Pastor Jeremiah C | Yakobus 3:1-12 |
Pada dasarnya kita telah selesai dengan pembahasan di Yak 3:1-12. Hari ini, saya akan kembali pada Yak 3:1-2, dan kedua ayat ini akan menjadi fokus pembahasan kita. Di sini, Rasul Yakobus memperingati kita agar jangan ingin menjadi guru, agar kita tidak mendatangkan penghakiman yang lebih keras atas diri kita. Kata di sini adalah “penghakiman”. Hal ini berarti bahwa Allah akan memakai standar yang lebih tinggi untuk menghakimi mereka yang menjadi guru. Guru-guru di sini menunjuk kepada siapa? Sesuai dengan kata asli dalam bahasa Yunani, kata benda “guru” adalah kata untuk “Rabi” dalam Perjanjian Baru. Sudah pasti Yakobus bukan mengatakan mengenai guru-guru di sekolah. Ia berbicara dengan konteks mengenai kehidupan Gereja. Guru-guru di sini adalah para pengkhotbah dan mereka yang bertanggung jawab untuk pengajaran Alkitab di Gereja sekarang ini, dan kita bisa katakan bahwa mereka adalah pemimpin rohani di gereja.
Mari kita membaca Roma 2:17-22. Kata “Guru” di ayat 20 di sini adalah kata Yunani yang sama untuk kata “guru” di Yak 3:1 dan Paulus menggunakan kata bentuk kerja “mengajar” sebanyak 2x di ayat 21. Kata “mengajar” adalah bentuk kata kerja untuk “Guru”. Dari beberapa ayat ini, kita dapat melihat bahwa Paulus berbicara mengenai kualitas yang harus dimiliki oleh para guru. Ayat 18 mengatakan bahwa para guru haruslah dapat melihat dan mengerti kehendak Allah. Ayat 19-20 juga mengatakan bahwa tugas guru-guru adalah mengajar dan mendisiplinkan orang yang belum dewasa dan orang yang kurang pengetahuan. Oleh sebab itu, Paulus menyebutkan mereka penuntun orang buta, pendidik bagi yang kurang pengetahuan dan orang yang belum dewasa. Tanggung jawab para guru sangat penting karena mereka bertanggungjawab untuk mengajarkan orang lain bagaimana memahami kehendak Allah: menuntun mereka bagaimana berjalan dalam kehendak Allah. Semua ini adalah persyaratan untuk menjadi seorang guru.
Oleh karena itu, di tempat lain di Alkitab, seperti di 1 Kor 12:28 dan Efesus 4:11, kata benda ini diterjemahkan sebagai “pengajar atau guru”. Pada hari ini, kita juga sering mengalamatkan mereka yang mengajar dan memimpin kita secara rohani sebagai “Guru”. Ini juga menyatakan bahwa Yakobus mendorong kita untuk tidak terburu-buru menjadi pemimpin rohani untuk orang lain. Jika Anda bertanggung jawab untuk mengajar dan menuntun orang-orang di Gereja. Anda harus memperhatikan kata-kata dari Yakobus di sini.
Mengapa Rasul Yakobus mendorong kita untuk tidak berantusias menjadi guru. Apa jeleknya menjadi guru rohani? Yakobus sudah memberikan 2 alasan di ayat 1-2. Yang pertama, para pendidik akan mendatangkan penghakiman yang lebih berat, ini tidak begitu sulit untuk dimengerti. Seperti Yesus katakan di Luk 12:48, “setiap orang yang banyak diberi, daripadanya akan banyak dituntut, dan kepada siapa yang banyak dipercayakan, akan lebih banyak lagi dituntut dari dirinya”. Karena Anda adalah guru, Anda harus mengerti kehendak Allah dan ajaran Alkitab yang lebih jelas. Karena itu, Anda tidak mempunyai alasan untuk berkata bahwa Anda tidak mentaati perintah-perintah dan ajaran-ajaran Allah karena Anda tidak mengerti kehendak Allah. Seorang guru yang tidak melakukan setelah ia mengerti ajaran alkitabiah, sudah pasti ia akan menghadapi penghakiman yang lebih berat daripada orang Kristen pada umumnya. Alasan kedua yang diberikan oleh Yakobus adalah kita semua tidak sempurna dan kita banyak kali gagal dalam banyak hal dan perkataan kita sehingga kita tidak memenuhi syarat untuk menjadi guru untuk sesama.
Apa reaksi Anda mendengar kata-kata Yakobus? Bagaimana Anda mengaplikasikan atau menerapkan itu dalam hidup Anda? Sebagai pelaku Firman, kita perlu merenungkan bagaimana melaksanakan apa yang sudah kita dengar dalam kehidupan kita sehari-hari. Apakah rasul Yakobus sedang mengatakan kepada kita untuk tidak menjadi guru? Jika ya, maka celakalah pengkhotbah-pengkhotbah dan pendeta-pendeta karena mereka harus membuka mulut mereka untuk mengajar orang-orang mengenai Alkitab. Oleh karena itu, jika Anda tidak ingin mendatangkan penghakiman yang lebih berat, lebih baik jangan menjadi pengkhotbah, kecuali jika kita adalah orang yang sempurna dan hidup kita benar-benar tidak pernah gagal dalam segala hal.
Apakah pengertian kita tentang Yak 3:1-2 itu benar? Apakah kita berada dalam jalur kehendak Allah? Gereja sekarang ini sangat kekurangan pemberita-pemberita Injil dan pendeta-pendeta. Jika memang Yakobus sedang memberitahu kita untuk tidak menjadi guru, bukankah masalah kekurangan pengajar ini akan menjadi lebih serius? Siapakah yang akan bertanggung-jawab untuk pertumbuhan rohani orang-orang percaya?
Mari kita baca Ibr 5:12. Ibrani berkeluh kesah bahwa orang-orang percaya tidak bertumbuh secara rohani. Berdasarkan jumlah tahun sejak mereka percaya, mereka seharusnya sudah menjadi guru untuk orang lain. Bagaimanapun, mereka masih berada pada tahap bayi rohani, ini juga adalah tahap menyedihkan bagi Geraja sekarang ini. Terdapat begitu banyak bayi rohani dimana-mana, dalam Gereja dan banyak hidup orang Kristen yang mengalami stagnansi atau kemacetan. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya orang yang mampu memberi makan untuk mereka di dalam gereja. Apa yang menjadi perhatian penulis di Ibrani ialah mengenai masalah pertumbuhan rohani orang Kristen dan ia berharap bahwa setiap orang dapat menjadi guru-guru yang memimpin orang lain. Ketika kita mampu untuk memimpin orang lain, itu berarti kita sudah bertumbuh. Mengapa pendapat dari rasul Yakobus dan penulis Ibrani itu berbeda? Apakah ini berarti bahwa Rasul Yakobus tidak mau agar kita bertumbuh secara rohani?
Apakah Anda dapat mengerti arti dari Yak 3:1-2 secara benar atau tidak, bergantung pada apakah Anda dapat menangkap pokok utama dari pasal 3. Dari Yak 3:1, kita dapat melihat bahwa Gereja memiliki suatu masalah yang nyata, banyak yang mau menjadi guru. Siapa orang-orang ini? Mereka adalah orang yang hanya mendengar dan tidak melakukan apa yang dikatakan firman.
Mengapa saya berkata demikian? Karena pasal 3 berbicara mengenai persoalan kualitas hidup. Rasul Yakobus meminta mereka untuk tidak menjadi guru karena hidup mereka penuh dengan banyak masalah dan mereka tidak layak untuk menjadi guru rohani untuk orang lain. Yakobus merasa khawatir bahwa mereka akan mendatangkan lebih banyak penghakiman dari Allah dengan sikap seperti itu. Pada kenyataannya, keinginan untuk menjadi pengkhotbah atau guru rohani itu sendiri bukanlah hal yang buruk karena ini mengenai hal pertumbuhan. Hal ini seperti bagaimana Paulus mendorong kita untuk mengejar kasih dan karunia bernubuat di 1 Kor. 14. Ketika kehidupan rohani kita terus bertumbuh, hidup kita secara alami menjadi contoh dan guru bagi orang lain.
Ketika orang Kristen di gereja hanya menjadi pendengar dan bukan pelaku firman, hati dan pikiran mereka tidak dibaharui oleh Allah setiap hari. Mereka akan tetap dihargai sebagai pengkhotbah dari sudut pandang dunia dan melihat itu sebagai suatu identitas dan status. Mereka tidak menyadari bahwa diperlukan kualitas hidup yang tertentu. Contohnya, pra-syarat untuk menjadi pengkhotbah bagi gereja hari ini adalah gelar sarjana theologi. Jika Anda membuka beberapa majalah Kristen, Anda akan menemukan banyak iklan lowongan pekerjaan untuk para pengkhotbah dan pendeta dan syarat dan kelayakan selalunya adalah mesti mempunyai ijazah dari seminari. Kualitas hidup tidak pernah dijadikan persyaratan. Meskipun gereja tidak akan mengakui bahwa mereka menghormati kualifikasi akademik lebih tinggi dari kualitas hidup, namun Gereja pada umumnya menganggap gelar teologia dan sertifikat kelulusan sebagai pra-syarat untuk menjadi pengkhotbah dan pendeta.
Masalah seperti apa yang dicerminkan oleh kecenderungan ini? Bukankah ini menunjukkan bahwa Gereja menganggap pengkhotbah dan pendeta sebagai penyampai pengetahuan Alkitab? Sudah tentu, saya tidak mengatakan bahwa pengetahuan Alkitab tidak penting dan harus saya akui bahwa kita perlu menangkap kebenaran Alkitab dan memiliki pengetahuan dan dasar dalam Firman Tuhan, karena hanya demikian kita dapat menuntun orang lain untuk mengenal Allah dengan benar.
Bagaimanapun, jika di dalam hati kita, kita lebih memerhatikan pengetahuan daripada kualitas hidup, hal itu menjadi sangat berbahaya. Ini karena hal tersebut menunjukkan bahwa cara kita menilai itu tidak ada bedanya dari dunia. Bagaimana dunia menilai seorang pemimpin? Sudah pasti, kualitas pendidikannya, talenta, pengetahuan dan kefasihannya berbicara. Kapan dunia menggunakan kualitas hidup seseorang sebagai pemilihan kriteria menjadi pemimpin? Dalam hati kita pemimpin adalah simbol pengetahuan, talenta dan kefasihan. Pada kenyataannya, ini merupakan masalah gereja hari ini. Kita sangat memandang pada latar belakang pendidikan pengkhotbah dan pendeta. Jika ia memiliki gelar teologia, kita akan melihatnya secara berbeda. Kapan kita pernah mengundang seorang saudara menjadi pengkhotbah di gereja karena ia memiliki kehidupan rohani yang sangat istimewa sekalipun ia tidak memiliki latar belakang pendidikan teologia?
Hal yang sama ditemukan di setiap tempat. Karena ini adalah persoalan mengenai apa yang penting menurut penilaian kita. Selama hati dan pikiran kita belum dibaharui oleh Roh Kudus, apa yang Anda pikirkan tidak beda dari dunia. Saya sudah banyak bertanya kepada saudara dan pengkhotbah di tempat yang berbeda tentang apa yang paling dibutuhkan oleh gereja mereka sekarang. Jawaban secara mendasar sama, gereja membutuhkan beberapa pelatihan teologia seperti teologia sistematis dan sebagainya. Bagaimanapun, sangat sedikit orang-orang yang mengatakan bahwa gereja membutuhkan pelatihan dalam kualitas hidup dan apa yang mereka butuhkan adalah contoh dan teladan hidup untuk memimpin mereka.
Jangan pernah kita berpikir bahwa karena kita memiliki pengetahuan Alkitab, maka kehidupan rohani kita sudah bertumbuh dan kita sudah memenuhi syarat untuk memimpin orang lain. Ini tidak pernah menjadi penekanan di Alkitab.
Mari kita membaca Fil 4:9. Dalam ayat ini, kita dapat melihat hak istimewa Paulus dalam mengembalai gereja. Selain menekankan kepentingan pengajaran Alkitab, ia juga meminta gereja untuk mencontohi hidupnya (bukan sekadar ajarannya) dalam cara ia menangani sesuatu dan berelasi dengan orang-orang di dalam Jemaat. Ini adalah tantangan dari Alkitab yang diletakkan di depan kita. Kita perlu berakar dalam Firman Allah dan bertumbuh di dalam Kristus. Dengan cara itu, kita dapat menjadi berkat untuk orang lain. Bukan sekadar dapat menolong orang dalam Firman Allah, kita dapat juga memimpin orang lain melalui kehidupan kita untuk berjalan di dalam kehendak Allah. Ini adalah cara yang benar dalam mengembalakan gereja. Kita akan melanjutkan diskusi tentang poin ini di lain waktu.
Biarkan saya membuat kesimpulan yang singkat di sini. Lewat pemahaman akan konteks Yak 3:1-2, kita melihat bahwa banyak orang ingin menjadi guru di gereja. Mereka berpikir bahwa mereka memiliki pengetahuan Alkitab yang berlimpah dan kefasihan yang luar biasa, jadi mereka berpikir bahwa mereka layak menjadi guru untuk semua orang. Bagaimanapun, mereka tidak mengerti bahwa kualitas hidup adalah pra-syarat utama menjadi guru. Yakobus justru harus menghadapi masalah tentang kualitas hidup ini, sehingga Ia menghimbau jemaat untuk tidak menjadi guru bagi orang lain.
Setelah Anda berhasil menangkap poin ini, Anda akan dapat melihat hubungan antara Yakobus 3:1-2 dan 13-18 secara jelas. Mengapa tiba-tiba Yakobus berbicara mengenai hikmat dan pengertian dari ayat 13 ke ayat 18? Ini dikarenakan pengetahuan yang dibicarakan oleh Alkitab sangat berbeda dari yang dipahami oleh dunia. Pengetahuan yang dibicarakan oleh Alkitab bukanlah pengetahuan akademik, talenta, latar-belakang pengetahuan, kefasihan berbicara, dan sebagainya. Untuk orang-orang dunia, semakin tinggi kualitas akademisnya, semakin tinggi pula kesempatan menjadi seorang pemimpin.
Bagi Alkitab, hikmat sejati merujuk pada kualitas kehidupan rohani. Mereka yang memiliki kualitas seperti Yesus Kristus adalah teladan dan contoh bagi orang-orang percaya dan lewat kehidupan mereka, secara alami mereka akan menjadi orang yang mendidik jemaat.
Oleh sebab itu, di Yakobus 1:5, Yakobus mendorong kita untuk mencari hikmat sejak awal. Hikmat yang dimaksud adalah kualitas hidup dan pertumbuhan rohani. Bagaimana datangnya kualitas hidup? Melalui melakukan firman yang kita dengar, menaati firman Allah dan memberkati melalui perbuatan. Oleh karena itu, seorang dengan kualitas hidup rohani sudah pasti adalah orang berhikmat karena ia mengerti kehendak Tuhan melalui ketaatannya kepada firman Allah dan karena itu ia juga mampu menjelaskan kepada orang lain pengajaran Alkitab dan menyampaikan kehendak Allah. Yang lebih penting lagi, hidupnya sendiri dapat menjadi contoh untuk semua orang..
Di lain waktu, kita akan lihat apa unsur-unsur praktis dari hikmat yamg dibicarakan oleh rasul Yakobus. Karena hikmat yang dibicarakan Alkitab tidak dapat dipisahkan dari kualitas hidup, lalu kualitas hidup yang seperti apa yang sedang dibicarakan di sini? Kita akan meninggalkan pertanyaan ini untuk diskusi di lain waktu.