Pastor Eric Chang | Manusia Baru (4) |

Jaminan yang Sejati dan yang Palsu

Banyak orang secara serius meragukan kondisi kerohanian mereka lalu bertanya, “Apakah saya sudah dilahirkan kembali? Apakah saya orang Kristen sejati?” Ini membawa kita pada pertanyaan mendasar tentang siapakah orang Kristen itu, atau apa itu kelahiran kembali?

Menurut Firman Tuhan, seorang Kristen adalah seseorang yang sudah dilahirkan kembali menjadi “bayi yang baru lahir” (1Pet 2:2) dalam Kristus. Ia sekarang memiliki hidup baru di dalam Kristus dan merupakan seorang manusia baru di dalam Dia.

Jika demikian halnya, bagaimana saya tahu bahwa saya sudah dilahirkan kembali atau saya seorang Kristen yang sejati?

Kita punya dua cara untuk menjawab persoalan jaminan ini. Cara pertama adalah dengan menyatakan secara dogmatis bahwa segala sesuatu sudah beres karena kita sudah mempercayai Yesus pada suatu ketika di masa lalu. Dengan cara ini kita dapat menutup mata kita terhadap kondisi kerohanian kita yang sebenarnya.

Cara lain adalah dengan menjadi realis rohani, yang berani mengevaluasi keadaan rohani kita sejujurnya, dan secara teliti mempelajari bukti–bukti yang ada apakah kita itu murid-murid Yesus yang sejati. Jika buktinya tidak mendukung, atau bahkan tidak ada tanda yang menunjukkan bahwa kita sudah dilahirkan kembali, tindakan mengeklaim bahwa kita sudah dilahirkan kembali tanpa kualitas hidup yang sepadan akan membuat kita menjadi, orang-orang yang paling malang dari segala manusia. Orang-orang Kristen semacam ini pasti adalah orang-orang yang paling menyedihkan yang pernah berjalan di atas permukaan bumi ini. Mengira bahwa Anda memiliki sesuatu padahal dalam kenyataannya tidak, merupakan khayalan yang paling berbahaya.

Akan tetapi, jika Anda melihat bukti kelahiran kembali dalam hidup Anda, atau jika Roh Kudus dengan nyata sedang bekerja di dalam hidup Anda, Anda memiliki jaminan yang pasti. Lagi pula, semua ini bukan semata-mata bukti-bukti yang dapat dialami, tetapi juga merupakan dasar jaminan yang alkitabiah.

Allah Selalu Membawa Kita di Jalan Kemenangan-Nya

Kita memulai dari 2 Korintus 2:14:

“Tetapi syukur bagi Allah, yang di dalam Kristus selalu membawa kami di jalan kemenangan-Nya. Dengan perantaraan kami Ia menyebarkan keharuman pengenalan akan Dia di  mana–mana.”

Di sini terlihat kualitas atau ciri dari kehidupan di dalam Kristus: Allah “selalu membawa kita di jalan kemenangan-Nya”. Kata “selalu” ini membuat jelas bahwa kemenangan bukanlah pengalaman yang kebetulan atau kadang–kadang terjadi di dalam kehidupan Kristen, tetapi sesuatu yang mencirikannya. Jadi hal ini berfungsi sebagai batu sentuhan untuk menguji apakah kita orang Kristen menurut pengertian Perjanjian Baru. Dapatkan kita bergema dengan kata-kata tersebut, ataukah justru terdengar asing di telinga kita? Barangkali, mengingat kehidupan kita yang selalu kalah, bahkan terdengar tidak masuk akal?

Apakah kehidupan kita menebarkan “keharuman” Kristus? Seorang Kristen yang kalah tidak punya aroma untuk ditebarkan. Yang dapat dia tebarkan hanyalah miasma, bau busuk yang beracun dari sifat egoisnya yang lama. Yang dilakukan “manusia lama” untuk menutupi miasmanya adalah dengan menyemprotkan “parfum” keramahtamahan atau daya tarik alami.

Namun, aroma yang dibicarakan oleh Paulus di sini ialah aroma keharuman dalam Kristus dari suatu persembahan hidup yang menang dalam setiap situasi. Kata Yunani yang digunakan Paulus untuk “keharuman” (osme) ialah kata yang sering digunakan dalam Perjanjian Lama berbahasa Yunani (LXX atau Septuaginta) untuk aroma yang datang dari pembakaran kurban persembahan bagi Allah di atas mezbah. Kata ini digunakan sebanyak 19 kali dalam kitab Imamat (1:9,13,17, dll) dan 20 kali dalam kitab Bilangan (15:3,7,10, dll). Paulus juga menggunakan kata tersebut dalam kaitannya dengan Kristus di Efesus 5:2:

“Dan hiduplah di dalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan dirinya untuk kita sebagai persembahan yang harum bagi Allah.”

Paulus juga menggunakan kata “aroma” di Filipi 4:18 ketika menunjuk kepada persembahan kasih jemaat Filipi yang, walaupun sangat miskin, tetapi sangat bersemangat untuk memberi kepada Paulus.

Jika selalu berkemenangan di dalam Kristus merupakan ciri kehidupan Kristen, keharuman yang mengalir darinya juga menjadi ciri dari kehidupan baru. Kedua hal itu menjadi tolok ukur dalam menilai kehidupan Kekristenan kita. Dengan demikian, jelaslah bahwa kemenangan adalah tanda yang paling dasar dari orang yang sudah dilahirkan kembali. Bersama dengan itu, hadir pula keharuman yang memuliakan Allah.

Paulus Menampilkan Hidupnya

Sekarang ini kita cenderung menganggap bahwa ada dua macam orang Kristen: yang berkemenangan dan yang kalah. Yang kalah tetap dianggap sebagai orang Kristen, sekalipun menempati kelas yang lebih rendah daripada yang berkemenangan. Oleh karena kemenangan masih menjadi barang langka bagi kebanyakan orang, kita entah bagaimana menerima gagasan “orang Kristen yang kalah” walaupun gagasan ini sama sekali tidak dikenal oleh Alkitab.

Setiap kali ada keraguan apakah Paulus mengajarkan Injil yang sejati, Paulus selalu melakukan hal yang sama untuk meyakinkan orang. Apa itu? Apakah ia memamerkan ijazahnya atau menyatakan pengakuan imannya? Tidak, ia hanya mengajak mereka untuk melihat kehidupannya di dalam Kristus yang berkemenangan dan tidak bercela. Umpamanya, di 1Tesalonika 2:10, ia berkata,

“Kamu adalah saksi, demikian juga Allah, betapa saleh, adil dan tak bercacatnya kami berlaku di antara kamu, yang percaya.”

Setiap kali kerasulan atau ajarannya ditentang, ia akan menunjuk pada kehidupannya sebagai bukti dari kesejatiannya. “Kau tahu orang seperti apa kami ini. Pernahkah kami mengambil keuntungan dari orang lain? Pernahkah kami melanggar hak orang lain? Pernahkah kami merugikan orang lain? Perhatikan hidup kami yang tidak bercacat. Itulah bukti dari kesejatian kami.” Lihat Kisah 20:33; 2Korintus 7:2.

Berapa banyak orang Kristen yang berani menggunakan hal yang sama untuk menguji kesejatian mereka? Siapa kita dan bukan perkataan kita, yang berbicara lebih meyakinkan. Kita bisa saja mengatakan apa saja tentang diri kita sendiri, tetapi satu-satunya bukti yang diperhitungkan adalah siapa kita yang sebenarnya. Apakah orang-orang yang tinggal atau bekerja dengan kita mencium keharuman Kristus di dalam diri kita? Atau sebaliknya mereka perlu memohon kekuatan kepada Tuhan agar dapat menerima kita?

Tentu saja, kita memaklumi bahwa ada tahap–tahap pertumbuhan rohani. Orang Kristen yang masih baru mungkin masih melakukan hal-hal yang salah akibat ketidaktahuan dan ketidakdewasaan mereka, tidak semestinya dari niat yang jahat. Paulus sering menggunakan ungkapan “tidak tahukah kamu?” kepada mereka yang belum dewasa (14 kali dalam surat-surat Paulus; 10 kali dalam 1Korintus, enam kali dalam 1Korintus 6). Orang Kristen yang masih baru memang sering lalai dalam hal–hal tertentu, dan kita harus bersabar dengan mereka jika hati mereka benar walaupun terkadang mereka jatuh. Orang Kristen yang sudah lama, bagaimanapun juga, tidak dapat menggunakan ketidakdewasaan rohani sebagai alasan untuk membenarkan kesalahan mereka, atau untuk membenarkan kegagalan dalam menjalani hidup yang berkemenangan.

Mungkin oleh karena alasan ini banyak orang Kristen yang takut untuk tinggal bersama-sama. Jauh lebih mudah untuk menyembunyikan diri kita di suatu sudut pribadi daripada mengambil bagian dalam kehidupan komunal di mana orang dapat mengamati kita dari siang hingga malam. Itulah ujian yang menentukan. Di gereja kita dapat tampil sempurna untuk beberapa jam, tetapi jika kita tinggal serumah, kita tak dapat terus menerus menyembunyikan diri kita dari pengamatan orang lain. Diri kita yang asli akan muncul cepat atau lambat.

Bukan Eradikasi Dosa, tetapi Kemenangan atas Dosa

Dalam pesan sebelumnya, saya sudah menyampaikan bahwa kekudusan di dalam kehidupan Kristen bukanlah eradikasi dosa. Meskipun seseorang itu suci dan sempurna sesuai dengan standar Alkitab, itu tidak berarti daging tidak lagi menggodanya untuk berbuat dosa, atau dunia tidak menarik baginya, atau Iblis tidak akan mengupayakan yang terbaik untuk menjatuhkannya. Kekudusan bukan berarti lenyapnya kecenderungan daging untuk berbuat dosa dalam diri kita. Yang dimaksudkan adalah kita menang hari demi hari, saat demi saat, oleh anugerah-Nya. Anugerah-Nya cukup untuk kita mengatasi kecenderungan untuk berbuat dosa. Jika kita berkata bahwa kita tidak berdosa atau tidak memiliki kecondongan untuk berbuat dosa, kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita (1Yoh 1:8). Setiap orang memiliki kecenderungan untuk berbuat dosa. Akan tetapi, Allah selalu (bukan kadang–kadang) membawa kita di jalan kemenangan-Nya melalui Roh Kudus.

Hidup dalam kekalahan, banyak orang Kristen mendapati mereka tidak mengalami perubahan kualitatif dan nyata dalam kerohanian mereka sejak saat mereka menyatakan imannya. Tidak ada sesuatu yang baru secara signifikan dalam hidup mereka, tak ada sesuatu yang membuat mereka atau orang lain dapat melihat bahwa perubahan telah terjadi, atau paling tidak awal dari suatu perubahan.

Memandang pada baptisan mereka, hal itu tampaknya juga tak lebih dari sekadar upacara keagamaan tanpa isi kerohanian. Tidak ingin terus menerus berada dalam kekalahan, mereka ingin mendapatkan landasan kerohanian yang benar. Mereka ingin kembali ke permulaan dan menata ulang segalanya dengan benar. Mereka teringat bahwa Kitab Suci mengatakan, “Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan” (Mrk 16:16). Iman mendahului baptisan. Imanlah yang membuat baptisan memiliki arti. Tanpa iman, baptisan akan berubah menjadi upacara keagamaan yang kosong. Menurut Kitab Suci, orang percayalah yang dibaptis. Hal ini dapat dilihat secara konsisten dalam Kisah Para Rasul:

“Tetapi sekarang mereka percaya kepada Filipus yang memberitakan Injil tentang Kerajaan Allah dan tentang nama Yesus Kristus, dan mereka memberi diri mereka dibaptis, baik laki–laki maupun perempuan. Simon sendiri juga menjadi percaya, dan sesudah dibaptis, ia senantiasa bersama-sama dengan Filipus, dan takjub ketika ia melihat tanda–tanda dan mukjizat–mukjizat besar yang terjadi.” (Kis 8:12-13)

 

“Mereka melanjutkan perjalanan mereka dan tiba di tempat yang ada air. Lalu kata sida–sida itu, “Lihat, di situ ada air; apakah halangannya, jika aku dibaptis?” [Sahut Filipus, “Jika tuan percaya dengan segenap hati, boleh.” Jawabnya, “Aku percaya, bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah.”] Lalu orang Etiopia itu menyuruh menghentikan kereta itu, dan keduanya turun ke dalam air, baik Filipus maupun sida–sida itu, dan Filipus membaptis dia.” (Kis 8:36-38)

“Seorang dari perempuan–perempuan itu yang bernama Lidia turut mendengarkan. Ia seorang penjual kain ungu dari kota Tiatira, yang beribadah kepada Allah. Tuhan membuka hatinya, sehingga ia memperhatikan apa yang dikatakan oleh Paulus. Sesudah ia dibaptis bersama–sama dengan seisi rumahnya, ia mengajak kami, katanya, “Jika kamu berpendapat, bahwa aku sungguh–sungguh percaya kepada Tuhan, marilah menumpang di rumahku.” Ia mendesak sampai kami menerimanya. (Kis 16:14-15)

“Tetapi Krispus, kepala rumah ibadat itu, menjadi percaya kepada Tuhan bersama–sama dengan seisi rumahnya, dan banyak dari orang–orang Korintus, yang mendengarkan pemberitaan Paulus, menjadi percaya dan memberi diri mereka dibaptis.” (Kis 18:8)

Ada juga catatan menakjubkan dalam Kisah Para Rasul 10:47-48 ketika bangsa-bangsa lain yang percaya yang sudah menerima Roh Kudus dibaptis:

“Bolehkah orang mencegah untuk membaptis orang–orang ini dengan air, sedangkan mereka telah menerima Roh Kudus sama seperti kita?’ Lalu ia menyuruh mereka dibaptis dalam nama Yesus Kristus. Kemudian mereka meminta Petrus supaya ia tinggal beberapa hari lagi bersama–sama dengan mereka”

Orang Kristen yang kalah yang rindu untuk menang mendapati diri mereka bergumul dengan pertanyaan: Apakah saya memiliki iman? Apakah saya memiliki iman ketika saya dibaptis? Jika saya memiliki iman saat itu, apakah sama dengan yang disebutkan di Kisah Para Rasul 8:37, “Jika tuan percaya dengan segenap hati”, yaitu iman yang berkomitmen total kepada Yesus. Jika pertanyaan–pertanyaan itu tidak mendapatkan jawaban yang pasti, jelaslah bahwa orang itu akan ditinggalkan tanpa jaminan dan dengan hati nurani yang terganggu: Apakah kami masih di dalam dosa? Bagaimana kita bisa bebas dari dosa jika kami tidak pernah mati terhadapnya? Bagaimana kita bisa mati terhadapnya kalau kita tidak pernah, oleh iman, disatukan bersama Kristus dalam kematiannya melalui baptisan? Lagi pula, bagaimana mungkin kita berani menyerahkan diri ke dalam kematian tanpa iman “yang segenap hati”, yang berserah sepenuhnya? Paulus menyentuh semua ini di Roma 6:1-4:

“Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah anugerah itu? Sekali–kali tidak! Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya? Atau tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah dibaptis di dalam Kristus, telah dibaptis di dalam kematiannya? Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama–sama dengan dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru.”

Bukti Kelahiran Kembali

Marilah kita pertimbangkan tanda–tanda kelahiran kembali, dan periksalah apakah tanda-tanda ini benar–benar ada di dalam kehidupan Anda. Jika tanda–tanda ini belum ada, Anda memiliki alasan kuat untuk meragukan apakah Anda sudah lahir baru, dan apakah Anda seorang Kristen sejati menurut definisi alkitabiah.

Orang yang Belum Lahir Kembali adalah Hamba Dosa

Jika Anda bukan orang Kristen atau orang Kristen pada namanya saja (sebagai lawan dari orang Kristen sejati), bagaimana Anda menggambarkan keadaan rohani Anda? Dari pengalaman pribadi Anda, Anda akan tahu bahwa Anda berada dalam ikatan dosa. Hal ini digambarkan di Roma 7. Di ayat 14 Paulus  berkata,

“Sebab kita tahu, bahwa Hukum Taurat adalah rohani, tetapi aku bersifat daging, terjual di bawah kuasa dosa.”

Istilah “terjual di bawah kuasa dosa” berasal dari perbendaharaan kata tentang perhambaan. Hamba-hamba dijual di bawah kuasa seseorang. Demikian juga, umat manusia telah jatuh “di bawah kuasa dosa”. Dosa–dosa kita telah membawa kita ke bawah kuasa dosa; kita adalah hamba-hamba dosa. Roma 7:15-19 menyimpulkan situasi ini.

“Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat…kalau demikian bukan aku lagi yang memperbuatnya, tetapi dosa yang ada di dalam aku. Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik. Sebab bukan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu berbuat jahat, yang aku perbuat.”

Paulus berulang kali menyatakan bahwa kita masih dapat “menghendaki” yang baik. Jika tidak demikian, mungkin Anda tidak akan membaca posting tentang menjadi manusia baru di dalam Kristus ini. Anda tahu apa yang benar, dan Anda dengan sungguh-sungguh ingin melakukan yang benar, tetapi Anda tidak berdaya untuk melakukannya.

Jadi kita harus berhati–hati dengan istilah “perbudakan kehendak”. Kehendak tidak berada di bawah perbudakan dalam pengertian tidak dapat “menghendaki” apa yang baik. “Perbudakan kehendak” merupakan istilah yang menyesatkan karena kehendak tidak diperbudakkan dalam arti tidak mampu menghendaki apa yang baik. Persoalannya terletak bukan pada kehendak, tetapi dalam melakukan apa yang dihendaki. Kehendak diperbudakkan hanya dalam arti ia tidak dapat melakukan yang baik yang dikehendakinya. Ini berbeda dari perbudakan mutlak dan total atas kehendak. Kehendak masih bebas dalam suatu pengertian yang penting, yaitu ia masih mampu menginginkan yang baik.

Dalam bagian yang sama dikatakan juga bahwa kita melakukan hal yang jahat yang tidak kita inginkan. Ini sekali lagi menekankan fakta bahwa yang jahat yang dilakukan itu bertentangan dengan kehendak kita. Ini berarti sebenarnya bukan kita yang melakukannya, tetapi dosa yang diam di dalam kita. Dosa yang diam di dalam memperbudakkan kita dan juga memaksa kita.

Tanda dari orang yang belum dilahirkan kembali adalah ia tak dapat melakukan apa yang benar. Sebagai contoh, Anda tahu bahwa kesabaran itu baik, tetapi mampukah Anda menjalankannya? Tidak, seseorang membuka mulutnya dan Anda jadi tersinggung. Anda mencoba untuk menekan emosi dan membangkitkan sedikit kasih, tetapi mau tak mau Anda tetap marah. Itukah pengalaman Anda? Jika Anda tak dapat menahan dari berbuat jahat walaupun Anda ingin berbuat yang baik, itu tanda yang pasti bahwa Anda masih di bawah perbudakan dosa. Anda masih belum mengalami kelahiran baru, di mana kuasa Allah datang dan membebaskan Anda.

Kelahiran Kembali: Empat Aspek Hidup Berkemenangan


(1) KEMENANGAN ATAS DOSA

“Jadi apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamu pun benar–benar merdeka” (Yoh 8:36).

Pernahkah Anda mengalami pembebasan dari Tuhan? Jika tidak, dari segi apa Anda berbeda dari seorang non-Kristen? Ia berada dalam belenggu dosa dan Anda pun berada dalam belenggu dosa. Banyak orang Kristen berbeda dari orang-orang non-Kristen hanya pada namanya saja.

Kemenangan atas dosa merupakan tanda orang yang sudah dilahirkan kembali, dan keterikatan pada dosa ialah tanda orang yang belum dilahirkan kembali. Paulus menjabarkan pokok ini sepenuhnya di Roma 8. Namun bahkan sebelum itu, di Roma 6,  ia sudah berulang kali mengatakan bahwa kita tidak lagi berada di bawah kekuasaan dosa, sebagaimana yang kita lihat di dalam kutipan–kutipan berikut ini:

Karena kita tahu, bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan, supaya tubuh dosa kita hilang kuasanya, agar jangan kita menghambakan diri lagi kepada dosa. Sebab siapa yang telah mati, ia telah bebas dari dosa. (ay.6,7).

 

Demikianlah hendaknya kamu memandangnya: bahwa kamu telah mati bagi dosa, tetapi kamu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus (ay.11).

Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya (ay.12).

Sebab kamu tidak akan dikuasai lagi oleh dosa, karena kamu tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah anugerah (ay.14).

Apakah kamu tidak tahu, bahwa apabila kamu menyerahkan dirimu kepada seseorang sebagai hamba untuk mentaatinya, kamu adalah hamba orang itu, yang harus kamu taati, baik dalam dosa yang memimpin kamu kepada kematian, maupun dalam ketaatan yang memimpin kamu kepada kebenaran? (ay.16).

Dahulu kamu memang hamba dosa (ay.17).

Kamu telah dimerdekakan dari dosa dan menjadi hamba kebenaran (ay.18).

Tetapi sekarang, setelah kamu dimerdekakan dari dosa dan setelah kamu menjadi hamba Allah, kamu beroleh buah yang membawa kamu kepada pengudusan dan sebagai kesudahannya ialah hidup yang kekal (ay.22).

Jika kita tidak dikendalikan oleh dosa, dosa tidak dapat memaksa kita untuk melakukan hal–hal di luar kehendak kita. Oleh karena Kristus telah memerdekakan kita, kehendak kita bebas untuk melakukan apa yang baik di mata Allah. Sederhana dan indah. Kita tidak perlu menjadi ahli-ahli teologia untuk memahami perbedaan antara kemenangan dan kekalahan, atau antara kemerdekaan dari dosa dan perbudakan di bawah dosa.

Apakah kita berkemenangan atas dosa? Apakah kita terus menerus memiliki kekuatan untuk melakukan hal yang baik yang kita inginkan? Kekuatan itu, tentu saja, tidak datang dari kekuatan manusia, tetapi dari Roh Allah yang diam di dalam diri kita. Itulah artinya diselamatkan oleh anugerah. Anugerah Allah bagi kita adalah anugerah-Nya dalam bentuk hidup baru di dalam Kristus. Hidup baru ini disertai kuasa yang membawa perubahan dan memampukan kita, yang menyelamatkan kita dari kuasa dosa hari lepas hari. Kehidupan yang berkemenangan inilah kehidupan Kristen yang menjadi panggilan Tuhan bagi kita.


(2)  TAKKAN ADA YANG MUSTAHIL BAGIMU

Matius 17:14-20 mencatat suatu kisah yang menarik. Seseorang merayu Yesus untuk menyembuhkan anaknya yang dirasuk setan karena murid-muridnya tidak dapat mengusir setan itu. Yesus menjawab,

“Hai kamu angkatan yang tidak percaya dan sesat, berapa lama lagi Aku harus tinggal di dalam kamu? Bawalah anak itu kemari!”

Yesus segera mengusir setan itu dan si anak dibebaskan. Murid–murid bertanya kepada Yesus saat mereka sendirian,

“Mengapa kami tidak dapat mengusir setan itu?” Yesus menjawab, “Karena kamu kurang percaya. Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, – maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu.”

Takkan ada yang mustahil bagimu. Kita memiliki kuasa atas roh-roh jahat. Namun lebih dari itu, kita dapat menang dalam setiap situasi. Tak ada musuh di dunia ini yang tak dapat dikalahkan oleh kuasa-Nya, apakah itu kedagingan, diri ataupun Iblis; sebagaimana yang disampaikan oleh Paulus,

“Segala perkara dapat kulakukan di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (Flp 4:13).

Kita sering menganggap bahwa kata–kata Yesus, “Takkan ada yang mustahil bagimu” menunjuk kepada mukjizat, tetapi itu suatu kesalahan besar. Kata–kata itu juga memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan Kristen seseorang. Oleh karena kita membatasi kata–kata itu hanya kepada mukjizat, kita tidak dapat melihat hubungannya dengan kehidupan sehari–hari. Kata–kata itu, dalam kenyataannya, amat berhubungan dengan kehidupan keseharian kita. Setiap hari tidak ada yang mustahil bagi Anda. Jika Allah menghendaki kita melakukan sesuatu, kita dapat melakukannya! Jika Ia memberi kita perintah, Ia juga akan memampukan kita untuk melakukannya. Jika Ia menyuruh kita untuk mengasihi, Ia akan menguatkan kita untuk mengasihi orang yang sulit dikasihi. Jika Ia menghendaki kita supaya menjadi kudus, Ia memberi kita kuasa kekudusan. Oleh karena itu, jika Allah memiliki kuasa dan kita memiliki komitmen, adakah alasan untuk kegagalan atau kekalahan?

Banyak orang Kristen tidak memiliki kuasa karena mereka tidak menerapkan kebenaran ini dalam kehidupan mereka. Jika kata–kata “takkan ada yang mustahil bagimu” nyata dalam kehidupan kita, kita akan mampu memenuhi setiap tugas yang Allah percayakan kepada umat-Nya pada hari–hari terakhir ini. Ini termasuk menyebarkan Injil ke “seluruh dunia menjadi kesaksian bagi semua bangsa” (Mat 24:14). Kita akan mendapati bahwa segala rintangan dapat diatasi. Mengusir setan dan menyembuhkan orang yang sakit digenapi lewat kuasa yang sama dari Allah.

Akan tetapi, jika kata–kata itu tidak nyata di dalam kehidupan kita, atau jika kita tidak hidup dalam kekudusan yang praktis, adalah mustahil untuk berkemenangan dalam sisi apa pun dari kehidupan kita. Kata–kata ini pertama-tama mesti diterapkan di dalam hati kita dulu, lalu kita akan mendapati bahwa memang tidak ada hal yang mustahil di dalam kehidupan rohani ini. Sesudah itu baru kita dapat menerapkannya ke luar, dengan mengusir setan atau menyembuhkan yang sakit.

Yang mana lebih sulit, mengusir setan atau hidup kudus? Yang mana membutuhkan kuasa lebih besar? Setiap orang yang pernah mencoba untuk hidup kudus memahami bahwa keduanya sama–sama sulit, sama–sama mustahil. Kuasa Allah yang dahsyat dibutuhkan untuk mengasihi orang yang sulit dikasihi, demikian juga kuasa yang sama dibutuhkan untuk menyembuhkan orang lumpuh. Jika Anda tidak pernah mengalami kuasa itu di dalam diri Anda, tentu saja Anda tidak dapat menerapkannya ke luar.

Walaupun keduanya adalah pekerjaan kuasa Allah, yang satu di dalam dan satu lagi di luar, apakah itu berarti bahwa keduanya merupakan manifestasi dari kuasa Allah yang sama? Apakah itu berarti orang yang menyembuhkan dengan kuasa Allah pasti adalah orang yang kudus? Yesus memperingatkan kita bahwa tidak selalu demikian adanya. Sangat mengherankan, kita mungkin dapat melakukan pekerjaan eksternal yang besar untuk Allah, tanpa kekudusan internal. Ini merupakan hal yang perlu dipahami dengan baik jika kita tak ingin tertipu, atau menipu diri sendiri, khususnya pada zaman yang gelap seperti sekarang ini. Ini sebabnya Yesus berkata:

“Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! Akan masuk ke dalam kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku di surga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mukjizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka: Aku tidak mengenal kamu! Enyahlah daripada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!” (Mat 7:21-23)

Orang–orang itu telah belajar untuk melakukan pelbagai macam mukjizat di dalam nama Yesus, tetapi mereka yang hidupnya tidak tunduk kepada kehendak Allah, tidak akan mendapat bagian di dalam kerajaan surga. Paulus menyatakan hal yang sama,

“Sekalipun aku dapat berkata–kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing. Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna” (1Kor 13:1-2).

Jadi janganlah kita dengan bodohnya membayangkan bahwa jika kita dapat berbahasa lidah, atau melakukan mukjizat-mukjizat, kita berkenan kepada Allah, dan menganggap itu semua sebagai bukti kelahiran kembali. Kita “tidak berguna” (1Kor 13:2) di hadapan-Nya jika kita tidak memiliki kasih-Nya, kekudusan-Nya, kepenuhan hidup-Nya di dalam kita, sekalipun kita memiliki iman yang dapat memindahkan gunung. Ini menunjukkan bahwa, kemenangan internal atas dosa merupakan hal yang jauh lebih penting daripada manifestasi mukjizat secara eksternal.

Namun, mengapa Yesus berbicara tentang melakukan hal yang mustahil? Karena memang mustahil untuk menjalani hidup baru di dunia yang dikuasai oleh dosa ini. Hidup lama yang mementingkan diri sendiri, dosa yang diam di dalam daging, dan kuasa kegelapan, semuanya bersatu membentuk kekuatan penentang yang luar biasa besar bagi hidup baru kita di dalam Kristus. Tidak ada cara lain untuk menang kecuali oleh kuasa Allah. Jika kehidupan Kristen dapat dijalani dengan kekuatan kita sendiri, kita tidak memerlukan Roh Kudus sama sekali. Kenyataannya adalah kehidupan Kristen melibatkan penerapan kuasa Allah melalui Roh Kudus dalam diri kita setiap hari. Atas alasan ini kita bermegah dalam Injil Allah yang hidup. Melalui iman kepada Allah kita melakukan hal-hal yang mustahil.

Orang Kristen yang berjalan bersama Allah tidak akan hidup di dalam bayangan kekalahan, justru karena segala sesuatu adalah mungkin baginya melalui Kristus. Kita akui ini janji yang besar untuk disebut, tetapi tidak lebih besar daripada yang dinyatakan berikut ini, “Tetapi syukur bagi Allah, yang dalam Kristus selalu membawa kami di jalan kemenangannya”(2Kor 2:14). Kemenangan ini mencakup semua aspek kehidupan orang Kristen, termasuk doa.

Sekali lagi, marilah kita selalu menujukan mata pada kebenaran ini: keselamatan adalah karena anugerah bukan hanya melalui satu-kali pengampunan dosa, tetapi hidup oleh kuasa-Nya hari demi hari.

(3) MENGHASILKAN BUAH

Di Yohanes 15:16 Yesus berkata,

“Dan aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap.”

Jika kita mengaku lahir baru sebagai orang Kristen, apakah kita berbuah, dan apakah buah kita tetap? Berbuah adalah tanda lain dari kelahiran kembali.

Yesus melanjutkan untuk berkata,

“Apa saja yang kamu minta kepada Bapa dalam namaku, diberikan-Nya kepadamu.”

Ini merupakan satu lagi pernyataan yang tidak mempunyai batas. Jika Anda berbuah, Bapa akan memberikan apa saja yang Anda minta kepada-Nya dalam nama Yesus. Luar biasa! Tak ada hal yang mustahil bagi Anda, karena Anda akan menerima apa yang Anda minta. Seperti itulah kuasa yang kita butuhkan untuk menghadapi kenyataan hidup sehari–hari. Kata “apa saja” mencakup segala situasi. Setiap hari yang baru memiliki situasi dan tantangan yang unik. Kita perlu jaminan penuh untuk menghadapi setiap situasi, konflik, tekanan dan pencobaan baru. Dalam setiap keadaan kita memiliki jaminan bahwa apapun yang kita minta, akan kita terima, supaya kita dapat menang atas dosa dan berbuah bagi Tuhan.

Ini tidak berarti bahwa kita boleh meminta mobil mewah atau kemewahan lainnya. Jika kita mengira bahwa Allah akan memberikan kita apa saja yang kita minta untuk memuaskan keinginan dan keserakahan kita, itu berarti kita belum memahami Kitab Suci sama sekali. Kita harus belajar untuk menganggap barang-barang duniawi dan sementara ini (seperti uang, rumah, mobil, gengsi, dll.) tak lebih dari sampah apabila dibandingkan dengan hal–hal yang kekal. Kita harus memiliki sikap seperti Paulus ketika ia berkata, “aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus” (Flp 3:8). Apa yang diinginkan oleh manusia rohani bukanlah berkat materi, tetapi kemenangan dan jaminan terbuka akan doa yang terjawab.

(4) SUKACITA

Di Yohanes 16:23 Yesus berkata,

“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu minta kepada Bapa akan diberikan-Nya kepadamu dalam namaKu.”

Perhatikan sekali lagi jaminan penuh yang dinyatakan dengan kata “segala sesuatu”. Ayat selanjutnya berkata,

“Sampai sekarang kamu belum meminta sesuatupun dalam namaKu. Mintalah maka kamu akan menerima, supaya penuhlah sukacitamu.”

Orang yang dikalahkan tidak memiliki sukacita. Ia menunjukkan wajah yang suram, bukan wajah yang berseri–seri. Sukacita biasanya tidak datang pada orang yang baru saja gagal ujian atau kalah dalam pertandingan. Kekalahan membawa kesedihan, tetapi Tuhan ingin kita memiliki sukacita.

Tetapi syukur bagi Allah, yang dalam Kristus selalu membawa kami di jalan kemenangan-Nya. Dengan perantaraan kami Ia menyebarkan keharuman pengenalan akan Dia di mana–mana” (2Kor 2:14). Apakah Allah membawa kita dalam kemenangan supaya kita dapat berbual? Tidak, tujuannya adalah untuk menyebarkan keharuman kehidupan Kristus kepada orang lain, sehingga mereka dapat ditarik untuk mengenal Dia. Sukacita yang diberikan-Nya kepada kita meluap kepada orang lain, menyegarkan dan menguatkan mereka. Sukacita kita menguatkan mereka yang lemah, dan membangkitkan semangat yang patah.

Sukacita kita, walaupun tidak diniatkan mungkin akan menimbulkan kecemburuan pada orang yang tidak mengenal sukacita dan kemenangan! Baru–baru ini saya mendengar kesaksian seseorang yang pernah memiliki kesulitan untuk hidup berkemenangan. Jika melihat orang lain melakukan hal yang sedikit lebih baik daripadanya, itu sudah cukup untuk menimbulkan rasa kurang enak dalam dirinya. Jika Anda terus menerus kalah, wajar kalau Anda merasa tidak enak berada di tengah orang–orang yang tampaknya hidup berkemenangan. Bahkan ada yang menjauhkan diri dari orang–orang yang hidupnya tampak berkemenangan.

Yesus ingin kita hidup berkemenangan. Ia tahu kita tidak dapat melakukannya dengan kekuatan sendiri, jadi ia berkata kepada kita, “Mintalah apa pun yang kau butuhkan untuk hidup berkemenangan, dan aku akan memberikannya kepadamu.”

Orang-orang Kristen yang menerapkan perkataan Yesus dalam hidupnya tidak akan mengenal kekalahan lagi. Ini bukan berarti ia kebal terhadap penderitaan, kesakitan, kesusahan, kehabisan akal atau penganiayaan. Sewaktu–waktu ia mungkin dijatuhkan, tetapi tidak selamanya tergeletak. Rasul Paulus menjelaskan hal ini berdasarkan pengalamannya sendiri,

“Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah–limpah itu berasal dari Allah, bukan dari kami. Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa; kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian, kami dihempaskan, namun tidak binasa. Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata di dalam tubuh kami.” (2Kor 4:7-10)

Hal penting yang muncul dari ayat–ayat tersebut adalah kenyataan bahwa Paulus bukan saja mampu menanggung keadaan yang paling sukar karena “kekuatan yang melimpah–limpah” dari Allah dalam dirinya, tetapi justru melalui keadaan–keadaan tersebut ia dengan penuh sukacita dan berkemenangan memenuhi tugas yang dipercayakan kepadanya, yaitu untuk menyatakan kehidupan Yesus di dalam tubuhnya. Apa yang terjadi ketika kehidupan Yesus dinyatakan? Itu akan membawa terang keselamatan kepada semua yang melihatnya. Pemberitaan Injil merupakan pokok pembicaraan di ayat–ayat sebelumnya.

Hidup yang berkemenangan bukanlah hidup yang mudah. Kemenangan menyatakan secara tidak langsung adanya peperangan. Bagaimana mungkin ada kemenangan tanpa peperangan? Dan peperangan rohani tidak pernah mudah. Semakin besar peperangannya, semakin besar kemenangan yang diraih—dan juga semakin besar kuasa yang dibutuhkan untuk menang. Semakin besar tantangannya, semakin besar pula anugerah yang Allah sediakan. Dengan cara ini kita bertumbuh dari kekuatan demi kekuatan. Sesudah satu tahap kemenangan, tantangan yang lebih besar menghadang kita; maka kita masuk ke tahap kemenangan yang lebih besar lagi.

 

Berikan Komentar Anda: