Ev. Xin Lan | Musa (1) |

Hari ini, tokoh Alkitab yang akan kita bahas adalah Musa. Di dalam Alkitab, tak diragukan lagi, Musa merupakan nama yang terkenal. Bersama dia, jutaan bangsa Israel pergi meninggalkan Mesir, dan berangkat untuk menaklukkan tanah yang telah dijanjikan oleh Allah kepada Abraham, Ishak dan Yakub. Pada akhirnya, mereka berhasil masuk ke Tanah Perjanjian. Melalui Musa juga bangsa Israel menerima hukum dari Allah, yang menjadi dasar dari isi Perjanjian Lama. Kelima kitab pertama dalam Alkitab, dari kitab Kejadian sampai Ulangan, ditulis oleh Musa. Bisa dikatakan bahwa Musa adalah penulis pertama dari Alkitab.

Sekalipun Musa merupakan generasi Perjanjian Lama, dan termasuk generasi awal, namanya sering disebutkan bahkan sampai di dalam Perjanjian Baru. Di dalam suatu peristiwa, dia bahkan tampil bersama Yesus. Dari sini kita bisa melihat peranan penting Musa di dalam Alkitab.

Allah menempatkan Musa dalam posisi yang sangat penting. Alkitab mengatakan bahwa sesudah Musa, tidak ada lagi nabi yang menyamai dia sampai dengan datangnya Yesus Kristus. Hanya pelayanan Yesuslah yang yang melampaui pelayanan Musa.

Musa merupakan orang pertama dalam catatan Alkitab yang disebut sebagai “manusia Allah”. Dia memiliki hubungan yang sangat akrab dengan Allah, dan Allah berbicara langsung dengan dia. Allah memuji dia secara pribadi sebagai hamba yang setia. Alkitab juga mengatakan bahwa Musa adalah orang yang rendah hati, lebih dari semua orang yang termasuk generasi zaman Perjanjian Lama.

Demikianlah, tokoh ini – Musa, memiliki banyak hal yang perlu kita pelajari. Informasi tentang kehidupannya juga sangat melimpah.


Tahap  Pertama Kehidupan Musa

Jika kita perhatikan jalan hidup Musa, kita bisa membaginya ke dalam tiga tahapan: Tahap pertama adalah masa hidupnya sebagai seorang pangeran di Mesir. Tahap ini berlangsung sekitar empat puluh tahun. Tahap kedua adalah masa pelariannya ke tanah Midian. Di sini dia menjalani kehidupan sebagai seorang gembala. Di sini juga dia membangun sebuah rumah tangga. Tahap ini berlangsung sekitar empat puluh tahun juga. Tahap ketiga adalah periode di mana dia menjalani panggilan Tuhan, kembali ke Mesir untuk memimpin bangsa Israel meninggalkan Mesir. Dia juga membebaskan bangsa Israel dari perbudakan yang dipaksakan oleh bangsa Mesir. Mereka mengembara di padang gurun sampai dengan berlalunya generasi dewasa yang keluar dari Mesir. Tahap ketiga ini juga berlangsung sekitar empat puluh tahun. Dengan demikian, masa hidup Musa berlangsung sekitar 120 tahun.

Musa lahir ketika bangsa Israel sudah berjumlah sangat banyak. Ketika itu, bangsa Israel sudah sekitar tiga generasi tinggal di Mesir dan mereka bertumbuh menjadi kelompok yang berjumlah banyak. Akan tetapi, dinasti di Mesir mengalami perubahan, dinasti yang lama telah digulingkan oleh dinasti yang baru. Firaun yang baru tidak lagi mengenal Yusuf. Dia tidak peduli dengan kisah Yusuf yang telah menyelamatkan Mesir dari bencana kelaparan. Saat dia melihat jumlah bangsa Israel yang sangat besar, dia menjadi khawatir akan keamanan kekuasaannya. Lalu Firaun ini berkata,

“Lihatlah, Bangsa Israel sudah terlalu banyak dan mereka lebih kuat daripada kita! Kita harus membuat rencana supaya orang Israel jangan semakin kuat. Jika terjadi perang, mereka mungkin akan bergabung dengan musuh, melawan kita, dan melarikan diri dari negeri ini.”

Lalu orang Mesir mengangkat para pengawas kerja rodi dan memulai perbudakan atas bangsa Israel. Para budak ini disuruh membangun berbagai kota, membuat batu-bata dan menggarap lahan pertanian. Akan tetapi, semakin berat perlakuan itu, semakin banyak jumlah orang Israel. Firaun berkata kepada para bidan Mesir,

“Teruslah menolong perempuan Ibrani untuk melahirkan. Jika anak yang lahir itu perempuan, biarkan ia hidup. Tetapi jika laki-laki, kamu harus membunuhnya!”

Namun, para bidan itu takut akan Allah dan tidak menjalankan perintahnya. Firaun, karena kecewa, lalu memberi perintah umum kepada semua rakyat,

“Jika perempuan Ibrani melahirkan bayi perempuan, biarkan anak itu hidup, tetapi jika mereka melahirkan bayi laki-laki, buang anak itu ke Sungai Nil.”

Pada masa itulah Musa dilahirkan. Suatu periode yang tidak menguntungkan. Musa merupakan keturunan dari salah satu suku Yakub, yakni suku Lewi. Setelah melahirkan dia, ibunya melihat bahwa dia adalah bayi yang cakap. Dia tidak mematuhi perintah Firaun untuk membuang bayinya ke sungai. Ibunya merawat dia secara rahasia sampai selama tiga bulan. Setelah tiga bulan, dia tidak bisa lagi menyembunyikan Musa. Lalu dia mengambil keranjang pandan, melumuri sisi luarnya dengan ter, menaruh bayi Musa di dalamnya. Setelah itu, dia meletakkan keranjang itu di tengah semak teberau yang tumbuh di bagian dangkal di tepi sungai Nil. Kakak perempuan Musa bersembunyi agak jauh dari tempat Musa diletakkan, untuk melihat apakah yang akan terjadi dengan Musa.

Lalu seorang putri Firaun datang ke tepi sungai Nil untuk mandi di sana. Salah satu pembantunya menemukan keranjang itu. Putri Firaun ini menyuruh pembantunya untuk mengambil keranjang tersebut. Ketika dia membuka keranjang tersebut, dia melihat ada bayi di dalamnya. Mungkin dia sudah mengapung di situ selama beberapa waktu, jadi, ketika dia melihat ada orang yang membuka keranjangnya, dia mulai menangis. Lalu sang putri berbelas kasihan kepadanya. Dia berkata, “Tentulah ini bayi orang Ibrani.” Tentu saja, dia tahu tentang perintah ayahnya yang kejam. Orang mana lagi yang akan menaruh bayinya di sana?

Lalu kakak perempuan Musa yang bersembunyi agak jauh dari situ datang dan mengambil kesempatan ini dengan berkata,

“Apakah engkau mau agar aku mencari seorang perempuan Ibrani yang dapat menyusui bayi itu dan merawatnya?”

Putri Firaun itu langsung menjawab, “Baiklah.” Demikianlah, kakak perempuan Musa segera memanggil ibunya. Putri Firaun ini berkata,

“Bawalah bayi ini dan rawatlah dia untukku. Aku akan membayarmu untuk merawat dia.”

Demikianlah, Musa bertumbuh dalam asuhan ibunya sampai dia cukup besar, mungkin selama beberapa tahun dan sudah tidak memerlukan susu lagi. Ibunya lalu menyerahkan Musa kepada sang putri. Musa kemudian menjadi anak dari putri Firaun. Putri Firaun ini memberinya nama Musa, yang berarti, “diambil dari air”.

11  Musa bertambah besar dan menjadi dewasa. Suatu hari, ia melihat bangsanya sendiri, orang-orang Ibrani, dipaksa bekerja sangat keras. Ia melihat seorang Mesir memukul seorang Ibrani.
12  Musa menengok ke sekeliling dan tidak ada orang dilihatnya yang memperhatikannya, maka Musa membunuh orang Mesir itu dan menguburnya ke dalam pasir.
13  Hari berikutnya, Musa melihat dua orang Ibrani saling berkelahi. Ia berkata kepada orang yang ia lihat bersalah dalam perkelahian itu, “Mengapa kamu memukul sesamamu orang Ibrani?”
14  Orang itu menjawab, “Siapakah yang mengangkatmu menjadi penguasa dan hakim atas kami? Apakah kamu mau membunuhku seperti kemarin kamu membunuh orang Mesir itu?” Maka, Musa menjadi ketakutan. Ia berpikir, “Hal itu pasti sudah diketahui setiap orang.”
15  Ketika Firaun mendengar hal yang telah dilakukan Musa, ia mencari-cari Musa untuk membunuhnya. Akan tetapi, Musa melarikan diri dari Firaun dan pergi ke Negeri Midian. Musa berhenti dekat sebuah sumur di Midian.

Di sini Musa menjalani tahap kedua dari kehidupannya.


Iman Orang Tua Musa

Jika kita telaah tahap pertama dari kehidupan Musa ini, mungkin kita akan berpikir: “Musa sungguh beruntung. Dia diangkat sebagai anak oleh putri Firaun dan dia bisa bertahan hidup. Bukankah Musa sangat beruntung?” Mari kita lihat kitab Ibrani 11:23 di dalam Perjanjian Baru.

Oleh iman, Musa, ketika ia lahir, disembunyikan selama tiga bulan oleh orang tuanya. Mereka melihat bahwa Musa adalah bayi yang sangat manis, dan mereka tidak takut terhadap perintah raja.

Di sini disebutkan bahwa orang tua Musa, karena iman mereka kepada Allah, orang tua Musa tidak membunuhnya, tetapi justru merawatnya secara diam-diam selama tiga bulan. Iman dari orang tua Musa sangatlah besar karena jika ketahuan, maut bukan saja akan menimpa Musa melainkan juga seluruh keluarganya. Kita bisa bayangkan bahwa mereka harus bergantung kepada Allah setiap hari selama masa tiga bulan itu. Mereka jalani hidup sepenuh iman sehingga bayi itu tidak ketahuan oleh para tetangganya.

Apakah iman orang tua Musa itu hanya selama masa tiga bulan itu saja? Apa hasilnya jika bayi itu hanya hidup sampai tiga bulan saja? Jika diamati, setelah dirawat selama tiga bulan, bukankah hal itu akan lebih menyakitkan hati orang tuanya? Sebenarnya, iman orang tua Musa tidak terbatas selama tiga bulan itu saja. Mereka menyerahkan urusan bayi itu ke dalam tangan Allah. Mereka berharap bahwa dia akan selamat. Hasilnya adalah, setelah orang tua Musa tidak mungkin lagi menyembunyikan keberadaannya, Allah sendiri yang mengatur keselamatan bayi itu.

Demikianlah, bukan keberuntungan Musa yang membuatnya diselamatkan oleh putri Firaun yang menjadikan Musa anak angkatnya. Ini merupakan rencana keselamatan dari Allah, dan Allah melakukannya karena iman dari orang tua Musa. Sebagai contoh, orang tua Musa menaruh dia di dalam keranjang pandan yang sisi luarnya dilapis dengan ter, untuk menjaga agar keranjang itu tetap mengapung. Selanjutnya, keranjang itu ditaruh di tengah rumpun teberau yang tumbuh di sisi sungai Nil. Lokasi ini dipilih agar Musa mudah ditemukan orang. Dan mengapa kakak perempuan Musa mengamati keranjang itu dari sebuah tempat persembunyian? Dia ingin tahu apa yang akan terjadi dengan adiknya. Demikianlah, kita bisa melihat bahwa keluarga ini melakukan semua itu dalam iman. Mereka ingin tahu bagaimana Allah akan menyelamatkan bayi Musa.

Sebagai hasilnya, ketika putri Firaun mengangkat Musa dari dalam keranjang, kakaknya mengambil kesempatan ini dan mengajukan permohonan: Bolehkah saya carikan pengasuh untuk bayi ini?

Lalu datanglah ibu Musa, dan dia bisa melanjutkan merawat Musa. Kali ini, dia boleh melakukannya secara terang-terangan, tidak usah disembunyikan lagi. Putri Firaun adalah jaminan bagi keselamatan Musa. Orang tua Musa, dalam iman mereka, akhirnya mendapatkan keselamatan dari Allah dan menyelamatkan nyawa Musa. Demikianlah, bayi Musa dapat lolos dari kematian karena iman dari orang tuanya.


Musa Tahu Asal Usulnya

Di samping itu, sekalipun Musa diangkat anak oleh putri Firaun sejak kecil dan hidup dalam lingkungan istana Mesir, dia tahu bahwa dia merupakan anak Ibrani. Dari urutan peristiwa dalam kitab Keluaran, kita juga bisa melihat bahwa dia tahu siapa keluarganya yang asli. Dia mengenal saudara dan saudarinya. Mengapa dia bisa tahu? Apakah ibu angkatnya memberi tahu hal ini kepadanya? Tentunya tidak. Saya rasa, putri Firaun ini juga tidak tahu bahwa pengasuh Musa adalah ibu kandung Musa sendiri. Jadi, ketika Musa masih dalam asuhan ibu kandungnya, ibunya berusaha sebisa mungkin untuk menanamkan kebenaran ini kepada Musa: bahwa dia adalah orang Ibrani. Hal yang lebih penting lagi adalah bahwa ibunya juga mengenalkan Musa pada Allah orang Ibrani serta janji Allah kepada Abraham. Musa memelihara imannya kepada Allah sehingga terjadi insiden yang nyaris mencelakakan dirinya ketika dia sudah dewasa.

Demikianlah, kita melihat tokoh Alkitab sebesar Musa dapat kita kaitkan dengan jasa orang tuanya. Bukan hanya karena iman mereka Musa selamat ketika masih bayi, tetapi mereka juga menanamkan keyakinan yang mendalam pada diri Musa dan membentuk landasan kerohanian yang teguh dalam diri Musa. Ketika Musa memutuskan untuk menengok keadaan kaum sebangsanya, dia berusia sekitar empat puluh tahun saat itu. Kita bisa melihat uraian ini di dalam Kisah 7:22-23,

Maka, Musa dididik dalam segala hikmat orang-orang Mesir dan ia berkuasa dalam perkataan dan perbuatannya. Namun, ketika Musa genap berusia empat puluh tahun, muncul di dalam hatinya untuk mengunjungi saudara-saudaranya, yaitu keturunan Israel.

Alkitab tidak menjelaskan kepada kita kapan Musa beralih dari asuhan orang tua kandungnya ke dalam lingkungan istana Mesir. Mari kita buat perkiraan bahwa hal itu terjadi ketika Musa berusia sekitar sepuluh tahun (mungkin bisa lebih awal lagi, tetapi kita akan membuat perkiraan yang cukup aman), kemudian Musa masuk ke dalam lingkungan pendidikan Mesir selama sekitar 30 tahun. Mesir merupakan negara besar pada zaman itu. Mesir memiliki tradisi dan tuhan sendiri. Mesir juga mungkin merupakan panutan bagi banyak bangsa pada zaman itu. Kita tahu bahwa negara terkuat biasanya juga menjadi negara panutan bagi bangsa-bangsa lain. Akan tetapi, tiga puluh tahun pengaruh lingkungan istana Mesir tidak menghapuskan meterai rohani yang ditanamkan oleh orang tua kandungnya di dalam hati Musa pada masa kecilnya.

Demikianlah, orang tua Musa adalah contoh teladan bagi semua orang tua. Sebagai orang tua, tidak dapatkah kita memasrahkan anak-anak kita kepada Allah, membiarkan mereka memiliki pemahaman yang kuat tentang Allah dan membentuk landasan rohani yang teguh sejak masa kecil mereka? Orang tua Musa tidak hanya membesarkan Musa, mereka memiliki dua orang anak lagi selain Musa. Semua anak mereka merupakan anak-anak yang taat kepada Allah. Salah satunya adalah kakak laki-laki Musa, yakni Harun, yang nantinya akan mendampingi Musa dalam memimpin bangsa Israel. Harun kemudian menjadi imam besar. Yang seorang lagi adalah Miryam, kakak perempuannya. Alkitab menyebutkan bahwa Miryam merupakan seorang nabiah. Orang tua Musa memiliki tiga orang anak yang mereka serahkan kepada Allah.

Seringkali, ketika orang tua masuk ke dalam pelayanan kepada Allah, mereka tidak ingin anak-anak mereka masuk ke dalam pelayanan yang sama. Ada juga orang tua yang membiarkan salah satu anak mereka masuk ke dalam pelayanan kepada Allah, asalkan tidak semua melakukan hal yang sama. Karena jika sampai semua anak mereka masuk ke dalam pelayanan penuh, maka seluruh keluarga tidak akan memiliki pendapatan yang memadai dan kemelaratan mungkin akan menjadi masa depan mereka. Allah tahu persis isi hati kita. Ada berapa banyak orang yang mau menjadi seperti orang tua Musa?


Musa Berpihak kepada orang Ibrani

Mari kita kembali kepada Musa. Sebagai anak angkat seorang putri Firaun, dia bertumbuh sebagai seorang pangeran. Mesir merupakan negara terkuat pada zaman itu. Orang China banyak membuat film berlatar belakang dinasti Ching, dan salah satunya menggambarkan masa pemerintahan kaisar Yong Zhang yang penuh dengan kekejaman. Jika kita menyaksikan kehidupan para pangeran dalam film itu, kita melihat bahwa mereka semua penuh kuasa dan sangat dihormati. Jadi kita bisa membayangkan kehidupan seperti apa yang dijalani oleh Musa.

Dalam kehidupan zaman sekarang, sangat sukar untuk membayangkan kekuasaan yang dimiliki oleh keluarga bangsawan. Walaupun Inggris masih merupakan kerajaan, tetapi bentuknya adalah monarki konstitusional. Keluarga istana di Inggris tidak menunjukkan kemuliaan dan kekuasaan seperti pada zaman dulu. Meskipun demikian, anggota keluarga kerajaan Inggris masih sangat dihormati oleh masyarakat. Mereka menjalani kehidupan yang sangat berpengaruh bagi masyarakat. Kehidupan anggota keluarga kerajaan pada zaman Musa jauh melampaui yang bisa kita lihat pada zaman sekarang. Menjadi anggota keluarga raja yang berdaulat penuh adalah hal yang sangat luar biasa pada zaman itu. Dia tinggal di dalam istana, mengenakan pakaian mewah, menikmati hidangan istana dan mendapat pengawalan dari pasukan jika sedang berada di luar istana. Masyarakat akan membungkukkan badan untuk memberi hormat setiap kali dia lewat. Ini adalah kedudukan tertinggi dalam kehidupan duniawi. Sebagian besar masyarakat hanya bisa memimpikannya.

Akan tetapi, Musa mengabaikan semua itu, dia memilih untuk bergabung bersama bangsanya, dan dia sampai membunuh seorang mandor Mesir dan nyaris dihukum mati sebagai akibatnya. Mengapa Musa sampai berbuat demikian? Mari kita buka Ibrani 11:24-27,

24  Oleh iman, Musa, setelah tumbuh ia dewasa, menolak disebut anak dari putri Firaun.
25  Ia lebih memilih menderita bersama umat Allah daripada menikmati kesenangan dosa yang hanya sementara,
26  Ia menganggap bahwa kehinaan Kristus lebih berharga daripada seluruh kekayaan Mesir sebab Musa memandang kepada pahala yang akan datang.
27  Oleh iman, Musa meninggalkan Mesir tanpa rasa takut terhadap murka Raja Firaun seolah-olah ia dapat melihat Dia yang tidak kelihatan itu.

Alkitab memberitahu kita bahwa Musa berniat mengunjungi para saudaranya karena dorongan iman. Dia lebih memilih hal yang dijanjikan Allah daripada keduniawian yang dia miliki. Sebenarnya, bahkan ketika dia sudah melakukan pembunuhan itu, dia masih bisa kembali dan mengakui kesalahannya tanpa kehilangan hak sebagai seorang pangeran. Akan tetapi, dia pergi meninggalkan Mesir, bukan karena takut kepada raja. Dia tidak mempertahankan kedudukan sebagai seorang pangeran karena mau mendapatkan imbalan dari Allah, yakni janji yang diberikan Allah kepada bangsa Israel. Dia tidak memandang Mesir sebagai negerinya, dia ingin memasuki kerajaan yang dijanjikan oleh Allah bagi orang Israel.

Sekarang ini, Yesus Kristus telah mempersiapkan sebuah kerajaan surgawi yang kekal bagi kita, jauh lebih baik daripada kerajaan duniawi yang Allah berikan kepada Israel. Namun, kita tidak memandang itu sebagai hal yang lebih berharga daripada keduniawian di hadapan kita. Kita memandang pekerjaan, uang dan keluarga sebagai hal yang jauh lebih berharga. Di Lukas 14:16-24 dalam Perjanjian Baru, Yesus Kristus menyampaikan perumpamaan tentang pesta besar. Allah telah mengundang semua orang untuk datang dalam perjamuan besar-Nya, yakni untuk masuk ke dalam kerajaan-Nya. Namun, semua orang yang dia undang tidak memiliki waktu untuk datang dan menolak undangan itu.

Yang pertama berkata, “Aku baru membeli sebuah ladang dan aku harus pergi melihatnya.
Yang kedua berkata, “‘Aku baru membeli lima pasang sapi dan aku harus pergi untuk memeriksa sapi-sapi itu.
Yang ketiga berkata, “‘Aku baru saja menikah.

Ketiga orang itu menunjukkan sikap hati kebanyakan orang terhadap Injil pada zaman sekarang. Kita memandang properti, karir dan pernikahan sebagai hal yang paling penting. Singkatnya, semua yang kita lihat di dunia ini menjadi tujuan yang kita kejar. Hidup kekal menjadi hal yang terlalu jauh dan kita tidak punya waktu untuk mengejarnya. Atau, kita mungkin bersedia mencari Allah selama keduniawian kita tidak terganggu.


Musa Kehilangan Segalanya

Musa tidak sekadar kehilangan karir dan penghasilan, dia meninggalkan statusnya sebagai seorang pangeran, kemuliaan duniawi yang tertinggi. Harap diperhatikan bahwa Musa bisa saja tetap tinggal di Mesir sambil beribadah kepada Allah. Dia bisa melanjutkan kehidupannya sebagai seorang pangeran sambil menyembah Yahweh sebagai Tuhannya. Bukankah hal semacam ini yang kita impikan? Kita tidak mau kehilangan hal-hal yang ada di dunia. Di sisi lain, kita juga takut kehilangan Allah. Kita pasti senang jika bisa mempertahankan keduniawian sambil menyembah Allah, bukankah demikian? Namun, Musa tidak memandang hal itu seperti cara pandang kita. Dia paham bahwa dia tidak bisa memiliki kedua hal ini secara bersamaan. Kita cenderung berpikir bahwa kita bisa memiliki keduanya, padahal tidak. Alkitab tidak pernah menyatakan hal itu. Musa tahu kenikmatan seperti apa yang tersedia di dunia. Akan tetapi, seperti yang disampaikan dalam kitab Ibrani, dia tidak menginginkan kenikmatan yang akan segera berlalu. Dia menginginkan hadiah kekal dari Allah. Masalah kita adalah, kita memandang semua yang ada di dunia ini sebagai hal yang kekal, dan kerajaan surga kita anggap sebagai hal yang terlalu jauh serta berada di luar jangkauan kita. Kita tidak memiliki iman seperti yang dimiliki Musa, kita tidak melihatnya.

Saya mengagumi mereka yang mencari Allah dan meninggalkan segala sesuatunya – karir, penghasilan dan pernikahan untuk menyembah Allah sepenuh hati. Di China, ada banyak penginjil yang seperti ini. Saya ingin membangkitkan semangat anda: Pertama, segala hal yang kita tinggalkan itu tak ada artinya jika dibandingkan dengan hal-hal yang ditinggalkan oleh Musa. Jika dibandingkan dengan apa yang akan diberikan oleh kerajaan dari Allah, berikut semua janji yang Dia tetapkan, justru menjadi lebih tidak berarti. Pertanyaannya adalah: Apakah kita memiliki iman seperti ini? Atau, apakah kita akan menyesalinya pada akhirnya?

Kitab Ibrani juga menyebutkan bahwa oleh karena iman, maka Musa tidak takut akan kemarahan raja. Pada awal pembahasan, kita juga melihat bahwa oleh karena iman, maka orang tua Musa tidak takut untuk melanggar perintah raja. Kita bisa melihat pengaruh besar dari orang tua Musa terhadap dirinya, dan mereka, oleh karena iman, tidak takut pada raja. Jangankan raja, jika kita ganti sosok raja ini dengan atasan kita, kita sudah tidak berani berbeda pendapat, karena takut dipecat, jika dia menyuruh kita melakukan hal yang tidak benar dalam pandangan kita.

Dalam Alkitab, orang yang memiliki iman tidak takut kepada manusia. Walaupun bukan berarti kita bebas melawan orang lain. Bukan seperti itu. Yang terpenting adalah ketika ada orang yang bertindak melanggar prinsip dari Allah, kita harus berani menolak. Sebagai contoh, kita memiliki saat ibadah pada hari Minggu, tetapi bos anda menyuruh anda untuk lembur pada hari Minggu. Dalam keadaan ini, apakah anda dan saya memiliki keberanian untuk berkata, “Maaf, saya tidak bisa lembur pada hari Minggu”? Saya rasa bukan itu jawaban dari kebanyakan orang Kristen; mereka bahkan tidak berani untuk mempertanyakan, cenderung menurut.

Atau ketika keluarga kita menolak kepercayaan kita kepada Allah serta menyuruh kita untuk tidak beribadah pada hari Minggu, mereka mungkin akan berkata, “Kalau masih pergi ke gereja juga, tidak usah pulang ke rumah.” Dalam keadaan ini, beranikah anda untuk tetap ke gereja? Sayangnya, kejadian yang sering saya lihat dan dengar adalah: Mereka merasa tidak punya pilihan lain kecuali menurut dan berhenti beribadah. Mereka takut pada keluarga mereka. Mereka tidak meninggalkan Allah, mereka berkata, “Hati saya masih mengikut Allah.” Akan tetapi, saya tidak tahu bagaimana Allah akan menilai mereka. Alkitab tidak pernah berbicara tentang hal menjadi orang Kristen secara sembunyi-sembunyi.


Kesimpulan

Hari ini kita membahas tahap pertama dari kehidupan Musa. Kita melihat iman dari orang tua Musa. Mereka menyelamatkan nyawa Musa oleh karena iman. Mereka mengalami keselamatan dari Allah dan membiarkan putri Firaun untuk mengangkat Musa sebagai anaknya. Orang tua Musa juga menanamkan keyakinan yang mendalam pada diri Musa akan Allah mereka. Musa mendapatkan landasan rohani yang teguh dari orang tuanya.

Kita juga melihat bahwa setelah Musa tumbuh dewasa, oleh karena imannya, dia mampu memahami betapa berharganya tanah yang Allah janjikan kepada bangsa Israel. Dia menolak untuk melanjutkan kehidupan sebagai seorang pangeran Mesir, tidak memilih kenikmatan duniawi. Dia memilih untuk sengsara bersama bangsanya untuk menggenapi janji Allah. Ada berapa banyak dari antara kita yang memiliki iman semacam itu?

 

Berikan Komentar Anda: