mayan sangat kecewa dengan sikap mereka. Tampaknya, pada saat undangan itu disampaikan, mereka tidak langsung menyatakan penolakannya. Mereka membiarkan sampai tiba hari perjamuan berlangsung. Pada hari yang dimaksud, tidak satu pun dari antara anggota dewan kota ini yang hadir di dalam pesta perjamuan Bar Mayan.

Nah, pesta itu sudah siap digelar dan Bar Mayan tidak ingin hidangan yang sudah tersaji itu terbuang percuma. Jadi, ia bertindak persis seperti yang diceritakan oleh Yesus di dalam perumpamaan. Ia memerintahkan para hambanya untuk pergi keluar dan membawa orang-orang miskin di kota (orang buta, lumpuh dan pengemis) ke rumahnya dan menikmati hidangan yang telah disiapkannya, hidangan yang telah ditolak oleh para anggota dewan kota.

Sekarang kita tahu bahwa perumpamaan ini memiliki latar belakang sebuah kisah nyata yang tertulis di dalam Talmud. Seperti yang sudah saya jelaskan, masa penulisan Talmud itu mungkin sezaman atau bahkan sebelum zaman Yesus. Jika memang demikian halnya, isi perumpamaan ini tentunya sudah sangat dikenal oleh orang-orang yang mendengarkannya saat itu. Seperti yang Anda ketahui, perumpamaan ini disampaikan tidak hanya kepada si tuan rumah saja, melainkan juga kepada semua tamu yang hadir di sana. Perumpamaan ini akan terasa lebih menyakitkan di telinga orang-orang Farisi ini karena mereka telah menolak Yesus. Mereka memperlakukan Yesus sama seperti seorang pemungut cukai, tetapi mereka tidak dapat mengucilnya karena Yesus sangat terkenal di kalangan rakyat bawah. Rakyat sangat mengagumi Yesus; orang-orang kelas bawah ini sangat menghormati dia. Para pemimpin tidak menghormatinya, tetapi mereka tidak dapat mengucilkan dia karena besarnya popularitas Yesus di kalangan rakyat jelata.

Hal semacam ini juga berlangsung sampai ke zaman kita, bukankah begitu? Anda dapat membuktikannya dengan mengamati kisah hidup John Wesley.


Harta benda, Uang dan Perkawinan Menggusur posisi Allah dalam Kehidupan

Sekarang mari kita teliti perumpamaan ini. Yesus mengatakan bahwa di dalam Perjamuan Mesianik itu, semua orang diundang untuk datang, bahkan para musuhnya pun diundang. Tidak ada yang dilewatkan. Akan tetapi, orang-orang yang diundang itu mulai mencari-cari alasan untuk menolak. Yang pertama berkata, “Aku telah membeli ladang (sebidang tanah) dan aku harus pergi melihatnya; aku minta dimaafkan.” Ia sangat sopan. Namun perlu Anda ketahui, apa pun alasannya — entah dengan cara sopan atau kasar — yang jelas itu adalah suatu penolakan. KetikaYesus mengundang orang untuk datang, saya melihat banyak orang yang secara sopan menolak undangan itu. Penolakan yang sopan sama fatalnya dengan penolakan yang kasar. Anda tidak akan berada di dalam Perjamuan itu.

Yang kedua berkata, “Aku telah membeli lima pasang lembu kebiri dan aku harus pergi mencobanya; aku minta dimaafkan.” Kelihatannya, ladang itu tidak bisa ditengok pada hari yang lain, dan kelihatannya juga, lembu-lembu itu pun tidak bisa dicoba pada hari yang lain, semuanya harus dikerjakan pada hari yang bersamaan dengan hari perjamuan.

Yang ketiga berkata, “Aku baru kawin dan karena itu aku tidak dapat datang.” Kelihatannya yang ketiga ini tidak sanggup untuk berpisah dari istrinya, walau hanya untuk beberapa jam saja selama menghadiri perjamuan! “Maaf, aku baru saja kawin,” dan dengan demikian ia tidak dapat hadir.

Mari kita periksa karakter dan isi dari alasan-alasan tersebut. Ada satu kesamaan yang terdapat di dalam ketiga alasan tersebut: ketiganya tidak ada rasa membutuhkan keselamatan. Pada masa kini, seringkali ketika Anda berbicara dengan orang lain, maka orang yang paling sulit dijangkau, orang yang tidak dapat Anda tolong, adalah orang yang tidak merasa bahwa ia membutuhkan pertolongan. Dokter tidak dapat menolong seseorang yang tidak merasa sakit sekalipun orang itu sedang sakit. Ia tidak merasa membutuhkan pertolongan. Apa yang harus Anda lakukan? Apakah Anda akan menyeret dan memaksanya untuk diobati? Tidak. Ia tidak merasa perlu diobati. Ia berkata, “Saya baik-baik saja.” Seseorang mungkin saja sedang sekarat akibat penyakit kanker, tetapi ia tidak merasakan apa-apa. Penyakit ini sudah menjalar di tubuhnya, tetapi ia merasa baik-baik saja, jadi ia tidak merasa perlu untuk diobati. Demikian pula hal yang terjadi dengan ketiga orang ini, ada satu kesamaan umum yang terdapat pada diri mereka. Mereka tidak merasakan adanya kebutuhan rohani.

Mengapa? Karena perhatian mereka tertuju pada hal-hal materi. Inilah poin yang ingin disampaikan oleh Yesus. Yang pertama perhatiannya tersita oleh ladang yang baru saja dibelinya. Ladang, di dalam pengajaran Yesus, mencerminkan pemilikan harta benda. Tanah adalah milik yang sangat mendasar di mana Anda dapat memakainya sebagai tempat untuk membangun rumah atau sebagai ladang, atau apapun juga. Harta yang paling utama. Bahkan sampai hari ini, orang-orang kaya tahu bahwa pemilikan tanah adalah pilihan yang paling baik untuk menanam modal. Jika Anda menyimpan kekayaan Anda dalam bentuk emas, harganya bisa naik dan bisa juga turun. Jika disimpan dalam bentuk saham, ini lebih berbahaya karena naik atau turunnya harga saham sangat cepat. Namun, jika Anda menyimpan kekayaan dalam bentuk tanah, ini adalah salah satu pilihan yang paling aman. Tanah adalah harta milik yang paling dasar. Jadi, pemilikan tanah di dalam perumpamaan ini dipakai sebagai gambaran tentang pemilikan harta benda duniawi dalam bentuknya yang paling dasar.

Orang yang kedua baru membeli lima pasang lembu kebiri. Lembu adalah salah satu alat produksi. Untuk zaman sekarang, mungkin dapat kita bandingkan dengan seorang petani yang baru saja membeli lima traktor, karena lembu dipakai untuk menggarap ladang. Percuma membeli ladang jika Anda tidak punya alat untuk menggarapnya. Jadi, lembu adalah gambaran dari alat produksi. Mereka melambangkan sarana untuk memperoleh penghasilan, alat bisnis. Jadi, orang yang pertama berkutat dengan harta bendanya, sedangkan orang yang kedua berkutat dengan bisnisnya.

Orang yang ketiga berkutat dengan perkawinannya. Perkawinan adalah hal yang diidam-idamkan oleh kebanyakan orang. Mereka bekerja dan menabung dengan harapan pada suatu hari nanti mendapatkan seorang istri, lalu anak, lalu menjalani kehidupan yang mapan.

Tidak ada salahnya menjalani kehidupan yang mapan. Menjalankan usaha dan memiliki harta benda juga bukan merupakan sebuah kejahatan. Yang salah adalah jika hal-hal tersebut menjadi sangat penting bagi Anda sehingga Anda mengabaikan Pesta Perjamuan Keselamatan Allah. Inilah poinnya. Bukan perkawinan itu yang dikecam. Memakai perkawinan sebagai alasan untuk menolak keselamatan Allah, itulah yang dikecam. Harta benda milik Anda bukanlah suatu kutukan, tetapi ketika harta benda itu dijadikan sebagai alasan untuk menolak keselamatan dari Allah, datanglah kutuk. Orang-orang itu memakai ketiga alasan ini untuk menolak keselamatan yang ditawarkan, dan setiap alasan terlihat cukup kuat. Mereka telah diperbudak oleh hal-hal tersebut. Harta benda, pekerjaan dan perkawinan telah menyita perhatian mereka. Ini adalah gambaran dari orang-orang yang belum mau berpaling dari dunia. Kita sudah melihat sebelumnya bahwa definisi pertama dari kebenaran adalah orang yang sudah meninggalkan keduniawian dan berpaling sepenuhnya kepada Allah. Sedangkan orang-orang ini sangat terikat pada perkara-perkara dunia sehingga mereka mengabaikan perjamuan Keselamatan Allah. Ini adalah hal yang sangat tragis!

Saya sudah sering melihat contoh nyata yang terjadi dalam kehidupan ini. Setiap perumpamaan dari Yesus berkaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari. Kita dapat mengamati kehidupan orang-orang muda yang masih duduk di bangku sekolah atau kuliah sebagai contoh. Saya sering melihat betapa besarnya semangat mereka dalam melayani Tuhan. Mereka sibuk melakukan banyak hal bagi Allah. Sangat banyak waktu yang mereka manfaatkan bagi Allah. Selalu saja ada kegiatan yang harus dikerjakan. Lalu mereka lulus kuliah. Selanjutnya, mereka mulai memiliki penghasilan dan membeli sebidang tanah; dan membangun rumah. Mereka membeli mobil, lalu menikah. Sejalan dengan kisah sukses duniawi mereka, semangat mereka bagi Allah juga semakin menurun. Secara perlahan mereka mulai mengabaikan keselamatan. Mereka menjadi dingin. Mereka bilang mereka sudah “semakin dewasa”. Kenyataannya, yang terjadi adalah bahwa mereka sudah “semakin duniawi”. Ini sering terjadi. Pada waktu saya masih kuliah dulu, ada banyak teman yang sangat bersemangat bagi Allah, mereka sangat sibuk berbuat ini dan itu bagi Allah. Sekarang ini, mereka sudah menjadi pengacara, pengusaha besar dan dokter — menjadi orang yang punya kedudukan penting di masyarakat. Seiring dengan peningkatan kedudukan di dunia, secara rohani mereka menjadi semakin dingin, dan beberapa malah sudah benar-benar murtad. Mereka tidak punya waktu lagi untuk datang ke Perjamuan Keselamatan Allah. Perjamuan Tuhan memang bagus, tetapi mereka tidak ada waktu untuk itu. Mereka sudah terikat dengan tanah, lembu dan istri-istri mereka. Ini adalah perkara yang sangat nyata.


Kebenaran: Merasa Sama Sekali Tidak Layak di hadapan Allah

Apa yang Yesus lakukan kemudian? Ia tidak memaksa mereka yang sudah menolak keselamatan, tetapi dia pergi keluar dan membawa orang-orang miskin, orang buta, orang lumpuh, orang-orang yang tidak berharga ke perjamuannya. Ini membawa kita pada definisi yang kedua dari kebenaran, yakni hal kelayakan [worthiness].

Dalam pandangan dunia, semakin tinggi kedudukan Anda, semakin Anda merasa layak atau berharga. Berhati-hatilah terhadap perangkap yang satu ini. Saat ini, mungkin Anda masih seorang mahasiswa atau pelajar. Dalam pandangan dunia, Anda masih bukan apa-apa selain orang yang tanpa gelar. Namun, ketika Anda lulus dan memperoleh gelar, Anda tiba-tiba merasa bahwa Anda telah menjadi “seseorang”. Sekarang Anda merasa layak! Anda berhak memakai toga dan topi yang berbentuk lucu di atasnya. Anda sekarang mempunyai selembar kertas dengan tulisan yang indah, yang dapat Anda pamerkan dalam bingkai emas. Kertas itu membuat Anda merasa berharga! Izinkan saya memberitahu Anda tentang satu hal. Tepat pada saat Anda merasa bahwa diri Anda layak, saat itu pula Anda mulai menimbun masalah di hadapan Allah. Orang-orang di dalam perumpamaan ini adalah orang-orang yang mendadak merasa diri penting karena sudah memiliki ladang, lembu atau sudah menikah. Ketika Anda menikah, tidakkah Anda merasakan bahwa tiba-tiba Anda telah mendapatkan satu status, Anda sekarang masuk ke golongan “senior”? Akhirnya! Orang-orang muda yang duduk di bawah sana harus mendengarkan omongan dari para “senior”, orang-orang yang sudah menikah. Sekarang Anda berhak untuk dipanggil “Bapak Anu”. Bagi yang wanita, jika sebelumnya Anda dipanggil “nona”, sekarang Anda dipanggil “nyonya”. Mendadak Anda sampai pada kedudukan yang lebih tinggi. Ini keadaan yang sangat berbahaya. Titik masuk dari penyakit rohani.

Jika Anda ingin menjadi orang benar di hadapan Allah, rendahkanlah diri Anda. Cara untuk mencapai puncak adalah dengan jalan menuju ke bawah. Nilailah diri Anda sesuai dengan cara pandang Allah terhadap Anda. Alasan mengapa Anda merasa seperti orang penting adalah karena Anda menilai diri Anda sesuai dengan pandangan orang lain terhadap Anda. Anda menilai diri Anda mengikuti cara penilaian dunia. “Berapa banyak orang yang lulus pendidikan tinggi? Ya, tidak terlalu banyak, dan saya adalah salah satu di antaranya. Berapa banyak yang mencapai gelar Master? Lebih sedikit lagi, tetapi saya termasuk yang mencapai gelar itu. Berapa banyak yang sampai ke gelar Doktor? Wah, sedikit sekali! Saya termasuk di antara yang sedikit ini, golongan elit.” Sebenarnya tidak ada yang salah dengan gelar Doktor. Tidak ada yang salah dengan gelar Master. Sama sekali tidak salah. Keluarga saya sendiri banyak yang bergelar Doktor. Akan tetapi, masalah akan muncul jika: semuanya itu membuat Anda merasa sangat layak, merasa seperti orang penting, merasa bahwa Allah sangat beruntung memiliki orang-orang seperti Anda, akibatnya Anda tidak lagi layak menjadi “orang benar” di mata Allah. Allah berpihak pada mereka yang memiliki kerendahan hati dan jiwa yang remuk. Pada saat kita merasa diri ini layak, saat itu pula kita menjadi tidak layak di mata Allah. Saya harap Anda menghayati prinsip ini. Ketika kita merasa sudah sampai di tujuan, itu berarti kita masih jauh dari tujuan itu secara rohani. Karena pada saat itu, kita cenderung untuk menilai diri ini mengikuti cara pandang orang lain terhadap kita, dan bukannya mengikuti cara pandang Allah. Karena orang-orang menghormati kita, lalu kita merasa layak untuk dihormati, merasa diri ini cukup penting.


Seberapa Layak Anda di hadapan Allah?

Ada tiga kategori orang yang terdapat di dalam perumpamaan ini. Kategori yang pertama adalah mereka yang menolak undangan dengan memberi pelbagai alasan. Perhatikan bahwa hanya ada satu makna yang tersirat di dalam penolakan mereka — urusan mereka lebih penting ketimbang tuan rumah yang mengundang mereka. Jika mereka memandang si tuan rumah ini lebih penting daripada urusan mereka, tentunya mereka pasti datang memenuhi undangannya. “Jika engkau yang mengundang, saya pasti datang. Saya tidak kuatir dengan urusan-urusan yang lain. Saya akan meninjau ladang, mencoba lembu atau menemani istri saya besok, atau lusa, atau minggu depan saja. Saya tidak akan melewatkan undanganmu!” Akan tetapi, mereka tidak menghargai si tuan rumah. Itulah hal pertama yang terungkap. Mereka berpikir, “Orang yang mengundang saya ini tidak berharga di mata saya. Jika saya memilih untuk datang, ia akan menikmati kehormatan dan kemuliaan saya.”

Ada orang yang merasa bahwa Allah dimuliakan karena keberadaan mereka sebagai orang Kristen. Mereka mengira diri mereka orang Kristen super. Allah sungguh beruntung karena mereka berada di tengah-tengah jemaat! Sial sekali! Mengertikah mereka apa itu kemuliaan Allah? Apakah mereka merasa bahwa kehadiran mereka akan menambah satu poin lagi kemuliaan Allah? Allah seperti apa yang mereka sembah? Ia adalah Pencipta langit dan bumi. Apakah Allah dimuliakan karena Anda ada di dalam gereja? Apakah karena Anda menjadi pendeta di dalam Gereja-Nya, apakah Ia mendapat tambahan kemuliaan? Apakah Ia dimuliakan karena berada bersama-sama Anda? Jika Anda memiliki sedikit pemahaman tentang Allah, Anda akan merasa, “Saya tidak layak membanggakan diri saya sebagai orang Kristen.” Sekarang lihatlah, orang-orang yang menerima undangan itu menilai si tuan rumah tidak layak untuk mengundang mereka dalam perjamuan makan. Sering kali, ketika kita mengundang orang-orang bagi Perjamuan Keselamatan, ketika kita mengundang mereka ke gereja, mereka berkata, “Saya tidak ada waktu.” Anda tidak punya waktu? Lihat saja nanti, kalau Allah sudah tidak ada waktu lagi untuk Anda, baru tahu rasanya!

Kategori yang kedua dari orang-orang yang diundang oleh Allah adalah mereka yang benar-benar merasa tidak layak. Orang miskin, orang cacat, orang buta dan orang lumpuh adalah orang-orang yang tidak memandang diri sebagai orang penting. Mereka tidak memandang diri mereka layak untuk dihormati. Ketika menerima undangan, mereka tidak mencari alasan untuk menolak. Mereka segera datang. “Wah, saya diundang? Yang benar?! Dia mengundang saya? Wah!” Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah menilai diri sendiri sebagai orang yang layak untuk menerima undangan itu. Orang-orang yang menyadari sepenuhnya bahwa mereka jauh dari kelayakan.

Anda seharusnya dapat melihat adanya suatu perkembangan di dalam perumpamaan ini. Mereka yang masuk kategori ketiga ini adalah orang-orang yang merasa sangat tidak layak sehingga disebutkan di dalam ayat 23, mereka harus dipaksa untuk masuk: mereka harus digiring masuk. Si tuan rumah berkata kepada hamba-hambanya, “Pergilah ke semua jalan dan lintasan dan paksalah orang-orang, yang ada di situ, masuk, karena rumahku harus penuh.” Ini menjelaskan tentang mereka yang masuk dalam kategori ketiga. Mereka adalah orang-orang yang merasa sangat tidak layak untuk menerima kasih karunia dan kemurahan Allah sehingga ketika Anda berkata, “Mari, Allah akan menerimamu,” mereka akan menjawab, “Saya tidak layak untuk itu. Saya sudah terlalu banyak berbuat dosa. Allah tidak akan menerima saya.” Anda perlu untuk menarik mereka dengan lembut dan memimpin mereka masuk ke dalam kerajaan Allah. Anda harus menggiring mereka dan berkata, “Ayo. Percayalah, sekalipun engkau tidak layak untuk itu, Allah mau menerimamu.”

Jadi definisi yang kedua dari kebenaran menurut ajaran Yesus sangatlah sederhana: semakin Anda merasa tidak berarti, semakin berharga Anda di mata Allah. Orang yang menilai diri mereka sangat berharga justru adalah orang yang paling tidak berharga. Orang yang paling dihargai oleh Allah adalah mereka yang sadar sepenuhnya bahwa diri mereka tidak berarti apa-apa. Ini tidak bersumber dari kerendahan hati yang palsu. Ini adalah perkara pengenalan diri, pemahaman atas keadaan diri sendiri. Allah tidak kagum dengan jumlah uang yang Anda miliki. Apakah Anda pikir Ia akan terkesan dengan hal itu? Orang lain mungkin akan terkesan, tetapi Allah bukan manusia. Ia tidak kagum melihat kekayaan Anda. Apakah Anda mengira bahwa Allah akan kagum dengan prestasi belajar Anda? Orang lain mungkin akan mengagumi prestasi Anda, tetapi apa artinya itu semua buat Allah? Allah menilai hati Anda, diri Anda yang sesungguhnya. Itulah yang diamati-Nya. Ia tidak menilai ijazah Anda. Ia mengamati langsung isi hati Anda dan menilai Anda dari sana. Seperti apa Anda sesungguhnya — kelemahan Anda, kekurangan Anda, keegoisan Anda — semua itu tercermin di dalam hati Anda. Isi hati itulah yang harus kita perhatikan karena memang hanya itu yang dinilai oleh Allah.


Kesimpulan: Jadilah Miskin di hadapan Allah

Kita akan menyimpulkan poin-poin dari khotbah hari ini.

Tidak ada kebahagiaan yang melebihi kebahagiaan menerima undangan dari Allah ke Perjamuan Keselamatan. Tak ada yang lebih penting daripada itu. Tidak ada sukacita yang lebih besar daripada itu, sebagaimana yang diucapkan oleh seseorang pada ayat 15,

“Diberkatilah orang yang akan makan roti di dalam Kerajaan Allah.” 

Berbahagialah orang yang mendapat tempat di dalam kerajaan Allah! Akan tetapi, siapa yang akan mendapat tempat di dalam kerajaan Allah? Tentu saja, mereka yang termasuk di antara orang-orang benar yang dibangkitkan, seperti yang tertulis dalam ayat 14. Lalu, siapa itu orang-orang benar? Orang benar adalah mereka yang miskin di hadapan Allah, seperti yang kita lihat di dalam Matius 5:3. Mereka yang miskin di hadapan Allah itulah yang memiliki kerajaan surga. Mereka itulah yang akan mendapatkan tempat di dalam Perjamuan Keselamatan Allah.

Akan tetapi, apa arti miskin di hadapan Allah? Pengertiannya dapat kita lihat dari kedua poin yang sudah didefinisikan dari kata “kebenaran”. Pertama, orang yang miskin di hadapan Allah adalah mereka yang sudah berpaling dari dunia karena cara berpikir mereka sudah berubah, mereka berpegang pada standar yang baru. Orang yang miskin di hadapan Allah adalah mereka yang sudah mengucapkan selamat tinggal bagi dunia, dan berkata “Ya”, kepada Allah. Bagi mereka, Allah merupakan pusat perhatian di hati mereka. Mereka hanya mengharapkan balasan dari Allah saja, bukan dari manusia. Mereka hidup sejalan dengan kehendak Allah. Apa pun yang mereka lakukan, tidak dilakukan demi mengejar pujian dari manusia. Sekalipun diperlakukan sewenang-wenang oleh orang lain, mereka tidak mengejar keadilan dari manusia; mereka hanya mengharapkan keadilan dari Allah saja. Perhatian mereka selalu tertuju kepada Allah saja di dalam segala perkara. Dan juga, karena orang-orang yang miskin di hadapan Allah ini sudah mengucapkan selamat tinggal kepada dunia, secara materi mereka juga miskin karena mereka tidak termasuk bagian dari dunia lagi. Yang menjadi kepunyaan mereka adalah Allah.

Yang kedua, mereka adalah orang-orang yang sangat menyadari betapa tidak layaknya diri mereka. Orang yang miskin di hadapan Allah adalah orang-orang dengan hati yang remuk redam, yang selalu sadar bahwa sebenarnya mereka tidak layak menerima kemurahan Allah, bahkan karunia yang terkecil sekalipun. Rasul Paulus memberi contoh yang nyata tentang hal ini. Anda tidak akan menemukan orang yang akan melebihi Paulus dalam hal menilai dirinya sendiri sebagai tidak layak. Anda hanya perlu melihat 1 Timotius 1:15, di mana ia berkata,

“… di antara mereka (orang-orang berdosa), akulah yang paling berdosa.”

Paulus memandang dirinya seperti itu karena pernah menganiaya Jemaat Allah. Paulus berkata, “Jika engkau merasa dirimu sangat berdosa. Saya jauh lebih parah daripadamu. Hal yang pernah kulakukan jauh lebih buruk daripadamu.” Di 1 Korintus 15:9 ia berkata,

“Sebab, akulah yang terkecil di antara rasul-rasul-Nya dan tidak layak disebut sebagai rasul karena aku menganiaya jemaat Allah.”

Ia masih belum memaafkan dirinya sendiri sekalipun Allah sudah memaafkannya. Artinya, Paulus tidak pernah melupakan hal itu. Ia selalu teringat akan hal itu, dan ini memberinya kerendahan hati. Ia selalu sadar bahwa dirinya sangat tidak layak bagi kerajaan Allah. Orang yang paling berharga di mata Allah adalah orang yang tahu bahwa dirinya sedikit pun tidak layak.

Di Matius 8:8, si komandan pasukan [perwira] berkata kepada Yesus, “Tuan, aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku.” Sikapnya ini sangat jauh berbeda dengan sikap orang-orang yang menerima undangan Perjamuan Allah, tetapi menolaknya. Ia merasa tidak layak untuk menerima Yesus datang ke rumahnya, padahal ia seorang kepala pasukan. Kepala seratus prajurit (Centurion) adalah jabatan militer yang cukup tinggi. Ia dapat saja berkata, “Aku seorang komandan pasukan, kedudukanku di atas rakyat jajahan ini.” Seorang perwira berhak untuk tampil menghadap Kaisar. Kedudukannya cukup tinggi untuk itu. Seorang perwira centurion biasanya berasal dari keluarga terhormat; keluarga bangsawan. Ada juga yang mencapai jabatan itu berdasarkan prestasinya sendiri. Namun, banyak yang memperoleh jabatan ini karena kedudukan keluarganya. Perwira centurion yang satu ini, sekalipun pangkatnya tinggi, tidak memandang bahwa ia adalah orang penting karena pangkatnya itu. Ia malah berkata, “Aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku.” Akan tetapi, ia kemudian dinyatakan layak dibandingkan dengan umat Israel. Yesus berkata,

“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai pada seorangpun di antara orang Israel.” (Mat 8:10)

Mari kita berdoa semoga Allah menyatakan kepada kita bagaimana keadaan kita yang sebenarnya, sehingga kita tahu harus bagaimana supaya bisa termasuk ke dalam golongan orang benar, dan supaya kita boleh mendapatkan tempat pada Perjamuan Keselamatan, dengan kasih karunia Allah.

 

Berikan Komentar Anda: