Pastor Bentley Chan | Lukas 23:34 |

32   Ada juga dua orang penjahat yang dibawa untuk dihukum mati bersama-sama dengan Yesus.
33  Ketika mereka sampai di sebuah tempat yang bernama “Tengkorak,” para tentara menyalibkan Yesus bersama kedua penjahat itu, seorang di sebelah kanannya dan seorang lagi di sebelah kirinya.
34  Kemudian Yesus berkata, “Ya Bapa, ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan.”

YA BAPA, AMPUNILAH MEREKA, KARENA MEREKA TIDAK TAHU APA YANG MEREKA LAKUKAN. Kata-kata ini merupakan salah satu kalimat yang paling dihargai dan diingat dalam Kitab Suci, karena kata-kata itu menunjukkan kemurahan hati Yesus di tengah siksaan dan penderitaan.

Tidak jelas dari konteks, siapa yang dimaksud dengan “mereka”. Apakah Yesus meminta Bapanya untuk mengampuni para pemimpin agama Yahudi? Atau, penguasa Romawi? Atau, orang banyak yang berteriak-teriak supaya dia disalibkan? Atau, individu seperti Yudas dan Pilatus?

Jika kita menanyakan pertanyaan ini dengan harapan mendapatkan jawaban yang spesifik, konsekuensinya bisa menjadi racun, karena itu akan menjadi replika dari pertanyaan kuno: Siapa yang membunuh Kristus, orang Yahudi atau orang Romawi?

Postingan ini tidak memiliki cukup ruang untuk menceritakan kisah yang menyayat hati tentang bagaimana orang-orang Yahudi dicap sebagai pembunuh Kristus atau pembunuh Allah, dengan segala kemungkinan konsekuensi yang dapat dibayangkan dari fitnah itu.

Bagaimanapun, saya tidak berpikir Yesus akan memilih satu kelompok tertentu di atas semua kelompok lain untuk menjadi penerima pengampunan Allah. Ketidakjelasan dari kata “mereka” bisa saja disengajakan.

Namun, dalam hal pengampunan, ada beberapa faktor yang mungkin bisa kita pertimbangkan.

Pertama, Yesus mengatakan kepada Pilatus bahwa ia memiliki dosa yang lebih kecil daripada orang yang menyerahkan Yesus kepada Pilatus (Yoh 19:11).

Kedua, kata-kata “karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan” menunjukkan bahwa tingkat kesalahan tergantung pada tingkat kesadaran seseorang akan keberdosaan tindakannya sendiri. Oleh karena itu, penghakiman memperhitungkan pengetahuan: “Namun orang yang tidak tahu, dan melakukan apa yang pantas dihajar, akan menerima pukulan ringan.” (Luk 12:48)

Ketiga, pertobatan adalah syarat untuk pengampunan. Satu pasal kemudian, di Lukas 24:47, Kristus yang telah bangkit berbicara tentang “pertobatan untuk pengampunan dosa”.

Keempat, banyak orang di Yerusalem yang bertobat. Ketika Petrus menghadapi orang banyak dan menegur mereka karena menyalibkan Yesus (Kis 2:36), hati mereka tertusuk (ay.37), dan berkata kepada Petrus dan rekan-rekan rasulnya, “Saudara-saudara, apa yang harus kami lakukan?” Tiga ribu jiwa ditambahkan hari itu.


Kisah Edgar S.

Pada tahun terakhir studi teknik saya di Montreal, Kanada (1981), salah satu sahabat terbaik saya adalah Edgar S. Dia awalnya tinggal di Nova Scotia dan kemudian pindah ke Montreal, mungkin untuk mencari pekerjaan. Dia mendapat pekerjaan di kantor pusat Bank of Montreal di mana dia mengurus persediaan dan inventaris (setidaknya begitulah yang saya pahami tentang tanggung jawabnya).

Edgar bergaul baik dengan rekan-rekan dan atasannya. Ini sudah diduga karena dia bersuara lembut dan bermurah hati. Dia juga sangat reflektif, dan jiwanya akan sering tersiksa oleh sejarah panjang kebencian terhadap orang-orang sebangsanya, terlihat dalam pembantaian tanpa alasan. Dia juga akan berbicara menentang ketidakadilan yang dilakukan kepada siapa pun, orang yang berkulit hitam atau putih. Pada masa itu kami tidak memiliki Internet, jadi buku adalah sumber informasi sejarah yang terbaik. Saya ingat dengan jelas bahwa salah satu bukunya memiliki foto massa yang sedang rusuh, dengan anak-anak di antara mereka, dan amarah massa itu diredakan setelah seorang pria kulit hitam digantung.

Saya akan mengunjungi Edgar di apartemennya seminggu sekali, biasanya pertengahan minggu, untuk minum kopi dan mengobrol. Saya juga akan menemuinya pada hari Minggu di gereja kami di Montreal.

Suatu hari Edgar memberi tahu saya tentang sesuatu yang terjadi di tempat kerjanya. Ketika atasannya mengetahui bahwa Edgar telah menjadi seorang Kristen, dia mengatakan kepada Edgar bahwa dia akan menguji imannya, dan akan mengungkapkan kepada semua orang bahwa iman Edgar itu adalah palsu dan munafik. Secara khusus, atasannya akan memprovokasi Edgar untuk membuatnya hilang kesabaran di hadapan rekan-rekannya. Ya, itulah yang dikatakan oleh atasan kepadanya.

Hari ini, hal semacam ini akan dilihat sebagai diskriminasi biadab, baik dari segi agama maupun ras, tetapi di dunia tanpa Internet atau telepon pintar, tidak ada solusi cepat untuk menangani perlakuan ini.

Lalu, atasannya memerintahkan Edgar untuk mengambil scrub, berlutut, dan menggosok lantai kantor. Dalam situasi khusus ini, perhatikan bahwa menggosok lantai bukan merupakan tanggung jawab Edgar (dia hanya mengerjakan dokumen tingkat rendah), dan pembersihan lantai biasanya dilakukan setelah jam kerja. Perintah untuk menggosok lantai jelas-jelas bersifat provokatif, meskipun beberapa orang mungkin mengatakan bahwa atasan memiliki hak, dalam batas-batas tertentu, untuk menugaskan tanggung jawab yang tidak biasa kepada bawahannya.

Apa yang akan Anda lakukan dalam situasi seperti itu? Sejujurnya saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan. Satu-satunya cara untuk sampai pada keputusan yang tepat adalah melalui pimpinan Roh.

Edgar mengambil scrub, berlutut, dan menggosok lantai di hadapan rekan-rekannya. Dia melakukan ini beberapa jam sehari, selama beberapa hari. Dia bertekad untuk menjadikan ini kemenangan bagi nama Kristus, jadi dia menggosok lantai dengan riang, tanpa jejak kemarahan. Yang terpenting, dia terus berdoa, terkadang dengan suara keras, meminta agar atasannya diampuni atas permusuhannya kepada Kristus. Edgar meniru tuannya yang berdoa, “Ya Bapa, ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan.”

Beberapa hari kemudian, sesuatu terjadi. Edgar selesai makan siang di kafetaria perusahaan, dan kembali ke tempat kerja. Dalam perjalanan, dia melihat sebuah dompet di atas kursi kosong, dan mengambilnya.  Kebetulan, dompet itu milik atasannya. Edgar pergi ke meja atasannya, dan menyerahkan dompet itu padanya. Atasannya mengambil dompet, memeriksa isinya, dan tidak mengucapkan sepatah kata pun. Namun sejak saat itu, dia tidak pernah lagi menyuruh Edgar untuk menggosok lantai.

Selang beberapa hari, para karyawan menyadari bahwa atasan mereka telah berubah karena dia menyiulkan lagu-lagu Kristen (!) dan berlaku baik kepada semua orang. Saya tidak tahu apakah dia telah menjadi seorang Kristen atau telah menemukan imannya kembali, tetapi transformasi ini memiliki efek langsung di kantor. Ketegangan yang terasa setiap hari di antara para karyawan segera menghilang.

Allah memimpin Edgar untuk menanggung penghinaan publik untuk kebaikan yang lebih besar, agar kasih Allah dapat datang kepada mereka yang acuh tak acuh atau bahkan yang memusuhi Yesus Kristus.

 

Berikan Komentar Anda: