Pastor Eric Chang | Manusia Baru (22) |

Kita kembali mempelajari kisah tentang orang muda yang kaya di Matius 19. Ini merupakan salah satu bagian tersulit dari Injil untuk dipelajari dan diuraikan. Bagian ini menyajikan satu tantangan yang besar karena sangat sulit untuk memahami inti dari pesan Yesus di sini.

Kesulitan itu tidak terletak pada pengajaran Yesus, tetapi pada diri kita sendiri. Kita memiliki kecenderungan alami untuk menolak apa yang tidak mau kita dengar. Itu sebabnya Yesus berkata,

“Sekalipun melihat, mereka tidak melihat dan sekalipun mendengar, mereka tidak mendengar dan tidak mengerti” (Mat 13:13).

“Kekerasan hati” ini memang sudah tertanam di dalam hati setiap orang dan para rasul sendiri tidak terkecuali (Mrk16:14). Kekerasan hati inilah yang menjadi penghalang terbesar bagi kita untuk memahami apa yang ingin Yesus sampaikan kepada kita. Jadi, kita cenderung menafsirkan ajaran Yesus secara dangkal, bahkan kadang sengaja menghindari pesan utamanya. Oleh karena itu, kecuali Allah berbelas kasihan kepada kita dan membuka hati kita ini, maka kita tidak akan pernah dapat memahami maksud-Nya.


Hidup Kekal dan Perintah-perintah Allah

Kisah orang muda yang kaya ini amat krusial karena ia menjawab pertanyaan yang paling penting yang dapat ditanyakan seseorang:

“Guru, perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” (Mat 19:16).

Keseluruhan peristiwa ini berisi ajaran Yesus tentang keselamatan dalam bentuk yang sangat ringkas. Bahayanya adalah kita mengira kita tahu jawaban kepada pertanyaan orang muda ini, padahal kita sebenarnya kita tidak memahaminya sebaik dia.

Untuk menyegarkan ingatan, mari kita lihat kembali tanggapan Yesus terhadap pertanyaan orang muda yang kaya ini,

“Tetapi jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah.”

Orang muda itu melanjutkan pertanyaannya, “Perintah yang mana?” Yesus menjawab,

“Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, hormatilah ayahmu dan ibumu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”

Orang muda itu berkata, “Semuanya itu telah kuturuti; apa lagi yang masih kurang?” Kemudian Yesus mengutarakan jawaban yang utama:

“Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah aku.”

Mendengar hal itu, orang muda ini pergi dengan sedih, sebab ia sangat kaya. Lalu Yesus berkata kepada murid-muridnya,

“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sukar sekali bagi seorang kaya untuk masuk ke dalam Kerajaan Surga. Sekali lagi aku berkata kepadamu, lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah.”

Bagaimana kita dapat mewarisi hidup yang kekal? Apakah Anda yakin Anda memiliki jawaban kepada pertanyaan itu? Untuk sementara, mari kita pinggirkan dulu semua teologi yang pernah kita pelajari, dan mendengarkan perkataan Yesus sekali lagi seolah-olah kita belum pernah mendengarnya berbicara sebelumnya. Praanggapan yang kita pegang seringkali menghalang kita dari mendengarkan Injil secara jujur dan tanpa prasangka.

Kepada pertanyaan, “Apa yang harus kulakukan untuk memperoleh hidup yang kekal?” Yesus memberi jawaban yang mengejutkan, “Jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah.” Kebanyakan orang Kristen akan segera memprotes: “Itu tidak mungkin betul!” Jika ajaran Yesus tidak sesuai dengan doktrin kita, dia yang salah, bukan kita! “Menurut teologi kami, itu adalah keselamatan oleh perbuatan! Tidak seorang pun yang diselamatkan oleh karena menuruti segala perintah Allah!” Akan tetapi, suka atau tidak, itulah yang Yesus katakan secara terus terang. Apakah ajarannya sesuai dengan teologi kita, tidaklah penting.

Akan tetapi, jika kita berani menolak perkataan Yesus yang dinyatakan secara eksplisit ini, sebaiknya kita menyiapkan suatu penjelasan yang mantap apabila kita berdiri di hadapannya nanti, kalau memang ada. Betapa cepat dan beraninya kita membiarkan teologi kita untuk menolak perkataan Yesus yang gamblang ini. Seringkali ketika kita tak dapat menemukan jalan keluar, kita mengakui bahwa sekalipun Yesus memang berkata seperti itu, ia tidak bermaksud seperti itu! Faktanya adalah Yesus memang berkata demikian kepada orang muda yang kaya ini, di dalam bahasa yang tidak mungkin disalahartikan, “Jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah.”

Kalau Anda masih tidak menyukai hal ini, mari kita pertimbangkan satu lagi peristiwa yang tidak bersangkutan, di mana seorang ahli Taurat menanyakan hal yang sama,

“Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” (Luk 10:25).

Sangat mengejutkan, Yesus memberikan jawaban yang sama,

“Apa yang tertulis di dalam hukum Taurat? Apa yang kau baca di sana?”

Ahli Taurat itu menjawab, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”

Yesus menyetujui jawaban itu,

“Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.”

Suka atau tidak, Anda harus menuruti seluruh perintah Allah untuk memperoleh hidup yang kekal. Yesus memberi jawaban yang sama kepada ahli Taurat dan orang muda yang kaya itu. Jawaban ini keluar dari mulut Yesus sendiri. Tidak peduli apa pun teologi kita, lebih baik kita menyendengkan telinga kita pada apa yang Yesus katakan.


Sepuluh Perintah Allah dan Dua Perintah Utama

Ketika orang muda itu bertanya, “Perintah yang mana?” Yesus memberikan daftar perintah yang panjang: Jangan membunuh, jangan berzinah, dan sebagainya. Penekanannya bukan pada menaati perintah-perintah itu secara individual, tetapi menaatinya secara keseluruhan. Jadi semuanya itu dirangkum dalam kalimat yang terakhir:

“Dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”

Yesus mengutip paruh kedua dari Sepuluh Perintah (Kel 20; Ul 5), yang berkaitan dengan hubungan sesama manusia; dan kelima perintah tersebut semuanya dinyatakan dalam bentuk negatif: “Jangan…”.

Dalam kenyataannya, kebanyakan dari Sepuluh Firman itu dinyatakan dalam bentuk negatif. Hanya dua yang dinyatakan dalam bentuk positif, yaitu perintah keempat dan kelima: Kuduskanlah hari Sabat dan hormatilah ayahmu dan ibumu.

Namun, jika diteliti dengan lebih saksama, kedua perintah tersebut sebenarnya memiliki karakter yang negatif. Bagaimana caranya hari Sabat dikuduskan? Jangan melakukan sesuatu pekerjaan (Kel 20:10); Ul 5:14). Tidak dirinci dalam Sepuluh Perintah apa yang harus dilakukan pada hari itu. Penekanannya adalah pada tidak melakukan sesuatu pekerjaan. Pekerjaan apa yang harus dilakukan, tidak dijelaskan.

Demikian pula dengan perintah untuk menghormati ayah dan ibu pada dasarnya memiliki arti: jangan tidak menghormati ayah dan ibu; karena di luar itu, perintah ini tidak memberi keterangan tentang apa yang harus dilakukan untuk menghormati mereka. Sekali lagi, tidak ada hal khusus yang harus dikerjakan. Herannya, Perjanjian Lama tidak secara spesifik mengaitkan perintah untuk menaati orang tua dengan perintah untuk menghormati orangtua, sekalipun kaitan ini barangkali bisa dianggap ada. Hanya dalam Perjanjian Baru kita menemukan perintah itu, “Hai anak-anak, taatilah orangtuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian” (Ef 6:1; bdk. Kol 3:20).

Maka jelaslah bahwa menuruti perintah-perintah yang berbentuk negatif ini tidak melibatkan perbuatan yang harus dilakukan melainkan persoalan menahan diri dari melakukan hal–hal tertentu. Mestinya hal ini tidak sulit. Namun, kita harus mengingat bahwa Adam dan Hawa gagal ketika diperintahkan untuk menahan diri dari memakan buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat.

Jadi, memelihara Sepuluh Perintah pada dasarnya merupakan persoalan tidak melakukan daripada melakukan. Intinya adalah menahan diri dari melakukan tindakan-tindakan tertentu. Ini berarti menuruti perintah-perintah tersebut jelas bukan suatu perbuatan, khususnya jika kita memperhatikan kenyataan bahwa Yesus hanya menyebutkan paruh kedua dari Sepuluh Perintah yang semuanya bernada negatif atau bersifat melarang.

Sangat mengejutkan, Sepuluh Perintah Allah itu tidak memberi dasar apa pun bagi pengajaran keselamatan oleh perbuatan. Banyak orang Kristen yang memiliki pandangan yang dangkal terhadap orang Yahudi yang sangat keterlaluan, yaitu bangsa Yahudi mencari keselamatan oleh perbuatan dengan memelihara perintah-perintah Allah, sementara orang-orang Kristen diselamatkan tanpa melakukan pekerjaan apa pun, tetapi hanya oleh anugerah. Kenyataannya, Anda dapat memenuhi ketentuan-ketentuan dari Sepuluh Perintah dengan tidak melakukan apa pun!

Atas alasan inilah orang muda yang kaya itu merasa bahwa ia sudah menuruti Sepuluh Perintah. Yesus juga tidak menyalahkannya dalam hal ini. Orang muda tersebut, sejak masih remaja, memang bersungguh-sungguh menahan diri dari melanggar perintah–perintah yang ada.

Ada orang-orang Kristen dan bahkan yang non-Kristen yang tidak melanggar Sepuluh Perintah secara sengaja. Ada cukup banyak orang non-Kristen yang secara jujur dapat berkata, “Sepengetahuan saya, belum ada satu pun dari kesepuluh perintah itu yang saya langgar. Saya tidak menyembah berhala, membunuh orang lain, ataupun menyebut nama Allah dengan sembarangan, atau berzinah, atau merampok atau mencuri…” Saya sendiri termasuk salah satu dari mereka. Rasul Paulus, merujuk kepada dirinya sebelum bertemu Yesus, dapat menggambarkan kehidupan non-Kristennya seperti ini, “tentang kebenaran dalam menaati hukum Taurat aku tidak bercacat” (Flp 3:6). Ada banyak orang-orang bermoral yang memelihara ketentuan-ketentuan dari hukum Taurat—cukup dengan tidak melakukan apa-apa yang dapat melanggar perintah-perintah yang ada.

Akan tetapi, Yesus membuka isi Sepuluh Perintah dan menimbulkan karakter positif yang terkandung di dalamnya. Dengan berbuat demikian, memelihara perintah Allah tidak lagi menjadi sekadar masalah menahan diri terhadap larangan yang diberikan oleh hukum Taurat. Sekarang menjadi masalah menjalankan jiwa dari hukum Taurat itu, yang dinyatakan dalam dua perintah yang utama: Mengasihi Allah dan sesama manusia. Ini tampak jelas dari fakta bahwa sesudah mengutip paruh kedua dari Sepuluh Perintah, ia merangkum perintah-perintah tersebut dengan, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat 19:19). Kata-kata tersebut bukan bagian dari Sepuluh Perintah, tetapi dikutip dari Imamat 19:18. Perintah untuk mengasihi tidak mungkin dipenuhi dengan tidak berbuat apa-apa.

Jadi jelaslah bahwa ketika Yesus berkata, “Turutilah segala perintah Allah maka engkau akan hidup,” Ia tidak sekadar merujuk kepada Sepuluh Perintah di dalam bentuknya yang negatif, tetapi lebih pada dua perintah utama yang dinyatakan dalam bentuk yang positif. Jika Anda mengasihi Allah dengan segenap hati dan mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri, Anda akan mewarisi hidup yang kekal. Di dalam dua peristiwa yang terpisah, Yesus memberi jawaban yang sama kepada pertanyaan yang sama tentang hidup yang kekal.


Apa Lagi yang Masih Kurang?

Orang muda yang kaya ini mungkin belum sepenuhnya memahami jiwa dari hukum Taurat, tetapi untungnya ia mengetahui bahwa ada yang kurang di dalam hidupnya. Walaupun, sejauh yang ia ketahui, ia sudah menuruti hukum Taurat dengan setulus hati, ia merasakan ada sesuatu yang kurang beres. Apakah Anda merasakan adanya sesuatu yang kurang juga dalam hidup Anda? Bahwa hubungan Anda dengan Allah terasa lemah? Bahwa doa–doa Anda rasanya tidak sampai sasaran? Bahwa Anda tidak memiliki tujuan dalam kehidupan rohani? Atau bahwa Anda tidak dapat melakukan apa yang baik yang ingin Anda lakukan?

Kita dapat membayangkan orang muda yang kaya ini berkata sejujurnya, “Saya telah memberikan yang terbaik untuk menuruti segala perintah Allah yang saya ketahui. Namun, masih ada yang kurang. Apa itu?” Yesus menjawabnya, “Oleh karena engkau menanyakannya, maka biarkan aku memberitahu kamu. Apa yang kurang di dalam hidupmu adalah tanggapan yang total kepada Allah. Engkau sudah memberi tanggapan dalam hal menuruti hukum Taurat, tetapi itu bukanlah suatu tanggapan yang total karena engkau tidak mengasihi Allah dengan segenap hatimu.”


Tuntutan yang Absolut, Tanggapan yang Total

Allah menuntut tidak kurang dari komitmen yang total. Ciri dari kehidupan baru di dalam Kristus adalah kita tidak dapat menjalaninya tanpa komitmen total. Dari pengalaman hidup kita sendiri, kita tahu kita tidak dapat menjalani kehidupan Kristen yang berkemenangan jika ketaatan kita kepada Allah terbagi-bagi. Kesempurnaan itu tidak lebih dan tidak kurang dari memenuhi tuntutan mutlak dari Allah oleh anugerah yang disediakan-Nya secara cuma-cuma. Tuntutan mutlak menuntut tanggapan mutlak. “Kata “mutlak” di sini berarti total atau sempurna sebagai lawan dari setengah-setengah atau tidak memadai.

Akan tetapi, Injil yang sering disajikan dewasa ini, tidak jarang melukiskan Allah sebagai figur kebapaan yang tidak menuntut apa-apa dari kita kecuali kita menjadi baik dan mau percaya kepada Yesus. Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dunia, jadi tolong tunjukkan sedikit kebaikan kepada-Nya dengan menerima-Nya. Allah, yang lunak dan berhati lembut, berkata, “Aku tidak menuntut apa-apa darimu, tetapi tolong luangkan satu jam dari waktumu sekali seminggu untuk menghormati-Ku di gereja, dan memasukkan beberapa koin ke dalam kotak persembahan (itupun jika engkau berkenan).” Lukisan Allah seperti seorang pengemis ini jelas-jelas merupakan suatu penghinaan kepada-Nya.

Itu bukanlah Allah Alkitab. Allah, Tuhan yang berkuasa atas segalanya, tidak sekadar meminta waktu satu jam pada hari Minggu, atau beberapa koin ke dalam kotak persembahan. Ia menuntut segalanya. “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, segenap jiwamu, segenap pikiranmu, segenap kekuatanmu”—perhatikan  rangkap empat “segenap”! Benar–benar merupakan tuntutan total! Ia tidak mengemis; Ia menuntut.

Yesus menatap orang muda yang kaya ini dan timbullah kasihnya kepadanya (Mrk 10:21). Namun, walau belas kasihnya kepada orang muda itu sangat mendalam, Yesus tidak mengurangi tuntutan mutlak tersebut setitikpun.


Satu Injil untuk Orang Kaya dan Satu Lagi untuk Orang Miskin?

Yesus berkata kepada orang muda yang kaya itu,

“Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.” (Mat 19:21).

Pada masa kekristenan yang sudah begitu dicairkan sekarang ini, ribuan suara akan mengajukan protes, “Hal ini tidak mungkin diberlakukan untuk semua orang! Pengajaran itu berlaku hanya untuk orang kaya yang muda itu, bukan untuk kami!” Namun, apakah kita benar-benar menganggap bahwa ada satu Injil untuk orang kaya, dan satu lagi untuk orang miskin? Saya hanya melihat satu Injil di dalam Alkitab. Jika ada Injil yang lain, pastilah itu palsu. Setiap orang, Yahudi atau bangsa lain, kaya atau miskin, diselamatkan melalui Injil yang sama. Apakah Yesus merancang satu Injil yang spesial hanya untuk orang kaya yang muda ini? Jika memang demikian, lalu mana Injil yang berlaku untuk orang miskin?

Ada orang yang berusaha untuk menciptakan injil yang berbeda karena mereka ingin lari dari pedang Roh, yang menusuk amat dalam dan membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita (Ibr 4:12; Ef 6:17). Sebaiknya kita tunduk kepada pedang itu jika kita ingin masuk ke dalam hidup.


Prinsip Memberi

Apa inti persoalannya? Apa yang dikatakan Yesus kepada orang muda yang kaya ini? Apakah Yesus bermaksud ia dapat memperoleh hidup yang kekal dengan menjual segala miliknya? Bahwa seorang jutawan dapat membeli hidup yang kekal dengan harga sejuta dolar, dan seorang miskin dapat berbuat demikian dengan harga dua dolar, asalkan Anda mengosongkan rekening bank? Sekali lagi kita melihat bahayanya usaha memahami suatu persoalan secara eksternal.

Yesus berbicara tentang empat hal: pergilah, juallah, berikanlah dan datanglah—dengan urutan seperti itu. Orang muda ini harus pergi sebelum ia dapat menjual; dan menjual sebelum ia dapat memberi; dan memberi sebelum ia dapat datang kepada Yesus.

Ide kuncinya adalah memberi. Memberi merupakan jiwa dari persoalan ini. Sudah menjadi watak manusia untuk mengambil dan merebut, tetapi Yesus ingin mengubah kebiasaan kita mengambil menjadi jiwa yang memberi. Intinya bukan sekadar menjual harta milik, karena kalau demikian Anda bisa berkata sendiri, “Betapa beruntungnya saya, harta milik saya hanya senilai dua puluh dolar. Saya dapat memperoleh hidup yang kekal dengan seharga dua puluh dolar!” Apakah kita mengira karakter Allah sedangkal itu?

Hanya ada satu Injil buat yang kaya dan yang miskin. Setiap orang, kaya ataupun miskin, harus mengalami perubahan di dalam sikap hatinya, dari mengambil dan menerima, menjadi memberi dan memberkati.

Secara alami kita mengambil keputusan atau membina persahabatan sesuai dengan manfaat yang akan kita dapatkan. Apakah saya akan bergabung dalam suatu kelompok atau tidak, akan bergantung kepada seberapa besar manfaat yang akan saya dapatkan dari situ. Bergantung kepada apakah mereka yang ada di dalam kelompok tersebut akan memberi bantuan, dukungan ataupun uang pada saat saya membutuhkan. Jika saya mendapat apa yang saya inginkan, saya akan memandang kelompok itu sebagai kumpulan orang–orang yang luar biasa. Namun, jika ada beberapa orang di dalam kelompok itu yang membutuhkan bantuan saya, apakah dalam bentuk penghiburan atau bentuk pertolongan yang lain, atau mereka menguji kesabaran saya, saya akan memandang mereka sebagai kumpulan orang–orang yang tidak dapat diharapkan atau bahkan patut dicela.

Mari kita menguji sikap kita. Jika ada orang yang memberi kita seratus dolar, kita berkata, “Haleluyah! Allah begitu baik kepada saya.” Namun, jika Allah menyuruh kita untuk menyalurkannya kepada orang yang membutuhkan, kita memprotes, “Mengapa harus saya? Masih banyak orang yang lebih kaya daripada saya.” Bukanlah watak kita untuk berpikir seperti Yesus. Yesus berkata,

“Lebih berbahagia memberi daripada menerima.” (Kis 20:35).

Pola pikir kita lebih mementingkan apa yang kita perolehi daripada apa yang dapat kita berikan. Bukankah ini yang menjadi sikap utama kebanyakan orang Kristen, bahkan di kalangan mereka yang mengaku sudah dilahirkan kembali? Kita menghadiri ibadah dengan tujuan untuk mendapatkan sesuatu, bukannya untuk memberi. Manusia duniawi—manusia yang dikuasai kedagingan—selalu ingin mendapat dan mendapat lebih lagi, atau menimbun dan menimbun lebih banyak—sampai harta miliknya itu mencekiknya. Membutuhkan mukjizat untuk mengubah watak mengambil menjadi watak memberi.

Bagaimana caranya orang muda ini menjadi begitu kaya? Bukankah dengan menyimpan apa yang ia miliki, dan mengumpulkan apa yang ia dapatkan dari sumber penghasilannya? Tidak ada orang yang dapat menjadi kaya dengan cara memberikan harta miliknya, dan sesudah menggunakan apa yang ia perlukan, tidak mengumpulkan apa yang ia dapatkan. Orang muda ini kemungkinannya menjadi kaya karena warisan, dan sekarang ia ingin mendapatkan warisan hidup yang kekal pula. Ia harus belajar bahwa kita hanyalah pengurus-pengurus Allah atas semua harta-milik kita. Harta yang kita miliki, sedikit atau banyak, adalah apa yang Ia percayakan kepada kita. Sebagai pelayan-Nya kita harus menggunakan apa yang telah Ia berikan kepada kita sesuai dengan kehendak-Nya.

Allah adalah Allah yang selalu memberi, dan kita harus belajar untuk berbuat demikian jika kita berharap untuk memperoleh hidup yang kekal. Kegagalan orang muda yang kaya pada titik yang penting ini menjadi suatu peringatan keras bagi kita. Ia akan mendapat kesempatan untuk menyesali kebodohannya di sepanjang kekekalan. Haruslah kamu sempurna sama seperti Allah adalah sempurna juga berarti haruslah kamu selalu memberi sama seperti Ia yang selalu memberi.

Bagaimana mungkin kedua perintah yang terutama itu dapat dijalankan kalau bukan melalui sikap dan tindakan memberi? Memberi adalah ciri kasih yang utama. Untuk dapat mengasihi Allah dengan rangkap empat “segenap” itu, di dalam prakteknya, berarti memberi segalanya. Ini berarti kita memberi seluruh jiwa raga kita kepada Allah, dan harta milik kita untuk memenuhi kebutuhan saudara yang kekurangan, yakni sesama manusia yang kita kasihi seperti diri sendiri.

Sekarang jelaslah bahwa apa yang Yesus perintahkan kepada orang muda yang kaya itu untuk dilakukan (‘pergilah, juallah, berikanlah, dan datanglah’) merupakan pelaksanaan dari kedua perintah yang utama itu. Kedua perintah itu berlaku kepada setiap orang Kristen, bukan hanya kepada orang muda yang kaya itu.


Collyer Bersaudara

Contoh yang sangat menyolok dari mentalitas mengambil ini terlihat pada Collyer bersaudara. Mereka merupakan dua orang bujangan yang terkenal lebih dari setengah abad yang lalu. Dua bersaudara ini sedemikian pelitnya sehingga mereka tetap membujang karena takut jika pernikahan hanya akan memboroskan uang mereka. Pada masa itu, sangat sedikit wanita karir yang dapat hidup mandiri.

Sedemikian pelitnya kedua orang ini sehingga mereka tidak sudi membuang apa pun, koran, majalah atau bahkan botol kosong. Mereka mewarisi sebuah rumah mewah yang besar, tetapi sejalan dengan waktu rumah itu segera dipenuhi oleh tumpukan koran, majalah, botol dan toples sampai setinggi plafon. Kekikiran mereka sudah mencapai tahap tidak masuk akal. Ruangan-ruangan di rumah itu dipenuhi oleh berbagai macam sampah yang tidak rela mereka buang.

Mereka tidak memasang telepon karena mereka tidak ingin berhubungan dengan orang lain. Buat apa memboroskan beberapa dolar sebulan untuk telepon jika Anda tidak ada hasrat untuk berbicara dengan orang lain?

Pada suatu hari, mereka jatuh sakit karena keracunan makanan dan mereka harus memanggil dokter. Kelihatannya, mereka harus menolerir ongkos ini jika mereka ingin bertahan hidup di antara tumpukan botol dan majalah. Namun, mereka tidak punya telepon! Menurut laporan surat kabar, rumah mewah itu sedemikian penuh dengan tumpukan sampah sehingga mereka harus berjuang keras untuk dapat mencapai pintu keluar dan mencari telepon umum. Sewaktu sedang berusaha melewati timbunan barang-barang itu, mereka kehabisan tenaga, jatuh pingsan dan mati. Akhirnya, polisi berhasil menemukan mayat mereka, setengah terkubur di antara timbunan sampah.

Apakah watak mereka itu sulit dipahami? Kedua kakak beradik ini menggambarkan kutub lawan dari kemurahan hati, yaitu memberi dengan tangan yang terbuka. Kepelitan mereka mencapai tingkat yang konyol. Namun, jika kita sendiri tidak pernah belajar bagaimana bermurah hati, bukankah kita berbeda dari mereka hanya pada tingkat dan bukan jenis, dalam hal kuantitas dan bukannya kualitas? Keengganan mereka untuk berpisah dari apa yang mereka miliki berada pada tingkat yang amat ekstrim, tetapi sekalipun kita tidak seekstrim mereka, apakah itu membuat kita berbeda dari mereka secara kualitatif?

Bukankah benar bahwa secara alami kita mementingkan diri sendiri, serakah dan hanya mau mengambil saja? Pembawaan buruk ini biasanya ditundukkan pada masa kecil melalui pelatihan dan pendidikan, tetapi tidak pernah terhapus. Jika tersedia banyak makanan dalam suatu pertemuan, setiap orang pada umumnya akan menjaga sopan santun, sebagaimana mereka telah diajarkan begitu. Namun, di dalam keadaan di mana hanya ada sedikit makanan maka perilaku yang berbeda muncul dari manusia alamiah itu. Hanya setelah Kristus mengubah kita menjadi pribadi yang baru, maka bisa terjadi perubahan di dalam batin kita, dan kita berhenti menggengam dan menyambar dan mulai menjadi serupa dengan Kristus di dalam wataknya yang selalu memberi diri.


Mengikut Yesus tanpa Beban dan Gangguan

Memberi bukanlah tujuan akhir kita. Orang muda yang kaya itu disuruh pergi, menjual dan memberi, supaya ia bisa “datanglah ke mari dan ikutlah aku”. Ia harus bebas sepenuhnya dari beban harta kekayaannya dan dari tuntutan dunia, untuk mengikut Yesus tanpa gangguan.

Namun sayangnya, orang muda yang kaya ini memilih untuk berpaut pada hal-hal yang di dalam pandangan Paulus adalah “sampah” (Flp 3:8) jika dibandingkan dengan kekayaan kekal yang dapat ia peroleh nantinya. Di dalam hitungan beberapa tahun, maut akan memisahkan orang muda ini dari kekayaannya. Ia belum memahami hikmat dari pengamatan Ayub,

“Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya” (Ayb 1:21).

Orang muda ini tidak akan membawa sesen pun uangnya jika ia mati nanti. Pada waktu ia berpaling dari panggilan Yesus untuk menjadi muridnya, ia berpaling dari hidup kekal. Ia tidak menganggap hidup kekal layak dibandingkan dengan semua harta miliknya.

Apakah Anda juga akan pergi dengan kecewa? Anda berharap untuk tawar menawar, tetapi Anda dihadapkan dengan suatu tuntutan mutlak. Injil nilainya amat mahal karena, pertama-tama, Allah sendiri membayar dengan Anak-Nya, dan kedua, kita harus membayar dengan segala milik kita. “Setiap orang yang mau mengikut aku,” kata Yesus, “ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut aku” (Luk 9:23; Mat 16:24; Mrk 8:34). Itu sama dengan menyangkal nyawanya untuk mengikut Yesus, seperti yang disadari oleh orang muda yang kaya ini—bagi dia kekayaannya adalah nyawanya sendiri, yang ia tidak rela sangkal. Yesus melanjutkan, “Barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena aku, ia akan menyelamatkannya” (Luk 9:24). Hanya dengan cara inilah seseorang dapat mengikut Yesus tanpa beban atau gangguan. Ini merupakan kebenaran yang fundamental dari Injil Kristus.

Hanya sesudah kita pergi dan jual barulah kita dapat datang kepada Yesus dan mengikut dia. Mengikut dia ke mana? Segera sesudah percakapannya dengan orang muda yang kaya itu, Yesus berbicara tentang kematiannya: “Sebab ia akan diserahkan kepada bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, diolok-olokkan, dihina dan diludahi, dan mereka menyesah dan membunuh dia, dan pada hari ketiga ia akan bangkit” (Luk 18:.32-33; Mat 20:18,19). Dengan demikian, mengikut dia berarti mengikut dia ke kayu salib. Tentu saja, tidak ada orang yang ingin berpaut pada harta miliknya dan menyelamatkan nyawanya, ingin berjalan di jalan salib ini.

Orang muda ini berpaling dari tuntutan Yesus yang mutlak, dan banyak orang sekarang ini melakukan hal yang sama. Namun, kebenaran tidak dapat diubah atau ditawar-tawar. Jika kebenaran dapat disesuaikan dengan selera masing-masing orang, itu bukan kebenaran lagi. Karakter kebenaran kekal yang tidak dapat diubah merupakan alasannya mengapa Yesus tidak menurunkan persyaratannya. Jika perintahnya berkata “segala”, itu berarti total dan mutlak; tidak dapat disesuaikan menjadi 98 atau 99 persen, apalagi 40 atau 50 persen.


Penawaran Injil Murahan

Ada banyak sekali orang Kristen di dunia sekarang ini. Data statistik memberi angka 1.5 milyar pada tahun 1980-an, bertumbuh melebihi 2 milyar menjelang tahun 2000, mewakili lebih dari 32% dari penduduk dunia. Semua negara-negara industri adalah “Kristen” kecuali Jepang. Rusia dulunya Kristen dan sekarang mulai kembali kepada kekristenan lagi. Negara–negara industri maju di Eropa pada umumnya Kristen; demikian pula Amerika Utara, Australia dan Selandia Baru.

Namun, biarlah kenyataan ini diakui dengan keprihatinan yang mendalam: Terdapat sedemikian banyak orang Kristen sekarang ini hanya karena harga untuk memperoleh hidup yang kekal itu sudah dipangkas habis-habisan. Kenyataannya, di dalam gereja–gereja tersebut orang akan terkejut jika harga untuk menjadi orang Kristen sejati sekali-sekali disebut. Sebaliknya, menjadi “seorang Kristen” seringkali berarti tidak lebih dari menjadi anggota denominasi atau gereja tertentu.

Apakah mungkin untuk menurunkan harganya lagi (sekalipun sudah sekian murah), untuk memperoleh lebih banyak jemaat lagi? Lagi pula, setiap orang mencari barang obral. Jika hidup yang kekal tersedia secara gratis, mengapa tidak dicoba? Jadi orang hanya perlu datang ke gereja sekali atau dua kali dalam setahun, pada minggu Paskah atau hari Natal, atau bahkan hanya sekali atau dua kali seumur hidup—dan ini, celakanya, sudah terjadi di banyak negara “Kristen”.

Mereka mengkristenkan dunia dengan cara membanting harga (sampai senilai beberapa koin persembahan mungkin?). Namun, dengan berbuat demikian, dunia Kristen di barat telah menurunkan harga dirinya dan membawa dirinya ke ambang ketidakrelevanan. Bahkan orang non-Kristen tahu bahwa Anda mendapat sesuai dengan harga yang Anda bayar: Anda tidak dapat memperoleh mutiara dengan membayar kacang goreng.

Siapakah yang telah memberi izin untuk memotong harga? Tuntutan mutlak dari panggilan Kristus untuk menjadi muridnya telah disingkirkan, dan Kekristenan telah dikemas ulang menjadi sesuatu yang lebih mudah diterima dan dengan demikian lebih sesuai untuk mengkristenkan dunia. Akan tetapi, sekalipun tampak mengherankan, Yesus tidak tertarik untuk mengkristenkan dunia, tetapi  memanggil murid-murid yang menaati Allah. Ia hanya tertarik untuk membicarakan kebenaran.

Injil murahan diajarkan dengan mengutip ayat–ayat Alkitab secara selektif tanpa memperhatikan konteksnya. Salib yang menjadi panggilan Yesus bagi kita jarang disebutkan; demikian pula dengan hal mati bersama Kristus kepada hidup yang lama dan bangkit bersamanya untuk menjadi manusia baru. Orang banyak dibawa masuk ke dalam gereja, atau dibesarkan di dalam gereja, di atas Injil yang telah diencerkan. Namun, sayangnya, mereka bukanlah orang-orang Kristen yang akan dikenal oleh Yesus pada Hari itu.


Bagaimana Kita Dapat Mengalami Allah?

Saya beritahukan suatu rahasia rohani yang besar: Apabila kita datang kepada Yesus di dalam ketaatan iman, dimulai dengan pertobatan, kita akan mulai mengalami kasih Allah yang tak terbatas bagi kita. Mengenai orang muda yang kaya itu, Injil mencatat bahwa Yesus “memandang dia dan menaruh kasih kepadanya” (Mrk 10:21). Namun karena orang muda ini berpaling dari panggilan Yesus, maka ia tidak akan pernah, baik dalam waktu maupun kekekalan, mengalami kasih tersebut. Atas alasan yang sama, banyak orang Kristen yang tidak mengalami kasih Allah.

Apa yang tidak dapat dilepaskan demi kasih Yesus yang murni itu? Paulus bermegah di dalam Yesus “yang telah mengasihi aku dan menyerahkan dirinya untuk aku” (Gal 2:20). Setiap orang yang mengikut Yesus dapat mengalami kasih surgawi itu di dalam hatinya.

Akan tetapi, perhatian orang muda yang kaya ini terikat pada perkara-perkara yang sementara dan sedang berlalu sehingga ia tidak dapat melihat hal-hal yang bersifat kekal. Apabila kita menilai yang sementara terlalu tinggi, kita akan menilai yang kekal terlalu rendah. Ia tidak berani membakar jembatan di belakangnya karena ia masih ingin mempertahankan hubungannya dengan dunia. Ia tidak bersedia memberi tanggapan rohani yang radikal karena takut tidak memiliki sandaran materiil jika keadaan menjadi sulit.

Sebagai contoh, jika ia memberikan kekayaannya, siapa yang akan memeliharanya pada masa tua nanti? Atau membiayai pengobatannya? Atau, bahkan sebelum itu terjadi, membiayai pendidikan anak-anaknya? Mengapa tidak terlintas dalam benaknya bahwa jika ia mengikut Yesus bersama-sama dengan murid-murid yang lain, ia dapat mempercayai Bapa di surga untuk menyediakan semua kebutuhannya? Tak dapatkah kita belajar untuk percaya bahwa Allah akan memelihara kita, dan dengan demikian mengalami kasih-Nya bagi kita?

Suatu tanggapan yang total kepada Allah adalah mustahil tanpa iman. Tanpa iman, tidak ada gunanya merelakan harta milik. Jika kita tidak terbuka kepada pekerjaan Allah di dalam hidup kita, kita tidak perlu berpikir tentang memberikan harta milik kita. Sangat berbahaya jika kita mencoba menjalankan pengajaran Tuhan di luarnya saja tanpa memiliki sikap hati yang benar. Jika Anda bergegas keluar dan menjual segala milik Anda, dua hari kemudian Anda akan mulai menyesali perbuatan Anda. Apa yang diperintahkan Yesus merupakan suatu perubahan hati, bukan sekadar ketaatan eksternal.


Kebahagiaan dari Mengikut JejakNya

Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, Allah itu selalu memberi. Justru inilah yang terlihat dalam kehidupan dan kepribadian Yesus Kristus. Oleh karena itu, menjadi manusia baru yang memiliki pikiran Kristus adalah menjadi seorang yang dengan senang hati mengikut jejaknya.

Banyak orang Kristen yang mengakui bahwa mereka tidak bahagia. Orang-orang yang tidak bahagia ini biasanya adalah mereka yang belum pernah belajar arti sukacita dalam memberi, khususnya memberi diri mereka sendiri, dan bukan sekadar memberi uang atau harta. Mari kita ingat bahwa adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima (Kis 20:35). Dengan kata lain, kebahagiaan Allah tersedia bagi mereka yang, seperti diri-Nya, memberi dengan sukacita. Kata “berbahagia” (makarios) juga berarti “bergembira”. Menerima berkat Allah adalah menerima sukacita dari Dia.

Yesus berkata,

“Berilah dan kamu akan diberi: suatu takaran yang baik, yang dipadatkan, yang digoncang dan yang tumpah ke luar akan dicurahkan ke dalam ribaanmu. Sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu” (Luk 6:38).

Beberapa pasal kemudian, di Lukas 12:20, ada seorang kaya yang disebut “bodoh” karena mengumpulkan kekayaan, hampir seperti kedua saudara Collyer tersebut, yang membangun lumbung-lumbung yang lebih besar untuk menyimpan hasil panennya. Allah berkata kepadanya,

“Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti?”

Apa yang enggan ia serahkan dalam hidupnya itu, diambil darinya oleh kematian. Ia “bodoh” karena tidak mengerti, dan tidak mau mengerti, kefanaan harta duniawi dan keabadian harta surgawi.


Mengalami Realitas Allah

Apabila kita memiliki pikiran Kristus, kita akan mulai mengalami kesukacitaan dan kekuatan yang Tuhan sendiri berikan kepada kita. Kita akan mengalami apa yang diajarkan oleh Yesus, bahwa dengan memberilah kita menerima. Setelah kita memberi apa yang kita miliki, kita akan mendapati bahwa Tuhan, herannya, akan memberi lebih banyak lagi kepada kita untuk disalurkan kepada orang lain. Dengan cara ini kita menjadi saluran kehidupan dan kemurahan Allah kepada orang lain. Banyak yang dapat bersaksi tentang hal ini dari pengalaman masing–masing.

Jika kita berjalan di jalan memberi-diri yang sempit ini, kita akan mendapati bahwa Allah menjadi amat nyata bagi kita. Saya belum pernah menjumpai orang yang hidup menurut pikiran Kristus yang tidak mendapati Allah itu nyata.

Banyak orang Kristen yang berkata bahwa Allah tidak nyata bagi mereka; itu karena mereka tidak hidup menurut pikiran-Nya. Mereka enggan melepaskan kepentingan diri mereka, mereka enggan membakar jembatan di belakang mereka; karena mereka ingin mempertahankan jalan keluar untuk mundur kembali kepada keamanan duniawi mereka jika kehidupan Kristen menjadi terlalu sulit.

Jadi mereka memilih untuk melakukan kompromi. Mereka menetapkan komitmen yang setengah-setengah kepada Kristus. Akibatnya, mereka tidak dapat mengalami realitas Allah. Mereka menjalani kehidupan kekristenan mereka tanpa keyakinan, tanpa sukacita dan tanpa kuasa. Sama seperti orang muda yang kaya yang dipanggil untuk menjadi sempurna, untuk menjadi murid sejati, mereka juga tidak bersedia membayar harganya untuk melalui jalan yang sempit dalam menanggapi panggilan tersebut.

Akan tetapi, barangsiapa yang memiliki pikiran Kristus tahu bahwa sekalipun

“Bagi manusia hal ini tidak mungkin, tetapi bagi Allah segala sesuatu mungkin” (Mat.19.26).

 

Berikan Komentar Anda: