Pastor Eric Chang | Lukas 14:7-14 |

Menjadi layak untuk masuk ke dalam kerajaan Allah merupakan hal yang paling penting dalam keselamatan. Pertanyaannya adalah apakah diri Anda layak untuk masuk ke dalam kerajaan Allah? Jika belum, lalu bagaimana cara Allah membuat kita menjadi layak bagi kerajaan-Nya?

Kita akan membaca bersama Lukas 14:7-14.

Latar belakang dari ayat-ayat ini adalah undangan kepada Yesus ke pesta makan oleh seorang Farisi. Pada dasarnya orang-orang Farisi tidak terlalu dekat dengan Yesus dan hal ini dapat dilihat di Lukas 14:1, “semua yang hadir mengamat-amati dia dengan saksama. Sepertinya, tujuan dari undangan ini adalah untuk menyelidiki Yesus dengan lebih dekat. Jadi, tidak semua undangan diberikan dengan niat yang tulus, bukan karena kita sangat dihargai dan orang mau mengeluarkan biaya untuk mengajak kita makan-makan. Akan tetapi, bisa saja karena mereka ingin menempatkan kita di bawah kaca pembesar agar dapat secara langsung meneliti kita. Hal inilah yang sedang berlangsung di perjamuan makan ini. Yesus diundang makan oleh orang yang tidak akrab dengan dia dan tergolong dalam kelompok yang menentangnya, yaitu orang Farisi. Di awal perjamuan, Yesus melakukan suatu hal yang tidak menyenangkan hati mereka. Ia menyembuhkan seseorang yang menderita busung air. Lalu, di tengah acara perjamuan itu, Yesus menceritakan sebuah perumpamaan. Perumpamaan itu tercatat di ayat 7-14:

7  Kemudian, Yesus menceritakan sebuah perumpamaan kepada tamu-tamu undangan ketika Ia melihat bagaimana mereka memilih tempat-tempat duduk yang terhormat di sekitar meja makan, kata-Nya kepada mereka,
8 “Jika engkau diundang oleh seseorang ke sebuah pesta pernikahan, janganlah kamu duduk di tempat kehormatan karena tuan rumah itu mungkin sudah mengundang orang yang lebih terkemuka darimu.
9 Lalu, tuan rumah itu akan mendatangimu dan berkata, ‘Berikanlah tempatmu kepada orang ini!’ Dan, kamu pun harus pindah ke tempat yang paling rendah dengan merasa malu.
10 Namun, apabila kamu diundang, duduklah di tempat yang paling belakang supaya ketika yang mengundang engkau datang, ia akan berkata kepadamu, ‘Sahabat, pindahlah ke tempat yang lebih terhormat.’ Dengan demikian, kamu akan mendapat penghormatan di hadapan orang-orang yang duduk makan bersama denganmu.
11 Sebab, semua orang yang meninggikan dirinya akan direndahkan, tetapi ia yang merendahkan dirinya akan ditinggikan.”
12 Lalu, Yesus berkata kepada orang yang mengundang-Nya itu, “Bila kamu mengadakan jamuan makan siang atau makan malam, jangan mengundang teman-teman, saudara-saudara, kaum keluarga, atau tetanggamu yang kaya karena mereka akan membalasmu dengan mengundangmu untuk makan bersama mereka.
13 Akan tetapi, jika kamu mengadakan pesta, undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh, dan orang-orang buta.
14 Dan, kamu akan diberkati karena orang-orang ini tidak dapat membalasmu kembali; kamu akan mendapat balasannya pada waktu kebangkitan orang-orang benar.”

Pada intinya, Yesus mengatakan, “Jangan menyibukkan diri dengan mengundang orang-orang Farisi, atau kawan-kawan, atau kerabatmu yang biasanya kau undang. Aku tidak melihat ada orang miskin di sini. Lain kali, undanglah orang-orang miskin.” Dengan berbicara seperti itu, maka Yesus sudah memastikan bahwa orang tersebut tidak akan mau mengundangnya lagi kelak.


Sebuah Teguran atau Nasihat?

Apa yang sedang diajarkan oleh Yesus di sini? Anda dapat berkata bahwa ini bukan contoh diplomasi yang baik, bukan cara yang baik untuk berteman atau mempengaruhi orang. Paling tidak, ini bukanlah cara yang baik untuk berteman, tetapi malah membuat orang memusuhi Anda. Orang-orang yang sibuk berebut kursi kehormatan pasti merasa ditegur dengan keras. Malah tuan rumah juga mendapat teguran. Jadi, apa sebenarnya hal yang ingin disampaikan oleh Yesus? Apakah ini sekadar sebuah ajaran umum tentang menjadi rendah hati dan baik budi? Memang sangat baik jika kita menjadi rendah hati dan baik budi, tetapi apakah itu merupakan hal yang ingin disampaikan oleh Yesus? Apakah inti dari pengajaran Yesus di sini?

Perhatikan bahwa Yesus tidak sedang berbicara kepada murid-muridnya. Ia tidak sedang berbicara kepada orang Kristen. Perintah untuk merendah dan bermurah hati mungkin saja ditujukan kepada murid-muridnya karena mereka sudah diselamatkan, atau sedang dalam proses diselamatkan. 

Namun, di sini Yesus sedang berbicara kepada orang Farisi. Saat Yesus berbicara kepada orang Farisi yang memerlukan keselamatan, maka Yesus tidak akan hanya sekadar memberi mereka ajaran moral tentang bagaimana menjadi orang yang lebih baik. Yesus tidak akan mendorong mereka untuk melakukan lebih banyak perbuatan baik, seperti mengundang orang yang miskin dan cacat supaya mereka mendapatkan upah pada hari kebangkitan. Jika Yesus sedang berbicara dengan orang Farisi, hal yang dia bicarakan tentunya menyangkut masalah keselamatan, bagaimana caranya agar menjadi pantas bagi kerajaan Allah, bagaimana agar bisa masuk ke dalam kerajaan Allah, bagaimana agar dapat diselamatkan. Orang-orang Farisi tidak membutuhkan nasihat tentang moral. Mereka membutuhkan sesuatu yang jauh melebihi nasihat moral, lebih dari sekadar diajari tentang cara untuk merendah atau menjadi sedikit lebih baik.

Namun, jika Anda membaca buku-buku ulasan tentang hal ini, para pengulas selalunya mengira bahwa Yesus hanya sekadar memberikan nasihat moral kepada orang-orang Farisi itu. Padahal yang mereka butuhkan adalah keselamatan. Yesus sebagai Juruselamat yang agung menunjukkan keprihatinannya akan masalah ini dengan menyatakan kepada mereka jalan menuju hidup yang kekal padahal mereka adalah musuh-musuhnya. Yesus tidak mengecam musuhnya, tetapi malah menunjukkan kasih dan keprihatinannya kepada mereka. Yesus sedang menyatakan keselamatan atau jalan menuju hidup kekal kepada mereka. Banyak yang tidak melihat poin yang penting ini. Para pengulas Alkitab sangat sedikit membahas  bagian ini karena mereka mengira ayat-ayat itu hanya berbicara tentang masalah moral. Ini adalah sebuah kegagalan yang besar dalam memahami pengajaran Yesus.

Kita harus memahami latar belakang atau landasan dari pengajaran Yesus. Terdapat suatu urutan dalam perkembangan pemikiran. Persoalan besar kita adalah pemahaman yang  sangat kurang di dalam hal ajaran tentang keselamatan. Kita mengira sudah mengerti padahal sebenarnya belum sama sekali. Itulah persoalannya. Sama seperti orang-orang Farisi itu, kita merasa tahu apa itu keselamatan. Sama seperti mereka, kita merasa tidak perlu diajari lagi tentang keselamatan, padahal sama seperti mereka, kita sedang menjauh dari keselamatan. Sebenarnya orang-orang Farisi itu sangat membutuhkan pemahaman yang benar akan keselamatan sama seperti orang-orang Kristen sekarang ini membutuhkan pemahaman tersebut. Itu karena mereka ternyata masih belum mengerti arti keselamatan sebagaimana yang dimaksudkan oleh Yesus, dan juga oleh Paulus.


Tiga prinsip fundamental: Pembenaran, Pengudusan, Penghakiman

Terkandung di dalam pengajaran Yesus di sini, beberapa prinsip fundamental dalam hal keselamatan. Prinsip yang pertama adalah kita diampuni oleh karena kasih karunia Allah. Yang kedua, berlanjut dari pengampunan oleh kasih karunia Allah, harus terjadi perubahan perilaku sepenuhnya. Ini bukan sebuah pilihan; ini merupakan hal yang harus terjadi. Ada hubungan langsung antara pengampunan yang Anda terima dari Allah, dan perubahan perilaku sebagai akibat dari pengampunan itu.

Prinsip yang pertama disebut sebagai ‘pembenaran’, dan yang kedua adalah ‘pengudusan’, istilah yang jamak di lingkungan teologi. Akan tetapi, saya tidak ingin berhenti pada kedua istilah itu tanpa menjelaskan artinya. ‘Pembenaran’ adalah kasih karunia Allah di dalam mengampuni Anda. ‘Pengudusan’, sesuai dengan ajaran Alkitab, adalah bentuk perilaku, yaitu perilaku yang menjadi hasil dari pengampunan, yang menunjukkan bahwa pengampunan dari Allah memang sudah terjadi pada diri Anda. Bagaimana kita dapat mengetahui bahwa kasih karunia Allah sudah bekerja di dalam diri Anda? Hal ini dapat diketahui dengan mengamati perubahan perilaku Anda.

Prinsip yang pertama dapat disebutkan sebagai kasih karunia (atau anugerah) keselamatan dari Allah bagi Anda. Hal ini dapat diumpamakan seperti obat gratis. Ia memberi Anda obat. Obat itu tersedia bagi setiap orang dengan cuma-cuma. Anggaplah saat ini sedang terjadi sebuah wabah penyakit yang mematikan dan Allah berkata, “Ini karunia dari-Ku untuk kalian, obat yang akan menyembuhkan penyakit yang sedang mewabah. Setiap orang yang minum obat ini akan disembuhkan.” Sungguh luar biasa! Akan tetapi, kasih karunia itu tidak akan menghasilkan apa-apa sebelum Anda menelan obatnya. Kasih karunia tidak akan menghasilkan apa-apa bagi Anda sebelum ia masuk di dalam kehidupan Anda. Bagaimana cara obat bekerja? Obat itu masuk ke dalam pembuluh darah Anda. Ia akan sampai ke sumber penyakit dan menyerangnya, jika obat itu sudah Anda telan tentunya. Obat itu akan mulai menunjukkan hasilnya. Mungkin ia akan mempengaruhi keseimbangan hormon atau susunan biokimia di dalam tubuh Anda. Jika obat ini sudah Anda telan, ia akan mulai menunjukkan hasilnya. Hanya sekadar menerima obat itu dan mengantonginya, tidak akan menghasilkan apa-apa bagi Anda. Apakah Anda menerimanya? Ya, Anda sudah menerimanya. Ia sudah di dalam genggaman Anda. Lalu, Anda memasukkannya ke dalam kantong. Ia masih belum melakukan apa-apa bagi Anda. Dengan berkata bahwa Anda sudah menerima karunia dari Allah tidak akan ada artinya jika Anda hanya memasukkan karunia itu ke dalam kantong atau Anda taruh di lemari. Apakah Anda sudah menerimanya? Ya Anda sudah menerimanya. Di mana Anda meletakkannya? Di lemari! Banyak orang yang menerima karunia dari Allah dengan cara seperti itu!

Jika Anda menanyakan, “Apakah engkau sudah menerima kasih karunia Allah?”

 “Ya, saya sudah menerimanya!”

 “Apakah Anda sudah dibaptis?”

“Oh, ya! Saya sudah dibaptis! Saya bahkan bisa menyebutkan hari, tanggal, letak gereja serta nama pendeta yang membaptis saya!”

Pertanyaan yang seharusnya bukanlah apakah Anda sudah menerima kasih karunia melalui prosedur tertentu melainkan apakah Anda sudah memasukkan kasih karunia itu ke dalam hidup Anda sehingga kasih karunia itu mulai menunjukkan hasilnya. Kasih karunia itu semestinya menunjukkan hasil kerjanya di dalam diri Anda. Inilah hubungan antara ‘pembenaran’ dan ‘pengudusan’, hal yang sangat sedikit dipahami dan diyakini oleh jemaat zaman sekarang. Kita merasa sudah diselamatkan karena sudah menerima kasih karunia Allah. Kepastian dari hal itu bergantung pada apa yang Anda lakukan terhadap kasih karunia tersebut, apakah selanjutnya Anda memasukkan kasih karunia itu ke dalam hidup Anda dan membiarkannya mengubah hidup Anda. Apa bukti dari perubahan itu? Buktinya adalah berubahnya perilaku. Perilaku Anda menjadi berbeda.

Hal itulah yang disampaikan oleh Yesus ketika ia menceritakan tentang hamba yang tidak mengampuni di Matius 18:21-35. Hamba yang tidak mau mengampuni itu sudah menerima karunia pengampunan. Ia menerima pengampunan yang sepenuhnya. Akan tetapi, karunia itu tidak dimasukkan ke dalam hidupnya. Karunia itu tidak mengubah hidupnya. Kasih Allah tidak menembus hatinya dan tidak mendorongnya untuk berkata, “Ya Tuhan! Betapa besar kasih-Mu yang mau mengampuni orang yang begitu tidak layak untuk diampuni ini.” Semakin ia merenungkan hal ini, semakin kasih Allah akan mulai bekerja di dalam hidupnya dan mengubah kelakuannya. Itu sebabnya, ketika ada orang yang datang dan berkata, “Maaf, saya belum bisa melunasi hutang saya kepadamu,” semestinya ia mampu menanggapi dengan berkata, “Tidak masalah, aku sendiri baru saja mendapatkan pembebasan hutang yang jauh lebih besar daripada hutangmu. Lupakan saja soal hutang itu!” Jika itu tanggapannya, Anda sudah melihat hasil dari karunia pengampunan dari Allah di dalam hidupnya, yaitu hal yang ingin dilihat oleh Yesus di dalam diri semua orang yang sudah diampuni. Karunia itu mengubah hidupnya. Mengubah hati dan pikirannya. Akan tetapi, hal itu tidak terjadi di dalam kehidupan hamba ini. Ia sudah menerima karunia yang cuma-cuma itu, bukankah demikian? Ya, tetapi tidak ada hasilnya. Ia menolak untuk mengampuni orang lain. Ketika orang lain datang kepadanya dan berkata, “Maafkan saya,” ia malah berkata, “Tidak! Kamu harus masuk penjara sampai hutangmu lunas!” Sudahkah hamba ini menerima karunia pengampunan dari Allah? Jawabannya adalah ya dan tidak. Ya, dalam arti bahwa hamba ini sudah diampuni. Tidak, dalam arti — seperti kasus obat yang tidak ditelan — karunia itu dimasukkannya ke dalam kantong saja. Karunia itu tidak dimasukkan ke dalam hidupnya. Hatinya tidak diubah. Cara berpikirnya juga tidak diubah. Tidak ada yang berubah dari hidupnya. Ia masih tetap egois dan pendendam seperti sebelumnya, hal yang terlihat dari perilakunya yang sangat keterlaluan dalam menangani hutang temannya.

Lalu, apa akibatnya? Apakah ia diampuni? Tidak. Sekarang kita sampai pada prinsip fundamental yang ketiga: penghakiman. Oleh karena ia tidak mau mengampuni, maka pengampunan yang sudah diterimanya ditarik kembali. Inilah penghakiman Allah terhadapnya. Pesan ini tampaknya sudah tidak diterima lagi oleh kebanyakan orang Kristen pada zaman ini. Tampaknya mereka tidak tahu ada pesan seperti ini! Mereka masih berpikir, “Aku dapat diselamatkan cukup dengan pembenaran saja. Tidak peduli seperti apa kelakuanku nantinya, aku akan tetap dibenarkan. Sekalipun aku menghalangi kasih karunia Allah dan tidak membiarkan kasih karunia Allah masuk untuk mengubah hidupku, sekalipun aku tidak dikuduskan, aku akan tetap diampuni.” Anda tidak dapat lebih keliru daripada itu. Saya memohon kepada Anda supaya mau memahami masalah ini dengan jelas. Dengan berpikir seperti itu, maka itu berarti bahwa Anda sudah gagal memahami ajaran Yesus tentang keselamatan dan tentang bagaimana supaya kita layak masuk ke dalam kerajaan Allah.


Apakah kita Mengambil Kursi Terendah dan Mengundang orang-orang Miskin?

Lalu, apa yang sedang diajarkan oleh Yesus di dalam ayat-ayat ini? Apakah Anda akan menganggap bahwa Yesus memang mau berkata, “Lain kali kalau ada orang yang mengundangmu dalam pesta pernikahan, carilah tempat duduk yang paling rendah” dengan pengertian yang literal? Mengapa orang-orang itu harus menurutinya? Orang-orang Farisi itu semestinya berpikir, “Mengapa saya harus memilih tempat duduk yang paling rendah? Mengapa? Sebagai orang Farisi, orang penting di tengah masyarakat, saya harus duduk di tempat yang sesuai dengan posisi saya. Saya tidak boleh duduk di tempat yang rendah. Akan tetapi, bagaimana jika itu saya lakukan?” Anggaplah bahwa orang itu benar-benar melakukannya, lalu bagaimana? Apakah itu berarti ia sudah berbuat baik?

Lalu, apa gunanya pengajaran ini bagi kita jika kita tidak mengerti apa yang disampaikan oleh Yesus? Apa gunanya ajaran seperti itu? Tampaknya sangat tidak bermanfaat sejauh menyangkut kepentingan kita, bukankah begitu? Anda tentu pernah diundang dalam pesta pernikahan. Pada pesta pernikahan orang Tionghoa, orang-orang duduk mengitari meja bundar. Berilah saya petunjuk bagaimana menentukan kursi yang paling rendah di sini. Mana kursi yang paling rendah? Mana yang paling tinggi? Di meja yang bundar, sangat sulit untuk menentukan mana yang paling rendah dan yang paling tinggi. Lalu, bagaimana kita akan menjalankan ajaran ini? Lagi pula, di kebanyakan pesta pernikahan sekarang ini, para tamu mengambil tempat duduk sesuai dengan nama yang tertulis di kartu di atas meja. Anda tidak dapat berkata, “Aku akan mengambil kartu untukku dan memindahkannya ke meja lain.” Semua meja dan kursi untuk tamu sama saja. Saya tidak tahu bagaimana menentukan kursi yang paling rendah dan yang paling tinggi. Pengajaran ini tampaknya tidak berguna bagi saya. Tidak dapat saya terapkan di konteks masa kini. Satu hal lagi, berapa kali dalam hidup Anda, Anda akan mendapat undangan pesta perkawinan?  Lima kali? Enam kali? Dengan kata lain, mungkin hanya lima atau enam kali dalam hidup ini Anda dapat menjalankan ajaran dari Yesus tentang hal ini. Apakah itu berarti bahwa pengajaran tentang hal ini hanya dapat dijalankan selama sekitar dua jam dalam satu malam itu, dan hanya terjadi sebanyak lima atau enam kali di dalam hidup Anda? Semakin Anda memikirkannya, semakin tidak berguna tampaknya ajaran yang satu ini. Tidak banyak yang bisa dilakukan dengan ajaran yang ini. Sekalipun saya ingin menjalankannya di dalam setiap kesempatan yang tersedia, saya tetap tidak bisa menjalankannya karena tidak tahu bagaimana mencari kursi yang paling rendah.

Mari kita periksa bagian selanjutnya yang menyangkut urusan mengundang orang-orang miskin. Di Kanada, bagaimana Anda dapat menjalankan ajaran ini? Anggaplah kita sedang mencari orang-orang cacat dan miskin untuk mengundangnya makan di gereja. Seorang buta bisa saja memiliki kekayaan yang lebih besar daripada saya. Jika orang itu mengalami kebutaan akibat kecelakaan, ia mungkin akan memperoleh 100.000 dolar uang kompensasi, dan itu akan membuatnya jauh lebih kaya ketimbang sebagian besar dari kita. Bagaimana Anda akan menjalankan ajaran ini di Kanada? Jadi, mungkin Anda akan menatap ayat-ayat itu dan berkata, “Tidak ada gunanya. Lebih baik kita menjalankan ayat-ayat yang lainnya. Pengajaran Yesus di dalam ayat-ayat ini tidak relevan. Mungkin cocok pada zaman itu, atau mungkin juga cocok untuk belahan bumi yang lain. Jika Anda pergi ke India, mungkin Anda dapat menerapkannya. Di India mungkin Anda dapat menemukan banyak orang buta yang miskin, jadi Anda bisa mendapatkan cukup banyak pengemis untuk diundang. Dikatakan, “Jika engkau mengadakan perjamuan makan” di ayat 12 — berapa kali Anda mengadakan perjamuan makan di dalam hidup Anda? Sangat jarang tentunya. Kapan biasanya Anda mengadakan pesta? Mungkin pada saat pernikahan Anda, atau anak Anda, benar tidak? Jadi, Anda mungkin akan berkata, “Baiklah, pada pesta pernikahan saya, akan saya kumpulkan pengemis dan membawa mereka ke pesta pernikahan saya dalam rangka memenuhi ajaran Yesus.” Di Kanada, Anda akan mengalami kesulitan untuk menjalankannya, karena memang susah menemukan pengemis. Jadi, untuk dapat menjalankan ajaran ini, Anda mungkin harus pergi ke India untuk melaksanakan pesta pernikahan Anda, dan di sana Anda bisa mengundang banyak orang miskin, dan Anda boleh merasa lega. “Nah, saya akan menerima balasannya pada hari kebangkitan orang-orang benar hanya untuk satu pesta makan dalam hidup ini. Saya kan sudah mengundang para pengemis!” Apakah hanya karena Anda pernah mengadakan ‘pesta makan’ seperti yang tertulis di ayat-ayat itu, maka Anda sudah menjalankan pengajaran ini? Jika demikian halnya, keseluruhan bagian ini menjadi tidak ada gunanya. Kita tidak punya banyak kesempatan untuk melakukannya. Jika Anda terlalu miskin untuk mengadakan pesta makan, Anda harus merelakan kesempatan pelaksanaan itu kepada orang-orang kaya. Kita tidak dapat melaksanakannya karena siapa di antara kita yang mampu untuk sering mengadakan perjamuan makan? Sekarang Anda dapat melihat masalah yang muncul jika kita meneliti pengajaran tersebut dengan cara ini karena akan terdapat banyak kesulitan untuk menerapkannya. Bukankah demikian?


Penghakiman Berdasarkan Kekudusan

Kita sudah melihat adanya tiga poin dalam proses keselamatan. Yang pertama adalah ‘pembenaran’, yang kedua adalah ‘pengudusan’ dan yang ketiga adalah ‘penghakiman’. Sangatlah penting untuk memahami hubungan antar poin-poin tersebut di dalam pengajaran Yesus di sini, bukan hanya hubungan antara poin yang pertama dengan yang kedua, yaitu pembenaran dan pengudusan, melainkan juga antara yang kedua dengan yang ketiga, yaitu pengudusan dengan penghakiman. Dalam memahami hubungan antara poin yang pertama dengan yang kedua saja, gereja sekarang ini sudah mengalami kesulitan, apa lagi memahami hubungan antara poin yang kedua dengan yang ketiga. Allah akan menangani Anda dengan cara yang sama seperti Anda menangani orang lain. Jadi, mengenai hamba yang tidak mengampuni itu, hubungan antara poin yang pertama dengan yang kedua seharusnya mendorong dia untuk mengampuni. Namun, hubungan antara poin yang kedua dengan yang ketiga akhirnya berlangsung dengan landasan tidak ada pengampunan, jadi Allah menangani dia dengan cara yang sama sebagaimana ia tidak mengampuni orang lain. Apakah hal ini sulit untuk dipahami? Saya rasa tidak. Hanya perlu sedikit pemikiran. “Jika engkau tidak mengampuni orang yang bersalah kepadamu,” kata Yesus ketika merangkum perumpamaan tersebut, “engkau pun tidak akan diampuni.” Sekalipun Anda sudah diampuni sebelumnya, pengampunan itu akan dibatalkan. Jika Anda tidak mengampuni, Anda juga tidak akan diampuni. Itulah hubungan antara poin yang kedua dengan yang ketiga. Perilaku Anda akan menjadi dasar untuk menentukan penghakiman atas diri Anda.

Ini merupakan hal yang dengan tegas dinyatakan pula di dalam perumpamaan kali ini pada ayat 11.

Sebab, semua orang yang meninggikan dirinya akan direndahkan, tetapi ia yang merendahkan dirinya akan ditinggikan.”

Itulah tanggapan Allah terhadap perilaku Anda pada Hari Penghakiman nanti. Ia akan merendahkan Anda. Ia akan mempermalukan Anda. Di dalam Perjanjian Lama, ‘dipermalukan’ sama dengan ditolak; masuk di bawah kutukan Allah. Akan tetapi, “ia yang merendahkan dirinya akan ditinggikan“. Tingkah laku Anda akan menentukan bagaimana Allah akan menangani Anda nanti, apakah Anda akan mendapat penghargaan atau hukuman. Itulah hubungan antara poin kedua dengan yang ketiga, dari pengudusan menuju penghakiman.

Sangatlah penting bagi kita untuk memahami hal ini, saudara. Sangat-sangat penting. Jangan pernah mengira bahwa karena Anda sudah diselamatkan, maka tingkah laku Anda selanjutnya tidak menjadi persoalan lagi. Inilah pandangan yang sangat meluas di gereja-gereja, dan cara pandang seperti ini sangatlah fatal. Sangat fatal, jika Anda memahami pengajaran Yesus dan juga Paulus. Cara pandang ini sangat mematikan! Allah memperhatikan tingkah laku Anda. Ia memperhatikan perilaku Anda, dan Ia akan menentukan kelayakan Anda untuk masuk ke dalam kerajaan berdasarkan perilaku Anda. Jika Anda meninggikan diri, Ia akan menjatuhkan Anda pada hari penghakiman. Itulah poin yang sedang diajarkan oleh Yesus di sini. Hal itulah yang sedang dikatakan oleh Yesus kepada orang-orang Farisi yang mengira dirinya sudah selamat. Itu sebabnya mengapa Yesus tidak membuang-buang waktu dengan membahas hubungan antara poin pertama dengan yang kedua. Yesus langsung membahas hubungan antara poin yang kedua dengan yang ketiga. Ia sedang berkata, “Kamu pikir kamu sudah selamat, bukankah begitu? Coba lihat tingkah lakumu. Saat diundang ke pesta makan, engkau mengejar kursi yang tertinggi, karena ingin meninggikan dirimu. Kamu pikir kamu akan diselamatkan? Apa betul begitu? Engkau ahli agama, orang-orang yang religius, orang-orang Farisi, tetapi kelakuanmu justru membuktikan bahwa engkau tidak layak bagi kerajaan Allah. Mengapa? Tidakkah kamu tahu bahwa orang yang meninggikan dirinya akan direndahkan oleh Allah pada hari penghakiman? Apakah kamu belum tahu akan hal ini? Jika belum, sekarang kuberitahukan. Keselamatan kalian sedang dipertaruhkan.” Hal inilah yang sedang disampaikan oleh Yesus pada saat itu.

Kita menyadari bahwa Yesus sedang membicarakan tentang kebenaran rohani kepada mereka. Ia tidak sekadar berbicara tentang contoh-contoh moral yang baik tentang bagaimana memperbaiki perilaku. Ia sedang menyatakan bahwa kelakuan mereka menunjukkan bahwa mereka tidak selamat. Mereka tidak akan selamat kecuali jika mereka berubah dan membiarkan kasih karunia Allah bekerja sepenuhnya di dalam hidup mereka dan mengubah mereka. Tanpa kasih karunia Allah bekerja sepenuhnya di dalam diri mereka, maka mereka tidak akan pernah berhasil. Mereka tidak akan pernah layak untuk masuk ke dalam kerajaan Allah. Bagi gereja pada zaman sekarang, tidak ada pesan yang lebih penting daripada pesan ini, saudara-saudara. Kebanyakan orang Kristen dengan ceroboh berkata, “Kita sudah selamat. Kita akan masuk ke surga. Jatah tempat untuk kita sudah dipastikan!” Sekalipun tingkah laku kita sangat memalukan, entah di tempat kerja atau di sekolah, atau sekalipun Kekristenan kita tidak menghasilkan apa-apa yang membuatnya layak disebut sebagai ‘terang dunia’ atau ‘garam dunia’, kita masih menganggap diri ini tetap selamat. Garam yang menjadi hambar, garam yang seharusnya berfungsi sebagai garam, tetapi ternyata gagal, tidak akan layak bagi kerajaan. “Tidak layak untuk apa pun juga,” kata Yesus. Tidak layak tentunya berarti tidak akan masuk ke dalam kerajaan. Garam itu sudah tidak berguna lagi. Sekalipun ia pernah menjadi garam sejati, dan sekarang ini masih terlihat sama seperti garam yang lain, sekalipun masih bernama garam, tetapi karena telah menjadi hambar, maka Yesus berkata, “Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang” (Mat 5:13b). Ia hanya layak untuk dibuang. Ia tidak pernah dipakai lagi. Riwayatnya sudah tamat. Akan tetapi, kita masih dengan santainya berkata kepada diri sendiri, dan kata-kata ini sering terdengar di gereja, “Kita adalah umat pilihan.” Yesus menyampaikan perumpamaan ini kepada orang-orang Farisi yang memandang diri mereka sebagai orang-orang terpilih. Orang-orang Farisi sangat yakin bahwa mereka merupakan umat pilihan di antara bangsa Israel. Mereka memandang diri sendiri sebagai golongan istimewa di dalam lingkungan keagamaan masyarakat, sama seperti kita yang memandang diri seperti itu. Akan tetapi, Yesus berkata, “Tingkah lakumu menunjukkan hal yang sebaliknya. Engkau bukan sekadar tidak layak menilai diri istimewa, malahan engkau sudah seperti garam yang menjadi hambar dan hanya pantas untuk dibuang.” Kata-kata yang sangat tegas! Apakah Anda mengira bahwa ayat-ayat itu hanya berbicara tentang nasihat moral? Anda akan memandang seperti itu jika Anda tidak memahami dasar ajaran Yesus. Bagian ini jauh dari sekadar mengajari orang bagaimana supaya bisa lebih rendah hati atau murah hati.


Diselamatkan oleh Iman yang Bekerja oleh Kasih

Bukankah keselamatan itu oleh iman? Bukankah keselamatan itu sekadar menerima kasih karunia Allah dengan iman? Jadi, apakah keselamatan ditentukan oleh jumlah undangan kepada kaum pengemis untuk pesta makan? Apakah ditentukan oleh posisi kursi yang kita pilih di pesta makan? Apakah keselamatan ditentukan oleh hal-hal seperti ini? Izinkan saya memberi jawaban yang mengejutkan. Jawaban atas pertanyaan ini adalah, “Benar, saudaraku. Karena Yesus yang berkata seperti itu, bukan saya.”

Anda berkata, “Bagaimana mungkin? Apakah itu berarti bahwa keselamatan itu lewat perbuatan baik?”

Tidak sama sekali.

Namun, Anda akan menyahut, “Apa yang disebutkan itu semuanya adalah contoh perbuatan.”

Pada zaman sekarang ini, gereja bermain-main dengan istilah-istilah seperti ‘iman’ dan ‘perbuatan’, tanpa memahami apa arti iman dan juga apa arti perbuatan itu. Kita bermain-main dengan istilah yang artinya tidak kita pahami sama sekali. Kita mengira jika kita menyebutkan hal-hal seperti ‘perbuatan’, maka kita membicarakan sesuatu hal yang penting secara teologis sekalipun kita tidak tahu apa yang sedang kita bicarakan. Apa sebenarnya yang sedang kita bicarakan ini? Yesus berkata bahwa jika kita memiliki iman, hal itu akan tercermin dari tingkah laku kita. Jika kita belum diubah, kita tidak akan memilih kursi yang paling rendah dan mengundang orang-orang miskin ke pesta makan. Kita perlu tahu betapa tegasnya ajaran Yesus yang disampaikan di ayat-ayat ini. Jika kita memiliki iman sebatas pengakuan, iman yang mati, perilaku kita tidak akan berubah, dan iman yang mati tidak menyelamatkan siapa pun. “Perbuatan” bukanlah kata-kata yang bermakna buruk. ‘Diselamatkan oleh perbuatan?’ Apa sebenarnya yang sedang kita bicarakan? Kita tidak diselamatkan oleh ‘perbuatan baik’, tetapi ‘perbuatan baik’ adalah perwujudan, atau bukti dari iman yang menyelamatkan.

Lalu, kita mengutip ucapan Paulus tentang ‘perbuatan/pekerjaan’. Sulit dipercaya begitu banyak omong kosong yang saya dengar tentang istilah yang satu ini. Jika ada orang yang ingin membahas tentang perbuatan dalam pengajaran Paulus, sebaiknya ia mempelajari dengan saksama supaya ia tahu apa yang Paulus maksudkan dengan perbuatan atau pekerjaan. Setiap kali Paulus berbicara tentang pekerjaan atau perbuatan, ia sangat berhati-hati dalam membedakan antara dua macam pekerjaan atau perbuatan itu. Yang satu adalah ‘melakukan hukum Taurat’ dan yang satunya lagi adalah ‘perbuatan iman’. Anda tidak dapat sembarangan berbicara tentang perbuatan baik tanpa menegaskan perbuatan baik jenis yang mana yang sedang Anda bicarakan.

Paulus berkata kepada kita, “Engkau tidak dibenarkan di hadapan Allah oleh karena melakukan hukum Taurat. Karena dengan mengandalkan hal itu berarti engkau tidak menempatkan imanmu kepada Kristus melainkan kepada hukum Taurat. Perbuatanmu bisa saja dinyatakan sebagai ungkapan iman, tetapi bukan iman karena karya penyelamatan Kristus, melainkan iman kepada hukum Taurat. Namun, karena engkau menempatkan imanmu kepada hukum Taurat, maka hukum Taurat itu tidak akan menyelamatkanmu. Barangsiapa yang berada di dalam Kristus, ia tidak akan masuk ke dalam kutuk hukum Taurat, tetapi hukum Taurat juga tidak akan menyelamatkanmu.”

Namun, di luar itu, Paulus juga membahas tentang perbuatan baik dari jenis yang lain yang sangat penting bagi setiap orang Kristen. Ia berkata,

Kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Yesus Kristus untuk melakukan pekerjaan baik yang dipersiapkan Allah sebelumnya supaya kita bisa hidup di dalamnya. (Ef 2:10)

Semuanya ini merupakan “pekerjaan atau perbuatan iman”, iman yang bekerja oleh kasih. Akan tetapi, begitu banyak orang yang berbicara mengenai “diselamatkan oleh perbuatan,” tetapi apa yang sedang mereka katakan? “Perbuatan atau pekerjaan” apa yang sedang Anda bicarakan? Hampir tidak mungkin untuk berdiskusi dengan orang yang menggunakan istilah-istilah ini tanpa mengetahui apa pun. Justru yang dibicarakan oleh Yesus adalah “pekerjaan iman”. Tanpa “pekerjaan” demikian, Anda bisa saja berbicara tentang iman sebanyak yang Anda mau, tetapi iman itu tidak akan menyelamatkan Anda. Karena iman itu mati, dan iman yang mati tidak akan menyelamatkan siapa pun. Itulah seluruh pengajaran Kitab Suci.


Perilaku yang diubah oleh Iman: Kerendahan Hati

Perhatikan apa yang sedang disampaikan oleh Yesus. Menurut Yesus, perubahan perilaku merupakan hal yang mustahil jika kasih karunia Allah tidak bekerja dengan kuat di dalam hidup Anda. Kasih karunia akan mewujudkan dalam diri kita iman yang mendalam kepada Allah, dan iman kepada Allah ini menyatakan dirinya di dalam kerendahan dan kemurahan hati yang sejati. Anda tidak akan dapat memiliki kerendahan dan kemurahan hati jika kasih karunia Allah tidak mengubah Anda dan menumbuhkan iman Anda sehingga Anda benar-benar dapat menjadi rendah hati dan juga murah hati. Jika Anda tidak percaya, buktikanlah sendiri dengan mencoba untuk menjadi rendah hati. Anda tidak akan mungkin menjadi rendah hati. Kerendahan hati yang sejati bersumber dari dalam hati. Ia tidak diukur berdasarkan seberapa rendah Anda membungkuk. Itu hanya tampilan luar. Saya dapat berkeliling dengan punggung terbungkuk dan mengundang komentar orang lain, “Wah, dia ini sangat rendah hati.” Walau sebenarnya saya masih sepenuhnya sombong dan jahat di dalam. Ada banyak orang yang luar biasa sombongnya dan mereka masih berani menyebut diri rendah hati. Sikap ini mirip sekali dengan sikap orang Farisi. Itulah yang disebut kemunafikan. Kerendahan hati yang sejati datang dari dalam diri. Jangan pernah menilai seseorang dari bungkukan punggungnya. Ada orang yang berdiri sangat tegak, tetapi sangat rendah hati. Saya sendiri perlu belajar untuk bersikap tegak karena postur tubuh saya membungkuk. Untuk itu, kadang kala saya memasang alat pelurus punggung, dan suatu saat nanti, Anda mungkin melihat saya sudah mampu berdiri tegak. Akan tetapi, jangan menilai bahwa karena punggung saya sudah menjadi lebih tegak, maka saya juga menjadi lebih sombong. Perlu dasar penilaian yang berbeda untuk mengetahui kerendahan hati atau kesombongan, bukannya melalui bentuk punggung. Kerendahan hati yang sejati berasal dari dalam, jika di dalam tidak ada sikap itu maka yang hadir bukan kerendahan hati melainkan kepura-puraan. Saya tidak dapat menjadi rendah hati jika tidak memiliki iman kepada Allah yang telah mengubah saya. Apakah Anda menyadari hal itu? Saya tidak akan dapat memiliki kerendahan hati yang sejati seperti yang dimaksudkan oleh Yesus, kecuali jika saya punya iman. Buat apa saya memilih kursi yang paling rendah? Apa jawaban yang diberikan oleh Yesus?  Karena saya mengimani bahwa Allah akan meninggikan saya. Tindakan ini membutuhkan iman. Mengapa saya tidak berani meninggikan diri? Satu-satunya alasan adalah karena saya memiliki iman kepada Allah. Jika saya tidak memiliki iman kepada Allah, adakah hal yang akan mampu menahan saya dalam menyombongkan diri? Tidak ada!

Kenyataannya, seluruh dunia berpikir di dalam kerangka mementingkan diri sendiri. Ketika Anda diundang dalam sebuah perjamuan oleh kantor, Anda tidak mau memilih kursi yang paling rendah. Jika Anda memilih kursi yang paling rendah, dunia akan berkata, “Kalau mau duduk di situ, silahkan saja! Kalau yang itu masih belum cukup rendah, sekalian saja pergi keluar dan duduk bersama para pembantu. Kami tidak keberatan.” Saya yakin Anda tentu pernah membaca buku-buku tentang orang-orang yang sukses di dunia. Sangat berbeda cara pemikiran orang dunia dengan pengajaran Alkitab. Di dunia, untuk dapat meraih sukses, Anda harus mementingkan diri sendiri. Anda harus menunjukkan bahwa Anda memang punya segala yang dibutuhkan untuk dapat mencapai puncak. Anda harus menunjukkan gaya Anda. Jika orang melihat gaya Anda, mereka akan berkata, “Hmm, orang ini memang mantap.” Jadi, ketika mereka membutuhkan orang untuk jabatan puncak di perusahaan, maka mereka akan berpikir, “Ini orang yang kami cari. Dia punya gaya. Ia punya segala yang kita butuhkan.” Anda harus menunjukkan warna yang berbeda untuk bisa tampil di dunia. Ketika sedang berbicara, Anda harus menunjukkan betapa cerdasnya Anda dan betapa cepatnya otak Anda memecahkan masalah. Jika ada orang yang tidak menghormati Anda, Anda segera menanganinya sesuai prosedur. Begitulah cara untuk mendapatkan penghormatan. Kapan Anda bisa memperoleh penghormatan di dunia ini jika terus saja memilih kursi yang paling rendah? Cara begini jelas sia-sia. Orang-orang akan menilai, “Dia ini orang gila. Ajaran agamanya pasti sudah merusak otaknya!”

Di dunia ini rahasia menuju sukses adalah dengan memperlihatkan bahwa Anda sudah sukses. Jadi, sekalipun terlalu mahal, berusahalah untuk memakai stelan jas yang mahal. Orang-orang di Hong Kong paham sekali akan hal ini. Mereka tidak perlu diajari dalam urusan ini. Mereka bahkan sanggup mengajari saya tentang urusan ini sepanjang hari. Harga mobil mewah terlalu mahal? Harus tetap diusahakan, sekalipun harus berhutang. Jika keluar rumah, Anda tidak ingin bepergian dengan mengendarai kaleng rombeng. Anda ingin menyetir dengan penuh gaya, naik Mercedes, dan Anda lalu membuka pintu dengan anggun, dan melangkah keluar. Gaya menjadi sangat penting, dan ekspresi wajah Anda juga sangat penting. Anda tidak boleh mendatangi penjaga pintu dengan malu-malu, “Selamat pagi. Bagaimana kabarnya?” Omongan seperti itu menunjukkan bahwa Anda tidak berkelas. Ekspresi Anda harus berwibawa, dan Anda harus melangkah seanggun macan. Saya yakin, Anda tentu pernah mendengar istilah ini — melangkah seperti harimau. Anda harus menunjukkan wibawa, bahkan sampai pada cara Anda melangkah. Ketika duduk di kursi, Anda duduk dengan cara yang khusus. Terlihat santai, tetapi penuh gaya. Memperlihatkan bahwa Anda orang yang dekat dengan kekuasaan. Bahwa Anda bergaul dengan kalangan atas. Anda tidak hadir dengan penampilan yang kumuh. Anda tampil penuh dengan gaya setiap saat. Tentu saja, suatu saat, ketika mereka sedang mencari orang yang tepat untuk posisi General Manager, mereka akan berpikir, “Ini dia orangnya! Dia punya segalanya. Ia punya semangat dan keberanian. Dia orang yang dinamis.”

Jadi, jika Anda menerapkan ajaran Yesus, riwayat Anda berakhir! Jika Anda datang sebagai orang yang rendah hati, mereka akan menendang Anda keluar. Jika Anda memilih tempat yang rendah, mereka akan menginjak punggung Anda dan memanjat ke atas. Jika Anda ingin merendahkan diri di hadapan mereka, mereka akan senang sekali. Mereka membutuhkan batu loncatan. Jika Anda membungkuk, mereka akan menginjak punggung Anda. Itu sebabnya saya berkata bahwa iman dibutuhkan untuk bisa memiliki kerendahan hati. Kerendahan hati yang sejati harus berlandaskan iman. Jika tidak, Anda akan menjadi seperti kebanyakan orang Kristen — tidak terlalu sombong dan tidak terlalu rendah hati. Bukankah Aristoteles mengajarkan kita tentang ‘titik tengah’, zhong dao dalam ajaran etikanya? Ia mengajarkan agar kita tidak menjadi terlalu sombong, tetapi juga tidak terlalu merendah. Mereka berpikir, “Saya harus menjadi sedikit Kristen dan sekaligus juga realistis dalam menghadapi keadaan. Saya tidak mau diinjak-injak oleh orang-orang ini. Akan tetapi, saya juga harus tetap terlihat sebagai orang Kristen. Jadi saya akan bersikap lebih ramah lagi nanti. Saya akan memperlunak ekspresi wajah saya. Saya masih akan bergaya, tetapi dengan cara yang lebih halus. Dengan cara ini, maka saya juga masih bisa berhasil. Sekalipun mereka tidak memilih saya untuk jabatan General Manager, saya masih berpeluang untuk jabatan Asisten General Manager. Menjadi orang Kristen perlu pengorbanan, bukan?”

Dibutuhkan iman untuk bisa menjadi orang Kristen sejati. Kehidupannya sangatlah berat. Apakah Anda mengira perkara menjadi rendah hati itu gampang? Tidak! Tanpa mengimani bahwa Allah akan meninggikan Anda, maka Anda tidak akan berani menjalani hal ini. Anda akan dipandang sebagai orang bodoh di dunia ini. Orang gila! Coba saja jalankan jika Anda mendapat kesempatan dalam sebuah pesta, dan lihatlah apa yang akan terjadi. Coba jalankan ini di lingkungan perusahaan Anda. “Apakah Anda lebih suka duduk di sini? Tidak ada orang yang mau duduk di sini. Apakah Anda merasa lebih nyaman duduk di sini? Lanjutkan saja kalau begitu! Akan selalu ada orang yang mau mengambil posisi Anda. Kami tidak ambil pusing dengan itu.” Anda harus punya iman jika ingin melakukan hal ini. Kerendahan hati yang sejati adalah suatu ‘tindakan iman’. Yesus di dalam pengajarannya menyentuh pada titik yang paling mendasar yang menyangkut keberadaan kita. Hal apa yang paling penting di dalam hidup Anda di dunia ini? Status sosial, bukankah begitu? Jadi, hal yang paling penting adalah status sosial Anda.


Perilaku yang diubah oleh Iman: Kemurahan Hati

Mari kita lihat pokok yang kedua. Apa lagi hal yang penting bagi kita? Uang, tentu saja. Apa yang disampaikan oleh Yesus di sini? Kemurahan hati. Bagaimana Anda mempergunakan uang Anda? Apakah Anda mengira kemurahan hati itu bisa dilakukan tanpa iman? Kemurahan hati yang sejati, bukan kemurahan yang didorong oleh rasa bersalah, hanya dimiliki oleh orang mempunyai iman yang sejati. Dari mana mereka mengharapkan balasan? Hal itulah yang sedang dibahas oleh Yesus di kalimat terakhir dari perumpamaan ini, di ayat 14. Kapan Anda akan memperoleh balasan? Anda akan mendapatkannya pada hari kebangkitan orang benar. Hari kebangkitan orang benar! Kapan itu? Saya perlu dana pada akhir bulan ini, tetapi balasannya baru akan diberikan pada hari kebangkitan orang benar? Kalau Anda tidak punya iman, bagaimana Anda dapat menjalankan ajaran ini? Mungkin Anda akan berpikir, saya tidak yakin apakah saya akan dibangkitkan atau tidak.  Atau, saya bahkan tidak punya cukup iman untuk percaya pada kebangkitan, dan saya diberitahu bahwa balasan untuk saya baru akan diberikan pada hari kebangkitan? Pengajaran Yesus memang mustahil dijalankan tanpa iman. Disebutkan di sini undanglah orang-orang miskin… karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya kepadamu. Biasanya hal yang penting bagi kita adalah kita mendapatkan sesuatu sebagai balasan. Saya mengundang orang kaya ini perjamuan makan, supaya nanti saya juga diundang dalam perjamuan makannya yang lebih mewah. Jadi, bisa dibilang beruntung jika saya mentraktirnya 20 dolar, dan sebagai balasannya ia kemudian mentraktir saya sebesar 40 dolar. Jika saya memberinya hadiah senilai 20 dolar dan ia membalasnya dengan hadiah senilai 40 dolar, itu sangat menguntungkan. Akan tetapi, di dalam perumpamaan ini disebutkan bahwa Anda tidak akan mendapatkan balasan sampai pada hari kebangkitan nanti. Murah hati boleh-boleh saja, tetapi yang satu ini keterlaluan! Bermurah hati itu baik jika ada alasan yang masuk akal!

Atau, kita berpikir, “Menaruh beberapa koin ke mangkok pengemis membuat saya merasa enak. Saya mendapatkan kepuasan batin dari situ. Tidak rugi saya memberi mereka uang.” Ketika memberi sumbangan kepada lembaga-lembaga bantuan sosial, yang terpikir adalah, “Setiap kali saya melihat gambar anak-anak yang kelaparan itu saat mulut saya penuh dengan makanan enak membuat saya tidak berselera untuk makan. Jadi, saya putuskan untuk memberi 20 dolar supaya bisa menikmati makanan tanpa harus merasa bersalah.” Mengapa Anda memberi sumbangan? Karena Anda sekadar ingin membungkam hati nurani Anda. Anda tidak memikirkan balasan pada hari kebangkitan nanti, bukankah begitu? Kapan Anda menyerahkan uang ke kotak persembahan sambil memikirkan balasannya pada hari kebangkitan? Jujur saja. Balasan pada hari kebangkitan? Tidak. Mungkin yang Anda pikirkan adalah, “Kalau pengeluaran ini saya masukkan ke dalam laporan keuangan, saya bisa minta keringanan pajak untuk itu. Jadi, saya tidak perlu bayar banyak kepada kantor pajak, dan bisa menyumbang lebih banyak ke gereja. Hal ini baik untuk gereja dan juga menguntungkan saya dalam hal pajak.” Siapa yang berpikir tentang ‘hari kebangkitan orang benar’? Sejak kapan iman kita sampai di sana? Mari kita bersikap jujur terhadap diri sendiri. Jujurlah kepada diri sendiri.

Kita sering berkata, “Pada saat memberi, saya tidak pernah berpikir tentang balasan. Tidak. Jika saya memberi, saya memberi begitu saja. Begitulah! Jadi, saya malah melakukan lebih daripada yang diajarkan oleh Yesus. Yesus berkata bahwa balasan buat kita ada pada hari kebangkitan. Sementara saya sendiri tidak peduli soal balasan. Wah, saya sudah melampaui ajaran Yesus sendiri! Saya sudah mencapai tingkatan yang lebih tinggi!” Kita memang sangat lihai dalam hal menipu diri sendiri. Tidak ada orang yang memberikan sesuatu tanpa motivasi tertentu. Tidak ada orang yang memberikan uang 100 dolar bagi pekerjaan Tuhan atau gereja tanpa motivasi apa pun. Jika kita dimotivasi oleh iman, mata kita tertuju pada Allah ketika menaruh uang 100 dolar itu ke dalam kotak persembahan. Kita dimotivasi oleh iman kita kepada-Nya. Balasan apa yang kita harapkan? Balasan seperti apa? Menerima uang dengan jumlah yang sama pada hari kebangkitan orang benar? Tentu tidak! Apakah itu berupa batangan emas? Untuk apa batangan emas di surga? Tentunya balasan yang Anda harapkan adalah kasih Allah, perkenan dari Allah, atau kasih-Nya kepada kita. Anda tidak akan berkenan di hati-Nya jika Anda tidak mengasihi-Nya. Anda tidak akan dapat mengasihi-Nya kalau tidak memiliki iman.


Perilaku akan Menentukan apakah Anda Layak bagi Kerajaan Allah

Sekarang Anda dapat melihat bahwa ajaran Yesus bukan sekadar nasihat moral kepada orang-orang Farisi. Ia sedang mengatakan kepada orang-orang Farisi itu: “Kelakuanmu menunjukkan bahwa engkau tidak layak bagi kerajaan. Kelakuanmu juga membuktikan bahwa engkau tidak memiliki iman. Sikapmu di tengah masyarakat menunjukkan tidak adanya kerendahan hati dan caramu memakai uang menunjukkan bahwa engkau mengejar balasan duniawi sekarang juga. Kehidupan duniawi sekarang ini beserta segala isinya merupakan upahmu karena engkau tidak memiliki iman, setidaknya masih kurang memadai jika ingin dipandang layak masuk ke dunia yang baru. Engkau menaruh segala harapanmu pada sisi duniawinya dan mengejar hasil langsung di dalam hidup ini. Engkau tidak peduli pada masa depan. Engkau berharap akan termasuk di antara orang benar yang dibangkitkan. Engkau berharap layak untuk itu. Namun, jika hal itu tidak tercapai, engkau beranggapan bahwa paling tidak sudah menikmati hasil semasa hidup; tidak rugi sama sekali. Dibutuhkan iman untuk bisa hidup di jalur yang tepat.” Sekarang Anda dapat melihat betapa pentingnya pengajaran Yesus ini.


Perilaku adalah perwujudan dari iman

Ambillah contoh lain dari pengajaran Yesus: jika seseorang menampar pipimu yang satu, berikanlah pipimu yang satunya lagi. Ajaran apa itu? Ajaran tentang moral? Jika Anda mengira bahwa ini adalah ajaran tentang moral, Anda sudah melakukan kesalahan sekali lagi di dalam memahami pengajaran Yesus. Anda tidak paham apa yang sedang ia sampaikan. Tidak ada orang yang akan mampu memberikan pipinya yang satu lagi tanpa iman kepada Allah. Anda tidak percaya? Coba saja. Saya yakin Anda tidak akan sanggup melakukannya. Perlu iman untuk melakukan hal itu. Iman seperti apa? Iman kepada keadilan Allah, bahwa kejahatan akan mendapat balasan dari Allah. Iman seperti itulah yang dibutuhkan. Allah yang akan menangani perkara ini. Saya tidak usah bertindak sendiri untuk melakukannya. Jika saya tidak memiliki iman kepada Allah, saya akan bertindak sendiri dalam menghadapinya. Saya harus menyeimbangkan kedudukan karena jika bukan saya yang bertindak, lalu siapa lagi? Hanya jika saya memiliki iman yang mendalam kepada Allah Yang Adil, Allah yang mengendalikan segala sesuatu dan yang akan bertindak untuk membalas setiap orang sesuai kelakuannya, yang mengatur segala sesuatu sampai kepada hal-hal yang terkecil, baru saya bisa menaruh kepercayaan saya dan menaati Allah. Membutuhkan iman yang kuat untuk dapat melakukan hal ini. Jadi, jika ada orang yang menampar pipi saya, saya tidak usah membalasnya karena saya mengimani bahwa Allah akan bertindak di pihak saya. Allah yang saya sembah akan menyelesaikan persoalannya. Saya tidak akan kuatir bahwa Ia akan lupa untuk membela perkara saya, atau bahwa Ia sedang sibuk di tempat lain. Jika Anda berpikiran seperti ini, itu membuktikan sekecil apa iman Anda terhadap Allah. Perilaku adalah cerminan dari iman. Jika Anda memahami hal ini, Anda akan menyadari betapa eratnya hubungan antara poin yang kedua dengan yang ketiga, yaitu hubungan antara pengudusan (perilaku) dengan penghakiman, karena kita dihakimi berdasarkan iman yang tercermin lewat perilaku kita sehari-hari. Inilah inti dari pengajaran Allah yang disampaikan oleh Yesus.


Kesimpulan

Sebagai penutup, kita dapat merangkum pengajaran yang disampaikah oleh Yesus hari ini dengan satu kalimat saja. Hanya melalui iman yang tercermin lewat perilaku Anda sehari-hari (cara Anda menangani urusan status sosial atau gengsi Anda, dan cara Anda memakai uang Anda), maka iman, iman yang hidup, iman kepada Allah yang hidup itu dapat dilihat. Itu sebabnya mengapa keselamatan itu adalah melalui iman, bukan iman yang hanya berupa ucapan belaka, tetapi iman yang terwujud di dalam cara hidup Anda sehari-hari. “Orang benar akan hidup oleh iman” (Rm 1:17). Begitulah jalannya, bukan melalui iman yang dulu pernah Anda miliki ketika memutuskan untuk dibaptis, yang belakangan menghilang. Iman di dalam Alkitab adalah iman yang berlangsung terus menerus, hal sehari-hari yang terwujud di dalam keseharian Anda — cara Anda berpikir, cara berperilaku dan cara Anda mengerjakan sesuatu. Itulah iman yang hidup. Kiranya Allah memberi Anda dan saya pemahaman yang mendalam akan hal ini! Inilah iman yang akan menentukan kelayakan kita bagi kerajaan Allah oleh kasih karunia-Nya.

 

Berikan Komentar Anda: