new-header-renungan
new-header-renungan
previous arrow
next arrow

 

A.W. Tozer |

Dosa telah melakukan hal yang mengerikan pada kita dan efeknya menjadi kian mematikan karena kita nyaris tidak sadar apa yang sedang terjadi pada kita.

Satu hal yang telah dilakukan dosa adalah mengacaukan nilai-nilai kita sehingga kita mengalami kesulitan membedakan seorang sahabat dari seorang musuh atau mengetahui dengan pasti apa yang baik dan tidak baik bagi kita. Kita hidup dalam dunia bayangan di mana hal-hal yang nyata tampak tidak nyata dan hal-hal yang tidak penting dikejar seolah-olah mereka dibuat dari emas yang melapisi jalan-jalan di Kota Allah.

Pemikiran kita jarang sekali selaras dengan kenyataan yang ada, tetapi telah terdistorsi oleh astigmatisme moral yang mengaburkan segalanya. Melalui banyak kesalahan filosofi kita keluar garis, seperti matematika kita setelah mempelajari tabel perkalian secara keliru dan tidak menyadari kesalahan kita.

Satu konsep palsu yang melekat pada kita ialah waktu. Kita memikirkan waktu seperti semacam zat kental yang mengalir bagaikan sungai yang lesu, yang membawa bersamanya berbagai negara, kekaisaran, peradaban dan manusia. Kita membayangkan aliran lengket ini sebagai sebuah benda dan kita terjebak di dalamnya selama hidup kita di dunia ini.

Atau sekali lagi, kita memikirkan waktu sebagai hal yang dapat mengungkapkan kepada kita hal-hal yang akan terjadi di masa depan, seperti ketika kita berkata, “Waktu akan berbicara.” Kita juga membayangkan waktu sebagai seorang tabib yang baik dan menghibur diri kita dengan pikiran bahwa “waktu akan menyembuhkan.” Semua ini sudah mendarah daging di dalam diri kita sehingga hampir mustahil tabiat ini dapat dipatahkan. Namun kita perlu melindungi diri kita dari bahaya yang dibawa oleh pemikiran semacam ini.

Kesalahan paling bahaya yang kita buat mengenai waktu adalah bahwa ia seolah-olah mempunyai kuasa misterius untuk menyempurnakan sifat manusia. Kita berkata tentang seorang anak muda yang bodoh “Waktu akan menjadikan dia lebih bijak,” atau kita melihat seorang Kristen baru berperilaku tidak selayaknya orang Kristen dan berharap supaya waktu akan mengubah dia menjadi orang suci.

Kenyataannya adalah waktu, sama seperti ruang, tidak mempunyai kuasa untuk menguduskan seorang manusia. Sebenarnya, waktu hanyalah sebuah fiksi yang kita pakai untuk mengungkapkan perubahan. Perubahan, bukan waktu, yang mengubah orang bebal menjadi bijaksana dan orang berdosa menjadi suci. Atau lebih tepat lagi, Kristuslah yang melakukannya melalui perubahan yang dia kerjakan di dalam hati.

Saulus sang Penganiaya menjadi Paulus hamba Allah, tetapi bukan waktu yang menyebabkan perubahan itu.  Kristuslah melakukan perubahan itu, Kristus yang sama yang mengubah air menjadi anggur. Satu pengalaman rohani mengikuti yang lain dengan cukup cepat sehingga Saulus yang bengis menjadi jiwa yang lembut, terpikat-Allah, yang siap menyerahkan nyawanya untuk iman yang pernah dia benci. Seharusnya jelas bahwa waktu tidak ada bagian dalam pembentukan seorang manusia Allah.

Tujuan saya menulis artikel ini bukanlah untuk terlibat dalam latihan semantik tetapi untuk mengingatkan pembaca pada bahaya dari keyakinan yang tak berdasar pada waktu. Karena seorang Musa dan seorang Yakob kehilangan dosa masa muda mereka yang impulsif dan degil dan di masa tua menjadi orang suci yang lembut dan lunak, kita cenderung menerima begitu saja bahwa waktu yang menghasilkan transformasi itu. Tidak demikian halnya. Allah, bukan waktu, yang menghasilkan orang suci.

Sifat manusia itu tidak tetap, dan untuk ini kita harus bersyukur kepada Allah siang dan malam. Kita masih dapat berubah. Kita dapat menjadi sesuatu selain diri kita yang sekarang. Oleh kuasa Injil seorang tamak dapat menjadi pemurah, seorang egois rendah di matanya sendiri. Seorang pencuri dapat belajar tidak lagi mencuri, seorang penghujat dapat memenuhi mulutnya dengan pujian bagi Allah. Namun Kristuslah yang melakukan semua itu. Waktu tidak ada hubungannya dengan itu.

Banyak orang sesat yang menunda-nunda hari keselamatan, sambil berharap waktu ada di pihaknya, padahal sebenarnya kemungkinan untuk dia menjadi seorang Kristen menjadi semakin kecil dari hari ke hari. Mengapa? Karena perubahan yang mengambil tempat di dalam dirinya sedang mengeraskan kehendaknya dan menjadikannya makin lama makin sulit untuk bertobat.

“Carilah TUHAN selama Ia berkenan ditemui; berserulah kepada-Nya selama Ia dekat! Baiklah orang fasik meninggalkan jalannya, dan orang jahat meninggalkan rancangannya; baiklah ia kembali kepada TUHAN, maka Dia akan mengasihaninya, dan kepada Allah kita, sebab Ia memberi pengampunan dengan limpahnya.”

Perhatikan kata-kata perubahan dalam teks ini: “carilah… berserulah… meninggalkan… kembali.”  Semua ini menunjukkan perubahan spesifik yang harus dilakukan oleh seorang berdosa yang ingin kembali. Namun itu tidak cukup. “Akan mengasihani… memberi pengampunan”; ini merupakan perubahan yang Allah lakukan dalam dan bagi orang itu. Untuk diselamatkan orang  harus berubah dan diubahkan.

Untuk masuk ke dalam kerajaan Allah, Kristus jelaskan, orang harus dilahirkan kembali (Yohanes 3:3-7). Yaitu, dia harus menjalani sebuah perubahan rohani. Ini sepenuhnya sesuai dengan pemberitaan Yohanes Pembaptis yang memanggil pendengarnya untuk mempersiapkan jalan bagi Tuhan dengan menghasilkan buah pertobatan, dan dengan rasul Petrus yang mengingatkan jemaat awal bahwa mereka telah mengambil bagian dalam kodrat ilahi dan telah melepaskan diri dari pencemaran dunia yang diakibatkan oleh keinginan nafsu.

Perubahan awal ini, bukanlah satu-satunya perubahan yang akan dialami oleh manusia yang telah ditebus itu. Seluruh kehidupan Kristennya akan terdiri dari suksesi perubahan, bergerak menuju kesempurnaan rohani. Untuk mencapai perubahan ini Roh Kudus akan memakai pelbagai cara, mungkin yang paling efektik adalah tulisan Perjanjian Baru.

Waktu dapat menolong kita hanya jika kita tahu bahwa ia tidak dapat menolong kita sama sekali. Kita membutuhkan perubahan, dan hanya Allah dapat mengubah kita dari yang buruk menjadi lebih baik.