SC Chuah | Tahun Baru |

Dalam beberapa hari lagi, kita akan memasuki tahun. Satu tahun lagi dari waktu kehidupan kita telah berlalu. Satish Modi memulai bukunya “In Love with Death” dengan meminta para pembaca mencari tahu perkiraan tanggal kematian masing-masing. Hal ini dapat dilakukan dengan memperhitungkan usia orangtua dan kerabat. Saya berusia 55 tahun tahun ini, dan ayah saya meninggal dunia pada usia 72. Angka harapan hidup Indonesia yang terbaru juga berkisar di 72 tahun. Ini berarti saya hanya mempunyai sekitar 16 Natal dan 17 Tahun Baru untuk dirayakan!

Dengan menyadari bahwa waktu kita sebenarnya sangat terbatas, kita perlu melihat kehidupan dengan perspektif yang baru. Kita harus belajar menghitung hari-hari kita seperti doa pemazmur,

“Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.” (Mzm 90:12)

Fakta bahwa pemazmur meminta Allah untuk mengajarinya berarti hal ini bukanlah sesuatu yang alamiah bagi kita. Orang yang sihat jarang menjalani hidupnya dengan memikirkan kematian, padahal itulah hal yang paling bijaksana yang dapat dilakukan seseorang. Itulah yang akan membuat seseorang menjalani kehidupan yang penuh makna dan terfokus.

Bagi seorang percaya, saya tidak dapat memikirkan resolusi yang lebih baik dibandingkan dengan apa yang telah dituliskan oleh rasul Petrus:

…supaya waktu yang sisa jangan kamu pergunakan menurut keinginan manusia, tetapi menurut kehendak Allah. (1Ptr 4:2)

Resolusi ini diperbandingkan dengan:

Sebab telah cukup banyak waktu kamu pergunakan untuk melakukan kehendak orang-orang yang tidak mengenal Allah. (1Ptr 4:3)

Sebagai pengikut Kristus yang meneladani Yesus (ayat 1), mutlak untuk kita bertekad menjalani waktu kita yang tersisa untuk melakukan kehendak Allah. Itulah definisinya seorang murid.

Banyak orang dibaptis menjadi “murid” tanpa menyadari bahwa seorang murid dituntut melakukan segala sesuatu yang diperintahkan Yesus (Mat 28:20, “dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah kuperintahkan kepadamu.”). Tujuan hidup seorang murid adalah menjelang ajalnya dia dapat mengatakan dengan hati nurani yang bersih, “Yesus, aku telah melakukan segala sesuatu yang kau perintahkan.” Hal ini mengingatkan saya akan gembala saya, Eric Chang. Pada akhir hayatnya pada tahun 2011, di tengah-tengah sebuah pertemuan penting dengan rekan-rekan sekerja yang juga anak-anak muridnya, beliau tiba-tiba berkata kira-kira seperti ini, “aku telah menjadikannya tujuan hidupku untuk melakukan segala sesuatu yang diperintahkan oleh firman Tuhan. Namun, ada satu perintah yang belum kulakukan yang kurindu lakukan sebelum aku pergi dari dunia ini, yaitu “bersalam-salamlah kamu dengan cium kudus” (1Tes 5:26). Lalu, kami semua berantrian dan almarhum memeluk dan memberikan ciuman di pipi para muridnya. Pada waktu itu, saya sadar saya sedang menyaksikan seorang murid teladan. Sudah banyak kali saya membaca Matius 28:20, tetapi untuk pertama kalinya dampak dari kata “segala sesuatu” itu menghantam saya.

Jika kita meminta seorang Kristen masa kini untuk mendaftarkan perintah-perintah yang diberikan Yesus, tidak banyak yang dapat mendaftarkan lebih dari lima. Itulah iklim Kekristenan masa kini di mana terjadi jauh lebih banyak baptisan daripada ketaatan. Tidak banyak calon baptisan yang diberikan penjelasan tentang apa artinya menjadi murid selain dari “percaya Yesus”, entah apa artinya. Dengan kata lain, kita telah berhasil menghasilkan “murid-murid Yesus” yang bahkan tidak tahu apa yang telah diajarkan Yesus. Orang Yahudi rata-rata tahu ada 10 Perintah utama, dan di bawah 10 Perintah itu ada 613 perintah yang harus dijalankan. A. W. Tozer pernah bertanya,

“Ketika kita mengakhiri doa kita dengan ‘Jadilah kehendak-Mu’, tetapi tidak mengetahui kehendak Allah, bukankah kita telah merusak iman dan keyakinan bahwa doa kita akan dijawab?”

Beliau melanjutkan untuk menyatakan bahwa,

“Doa yang sejati bukanlah sebuah usaha untuk membujuk Allah melakukan kehendak kita; tetapi sebuah usaha untuk bergerak ke dalam arus kehendak Allah dan dihanyutkan olehnya. Orang yang mencintai dan memahami kehendak Allah tidak menginginkan apa-apa di luar itu.”

Untuk memulainya, saudara bisa bertekad untuk memberikan lebih banyak waktu membaca Kitab Suci dengan berhati-hati. Kitab Suci merupakan satu-satunya buku yang ditulis oleh Allah dari miliaran buku yang pernah ditulis di sepanjang sejarah manusia. Di dalamnya terkandung segala pesan dari Allah kepada umat manusia. Namun, alangkah sayangnya! Kita ternyata membuang jauh lebih banyak waktu membaca koran, berita politik, berita bola, medsos, hoaks daripada Alkitab itu sendiri!

Kitab Suci merupakan satu-satunya buku di dunia ini yang ditulis Pencipta kita yang mengungkapkan kepada kita kehendak-Nya bagi kita. Orang yang benar-benar mempercayai hal ini akan mempelajarinya dengan sungguh-sungguh dan dengan teliti. Kita membacanya bukan untuk merasakan apa-apa, tetapi untuk mencari tahu apa kehendak-Nya untuk dilakukan. Hanya orang yang berada di tengah kehendak-Nya yang akan menemukan makna hidup yang sejati.

Lebih khusus lagi, untuk tahun baru ini, saudara bisa memfokuskan perhatian secara khusus kepada khotbah Yesus yang diberikan di Khotbah di Bukit. Di situ terkandung hampir segala sesuatu yang diperintahkan oleh Yesus. Di situ Yesus menggambarkan kepada kita sebuah visi seperti apa seorang pengikut Yesus itu. Khotbah di Bukit melukiskan kepada kita potret seorang pelaku kehendak Allah.

Kiranya tahun baru ini menjadi sebuah pertualangan rohani bagi saudara, sebuah pertualangan berjalan bersama Allah dalam kehendak-Nya. Amin.

Berikan Komentar Anda: