SC Chuah | Covid-19 |

Kita akan memulai dari 1 Raja-Raja 8:37-38. Saya akan bacakan dan saya ingin saudara mendengarkan dengan saksama karena apa yang saya bacakan, mungkin tidak terlalu dikenal oleh pembaca yang membaca dalam bahasa Indonesia karena cara Alkitab bahasa Indonesia menerjemahkan ayat 38.

Apabila di negeri ini ada kelaparan, apabila ada penyakit sampar, hama dan penyakit gandum, belalang, atau belalang pelahap, apabila musuh menyesakkan mereka di salah satu kota mereka, apabila ada tulah atau penyakit apapun, lalu seseorang atau segenap umat-Mu Israel ini memanjatkan doa dan permohonan di rumah ini dengan menadahkan tangannya  —  karena mereka masing-masing akan mengenal tulah yang ada di dalam hati mereka sendiri — 

Ini merupakan ayat yang luar biasa! Kata “tulah” atau “wabah” di ayat 38 yang berbicara tentang “wabah yang ada di dalam hati mereka sendiri” merupakan kata yang sama persis dengan kata “tulah” di ayat 37. Mengapa luar biasa? Lihat saja bagaimana kita menanggapi wabah Corona ini. Apakah wabah ini menyentuh hati kita? Tidak, kita melihatnya sebagai sesuatu yang terjadi di luar sana. Kita juga cenderung memandangnya secara kolektif, yaitu sesuatu yang menimpa umat manusia secara keseluruhan. Kita menilainya dengan angka angka, angka infeksi dan angka kematian. Nyaris tidak ada yang melihatnya sebagai sebuah pesan kepada hati kita masing-masing! Namun dari doa Raja Salomo ini, kita bisa melihat bahwa bagi bangsa Israel, wabah yang sedang mengamuk di luar sana secara meluas merupakan cerminan dari wabah di dalam hati masing-masing. Alkitab bahasa Inggris sangat tajam bahasanya, “each knowing the plague of his own heart”. Dalam terjemahan bahasa Inggris, urutannya juga berbeda, justru karena mereka masing-masing akan mengenal wabah yang ada di dalam hati mereka sendiri, mereka menadahkan tangannya.   

Jadi, hari ini saya mau mulai dengan sebuah wabah yang jauh lebih serius daripada wabah yang sedang kita alami sekarang, yakni wabah yang terjadi di dalam hati manusia. Hal ini dikonfirmasi di ayat 39, kita melihat di sini kenapa Salomo berdoa seperti itu:

maka Engkaupun kiranya mendengarkannya di sorga, tempat kediaman-Mu yang tetap, dan Engkau kiranya mengampuni, bertindak, dan membalaskan kepada setiap orang sesuai dengan segala kelakuannya, karena engkau mengenal hatinya  —  sebab Engkau sajalah yang mengenal hati semua anak manusia,  — 

Inilah permohonan Salomo kepada Allah ketika terjadi wabah di negeri: kiranya Engkau mengampuni, bertindak dan membalaskan kepada setiap orang sesuai dengan segala kelakuannya. Kemudian kata “hati” muncul dua kali lagi, hati setiap masing-masing individu maupun semua anak manusia. 


HANYA DARAH KRISTUS YANG DAPAT MEMBERSIHKAN VIRUS DI DALAM HATI

Di waktu karantina ini, saat berdiam di rumah, saya berharap saudara bisa secara mendalam merenungkan hal ini, dan mengizinkan Allah menjangkau dan menyentuh hati saudara. Virus Corona bisa dibunuh dengan menyemprot disinfektan, sanitizer atau sabun. Namun, terhadap virus di dalam hati, kita tidak dapat berbuat apa-apa sama sekali. Tingkat kematian akibat wabah di hati ini adalah 100 persen. Kalau virus Corona, kita tahu angka kematian hanya sekitar 4% dan kalau di Jakarta 8-10%, tetapi wabah di hati ini, tingkat kematiannya adalah 100%. Tidak ada apa-apa pun yang dapat membersihkan wabah ini dari hati kita. Jadi saat kita mencuci tangan dan memakai hand sanitizer, dan secara khusus saat berkumpul lagi dan mengambil bagian di dalam Perjamuan Kudus, kita akan lebih lagi menghargai dan mengapresiasi darah Kristus, yang membersihkan hati manusia.

Kita akan menyambut Jumat Agung tidak lama lagi, marilah kita mengingat bahwa melalui darah Kristus, Allah telah menyediakan sebuah jalan keluar dari wabah di hati kita. Allah telah menyediakan bagi kita sebuah jalan keluar dari kebinasaan kekal yang pasti. Perjanjian Baru adalah tentang penyucian dan pembersihan hati. Dan “disinfektan hati” yang Allah sediakan bagi kita bukanlah barang murah seperti hand sanitizer, tetapi darah Anak Domba yang mahal, yang dicurahkan bagi kita lewat pengorbanan, penderitaan dan kesengsaraan. Demikianlah besarnya kasih Allah kepada kita. Jumat Agung kali ini akan kita sambut dalam suasana yang sangat baru, dan saya percaya kita akan mendapatkan apresiasi yang baru kepada Allah untuk darah Anak Domba yang disediakan-Nya bagi kita. 

Menyambung dari pesan yang lalu, saya berharap kita akan memakai waktu yang kita ada sekarang untuk mencari kerajaan Allah. Tidak ada waktu yang lebih baik dibandingkan dengan sekarang untuk kita mencari kerajaan Allah. Saya ingin menghimbau saudara untuk tidak terlalu banyak membaca atau mendengar berita-berita tentang virus corona ini. Mungkin batasi waktu 10-15 menit sehari untuk mengetahui apa yang sedang terjadi, tetapi jangan terlalu fokus akan hal ini. Kita tidak mau setelah wabah ini berlalu, dan wabah ini pasti akan berlalu, dan pada akhirnya kita berakhir menjadi seorang ahli virus, seorang virologis, tapi ahli virus tanpa sertifikat. Untuk apa menjadi seorang ahli virus tanpa sertifikat? Hal yang lebih tragis lagi adalah di akhir wabah ini, kita menjadi jago main game, kita menjadi gamer jagoan. Salah satu industri yang paling diuntungkan di tengah-tengah wabah ini adalah industri game. Semua ini tidak membawa manfaat apa pun, kita tidak menjadi lebih bijak, tidak lebih berhikmat dan tidak lebih dekat dengan Tuhan.


MENCARI KERAJAANNYA “DAHULU”

Saya mau berbicara tentang sebuah peralihan, sebuah shift yang lebih halus lagi, yang saya harap akan terjadi di antara kita. Peralihan di mana kita tidak hanya mencari kerajaan Allah, tetapi kita mencarinya dahulu. Satu kata kecil, “dahulu” tetapi kata ini membuat perbedaan yang sangat-sangat besar. Apa maksud saya? Coba tanyakan ke jemaat di gereja mana pun, “Siapa di sini yang mencari Kerajaan Allah?” Hampir semua akan mengangkat tangan dan menjawab “iya”. Semua orang yakin bahwa mereka adalah pencari-pencari kerajaan Allah. Namun, kalau saya tambah kata “dahulu’ pada pertanyaan, “Siapa yang mencari kerajaan Allah dahulu? Siapa di sini memprioritaskan Kerajaan-Nya di atas segalanya? Sehingga saudara tidak khawatir tentang makan minum dan pakaian? Sehingga saudara bebas dari rasa khawatir?” Di Matius 6, Yesus mengaitkan hal mencari Kerajaan Allah dan masalah kekhawatiran. Saya percaya sangat sedikit yang akan mengangkat tangannya.

Namun peralihan ini harus terjadi jika kita ingin menjalani kehidupan dalam segala kepenuhannya. Yang mencari-Nya dahulu pasti menemukan. Dalam hal menemukan Kerajaan Allah, berdasarkan pemahaman saya akan firman Allah, sebenarnya tidaklah sulit. Karena sesuai dengan apa yang  Yesus sampaikan kepada kita bahwa “Bapamu telah berkenan memberikan kamu Kerajaan itu (Lukas 12:32)”. Dalam Bahasa Inggris, “the Father gladly chosen to give to you.” Dengan senang hati, Bapa ingin memberikan kepada kita kerajaan-Nya. Kalau Bapa sangat ingin, sangat senang, sangat berkenan, bahkan lebih dari senang untuk memberikan kerajaan-Nya kepada kita, apakah Kerajaan-Nya sulit untuk ditemukan? Tentu saja tidak. Jadi kesulitannya terletak pada kita sebenarnya. Masalahnya ada di kita, bukan di Dia. Saya pikir itulah masalah iman yang paling besar. Masalah iman yang paling besar bukanlah kerajaan Allah sulit ditemukan. Inilah masalah iman yang paling dasar: Bapa jauh lebih ingin memberikan kepada kita, daripada kita ingin menerima. Inilah masalah yang terbesar perihal mencari kerajaan Allah.

Di sepanjang Alkitab, kalau kita bisa menghayati hati dan jiwa Allah, kita akan melihat bahwa Allah jauh ingin memberi kepada kita, Dia jauh lebih bergairah, passionate untuk memberi kepada kita daripada kita ingin menerima. Inilah pokok persoalannya.

Saya benar-benar berharap, melalui krisis yang sedang kita alami, kita akan menjadi manusia yang lebih baik. Kita akan mengalami sesuatu. Biasanya krisis di dalam kehidupan menjadikan kita orang yang lebih baik. Membaca biografi atau kesaksian tokoh-tokoh besar, kita akan melihat bahwa jarang sekali orang mengalami pencerahan di dalam hidup mereka saat mereka sedang berlibur atau lagi bersenang-senang; atau sedang berjemur santai dan mandi-mandi di pantai Kuta atau di Hawaii. Jarang sekali pencerahan yang membuat orang menjadi lebih baik terjadi di dalam keadaan nyaman dan makmur. Para tokoh akan merujuk kepada suatu krisis dalam kehidupan mereka yang memicu mereka menjadi manusia yang lebih besar. Justru melalui krisis yang kita alami, kita mengalami pencerahan dan menjadi manusia-manusia yang lebih mulia, lebih luhur dan baik.


HIDUP MATI ADA DI TANGAN TUHAN

Berikutnya, saya mau menyampaikan beberapa hal untuk menenangkan hati kita, agar tidak panik tetapi lebih fokus pada hal-hal yang penting di dalam hidup ini, khususnya pada hal-hal yang tidak tergoncangkan. Tema kamp kita kemaren adalah “Walking As He Walked”, atau “Berjalan Seperti Dia Telah Berjalan” (1 Yohanes 2:6). Saya harap krisis ini tidak menguncang kita sehingga kita lupa akan tujuan hidup kita, yaitu untuk berjalan seperti Kristus telah berjalan. Kalau kita benar-benar seperti Kristus hidup di dalam kehendak Allah, berjalan di dalam kehendak Bapa, hidup di dalam kerajaan-Nya, saya percaya tidak ada sesuatu pun yang akan terjadi pada kita sekarang atau selama-lamanya, yang berada di luar Bapa. Bagi yang berjalan dalam tujuan dan rencana-Nya, Allah akan menyebabkan segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan baginya.   

Dalam mempelajari Injil Yohanes, kita melihat bahwa di dalam kehidupan Yesus, berulang kali kita bertemu kalimat, “saat aku belum tiba” atau “saatnya belum tiba”. Dan kemudian di akhir Injil, Yesus mulai berkata, “saatnya sudah tiba.” Yohanes juga berkomentar, “saatnya sudah tiba.” Ini menunjukkan kepada kita dengan jelas, bahwa kalau kita dengan setia berjalan di dalam kehendak-Nya, waktu kita ditentukan oleh Dia.

Di Yohanes 7:30 berkata,

Mereka berusaha menangkap Dia, tetapi tidak ada seorang pun yang menyentuh Dia, sebab saatnya belum tiba.

Mereka berusaha menangkapnya, mereka ingin menangkapnya, tetapi tidak seorang pun yang dpat menyentuhnya. Mengapa? Dijelaskan di situ bahwa saatnya belum tiba. Terdapat juga satu kejadian di mana orang banyak menghalau Yesus ke luar kota dan membawa Dia ke tebing gunung (Lukas 4:29). Yesus sudah dipojokkan ke tebing gunung untuk dilemparkan dari tebing itu. Namun, entah bagaimana, tidak diberitahukan kepada kita, tetapi dituliskan bahwa Yesus begitu saja berjalan lewat dari tengah-tengah mereka. Bagaimana ini terjadi? Karena saatnya belum tiba! Demikian pula dengan Yusuf. Saudara-saudaranya membenci dia dan mau membunuhnya. Namun, waktunya belum tiba. Dan karena waktunya belum tiba, apa pun yang direncanakan manusia tidak akan berhasil. Tetapi kalau waktunya sudah tiba, sekalipun di sekitar kita tidak ada yang rebah, kita akan rebah sendiri, seperti yang dikatakan oleh Martin Luther, “Kalau Engkau mau mengambil aku, Engkau akan menemukan aku.”

Saya berharap saudara berjalan di dalam kehendak Allah, sehingga kita memiliki keyakinan ini bahwa “masa hidupku ada dalam tangan-Mu” (Mazmur 31:16). Kalau waktu kita belum tiba, tidak ada apa-apa yang akan terjadi. Namun, kalau waktunya sudah tiba, berulang kali membaca Mazmur 91 pun tidak ada efeknya. Tidak ada gunanya, karena waktu kita sudah tiba, tugas kita sudah selesai. Namun, tentu saja itu tidak bermakna kita boleh bertindak sembrono, tidak bertanggung jawab dan melakukan hal-hal yang menantang maut, karena setelah pemazmur berkata “masa depanku ada dalam tangan-Mu”, ia memohon kepada TUHAN, “lepaskanlah aku dari tangan musuh-musuhku dan orang-orang yang mengejar aku!”. Tadi kita baca di Yohanes 7:30 bahwa tidak ada orang yang dapat menyentuh Yesus karena saatnya belum tiba. Namun di Yohanes 7:1 kita baca juga, “Sesudah itu, Yesus berjalan mengelilingi Galilea. Ia tidak mau berjalan di Yudea sebab orang-orang Yahudi di sana bermaksud untuk membunuh dia.” Yesus tidak sembarangan menantang maut.


DIBEBASKAN DARI KETAKUTAN AKAN KEMATIAN

Di masa karantina ini, saya berharap kita dengan sungguh-sungguh memikirkan hal-hal ini. Di Ibrani dengan jelas dikatakan kepada kita tujuan kematian Yesus adalah,

“supaya melalui kematiannya, ia dapat membinasakan dia yang memiliki kuasa atas kematian, yaitu Iblis. Dan, membebaskan mereka yang seumur hidupnya diperbudak oleh ketakutan akan kematian.”

Oleh kematiannya, Yesus menjadikan Iblis tidak berdaya. Iblis yang memegang kuasa maut itu menjadi tidak berdaya. Kata Yunani yang dipakai tidak bermakna “membinasakan” atau “memusnahkan” tetapi “menjadi tidak berdaya”, atau “dinetralkan”. Kita tahu Iblis masih ada, dan masih sangat bahaya, tetapi telah dibuat tidak berdaya terhadap kita. Kematian Yesus telah menjadikan Iblis yang memegang kuasa maut tidak berdaya lagi. Kematian Yesus benar-benar melepaskan kita dari rasa takut akan maut yang membuat kita diperhamba seumur hidup kita. Itulah salah satu tujuan penting dari kematian Kristus bagi kita. Itulah dampak dari kematiannya ke atas hidup kita.

Bagi orang percaya, maut tidak ada sengatnya lagi. Kalau maut masih memiliki sengat ke atas kita, kita memang perlu takut. Namun justru karena kematian Kristus bagi kita, maut tidak punya sengat lagi. Oleh karena itu, di masa karantina ini, waktu kita terpaksa berada di rumah, marilah kita dengan bersungguh-sungguh dan setulus hati memanjatkan doa kepada Allah. Katakanlah kepada Bapa di surga, “Bapa, apa pun harganya, tidak kira berapa pun harga yang perlu dibayar, biarlah tujuan, maksud and kehendak-Mu terjadi dan tergenapi di dalam hidupku.” Inilah pokok doa paling utama yang harus kita ucapkan sebagaimana yang telah Yesus ajarkan kepada kita dalam Doa Bapa Kami, “Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga.” Bumi adalah tempat di mana kehendak-Mu belum jadi, kehendak Bapa belum jadi di bumi. Itu sebabnya salah satu pokok doa yang utama yang Yesus ajarkan kepada kita adalah “Datanglah kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga”. Dan tentu saja, kita yang mendoakannya, turut mendoakan agar kehendak Bapa terjadi di dalam hidup kita masing-masing. Dengan demikian kita membangun kehidupan kita di atas dasar yang tidak tergoncangkan.


HANYA ADA DUA HAL YANG TIDAK AKAN BERLALU

Pesan yang lalu, saya berbicara tentang kerajaan-Nya sebagai kerajaan yang tidak tergoncangkan. Lalu, apa isi dari kerajaan itu? Berdasarkan pada ajaran Yesus, sebenarnya hanya ada dua hal yang akan tetap selama-lamanya. Hanya ada dua hal yang tidak bakal tergoncangkan, yang akan tetap bertahan selama-lamanya. Yesus dengan jelas memberitahu kita bahwa perkataannya tidak akan berlalu.

Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataanku tidak akan berlalu. (Mat 24:35)

Bumi dan langit akan berlalu, tetapi perkataanku tidak akan berlalu. Tentu saja, perkataan Yesus mengungkapkan kepada kita kehendak Allah. Kehendak Bapa tidak akan pernah berlalu. Dikatakan oleh Yesus, tidak satu iota atau satu titik, satu garis pun yang akan berlalu. Itu yang pertama.

Yang kedua, yang tidak pernah berlalu, yang tetap selama-lamanya dinyatakan dengan jelas kepada kita di 1 Yohanes 2:17,

Dan dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya.

Orang yang melakukan kehendak Allah akan tetap selama-lamanya. Dengan kata lain, kerajaan Allah terdiri dari dua komponen, kehendak-Nya dan orang yang melakukan kehendak-Nya. Semoga kita ditemukan sebagai orang yang melakukan kehendak-Nya. Itulah inti dari kerajaan Allah.  

Jadi biarkanlah perkataan Yesus yang kaya itu memperkaya diri kita. Seperti kata Paulus, “Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu…“ Mungkin saku saudara bisa kosong, tetapi marilah kita memakai semua waktu yang diberikan virus ini kepada kita untuk memperkaya diri kita dengan perkataan Kristus. Virus ini bisa mempermiskin kita secara ekonomi, tetapi mari kita mengambil kesempatan ini untuk justru memperkaya diri kita dengan kekayaan yang sesungguhnya (Lukas 16:11).


“DOA” IBLIS  

Pokok yang berikut adalah tentang doanya Iblis. Doanya Iblis? Jangan kaget kalau Iblis juga “berdoa”! Kata “doa” saya pakai dalam tanda kutip di sini. Saya memakai kata “doa” dalam arti yang sangat luas, yaitu segala bentuk permintaan yang diarahkan pada Allah. Tahukah saudara bahwa Iblis juga berdoa? Dan dia sangat bersungguh-sungguh dalam hal doa! Di dalam Firman Tuhan kita melihat Iblis meminta dengan sungguh-sungguh kepada Bapa, dia meminta izin dari Bapa untuk melakukan sesuatu kepada umat-Nya, khususnya umat kesayangan-Nya. Saudara yang akrab dengan Alkitab pasti akan mengetahui kisah Ayub, insan yang paling disayangi Allah pada masa itu. Tahukan saudara mengapa saya pakai kata “doa”? Karena saya ingin mengingatkan saudara bahwa saat Iblis “berdoa” kepada Bapa, dia berdoa dengan sangat bersungguh-sungguh. Dua kali dia meminta kepada Bapa, dan Bapa mengabulkan kedua permintaannya!

Iblis sangat sungguh-sungguh “meminta” kepada Bapa untuk mencobai Ayub. Cara Iblis beragumentasi dan berbicara kepada Allah benar-benar memojokkan Allah. Allah sepertinya tidak punya pillihan lain kecuali menyerahkan Ayub ke dalam tangan Iblis. Tahukah saudara apa argumentasi yang Iblis pakai? Kata Iblis kepada Allah, “Ayub menyembah dan setia pada Engkau karena semua berkat dan perlindungan yang telah Engkau curahkan ke atas hidupnya. Mengapa Ayub setia? Karena Engkau memberikan segala kebaikan kepada Ayub.” Dengan kata lain, Iblis sedang berkata kepada Allah, “Tidak ada orang yang akan menyembah Engkau demi Engkau sendiri. Tidak ada orang yang akan setia kepada Engkau, hanya karena Engkau Allah”. Itulah yang sedang dituduhkan oleh Iblis. Dalam bahasa yang lebih sederhana dan modern, “Engkau menyuap Ayub supaya dia setia kepada Engkau.” Jika Engkau tidak menyuap orang untuk mengabdi kepada Engkau, tidak ada orang yang akan mengabdi. Di dalam pandangan Iblis, tidak ada orang yang menyembah Allah hanya karena Dia Allah. Engkau harus menyuap orang untuk setia kepada Engkau. Itulah yang disampaikan oleh Iblis kepada Allah. Lalu, apa respon Allah? Kisah Ayub ini juga dikenal sebagai sebuah “pertaruhan”; pertaruhan antara Iblis dan Allah. Allah menyerahkan Ayub ke tangan Iblis. Apakah saudara melihat cara bagaimana Iblis menuntut Allah?

Saya sempat bertanya-tanya, kalau Allah menyerahkan saya, kalau Allah menyerahkan saudara, apakah kita akan setia seperti Ayub, atau kita akan seperti istri Ayub? Akankah Allah menang, atau dipermalukan? Saya kira, istri Ayub cukup mewakili kebanyakan dari kita, orang-orang Kristen yang cari berkat. Dengan kata lain, pengabdian kita adalah pengabdian “bersyarat”. Kita setia kepada Allah, karena itu dan karena ini… Kesetiaan kita kepada Allah, banyak alasannya. Kita perlu disuap.

Kitab Ayub ini juga meneguhkan poin yang sebelumnya, yaitu hidup mati ada di tangan Allah. Bagi orang yang setia kepada Allah seperti Ayub, Iblis tidak dapat berbuat apa-apa terhadapnya tanpa seizin Allah. Iblis diizinkan menjamah segala sesuatu kecuali nyawanya. Hidup matinya ditentukan Allah.   

Kejadian yang satu lagi adalah saat Iblis menuntut (dalam bahasa Inggris, katanya adalah demand), untuk menampi Petrus seperti gandum. Iblis benar-benar meminta dengan sungguh-sungguh setiap kali dia meminta. Kita melihat Allah menyerahkan Petrus ke dalam tangan Iblis. Namun, hal yang menghibur hati kita adalah doanya Yesus. Yesus berdoa bagi Petrus. “Aku berdoa bagi engkau.” Ini juga merupakan doa Yesus bagi kita, khususnya kita yang mengalami kesulitan, kesusahan dan segala macam pencobaan. Supaya iman kamu tidak akan gugur, tidak akan gagal. Dan setelah kamu insaf nanti, kuatkanlah saudara-saudaramu.

Dua kali Iblis meminta dan dalam kedua kasus ini, permintaan Iblis dikabulkan. Lewat dua kisah pencobaan ini, Ayub dan Petrus menjadi jauh lebih mulia. Kita pengikut Yesus yang sangat mirip dengan Petrus, tidak stabil, bicara tanpa berpikir, penuh dengan kelemahan, khususnya dalam karakter, tetapi melalui pencobaan dan kesusahan yang dialami, yang diizinkan oleh Bapa, Petrus menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Petrus bahkan menjadi pemimpin kepada para rasul.


MERASA PUAS DENGAN APA YANG ADA PADA SAUDARA

Terakhir, saya mau membagikan satu nats dengan saudara, nats yang teramat penting khususnya di masa krisis ini. Ibrani 13:5

Jauhkanlah diri Saudara dari cinta akan uang; hendaklah Saudara merasa puas dengan apa yang ada pada Saudara. Sebab Allah telah berfirman, “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan dan menelantarkan engkau.” Karena itu, kita dapat berkata tanpa bimbang atau takut, “Tuhan adalah Penolongku dan aku tidak takut akan apa yang dapat dilakukan manusia terhadap aku.” (FAYH)

Saya percaya bagian kedua dari ayat 5, semua orang sudah tahu, “Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.” Memang ini kalimat yang sangat menghibur dan kita merindukan jaminan yang diberikan oleh ayat ini. Biasanya hanya bagian kedua yang dikutip. Bagian pertama jarang dikutip sehingga tidak banyak yang tahu apa yang mendahului janji itu. Akan tetapi, khususnya di waktu ini, bagian pertama lebih relevan dengan kita. Yaitu, “be content with what you have”, atau “puaskan dirimu dengan apa yang ada pada dirimu”. Puaskan dirimu dengan apa yang ada. Mari kita hidup dengan sederhana, simpel, puas dan penuh rasa syukur.

Khususnya di waktu krisis seperti sekarang ini, sangat mudah untuk kita mulai bersungut-sungut, mengeluh dan menggerutu. Sangat mudah untuk rasa syukur atau rasa berterima kasih itu lenyap dari hidup kita, yang akan mengumpan segala macam virus. Akan tetapi, saya pikir inilah waktu untuk kita memenuhi hati kita dengan rasa puas agar hati kita dipenuhi oleh rasa syukur. Janji Allah, “Aku tidak akan meninggalkan engkau” ditujukan kepada orang-orang yang seperti ini. Terjemahan dari bahasa Inggris adalah, “biarlah karaktermu bebas dari cinta akan uang, dan hiduplah puas dengan segala apa yang ada pada kita.” Kalau tidak ada ramen, Indomie pun oke. Kita belajar untuk hidup puas dengan apa adanya. Janji ini Bapa telah berikan kepada kita, dan kita dapat dengan yakin berkata, “Tuhan adalah penolongku, aku tidak akan pernah takut, apa yang dapat dilakukan virus terhadap aku?” Demikian pula, saya berharap ayat seperti yang di Matius 6:34 menjadi hidup bagi kita, “Janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.” Hidup ini susah, berdasarkan pengakuan Yesus sendiri, apa lagi di masa sekarang ini. Janganlah khawatir bahkan untuk hari besok, cukuplah kesusahan untuk hari ini. Setelah krisis ini berlalu, dan krisis ini pasti akan berlalu, waktu kita berkumpul kembali, marilah kita berkumpul sebagai jemaat yang lebih kaya, lebih makmur (mungkin tidak secara materi), tapi lebih kaya dalam segala aspek kehidupan kita, kaya dengan kekayaan yang sesungguhnya.

 

Berikan Komentar Anda: