Pastor Boo | Kematian Kristus (12) |

Hari ini kita akan membahas tentang salib dan kelemahan. Mari kita lihat kutipan dari 1 Korintus 1:26-28,

26 Ingat saja, saudara-saudara, bagaimana keadaan kamu, ketika kamu dipanggil: menurut ukuran manusia tidak banyak orang yang bijak, tidak banyak orang yang berpengaruh, tidak banyak orang yang terpandang. 
27 Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat,
28 dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti,

Di dalam kutipan ini, Paulus sedang memberitahu kita siapa saja yang dipilih oleh Allah untuk menjalankan kehendak-Nya. Melalui orang-orang macam apa Allah ingin menyatakan hidup-Nya? Paulus, seperti yang anda lihat di dalam ayat 26, menyebutkan tentang tiga aspek. Saat dia berkata, “Tidak banyak orang yang bijak,” kata bijak ini terkait dengan urusan pendidikan. Orang bijak adalah mereka yang dipandang sebagai kaum cerdik cendekia yang mendapatkan kepandaian mereka dari jalur pendidikan.

Aspek yang kedua adalah ‘tak berpengaruh,’ yakni orang-orang yang bisa memberi pengaruh besar kepada masyarakat. Orang-orang ini biasanya berasal dari kalangan politik, hukum, birokrasi dan militer.

Dan aspek yang ketiga adalah ‘tidak terpandang’, yakni orang-orang yang lahir dalam lingkungan keluarga yang dihormati oleh masyarakat oleh karena kemakmuran atau kelas sosial mereka.

Demikianlah, di dalam kutipan ini kita melihat unsur kepandaian, pengaruh pribadi dan latar belakang keluarga. Di ayat 27, Paulus menyatakan bahwa Allah justru memilih mereka yang tidak memiliki semua itu, dengan alasan bahwa yang dia beritakan adalah salib Kristus. Pemberitaan tentang salib Kristus memang bertentangan dengan nilai-nilai yang dipuja oleh manusia duniawi. Itu sebabnya, dalam pandangan orang Yunani, salib Kristus adalah kebodohan, dan di dalam pandangan orang Yahudi, salib Kristus adalah batu sandungan – karena mereka mengharapkan Mesias yang tampil sebagai pahlawan gagah perkasa. Orang Yahudi mengharapkan Mesias yang datang dengan penuh kuasa, dalam segala kemegahan dan selalu mendapatkan kemenangan duniawi. Mesias dalam pandangan orang Yahudi adalah pahlawan yang akan menggulingkan penjajah Romawi dan mendatangkan damai sejahtera bagi bangsa Israel. Akan tetapi, ketika mereka diberitahu bahwa Mesias harus menjalani penyaliban, hal ini menjadi sandungan besar buat mereka. Saya rasa, di zaman sekarang ini, kita mungkin sudah tidak memandang salib sebagai batu sandungan karena, di sepanjang sejarah selanjutnya, Gereja sudah menutupi kehinaan salib. Di zaman sekarang ini, setiap orang dapat memakai kalung salib, dan banyak kalung salib yang dihias dengan sangat mahal. Ada kalung salib yang berisi banyak berlian mahal. Dan tidak sedikit kalung salib yang terbuat dari emas murni. Lalu, di mana makna kehinaan salib? Salib sudah berubah menjadi benda indah bernilai seni.

Jika kita kembali ke zaman abad pertama, pada masa hidup Yesus, salib melambangkan kehinaan. Ini adalah alat untuk menghukum dan menghina. Itu sebabnya mengapa kaum bangsawan Romawi, bahkan sebagian besar orang Romawi tidak akan suka berbicara tentang salib. Salib hanya diperuntukan bagi para budak dan pemberontak, dan pada umumnya hukuman ini tidak diterapkan pada warga kerajaan Romawi. Demikianlah, pandangan umum pada zaman ini menganggap salib sebagai jenis hukuman dengan kehinaan yang paling rendah, karena penghinaan itu dilakukan oleh masyarakat umum sebelum dan selama masa penyaliban. Tujuan utama dari hukuman ini adalah menimpakan penghinaan yang serendah-rendahnya, sambil memberikan rasa sakit yang cukup lama. Tentu saja, sangat luar biasa rasa sakit yang dialami oleh orang yang disalibkan. Akan tetapi, hal yang lebih buruk dari itu adalah penghinaan yang harus ditanggung selama proses hukuman. Banyak orang di zaman itu akan berkata, “Kalau saya harus mati, paling tidak izinkan saya mati tanpa kehilangan harga diri.” Dan, dalam pelaksanaan hukuman salib, harga diri itu justru menjadi target untuk dihancurkan; prosesnya berlangsung penuh dengan tindakan penghinaan, sampai ke titik di mana anda tidak merindukan apa-apa lagi selain maut. Kematian justru menjadi semacam kebebasan bagi orang yang disalibkan karena gabungan dari rasa sakit dan penghinaan dalam hukuman salib memang luar biasa. Akan tetapi, dalam pandangan Paulus, salib Kristus justru mencerminkan hikmat Allah. Hanya melalui salib itulah Allah berkenan menyatakan diri-Nya kepada umat manusia.

Namun, perlu saya tegaskan di sini, yang terkait dengan hikmat Allah hanyalah salib Kristus. Jadi, bukan sembarang peristiwa penyaliban dapat dihubungkan dengan hikmat Allah, karena memang ada banyak orang yang mengalami penyaliban di masa itu. Mari kita lihat 2 Korintus 13:4

Karena sekalipun Ia telah disalibkan oleh karena kelemahan, namun Ia hidup karena kuasa Allah. Memang kami adalah lemah di dalam Dia, tetapi kami akan hidup bersama-sama dengan Dia untuk kamu karena kuasa Allah.

Dia disalibkan karena kelamahan, tetapi dia hidup karena kuasa Allah. Perhatikan uraian Paulus selanjutnya, “Kami ini lemah di dalam Kristus, tetapi kami hidup bersama-sama dengan dia untuk kamu karena kuasa Allah.” Jadi, memang ada tujuan di balik semua itu: Supaya kuasa Allah dapat diwujudkan melalui hidup kita. Dengan kata lain, kita tidak melangkah dalam kelemahan untuk menjadi lemah. Kita berbagi kelemahan dengan Kristus supaya kuasa Allah dapat diwujudkan. Kita tidak sedang membahas sembarang sumber kuasa; yang kita bahas adalah hidup Allah.

Paulus sangat prihatin melihat kerohanian jemaat di Korintus. Dia kuatir jika mereka mengejar status, kekuasaan, uang dan ilmu pengetahuan, maka hadirat Allah tidak akan menyertai mereka lagi. Akibatnya, jalan hidup mereka tidak akan berubah, dan mereka tidak akan mengalami pertumbuhan rohani. Sekarang kita bisa memahami mengapa kita harus menjadi lemah di dalam Kristus. Bukan asal menjadi lemah, melainkan menjadi lemah di dalam Kristus. Kita perlu memahami dengan jelas apa arti kelemahan Kristus. Mari kita lihat 1 Korintus 1:26 lagi

Ingat saja, saudara-saudara, bagaimana keadaan kamu, ketika kamu dipanggil: menurut ukuran manusia tidak banyak orang yang bijak, tidak banyak orang yang berpengaruh, tidak banyak orang yang terpandang.

Saat itu mungkin Paulus sedang teringat dengan isi Yeremia 9:23-24,

23 Beginilah firman YAHWEH: “Janganlah orang bijaksana bermegah karena kebijaksanaannya, janganlah orang kuat bermegah karena kekuatannya, janganlah orang kaya bermegah karena kekayaannya, 
24 tetapi siapa yang mau bermegah, baiklah bermegah karena yang berikut: bahwa ia memahami dan mengenal Aku, bahwa Akulah YAHWEH yang menunjukkan kasih setia, keadilan dan kebenaran di bumi; sungguh, semuanya itu Kusukai, demikianlah firman TUHAN.”

Di ayat 23, kita melihat kasus kebijaksanaan, kekuatan dan kekayaan. Paulus memakai tiga kategori yang persis sama. Saat kita membanggakan latar belakang pendidikan atau kebijaksanaan duniawi, Paulus justru menekankan hal yang berlawanan di dalam 1 Korintus 2:2,

Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan.

Mentalitas Paulus sangat berbeda dengan kita. Bukan berarti Paulus tidak mengerti apa yang tengah terjadi di sekitarnya. Kita semua harus memahami apa yang sedang berlangsung di sekitar kita. Dia sangat paham, tetapi penekanannya, arah dan tujuan yang dia kejar adalah untuk memahami Kristus yang telah disalibkan. Di jalur tujuan itulah Paulus menjalani hidupnya. Jika kita membanggakan pengetahuan kita yang luas, Paulus justru tidak merasa perlu untuk menjadi serba tahu, dia hanya ingin memahami Yesus yang telah disalibkan.

Jika kita pelajari sikap hidup Tuan Yesus, kita akan dapati bahwa mentalitas keduanya sama. Mari kita lihat Yohanes 7:16-18

16 Jawab Yesus kepada mereka: “Ajaran-Ku tidak berasal dari diri-Ku sendiri, tetapi dari Dia yang telah mengutus Aku. 
17 Barangsiapa mau melakukan kehendak-Nya, ia akan tahu entah ajaran-Ku ini berasal dari Allah, entah Aku berkata-kata dari diri-Ku sendiri. 
18 Barangsiapa berkata-kata dari dirinya sendiri, ia mencari hormat bagi dirinya sendiri, tetapi barangsiapa mencari hormat bagi Dia yang mengutusnya, ia benar dan tidak ada ketidakbenaran padanya.

Pengetahuan Yesus tentang isi Alkitab bahkan tidak bersumber darinya; semua yang dia ajarkan tidak bersumber dari dirinya. Semua bersumber dari Bapa. Bapa-lah yang mengajarkan Yesus segalanya. Dan Paulus belajar dari Yesus. Hanya satu hal yang dipedulikan oleh Yesus, mengenal Bapa dan semua yang ingin disampaikan oleh Bapa kepadanya. Pemahaman ini membawa kita pada makna hikmat dalam Perjanjian Lama. Menurut salah satu tafsir Alkitab, hikmat di dalam Perjanjian Lama didefinisikan sebagai: “Orang yang menantikan tuntunan dari Allah.” Ini adalah definisi yang sangat tegas.

Hikmat Allah tidak ada kaitannya dengan kegemaran membaca buku. Hal semacam itu adalah definisi dari hikmat duniawi; semakin banyak yang anda pelajari, semakin luas pengetahuan anda, maka semakin bijak anda di mata dunia. Namun, hikmat Allah tidak demikian! Menurut Kitab Suci, orang yang bijaksana adalah orang yang mencari Allah untuk menerima petunjuk-Nya. Itu sebabnya, di dalam Kitab Amsal, anda akan temukan hubungan yang konsisten antara hikmat dengan kemampuan membedakan yang benar dan yang salah, petunjuk dari Allah dan kemampuan untuk memahaminya. Semua unsur itu terkait dengan dunia rohani, mampu mengenali kebenaran Allah, petunjuk Allah, serta memahami apa yang ingin Dia sampaikan kepada kita. Dengan demikian kita bisa melihat bahwa Yesus menjalani hidupnya selaras dengan hikmat yang diuraikan dalam Kitab Suci.

Sehubungan dengan kata ‘Taurat’, menerjemahkan kata Taurat dengan kata Hukum sebenarnya agak keliru. Terjemahan harafiah untuk kata Taurat adalah ‘Petunjuk atau Instruksi’. Ini berarti bahwa makna kata Taurat sebenarnya adalah petunjuk dari Yahweh. Jika kita ingin memiliki hikmat, maka kita harus singkirkan semua cara penalaran yang lama, membaca isi Firman, dan membuka hati untuk mendengarkan Yahweh. Itu sebabnya dunia memandang hal ini sebagai kelemahan karena anda akan terlihat tidak tahu banyak tentang hal-hal yang dipandang penting oleh mereka. Demikianlah, sangatlah penting untuk memahami bahwa yang kita utamakan adalah sisi rohaninya; yakni hubungan kita dengan Allah. Dunia tidak akan memahami hal ini karena mereka tidak bisa memahami Allah secara rohani, dan mereka juga tidak mengerti hal-hal yang Dia sampaikan. Roma 8:14 memberitahu kita bahwa anak-anak Allah adalah orang-orang yang dipimpin oleh Roh Allah. Berdasarkan ini kita bisa memahami bagaimana Yesus menjalankan pelayanannya: “Ajaranku tidak bersumber dari diriku, melainkan dari Bapa yang mengutus aku.” Jika anda berniat untuk menjalankan kehendak-Nya, maka anda akan menemukan hikmat yang sejati. Masukkan diri ke dalam bimbingan Roh Allah. Paulus menjalani hidupnya seperti Yesus. Dalam pandangan dunia, maka orang Kristen adalah orang-orang bodoh, karena dunia tidak dapat memahami sisi lain dari hikmat. Mari kita lihat hal yang disampaikan oleh Paulus dalam 2 Korintus 12:11

Sungguh aku telah menjadi bodoh; tetapi kamu yang memaksa aku. Sebenarnya aku harus kamu puji. Karena meskipun aku tidak berarti sedikitpun, namun di dalam segala hal aku tidak kalah terhadap rasul-rasul yang luar biasa itu.

Paulus ingin agar jemaat di Korintus memahami prinsip rohani. Karena jika mereka sudah memahami prinsip ini, maka Paulus tidak perlu berkata kepada mereka, “Sebenarnya aku yang perlu kamu puji.” Kemudian dia melanjutkan, “Aku berbicara dalam kebodohan.” Akan tetapi, makna yang dimaksudkan oleh Paulus adalah: Aku bukan siapa-siapa. Ini adalah pokok yang sangat penting. Orang duniawi selalu ingin meninggikan diri; mereka berlomba memanjat tangga status. Kita semua ingin menjadi orang penting. Bahkan di lingkungan gereja akan dapat anda temui orang-orang Kristen yang bertengkar karena berebut kedudukan. Sekalipun mereka tidak mengincar kedudukan resmi di jajaran pimpinan, setidaknya mereka ingin memiliki pengaruh di tengah jemaat. Tak ada yang mau menjadi orang yang tidak berarti. Ini adalah hal yang tragis, Paulus senang menjadi “orang yang tidak berarti” karena dia paham betul bagaimana cara Allah bertindak. Dia bertindak melalui orang-orang yang tidak berarti. Bukannya mengejar status sebagai orang yang berkuasa dan berpengaruh, Paulus justru berkata, “Aku bukan siapa-siapa.” Ada dorongan yang sangat kuat di dalam diri manusia untuk berhasrat menjadi orang penting, dan manusia bisa melakukannya dengan cara yang tersembunyi. Kita ingin agar orang lain mengucapkan hal-hal yang baik saja tentang diri kita. Kita ingin menjadi orang yang sangat dihormati. Banyak penginjil yang bercita-cita untuk bisa berkhotbah di depan ribuan pendengar. Bahkan ada beberapa penginjil yang tidak mau tampil berbicara kalau jumlah pendengar yang akan dikumpulkan di bawah jumlah minimum yang dia harapkan. Saya hanya bisa mengatakan bahwa orang-orang semacam ini bukanlah hamba Allah. Sayang sekali, mereka begitu bernafsu ingin menjadi orang penting.

Mari kita perhatikan contoh dari Yesus. Mari kita lihat Yohanes 8:54

Jawab Yesus: “Jikalau Aku memuliakan diri-Ku sendiri, maka kemuliaan-Ku itu sedikitpun tidak ada artinya. Bapa-Kulah yang memuliakan Aku, tentang siapa kamu berkata: Dia adalah Allah kami,

Dan Yesus juga berkata, “Aku tidak mengejar kemuliaan dari manusia.” Karena yang dia perhatikan hanya kemuliaan dari Allah, untuk melakukan kehendak Allah. Bagi orang yang benar-benar ingin menjalankan kehendak Allah, konsekuensinya tidak bisa dihindarkan: Anda harus belajar menyingkirkan hasrat pengetahuan yang lain kecuali hasrat mengenal Yesus saja. Hal itulah yang harus anda jadikan prioritas dalam hidup anda. Dan untuk itu, maka kita harus belajar untuk menjadi orang yang tidak penting. Jika Tuhan membawa kita untuk memimpin jemaat yang hanya berjumlah lima orang saja, apakah kita akan menjalaninya dengan senang hati? Saya rasa akan banyak yang tidak suka dengan keadaaan seperti itu. Mengapa? Pertanyaan ini membawa kita pada pokok pembahasan berikutnya.

Paulus berkata kepada jemaat di Korintus, “Tidak banyak dari antaramu yang termasuk bangsawan, tak banyak yang berasal dari kalangan atas, dan tidak banyak yang memiliki kekayaan besar.” Inilah persoalannya. Jika ada kumpulan jemaat berjumlah lima orang dan semuanya miskin, lalu bagaimana nasib penginjilnya? Dia bisa dikatakan nyaris tidak punya pemasukan. Mari kita lihat 2 Korintus 6:10

Sebagai orang berdukacita, namun senantiasa bersukacita; sebagai orang miskin, namun memperkaya banyak orang; sebagai orang tak bermilik, sekalipun kami memiliki segala sesuatu.

Perhatikan hal yang disampaikan oleh Paulus. Dia berkata, “Aku ini miskin, tetapi memperkaya banyak orang.” Sudah tentu dalam hal ini dia sedang membahas perkara rohani. Tidak ada catatan yang menyatakan bahwa Paulus membuat gereja-gereja menjadi kaya secara materi. Perhatikan juga bahwa dia berkata, “Kami menjadi orang tak bermilik sekalipun kami memiliki segala sesuatu.” Dia sedang membahas hal rohani, yakni semua berkat yang datang dari Allah. Di sini kita melihat adanya perubahan drastis dalam diri Paulus. Dia tidak lagi berminat dengan harta duniawi. Paulus mengambil arah yang berlawanan karena dia belajar dari kehidupan Yesus. Mari kita lihat 2 Korintus 8:9

Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya.

Walaupun di sangat kaya secara rohani. Ini karena injil tidak menyatakan kepada kita bahwa Yesus dilahirkan dalam lingkungan keluarga kaya. Secara rohani dia sangat kaya, tetapi demi kita, maka dia menjadi miskin secara duniawi. Ini adalah ungkapan lain dari hal yang disampaikan oleh Paulus: Miskin, tetapi memperkaya banyak orang. Paulus selalu meniru Yesus. Di sini kita melihat urutannya: tidak tahu apa-apa, menjadi orang yang tidak berarti, dan tidak memiliki apa-apa. Paulus sedang memberitahu kita bahwa seperti inilah hikmat dari Allah; Dia memilih orang-orang semacam ini. Mari kita lihat isi Yakobus 2:5

Dengarkanlah, hai saudara-saudara yang kukasihi! Bukankah Allah memilih orang-orang yang dianggap miskin oleh dunia ini untuk menjadi kaya dalam iman dan menjadi ahli waris Kerajaan yang telah dijanjikan-Nya kepada barangsiapa yang mengasihi Dia?

Hal yang disampaikan oleh Yakobus ini sudah diabaikan oleh jemaat zaman sekarang. Jika anda ingin mengadakan penginjilan, maka Yakobus sudah memberi gambaran yang sangat jelas. Siapakah yang dipilih oleh Allah? Orang-orang miskin di dunia ini. Akan tetapi, kita tidak suka petunjuk semacam ini. Kita ingin menginjili orang-orang kaya, terkenal dan berpengaruh di tengah masyarakat. Mereka adalah orang-orang yang bisa memberi dukungan kuat bagi pelayanan. Jika anda menjangkau orang miskin, hal apa yang akan anda alami? Anda harus memberi mereka. Mereka tidak dapat memberi anda keuntungan material. Itu sebabnya, urusan ini kemudian menjadi hal yang problematis bagi kita.

Mari kita belajar untuk bekerja di jalan Allah. Uraian di atas tidak menyatakan bahwa orang-orang kaya tidak memiliki harapan. Uraian di atas juga tidak bisa diartikan bahwa jika anda seorang professor di sebuah universitas, lalu anda tidak memiliki harapan. Hal yang sama juga berlaku pada seorang bintang film. Jika kita mengerti akan isi pemberitaan salib, maka setiap orang tidak lagi merasa sebagai orang penting, dan mereka akan dipandang berharga di mata Allah. Itulah logika hikmat rohani. Filipi pasal 2 mencerminkan pola ini. Yesus merendahkan diri sampai serendah hukuman penyaliban, tetapi Allah kemudian meninggikan dia. Mereka  yang memiliki kekayaan harus memasrahkan segala miliknya kepada Allah dan melanjutan hidupnya sebagai hamba yang baik untuk Allah. Mereka harus senantiasa merasa tidak memiliki apa-apa agar Yahweh meninggikan mereka.

Bukankah kita harus merasa bahagia jika Yahweh memimbing kita untuk melayani lima orang yang miskin, lalu Dia mengubah hati mereka untuk menjadi serupa dengan Kristus dalam watak dan perilaku mereka? Selama Yahweh menyertai kita, bukankah Dia yang akan menyediakan segalanya bagi kita? Dia bisa saja memotivasi orang-orang yang taat pada-Nya untuk berbagi milik mereka dengan anda. Lihatlah isi Markus 10:29-30. Dengan demikian, di dalam segala hal, kita ini kaya dalam iman, seperti yang disampaikan dalam Yakobus 2:5.

Saya harap anda mulai memahami bagaimana cara Allah bekerja. Ketika kami memulai pelayanan rohani di Singapore, banyak orang yang menanyakan latar belakang pendidikan kami. Kemudian tersebarlah kabar tentang latar belakang pendidikan saya. Kejadian ini tidak hanya terjadi di Singapore; hal yang sama terjadi juga di Filipina. Orang-orang sibuk menyebarkan gosip bahwa saya lulus dengan prestasi tertinggi di universitas dan bahwa saya adalah orang yang sangat cerdas. Ini sama sekali tidak benar. Saya hanya mahasiswa biasa selama kuliah. Nilai rata-rata saya sekitar C+, dan saya belajar di jurusan yang tidak banyak diminati. Kebanyakan orang cenderung tidak mau belajar di jurusan tersebut.

Saya rasa alasan mereka menyebarkan berita semacam itu supaya banyak orang yang tertarik untuk datang dan mendengarkan penginjil yang sangat cerdas ini. Saya rasa ini adalah pendekatan yang keliru. Pada awalnya, banyak orang yang datang karena terkesan oleh kabar tersebut. Belakangan mereka menyadari bahwa saya tidak memenuhi harapan mereka. Alasannya adalah karena kami lebih tertarik untuk memahami pola pikir Allah, bukannya mengandalkan kekuatan otak untuk merayu dan meyakinkan orang lain. Mentalitas semacam ini juga terlihat dalam fakta jika ada orang kaya atau berpengaruh besar yang menjadi Kristen, akan sangat banyak orang yang ingin mendengarkan kesaksian orang-orang ini. Akan tetapi, jika seorang buruh pabrik menjadi Kristen, akan sangat sedikit orang yang berminat mendengarkan kesaksiannya. Mengapa kesaksian dari kelompok orang yang pertama dipandang sangat penting? Bagaimana karya Allah dalam pandangan banyak orang terlihat seperti lebih berhasil melalui orang-orang penting daripada melalui rakyat kecil? Sepertinya ada yang tidak beres dengan sistem nilai kita. Kita perlu mengubah pemahaman kita tentang arti keberhasilan sejati. Keberhasilan yang sejati bagi kita adalah jika kita diterima dan mendapat pujian dari Allah untuk selanjutnya dipakai olehNya dalam membagikan hidupNya kepada orang lain. Yahweh, Allah kita, akan terus melanjutkan rencana dan karyaNya di dalam dunia yang masyarakatnya hanya memikirkan kepentingan pribadinya saja.

Saya harap kita semua bisa memahami pokok ini. Mengapa Allah ingin agar kita merendahkan diri sampai sejauh itu? Jawabannya terletak di dalam Matius 5:3

Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.

Orang yang miskin di hadapan Allah berarti memiliki ketergantungan penuh pada Allah, sama seperti seorang yang miskin secara materi yang bergantung pada bantuan atau pekerjaan yang diberikan oleh orang lain padanya. Saat anda tidak dipandang oleh masyarakat, saat anda tidak menjadi orang penting, saat anda tidak memiliki apa-apa, maka anda akan bergantung sepenuhnyakepada Allah. Kita semua harus memiliki pikiran seperti itu, di mana ketergantungan kita kepada Allah bersifat mutlak. Membangun sikap hati yang seperti ini berarti membentuik cara kita berpikir dan bertindak. Jika kita kembali kepada makna hikmat menurut Perjanjian Lama, seperti yang sudah saya uraikan sebelumnya, orang yang bijaksana adalah orang yang menantikan petunjuk dari Allah. Mari kita lihat isi 1 Korintus 2:3-4

3 Aku juga telah datang kepadamu dalam kelemahan dan dengan sangat takut dan gentar. 
4 Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh,

Anda lihat, dalam kutipan ini Paulus berkata, “Aku datang kepadamu dalam kelemahan.” Perhatikan dua kata penting ini: dengan sangat takut dan gentar. Bagi anda yang selalu berada di dalam Tuhan, makna kedua kata ini mudah dipahami. Seringkali, dalam kaitannya dengan penginjilan dan pengajaran, kami dilanda ketakutan serta kegentaran, karena kami kuatir kalau sampai kami keliru dalam mengartikan Firman Allah. Kesalahan semacam itu bisa berkibat pada kebinasaan banyak jiwa. Itu sebabnya kami merasa takut dan gentar. Jika seorang dokter melakukan kesalahan, akibatnya bisa merenggut nyawa pasien. Namun, ketika seorang penginjil membuat kesalahan, yang dipertaruhkan adalah keselamatan rohani para pendengarnya. Itu sebabnya konsekuensi dari rasa takut dan gentar ini adalah ketergantungan penuh kepada Yahweh.

Itu sebabnya mengapa kita semua perlu memiliki ketergantungan penuh kepada Yahweh. Saat kita mencari pekerjaan, semua hal yang kita katakan atau lakukan, kita lakukan dalam ketergantungan penuh kepada Dia. Kita harus belajar menerapkan prinsip ini di sepanjang hidup kita. Di tengah perjalanan, bisa saja kita melakukan kesalahan, tetapi ini adalah sebuah proses belajar. Melalui semua kesalahan itu, kita berbenah ke arah yang baik. Jika kita baca kitab Injil, kita melihat banyak catatan tentang penyembuhan. Apa makna di balik semua peristiwa itu? Yang jelas, semua itu terjadi bukan karena Yesus ingin menyembuhkan semua penyakit. Sebaliknya, di dalam setiap kasus penderita penyakit yang disembuhkan, mereka semua berada dalam ketergantungan penuh kepada Allah. Jika kita bergantung sepenuhnya kepada Dia, dan kita berseru kepada Dia, maka kita akan mengalami kuasa Allah.

Demikianlah, sekarang ini seharusnya kita sudah paham akan makna dari ungkapan ‘miskin di hadapan Allah’. Tentu saja kita bisa melihat contoh sikap hati seperti ini di dalam diri Yesus sendiri, yakni sikap pasrah atau bergantung sepenuhnya kepada Bapa. Di sepanjang perjalanannya menuju kayu salib, dia tidak menjalankan kehendaknya sendiri, dia selalu bergantung kepada Yahweh dan menjalankan kehendak-Nya.

Saat Paulus membenahi jemaat di Korintus, dia tidak peduli dengan keadaannya sendiri, dia tidak peduli dengan kehormatannya. Dia juga tidak mencari segala macam bentuk penghormatan dari orang lain kepadanya. Satu-satunya hal yang dia pedulikan adalah agar kehendak Yahweh terwujud di dalam diri orang-orang itu.

Mari kita tutup dengan 2 Korintus 10:4-6

4 karena senjata kami dalam perjuangan bukanlah senjata duniawi, melainkan senjata yang diperlengkapi dengan kuasa Allah, yang sanggup untuk meruntuhkan benteng-benteng. 
5 Kami mematahkan setiap siasat orang dan merubuhkan setiap kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan akan Allah. Kami menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus, 
6 dan kami siap sedia juga untuk menghukum setiap kedurhakaan, bila ketaatan kamu telah menjadi sempurna.

Jadi jika kita ingin memenangkan peperangan melawan dosa dan kejahatan di dalam dunia, maka kita harus mengikuti jejak langkah Paulus karena Paulus mengikuti jejak Yesus. Kunci dari semua ini adalah kelemahan Yesus.

Menurut para pakar, senjata utama itu adalah berita salib Kristus. Sungguh luar biasa kuasa dari berita salib! Jika kita memberitakannya, sekaligus menjalaninya, ketidaktaatan akan berubah menjadi ketaatan, dan keangkuhan akan menjadi kerendahan hati. Dengan demikian terjadilah pembalikan. Semua orang mengalami pembalikan yang menyamakan derajat masing-masing, dan hasil akhirnya adalah suatu persatuan. Dan di sana hidup Kristus akan terwujud. Akan muncul kasih Kristus dan komitmen antara satu dengan yang lain, dan sebagai satu kesatuan jemaat, kita akan menunjukkan hikmat Allah kepada dunia. Tak ada lagi orang yang berminat untuk menanyakan di mana anda pernah menempuh pendidikan, gelar apa yang sudah anda raih, apa pekerjaan anda, dan berapa gaji anda. Orang China senang menanyakan tentang nilai gaji anda, bukankah begitu? Akan tetapi hal yang ingin kita tumbuhkan adalah hidup Kristus yang nantinya akan terlihat melalui hidup kita.

 

Berikan Komentar Anda: